Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 43

Pedang Kayu Harum Jilid 043

<--kembali

"Hi-hi-hik! Engkau.... Aahhh.... Hahhh.... panas....! Engkau anak kemarin sore....hi-hi-hik .... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kaulepaskan..... Engkau lihai, tentu akan menyerangku.... heh-heh-heh, akan ku sedot sinkangmu sampai habis.... hi-hi-hik.... aaahhhhh.....!!"

Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan jerit melengking, mengerikan dan dari mulutnya tersumbar darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah.

Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.

"Kau...... kau benar....aaahhhh, Cun Hong....... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti. Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan lengan yang dipegang kembali sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tidak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Ia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya. Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam kepada gurunya, telah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguhpun nenek itu seolah-olah mati "dalam tangannya" melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri. Nenek yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka karena hendak memonopoli Ilmu Thi-khi-I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran, sehingga akhirnya mengorbankan nyawanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang! Dengan hati penuh penyesalan bahwa "Jalan keluar" yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus kesalahan-kesalahan gurunya dahulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguhpun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya. Setelah selesai mengubur jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir.

Keng Hong lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya. Ia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Kenga Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.

Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Ia mendengar bahwa perang telah selesai dengan kemenangan fihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (tahun 1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memnidahkan kota raja ke utara (Peking).

Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Ta-pa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui dan bermalam selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pantai sungai itu sebelah utara, kemudian melanjutkan perjalanan. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersana seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!

Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengiorbankan kedua matanya ynag menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya!

Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguhpun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biarpun ia mendengar kata-kata Cui Im yang membayangkan seolah-olah Keng Hong masih hidup akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu?

Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang kini telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.

"Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap?" demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bukoan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, mempunyai anak-anak di sekililing kita. Ah, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!"

Biauw Eng memandang wajah tampan yang matanya buta itu denga hati terharu. Pemuda ini amat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong. Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"

Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko."

Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini. Keng Hong seperti telah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanya membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya.

Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kudaa dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya. Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cicinya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatangkara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri. Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apalagi ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini, betapapun besar rasa kasih sayangnya kepadanya, ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu berahi. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah kepada suaranya apabila bicara dengannya, dan paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya kepada lengan atau pundaknya. Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu berahi. kalau ia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dan Lai Sek. Keng Hong amat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta berahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi. Akan tetapi, entah bagaimana, ia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong.

Bahkan, setiap kali Lai Sek bicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong!

Mereka tiba di kota Han-tiong menjelang senja, lalu bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, kedua orang ini setelah makan mala lalu tidur nyenyak. Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali jalan di depan penginapan dan kini menjaga rumah penginapan itu sambil bicara bisik-bisik tentang dia!

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanan, lima orang hwesio tergesa-gesa berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu. Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah, menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tidak pernah mau bicara tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu kalau mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia!

Menjelang tengah hari, mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Akan tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba ia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, kemudian mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon.

Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian ia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang karena sejak turun, gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.

"Ada orang datang...." katanya.

"Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat, kalau mereka berniat jahat, bisa aku yang melayani mereka."

Hati Lai Sek tenang-tenang saja. dia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di samping Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cicinya, biarpun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cicinya ditambah dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapapun juga, karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak.

Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemmm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang amat mendesak. Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.

"Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?"

Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai "mengadili" Keng Hong, lalu berkata tenang, "Benar seperti yang dikatakan Losuhu, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"

"Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kai adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."

Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan fihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas ia berkata. Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"

Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemmm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi? Ketika berada di Kun-lun-san, engkau embela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kebalinya kitab-kitab kami yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah sucimu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?"

"Ahhh....!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena ia benar-benar kaget mendengar betapa sucinya telah membunuh seorang tokoh Siauw li-pai. Kemudian ia menghela naps dan berkata,

"Tentang ... Murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ah, aku tidak tahu dimana dia kini berada!

Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukanlah urusanku. Adapun mengenai urusan bekas suciku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suciku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apalagi yang hendak Losuhu lakukan?"

"Omitohud....! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"

"Tidak....! Tidak boleh...!" Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, mengapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!"

Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang sudah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio memandang tajam dan mengingat -ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya peuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dala persidangan itu terdapat seorang buta.

"Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara keren.

"Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang -sin-kiam!"

"Omitohud...!" Engkau adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!"

"Tidak, tidak.... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleg Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya...."

"Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak . Gadis ini sementara dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain,

Apalagi kalau kematian itu disebabkan tangan sucinya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara diam dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.

"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan kalau Losuhu tidak percaya omonganku, terserah, Losuhu sekalian mau apa. Aku tidak takut!"

"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.

"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan mengurung Biauw Eng.

"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmi dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio sudah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!

"Para Losuhu tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakan kedua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan!" Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini.., harap jangan membunuh dia....!"

"Omitohud.... orang yang sudah terancun cinta, bukan hanya buta mata juga buta hatinya...." kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-geleng kepala karena kasihan.

"Koko, kau duduklah ! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu.

Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah di tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar. Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengejek ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat. Pada detik selanjutnya, dua buah toya lagi menyambar, yang sebuah menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agar tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.

Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Adapun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sutenya, dan sungguhpun kepandaian dan tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka namun mereka inipun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketika mereka mengeroyok Biauw Eng mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, telah menggunakan gerakan - gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seolah-olah lima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.

Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Ia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, kalau ia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya.

Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar amat teratur sehingga ia tidak mampu menekan seorang saja untuk erobohkan ereka seorang demi seorang. Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya yang luar biasa untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan menangkis. Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu takkan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini. Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya ia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.

Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Selain tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua toya menghantamnya dari kanan! Cepat ia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkangnya secara tiba-tiba menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan. Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.
Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya. Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang menjadi kaku, tentu akan tertangkis menjadi lemas dan biarpun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung punggung Biauw Eng dengan kuatnya.

Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya untuk kode bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata Thian Kek Hwesio dan ulu hatinya! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.

Thian Kek Hwesio menghampiri sutenya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sutenya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali, sedangkan Biauw eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya sungguhpun ia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.

"Haaaiiiiiitttt!" Sabuk sutera berubah menjadi sinar putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang penggeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.

Thian Kek Hwesio yang berpemandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa, maka dia memberi aba-aba kepada para sutenya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat. Biauw Eng biarpun lihai, namun kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, ia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan. Namun karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Mereka kini mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa kalau tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi dia dan sutenya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.

Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang kaku, kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak dapat melihat jalannya pertepuran atau lebih melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu amat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan jalannya pertempuran itu, terasa bukan main lamanya dan ketegangan hatinya akin memuncak, apalagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.

Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng makin menjadi lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biarpun masih menyambar-nyambar naun tidak sepanjang tadi. Mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang amat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi par sutenya untuk turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran. Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Sekali kali menangkis dengan sabuknya, ia merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga setiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sensiri yang akan terampas lawan!

Kini bagi lima orang hwesio itu, tinggal tunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, melainkan hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah. Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio, maka bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, adalah merupakan "kewajiban" untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!

Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek mendengarkan gerakan kaki dan angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu terancam bahaya maut.

Pada saat yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sambaran angin dahsyat yang aat luar biasa ebuat lia orang hwesio itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana. Melihat pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak, mukanya yang sudah pucat menjadi makin pucat, napasnya yang biarpun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa, kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat itu bergerak meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas menjerit "Keng Hong" akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu.

Pemuda itu memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia berniat untuk menuju ke selatan dari kota ini mengambil jalan sungai, yaitu menurut sepanjang Sungai Han-sui, akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu. Ketika dia tiba di dalam hutan di lerang itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran. Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girang hatinya ketika melihat bahwa gadis yang dikeroyok oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih. Ia hanya memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah pohon. Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, menggunkan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang sehingga lima orang hwesio yang mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang.

Keng Hong menahan keharuan hatinya bertemu dengan gadis itu, dan kini dia menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus, "Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara dingin dan damai? Perlukah sesama manusia saling serang dan berbunuh-bunuhan? Losuhu sekalian yang bijaksana tentu maklum bahwa tidak ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu dibinasakan."

Thian Kek Hwesio dan para sutenya memandang dengan mata terbelalak, kalau tadi mereka kaget menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek Hwesio berseru, "Haiiiii! Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?"


lanjut ke Jilid 044-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar