Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 47

Pedang Kayu Harum Jilid 047

<--kembali

Cui Im dan Siauw Lek diantarkan masuk ke ruangan sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan pengawal-pengawal tingkat dua dan sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana. Akan tetapi Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu atau pengawal pribadi kaisar.

Ruangan itu amat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di situ kosong tidak tampak seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Akan tetapi, enam orang pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam.

Dari tempat itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong.

"Harap Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek. Tempat itu mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu menghadap ke arah tirai.

"Riiiiittt!" Tiba-tiba tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi kaisar! Rata-rata mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa lima orang anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.

Tiba-tiba terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam dan muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang ujungnya naik ke atas, demikian pula sepasang matanya yang tajam dan membayangkan kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan hati terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan panjang sekali.

Wajah seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal.

"Kedua calon telah menghadap Paduka, Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Seorang di antara pemgawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian ruangan itu. Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam,

"Para pengawal dalam boleh mundur!" Enam orang pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan kepada Cui Im dan Siauw Lek,

"Kedua orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!"

Tempat, suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke arah kaisar. Betapapun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang tak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang.

Kini mereka berdua dapat memandang jelas, mereka tidak berani memandang wajah kaisar secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara pengawal kedua orang ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah.

Setelah kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan waspada, hati kaisar agak kecewa.

Ia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada tubuh dan wajah mereka. Dia memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaanya akan dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi sekali dapat menundukkan mereka, akan menjadi alat yang amat berguna karena tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini.

"Siapakah di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang-cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi memiliki dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya.

"Hamba Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab Cui Im dengan muka tunduk.

Kaisar memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata."Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?"

Biasanya, kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu dengan ahti besar dan bangga, akan tetapi sekali ini, ditanya oleh kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika menjawab, "Hamba.... hamba.... disebut Ang-kiam Bu-tek!"

"Pedang Merah Tanpa Tanding! Hemm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im, engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang-cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?"

"Hamba bukan seorang ahli barisan tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat mendapatkannya dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."

"Ahhh! Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira. Melihat kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat buntalan kitab itu tinggi-tinggi sambil berkata,

"Hamba mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima."

"Eh, Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?"

"Hamba yakin akan lulus," jawab Cui Im, kini dengan suara tegas, karena setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya berkurang.

Kaisar tersenyum lebar. "Engkau yakin? Pengawal tingkat mana yang hendak kau pilih?"

"Tingkat pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia."

"Ha-ha-ha! Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau takkan menang!"

"Mohon ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan dapat mengalahkan pengawal Paduka yang manapun juga."

"Wah, engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu tidak palsu, kemudian akan kusaksikan apakah kesanggupanmu itu pun bukan hanya kosong belaka! Kaisar memberi isyarat dan seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu, menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai ilmu silat dari utara yang dia gabungkan dengan ilmu silat dari selatan. Setelah menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingnya, akan tetapi karena dia tidak pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya tidak terkenal di dunia kang-ouw.

Ketika melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong sekali. Di antara duabelas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang sudah diuji kepandaian dan kesetiannya, dia merupakan orang pertama dan boleh dibilang jago nomor satu kecuali lima orang "pengawal rahasia" kaisar yang diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar. Kini ada seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di depan kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dia menjadi penasaran sekali. Ia merasa yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu! Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu perang itu, dia melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini, dia telah mengerahkan tenaga sinkangnya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar.

Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak "menguji" dan membikin malu. Ia menjadi marah dan tanpa diketahui siapapun ia mengerahkan sinkangnya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu.

Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkangnya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang ketika dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im!

Theng Kiu menjadi penasaran. Ia lalu menghimpun seluruh tenaga sinkangnya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak! Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga, akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia telah memasangkan kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu, kedua kakinya terpentang tegak dan mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diijaknya seolah-olah melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya. Hal ini tidak saja tampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk menyaksikan adu tenaga yang aat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu.

Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya, dan berdiri seperti orang bingung.

Melihat ini, hampir saja kaisar bangkit dari kurisnya saking herannya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Kenapa kau tidak menerima kitab itu?"

Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda...."

Sepasang mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"

"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.

Pada saat itu, masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sabil melaporkan bahwa The-cai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,

"Suruh dia cepat datang menghadap. Biarpun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"

Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seolah-olah terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum di tanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.

Tak lama kemudian, masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk.

Ketika Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam ia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu demikian terang dan tajam seperti mata harimau di tempat gelap.

Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar, sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar, kemudian mereka berdua berlutut menyembah.

"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang amat menarik hati. Biarlah urusan kita itu kita bicarakan nanti setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah.. pembantumu yang sebut dahulu itu?"

"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.

"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba bersiap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dahulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."

"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar. Pembesar itu adalah seorang panglima laksamana yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Adapun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisionil bahwa Ma Huan ini dikeral sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).

Dua orang pembesar itu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki berpakaian sederhana yang seperti orang mengantuk itu lalu berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.

"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihat dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"

The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Ketika Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika ia melirik ke arah Ma Huan, ia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang amat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!

"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya mentah isinya, Sri Baginda." Jawab The Ho yang tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan berjanji dalam hati untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga memiliki banyak orang sakti itu.

"Ha-ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlalu mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"

"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka , Sri Baginda."

"Justeru itulah saat ini kami sedang mengujinya. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa dia selain datang untuk melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini mempersembahkan sebuah kitab Thai-yang-cin-keng kepadaku?" The Ho tampak kaget dan tercengang mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."

"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.

"Benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"

"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!"

The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Tio Hok Gwan dengan sikap hormat memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, lalu menghampiri Cui Im dengan malas-malasan. Cui Im maklum bahwa ia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau kini ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masa sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah. Ketika ia melihat si pengantuk itu mengulur tangan, ia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Ia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka ia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu meiliki tenaga dahsyat. Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya sedangkan dalam hal sinkang, dia belumlah terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena ia diuji dalam tenaga, tentu saja ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkangnya dan seperti tadi ia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.

Biarpun Tio Hok Gwan diam-diam kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab setelah disambar hawa dari tanganya, namun pada wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Ia melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, kemudian mengerahkan tenaga membetot.

Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa sekuat-kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak terlepas dari tangan Cui Im! Biarpun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.

Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal. Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata tenaga bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.

"Brettt....!" Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.

"Jangan merusakkan kitab....!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasihat.

Cui Im yang cerdik dapat mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu untuk menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."

"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia !" kata Cui Im dan ia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya seolah-olah mengatakan bahwa betapapun juga, si pengantuk itu tidak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.

Mereka bertiga kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum karena mengenal kitab itu benar-benar adalah peninggalan Jenghis Khan berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.

"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kata kaisar sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima dan menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan. Pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!

"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"

Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Adapun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, demikian pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi. Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampak sinar merah berkelebat dan dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.

"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat kepada junjungannya.

"Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada fihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau sampai hamba terlanjur menewaskannya?"

Kaisar menganguk-angguk. "Dalam pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."

Akan tetapi Cui Im berkata kepada kaisar sambil menyoja dengan kedua tangannya, "Mohon ampun, Sri Baginda. Seorang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata, akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."

The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan,"Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sombong, akan tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."

"Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu.

"Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im. Wanita ini melihat bahwa gerakan lawannya cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan dengan serangan Theng Kiu seningga pengawal kepala ini terkejut dan cepat meloncat sabil miringkan tubuh dan dia pun meniru lawan untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung, ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang luput menyerapang kaki tadi sudah membentuk lingkaran ke atas dan menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya, ruyungnya menangkis keras.

"Tranggggg...!" Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras.

"Cringgggg....!"


lanjut ke Jilid 048-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar