Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 45

Pedang Kayu Harum Jilid 045

<--kembali

Bagi orang muda di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa daripada sakit asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh rasanya tak nyaman, tidur tidak nyenyak, makan tidak sedap, segala keindahan di dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa sunyi sungguhpun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan apa-apa lagi di hati. Tubuh yang lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi teringat akan pacar direbut orang.

Semenjak meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung, wajah pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan minyak. Ia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja siang-malam. Lupa akan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan Biauw Eng dan Lai Sek.

Akhirnya dia terkulai lemas pada suatu pagi di bawah sebatang pohon dan perutnya menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum bahwa penderitaan yang dia buatnya sendiri ini dibiarkannya berlarut-larut, berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama seorang laki-laki. Ia lalu mencari buah-buahan pengisi perut setelah makan buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya.

Ia tahu bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis kepadanya? Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain? Seorang laki-laki yang biarpun tampan dan agah perkasa namun buta, apakah dia kalah nilainya oleh seorang buta? Ah., mengapa Lai Sek buta? Ia meloncat bangun lalu duduk kembali. Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya agaknya sebab kebutaan Lai Sek ini ada sangkut pautnya dengan " pemindahan" cinta dari hati Biauw Eng! Ia menganguk-angguk dan rasa penasaran di hatinya agak terhibur. Agaknya tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang kuat. Biarlah, dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan pemuda itu. Encinya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam, sekarang menjadi buta matanya! Ah, kalau dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal kesengsaraan pemuda yang kehilangan encinya itu adalah karena dia! Kalau dia tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng!

Dia harus pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai "perhitungan" yang belum beres dengan suhunya, yaitu ketika suhunya bermain cinta dengan seorang murid wanita Hoa-san-pai, kemudian suhunya mencuri pedang pusaka yang kini dilarikan Cui Im pula. Bahkan perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan kesemuanya itu dan untuk mendinginkan hati para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan pusaka yang dilarikan Cui Im.

Pada waktu ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu ini lebih bersamadhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi maka segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san-Siang-sin-kiam. Kedua orang murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada sembilan orang. Pada waktu itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu murid ketua Hoa-san-pai ini terkenal dan merekalah ynag boleh dibilang menjadi "tiang" Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid kesembilan orang kakek ini banyak sekali jumlahnya, di antara mereka ada yang menjadi tosu, ada pula ada yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali ilmu pedangnya.

Ketika pada pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai menuju ke puncak, gerakan-gerakannya telah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu.

Segera terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang dan terdengar bergema sampai jauh. Beberapa datik kemudian terdengarlah lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban. Pemuda itu adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia telah menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa dia berada di daerah kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menanti perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat oleh orang-orang Hoa-san-pai. Ketika dia mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid pandai.

Keng Hong yang menanti di bawah pohon, bersikap tenang. Tidak lama dia karena segera muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan di punggung mereka tampak terselip sebatang pedang. Melihat mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di depannya. Ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura dan berkata,

"Siauwte Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal siauwte."

"Cia Keng Hong.....?!"

"Srat-srat-sing-singgggg…..!"

Hampir semua mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang telah terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka itu bergerak mengurung dengan sikap mengancam sekali.

Keng Hong masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan dengan niat hati buruk, melainkan siauwte sengaja datang untuk menemui para pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul. Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik."

"Niat baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai?" tiba-tiba seorang di antara tiga orang wanita gagah itu betanya, nadanya mengejek dan marah.

"Sama baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula, juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat?' seorang murid pria bertanya, nadanya marah.

"Guru dan muridnya sama saja! bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnyalebih berbahaya. Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintangi di depan dada kini telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong. Perlahan-lahan tiga belas orang anak urid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki berselang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.

Keng Hong yang masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh dan dia menghela napas panjang. Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya!

"Cu-wi adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan senjata cu-wi itu?"

Seorang di antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, menjawab, "Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai dan kami seluruh anak murid Hoa-san-pai dapat dicuci dengan darahmu!"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang memiliki watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam saja karena dia tidak pernah bergerak melawan. Akan tetapi, dendam membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam itu. Maka dia lalu berkata,

"Kalau siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte menghendaki, dengan mudah dan siauwte dapat bersikap seperti cu-wi dan dalam waktu singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Akan tetapi kedatanganku ini mengandung niat hati yang baik, maka kalau cu-wi memaksa hendak membunuh siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri dan harap cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?"

Wajah ketiga belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu berjenggot panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata mereka?

"Baiklah, pemuda yang sombong! Kami berjanji, kalau engkau dapat melucuti senjata kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami."

Keng Hong mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia berkata, "Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!"

Akan tetapi tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di depan dada. Keng Hong kagum bukan main. Ternyata murid-urid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong, kalau dia menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan lebih mudah. Akan tetapi dia harus dapat menundukkan hati mereka, maka akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong. Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan sinkang tentu akan berhasil!

"Cu-wi, awas seranganku!" Tiba-tiba tubuhnya membalik ke kiri melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang laki-laki tinggi besar dan yang cepat menggelebatkan pedang embacok lengannya, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka bertiga ini bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong membalikkan tubuh secepat kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua penggeroyoknya dan benar saja dugaannya.

Pada saat tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok. Sambil membalikkan tubuhnya itu, kedua tangannya mendorong ke depan sinkang yang amat kuat. Angin dorongan kedua tangannya seperti angin taufan meniup dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget. Karena keadaan mereka kacau balau karena kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka. Seorang demi seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu edang mereka telah terampas oleh Keng Hong. Pemuda lihai ini cepat membalik ketiga orang yang kini berada dibelakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat melihat saudara-saudaranya sudah dirampas pedangnya. Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Trang-trang-trang!" Tiga batang pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-apai itu terlempar ke atas. Keng Hong meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus diputar menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan.....pedang-pedang itu seperti melekat pada pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara melepaskan empat batang pedang itu semua kini telah berada dalam pondongan lengan kirinya!"

Tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana tiba-tiba lengan mereka menjadi lumpuh dan pedang mereka terlepas!

Sesungguhnya, ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat, dan andaikata Keng Hong hanya mengandalkan ilmu silat, sungguhpun dia telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhunya dan disempurnakan dengan ilmu dalam kitab Thai-kek Sin-kun kiranya tidak akan mudah baginya untuk menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan dapat merampas pedang setelah merobohkan mereka, sedikitnya melukai mereka. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkangnya yang amat hebat itu dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian mempergunakan kecepatan gerakan yang didasari ginkang tinggi, merampas pedang dan menotok pundak!

"Telah siauwte katakan bahwa siauwte tidak datang untuk bermusuhan, maka siauwte persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai." Lengannya tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget, kagum dan jerih, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot panjang berkata,

"Baiklah, kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru kami." Keng Hong menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang menyangka pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong, "Silakan, cu-wi, kalau cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi." Karena dia bicara dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan beramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak."

Makin tinggi ke puncak, makin banyaklah anak murid Hoa -san-pai yang kini mengikuti rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda yang semenjak dahulu di anggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini datang sendiri dengan "niat baik". Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan terjadi kalau pemuda ini berhadapan dengan guru-guru mereka.

Seorang murid telah lebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap, dan menundukkan tiga belas orang murid yang bersenjata pedang dengan jalan kosong, mereka berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih. Mengingat akan pentingnya persoalannya yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik Hoa-san-pai, apalagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang bersamadhi di dalam kamarnya.

Mendengar laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu menangguk-angguk dan berkata, "Dia sudah datang, itu baik sekali, apa pun yang dikehendakinya, kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke ruangan lian-bu-thia ini.

Keng Hong merasa hatinya gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilngi pagar hidup berupa anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir kurang dari seratus orang!

Ketika dia memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk memegangi tongkat dari akar cendana berbentuk naga didampingi Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah dan keren. Diam-diam Keng Hong berdoa dalam hatinya semoga dia akan berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini! Para pengawalnya berhenti di luar ruangan dan menggabung dengan murid-murid lain yang berdiri mengelilingi ruangan itu diluar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam sampai berkata,

"Boanpwe (saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai." Suasana hening sekali setelah dia bicara itu sehingga andaikata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan terdengar nyata.

"Cia Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa Kiu yang nyaring dan penuh wibawa.

Keng Hong mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang. "Coa-locianpwe, saya sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Ia melirik ke arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu.

"Siancai.... bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak bicara apa?"

"Maafkan saya, Locinpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya yang muda dan bodoh dan sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara. Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua kesalahfahaman itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai disini saja.

"Enak saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit, minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah.

Bun Hoat mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, kemudian memandang kepada Keng Hong sambil mengangguk-angguk. "Orang muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan mengusulkan tentang segala perbuatan yang telah dilakukan gurumu dan engkau sendiri?"

Keng Hong masih bersikap tenang. Ia maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan kakek ini dengan kata-kata yang tepat karena kalau dia gagal, dia akan menghadapi ancaman maut di tempat ini.

"Locianpwe. Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf, bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi, karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu. Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu saya dan Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai lari bersama suhu..."

"Dilarikan! Dicuri!" Coa Kiu memotong.

Keng Hong tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai. "Benarkah dilarikan dengan paksa, Locianpwe?" Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa seorang wanita..."

Bun Hoat Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak. "Memang lari bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi dilarikan secara paksa."

"Demikianlah, baik dilarikan maupun lari secara suka rela, akan tetapi seorang murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, suhu mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai juga ramuan obat."

Kakek itu mengangguk-angguk.

"Locianpwe, semua perbuatan suhu memang bersalah, akan tetapi karena beliau telah meninggal dunia, apakah sepatutnya dia dikejar-kejar terus, dan apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?"

"Urusan murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu sudah habis, tidak perlu dibicarakan, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka itu tidak bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus dikembalikan kepada Hoa-san-pai."

Keng Hong mengangguk. "Tepat dan adil sekali, dan sudah semestinya begitu, Locianpwe. Akan tetapi pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!"

"Ahhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua itu yang masih tenang sikapnya.

"Saya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong, merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, di kemudian hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!"

"Apakah sumpahmu akan kau penuhi, orang muda?"

"Locianpwe, kalau saya tidak akan memenuhi sumpah saya, untuk apa saya datang menghadap Locianpwe untuk bersumpah? Kalau saya tidak memenuhi janji mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap musuh besar Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak melenyapkan segala macam permusuhan." Kembali kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya urusan yang menyangkut suhunya sudah dapat dia bereskan, sungguhpun belum lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan kemarahan Hoa-san-pai terhadap suhunya.

"Sekarang bagaimana pertanggung jawabmu tentang perbuatanmu sendiri orang muda? Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat tidak baik." Kini tosu tua itu memandangnya dan diam-diam Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang putih itu menyorot seperti kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar.

"Maaf, Locinpwe. Lebih baik saya bicara terus terang terhadap Locianpwe yang bijaksana. Saya mengaku bahwa memang saya telah melakukan hubungan cinta dengan mendiang Sim Ciang Bi murid wanita Hoa-san-pai. Akan tetapi hal ini merupakan urusan antara seorang pria dan seorang wanita yang melakukannya atas kehendak dan kerelaan sendiri tanpa ada yang memaksa, merupakan suatu kejadian wajar dan lumrah kalau terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang saling tertarik dan saling suka...."

"Hubungan gelap! Hubungan kotor, hubungan karena dorongan nafsu berahi!" Tiba-tiba Coa Bu tokoh Hoa-san Siang-sin-kiam yang lebih muda, membentak marah.

Dengan tenang dan sabar Keng Hong memandang kakek itu, tersenyum pahit dan berkata, "Terserahlah apa yang Totiang katakan atas hubungan anak-anak manusia muda yang belum mampu mengendalikan dirinya itu. Akan tetapi, hubungan kotor atau bersih, gelap maupun terang, hal itu adalah urusan saya dan Sim Ciang Bi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai sama sekali. Ataukah... ada peraturan istimewa di Hoa-san-pai yang mengikat sehingga setiap orang anak murid Hoa-san-pai tidak dapat bebas lagi dalam segala hal mengenai pribadinya, sehingga untuk memilih pacar sekalipun harus ditentukan oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang duduk di pimpinan seperti JI-wi Totiang dari Siang-sin-kiam?"

"Hemmm, Cia Keng Hong, hati-hati menjaga mulutmu!" Coa Kiu membentak dengan muka merah.

Ketua Hoa-san-pai dan Bun-Hoat Tosu mengangkat tangannya dan berkata, "Siancai... Benar-benar mewarisi kepandaian bersilat lidah dari Sie Cun Hong, anak ini! Akan tetapi, ada benarnya apa yang diucapkan. Eh, orang muda, pinto dapat menerima alasanmu bahwa apa yang terjadi antara engkau dan murid Sim Ciang Bi adalah urusan pribadi kalian orang-orang muda. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat membela dirimu tentang kematian murid kami itu?"

"Saya bersumpah bahwa saya tidak membunuh Sim Ciang Bi, Locianpwe."

"Memang, tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu. Dia mati dalam pelukanmu dan kalau engkau tidak bermain cinta dengan dia, dia tidak akan mati terbunuh iblis betina yang merasa cemburu. Hayo, bantahlah kalau bisa!" Coa Kiu membentak lagi.

"Maaf, Totiang. Tidak ada kematian tanpa sebab, akan tetapi ada sebab langsung yang disengaja. Kalau saya dianggap sebab kematian Sim Ciang Bi maka saya hanya merupakan sebab tidak langsung dan tidak saya sengaja. Saya tidak berniat membunuh dia dan kalau kenyataannya dia dibunuh orang selagi berada dalam pelukanku, hal itu hanya kebetulan saja. Sebab yang langsung berada di tangan Bhe Cui Im, karena dialah yang membunuh Ciang Bi dan saya berjanji akan membuat perhitungan dengan Cui Im."

Bun Hoat Tosu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau pandai membela diri dan memang pembelaanmu dapat diterima. Setelah mendengar semua alasan-alasan yang kau kemukakan, kami dari fihak Hoa-san-pai akan ditertawai dunia kang-ouw kalau masih hendak menyalahkanmu. Kiranya yang menjadi biang keladi dari kesemuanya ini adalah murid Lam-hai Sin-ni yang bernama Bhe Cui Im itu. Ahhh, betapa aneh peristiwa yang bermunculan di dunia kang-ouw sekarang ini.

Selain muncul engkau sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang cukup menghebohkan, muncul pula Bhe Cui Im yang menggegerkan dunia, bahkan namanya kini menjulang tinggi melampaui nama gurunya. Siapakah yang tidak mengenal dia yang kini berjuluk Ang-kiam Bu-tek, yang telah banyak membunuh tokoh besar dunia kang-ouw? Entah dari mana ia mendapatkan ilmu kepandaian tinggi, kabarnya lebih tinggi daripada Lam-hai Sin-ni sendiri. Orang muda, dia bersama murid Go-bi Chit-kwi yang berjuluk Jai-hwa-ong kini telah menjadi jago-jago nomor satu dari barisan pengawal kaisar, tahukah engkau?" Keng Hong terkejut. "Ahhh! Begitukah, Locianpwe? Baru sekarang saya mendengar dan terima kasih atas petunjuk Locianpwe. Sekarang juga boanpwe akan pergi ke kota raja mencarinya, selain untuk merampas kembali semua kitab dan pusaka yang dicurinya, juga untuk menghukumnya atas segala perbuatan jahatnya sehingga menyeret saya ke dalam jurang permusuhan dari semua orang gagah."

Keng Hong sudah menjura dengan hormat dan siap hendak berangkat, akan tetapi tiba-tiba Coa Kiu dan Coa Bu, Hoa-san Siang-sin-kiam telah meloncat maju dan Coa Kiu berkata, "Tunggu dulu, Cia Keng Hong."

Keng Hong berhenti dan membalikkan tubuh, berdiri tegak menanti dengan tenang apa yang dikatakan dua orang tosu yang dia tahu masih merasa penasaran bahwa dia dibebaskan secara demikian mudah oleh ketua Hoa-san-pai, kemudian Coa Kiu berkata, "Harap Suhu tidak mudah dibohongi pemuda yang pandai membujuk ini. Harap Suhu memperkenan teecu bicara dengan dia sebelum dia pergi meloloskan diri."


lanjut ke Jilid 046-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar