Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 3

Pedang Kayu Harum Jilid 003

<--kembali
Ketika tiba di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang duduk diatas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.

"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Dimana bisa terdapat orang begitu bersih hatinya sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah yang akan sanggup meniup suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?" Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-geleng kepala dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah susuk bersila lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak bersamadhi, melainkan memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling.

Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah mengunjunginya di Kiam-kok-san, akan tetapi dia tidak perduli, bahakan pura-pura tidak tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai. Ia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang kemblai kepada masa mudanya dan diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa malu bahwa diambang kematiannya, karena memang dia telah mangambil keputusan untk menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa sedikit pun selama hidupnya. Bahkan sebaliknya, dia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasihnya dengan banyak waita yang dibalasnya hanya karena dorongan nafsu berahi. Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni. Betapa dia hidup secara berandalan, tidak mau membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagaoan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya. Sungguhpun dia semenjak dahulu selalu tidak mempunyai niat menjahati orang lain, anamun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah haitnya. Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa bosan dan lelah, seperti dia yang merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya daripada senangnya.

Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata di tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sesungguhnya merupakan sebab utama kunjungan mereka.

"Ahhh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku tidak akan melawan san kalau hendak bunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dahulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya. Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya, Sin-jiu Kiam-ong mandapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir. Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya ada beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya. Kayu yang amat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi selain harum juga kayu ini merupakan obat penlak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apabila tersentuh kayu ini seolah-olah terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.

"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidungnya. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat penyimpanan seluruh milikku, dari kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapapun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi kalian harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki pedang ini, maka kurasa siapapun di antara kalian tidak akan mudah membunuhku sungguhpun aku berjanji takkan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!" Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya diatas tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum iklas, sama iklasnya dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.

"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang disusul bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang mempunyai kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah peddang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.

"Trang-trang-trang....!" Bunga api berpijar dan kesembilan "ekor" cambuk terpental.

"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah, matanya mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang telah maju menangkis cambuknya.

"Hemmm, bukan engkau saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, KIu-bwe Toanio, kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah sinar panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak.

"Trang-trang...!!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental karena ditankis oleh banyak senjata.

"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh.........!" Thian Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.

Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapapun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biarpun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapar menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!

Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling diatas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar dan dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apalagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seolah-olah telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu. Dan pada saat yang sama timbul rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!

Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak seorangpun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, namun pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang amat mereka inginkan itu.

Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.

"Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu saja amat sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita semua membuktikan, siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh memiliki Siang-bhok-kiam." Setelah berkata demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan "singgg!" terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk baja yang tipis dan halus. Kiranya sabuk ini merupakan senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang sebuah pecut yang tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil memutar sabuk itu diatas kepala, lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu Ang-liong-jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai daripada sabuk baja itu sendiri!

"Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio yang beralis putih kepada sutenya sambil memutar tongkat yang dibawanya. Bukan tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan beratnya tidak akan kurang dari dua ratus kati! Sutenya, si tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hweiso sudah mengeluarkan suara gerengan dan begitu dia menggerakkan tangan kanan terdengar suara "Wuuuuttt....!" dan angin keras menyambar. Kiranya dia telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu telah dia pegang ujungnya. Jangan dianggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang!

Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Ia melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan tetapi senyum di mulutnya jelas mengandung ejekan, seolah-olah kakek itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak tertawa bergelak. Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. Akan tetapi mana mungkin dia bisa tertawa menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan senjata semua?

Di lain saat, pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika terdengar suara desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebatan. Dia ternganga keheranan dan hampir tak dapat mempercayai ddan hampir tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri sembilan orang-orang tua itu telah lenyap tubuhnya dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan dibungkus sinar bermacam-macam, ada merah, putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising sekali, ada suara meledak-ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti disitu terdapat banyak pandai besi bekerja! Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas tampak kakek tua renta masih duduk bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu masih menggeletak mati di depan kakinya.

Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing ditujukan untuk mencegah lain orang merampas pedang maka sampai lama tidak ada korban yang jatuh, apalagi karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa mereka sadari , mereka itu saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu.

Biarpun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya pertandingan dan hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak manusia yang amat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang menggelikan! Manusia di dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu pribadi yang mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka itu hanya memperebutkan kedudukan, atau nama, atau harta, atau pemuasan nafsu. Untuk mencapai "cita-cita" ini, mereka tidak segan-segan untuk saling menjatuhkan fitnah, saling mengejek, saling menyalahkan, saling menipu, saling merugikan dan kalau perlu saling membunuh! Yang besar melahap yang kecil, yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang besar dilalap yang lebih besar lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar, harta benda, benda-benda indah, wanita cantik diperebutkan secara tak kenal malu seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia dalam hidup masing-masing. Padahal, dan ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama petualangannya puluhan tahun, kesemuanya itu kosong belaka. Kesemuanya itu akan musnah kenikmatannya setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan terlalu sering sekali mendatangkan kepahitan malah. Karena yang menang akan mabuk dan diintai mata dan hati si kala yang penuh iri dan dendam, yang kala akan mabuk oleh dendam dan penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan kembali yang menang! Kakek ini seolah-olah dapat melihat betapa yang akhirnya mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar. Ingin dia tertawa kalau memikirkan hal ini!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara ketawa yang memekakkan telinga, yang membuat Keng Hong tiba-tiba roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil. Tampak berkelebat tiga bayangan hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau itu tiba-tiba berhenti karena sembilan orang itu terpelanting ke kanan kiri. Kini mereka bersembilan berdiri siap siaga dengan wajah penuh peluh, mata liar mengganas memandang ke arah tiga orang yang tiba-tiba muncul dan yang sekaligus membuat mereka yang sembilan orang itu tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi, terpelanting ke kanan kiri.

Keng Hong kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang itu. Jantungnya berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak hatinya diliputi kengerian. Tentu bukan manusia yang muncul ini, melainkan tiga iblis penghuni hutan. Belum pernah Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian mengerikan. Orang pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut gimbal yang kasar dan riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri seperti udang direbus, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan panjang-panjang sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan selalu menyeringai. Pakaiannya dari sutera hitam berkembang merah dengan potongan ketat sehingga melekat di kulit tubuhnya, mencetak tubuhnya seperti telanjang bulat dan tampak betapa sepasang buah dadanya besar-besar seperti buah semangka. Nenek ini tidak memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari tangannya panjang-panjang dan meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam kemerahan, amat mengerikan!

Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, sedikitnya tentu ada dua meter, besar dan kulitnya hitam arang penuh bulu. Kalau tidak pakai pakaian dia tentu lebih patut disebut orang hutan. Pakaiannya juga dari sutera berwarna berkembang. Karena kulit mukanya juga hitam seperti arang, maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan. Kedua telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang mengerikan adalah sepasang tengkorak kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung di kedua rantai baja, dua buah tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi karena kedua tengkorak itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya.

Adapun orang ke tiga, sungguhpun tidak tinggi besar menyeramkan, namun cukup mengerikan karena bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, akan tetapi kepalanya besar sekali berbentuk lonjong seperti buah labu, mukanya sempit dengan sepasang mata yang hanya merupakan dua buah garis kecil, sikapnya pendiam dan alim. Tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang gagangnya hitam namun bulu kebutannya putih. Kedua lengannya bersedakap dan bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang membaca doa!

Yang tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi besar masih tertawa sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di pinggangnya bergerak-gerak dan saling beradu menimbulkan suara seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula tertawa. Sembilan oran tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, setelah dapat memandang tiga orang ini, tampak kaget sekali, tercengang dan gentar. Tiga orang manusia iblis ini memang jarang muncul di dunia ramai, namun mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan tentu saja mengenal siapa adanya tiga datuk persilatan, raja-raja dari golongan sesat ini. Nenek itu bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah) yang seolah-olah merajai kaum sesat di sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu adalah Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar di utara, bahkan terkenal sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan lain-lain. Orang ketiga yang kate dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa Lengan Delapan), karena Pat-jiu Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada tokoh yang dapat menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang pada masaitu merupakan tokoh-tokoh tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai empat penjuru.

"Ha-ha-ha!” Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan pandang mata. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri, amat menyeramkan. "Kiranya tikus-tikus ini pun kepingin mendapatkan Siang-bhok-kiam! Ha-ha-ha! Memang benar sekali, sebelum berhak mendapatkan pedang pusaka, harus menjadi pemenang lebih dulu. Kalian ini tikus-tikus pelbagai golongan, setelah kami bertiga datang, tidak lekas menggelinding pergi, apakah ingin kami turun tangan menjadikan kalian sebagai setan-setan tanpa kepala?"

"Kwi-ong, usir saja anjing-anjing itu. Kalau dibunuh, teman-temannya akan mengonggong, kelak akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil menyeringai.

Sembilan orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Sungguhpun pada saat itu mereka saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, namun mereka tetap merasa diri mereka bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh yang menjadi datuk kaum sesat, tentu saja mereka merasa bertemu dengan lawan dan otomatis mereka itu melupakan pertentangan sendiri, di dalam hati telah bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka tahu memiliki kesaktian hebat itu. Namun sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar.

"Bagus! kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di antara kami berhak memiliki Siang-bhok-kiam, akan tetapi kalian ini iblis-iblis berwajah manusia tidak masuk hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami semua pendekar golongan bersih untuk membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian bertiga!"

Terdengar suara kekeh ketawa melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo sudah menerjang maju menyerang Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah berusia delapan puluh tahun, sudah banyak pengalamannya bertanding dan pada masa itu sukar dicari tandingannya dalam permainan golok, menjadi kaget bukan main karena nenek itu menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa, yaitu.....rambutnya! Rambut yang gimbal kasar panjang ini bagaikan ratusan ekor ular menerjangnya, mengeluarkan suara seperti anak panah menyambar dan didahului bau amis seperti ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar goloknya untuk menjaga diri, namun sebagian daripada rambut itu mengulung goloknya dan sebagian lagi terus menyambar ke arah lehernya!

Pada saat itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan. Thian Ti Hwesio menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian Kek Hwesio menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa Sin-to Gi-hiap! Sambil terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya dan melangkah mundur kemudian ia mengulur kedua lengan, lengan kiri menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir saja terlepas dari pegangan Thian Ti Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan dada.

Kini sepuluh buah kuku jari tangan nenek itu sudah berubah makin menghitam dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak aneh, amat mengerikan. Betapapun juga, dua orang tokoh Siauw-lim-pai bersama Sin-to Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap mengurungnya.

Pendekar-pendekar tua yang lain tidak tinggal diam. Sungguhpun tidak ada yang memimpin dan tidak ada komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toa-nio bersama dua orang tokoh Hoa-san-pai sudah maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuk berekor sembilan yang mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil, sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah menyatukan pedang mereka.

Adapun sepasang suami istri piauw-su, yaitu Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya, bersama Kok Cin Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong yang tampak tenang-tenang saja. Si kate kepala besar ini hanya mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya seperti orang mengusir lalat, namun hudtim yang dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu mengeluarkan suara bersiuatan seolah-olah datagn angin topan yang dahsyat! Suara ini diimbangi oleh suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya ada sepasang tengkoraknya, yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong.

Keng Hong menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan lenyap bayangannya terganti oleh sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi tiga orang manusia iblis yang mengerikan. Biarpun mereka itu belum saling serang, namun keadaan sudah amat menegangkan. Ketika Keng Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong masih duduk diam tak bergerak, namun senyum mengejek di bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua mata yang tadinya dipejamkan kini terbuka. Keng Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu mengeluarkan sinar yang berkilat!

Akan tetapi perhatian Keng Hong segera tertarik oleh pertandingan yang sudah dimulai. Begitu dia mengalihkan pandang matanya, dia menjadi pening. Pertandingan sekali ini ternyata lebih hebat dan cepat daripada tadi. Bayangan-bayangan manusia berkelebatan, sukar dia kenal bayangan siapa, berkelebatan cepat di antara sinar-sinar terang dan gulungan-gulunga uap hitam, dan terdengar suara bermacam-macam yang menusuk-nusuk telinga, selain itu tercium bau yang amis dan keras memuakkan. Namun, pertandingan itu berjalan sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo diseling gelak tawa Pak-san Kwi-ong, disusul suara senjata-senjata patah dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu terpelanting lagi ke kanan kiri, namun sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah.

Ketika sinar-sinar itu lenyap, Keng Hong melihat betapa sembilan orang itu ada yang terbanting roboh, ada yang terhuyung-huyung ke belakang. Mereka ini menyeringai kesakitan dan bangkit bangun lagi dengan wajah pucat.

Pecut sembilan ekor di tangan Kiu-bwe Toanio kini tinggal lima ekornya, Liong-cu-pang di tangan Thian Ti Hwesio semplak bagian ujung yang bulat, jubah di tangan Thian Kek Hwesio robek, pundak Sin-to Gi-hiap berdarah.

Napas kedua Hoa-san Siang-sin-kiam terengah-engah dan tangan mereka yang memegang pedang menggigil, juga Kok Cin Cu berdiri sambil memejamkan mata dan mengatur pernafasan untuk memulihkan tenaga dan mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya, sepasang suami-isteri piauwsu itu pun memandang pedang mereka yang tinggal sepotong, sedangkan kantong-kantong senjata rahasia mereka sudah kosong karena isinya hanya habis dihamburkan dengan sia-sia.

"Hi-hi-hik! Kalian berani menentang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tanpa Tanding)?" kata Ang-bin Kwi-bo.

"Kelancangan kalian harus ditebus dengan nyawa!" kata Pak-san Kwi-ong sambil tertawa.

"Bersembahyanglah lebih dahulu sebelum menemui Giam-lo-ong (Raja Maut)!"

Kini untuk pertama kalinya terdengar suara Pat-jiu Sian-ong, dan ternyata suara halus dan seperti suara orang yang penuh kasih sayang!

Sembilan orang itu sudah siap-siap. Mereka itu kesemuanya telah menderita luka, dan yang tidak terluka telah mengorbankan senjatanya menjadi rusak.

Namun karena maklum bahwa nyawa mereka terancam maut, mereka siap-siaga untuk melawan sampai detik terakhir.

Keng Hong biarpun tidak tahu akan ilmu silat, apalagi ilmu silat tinggi yang dimainkan mereka, dari percakapan itu maklum pula bahwa tiga orang manusia iblis itu siap untuk membunuh sembilan orang tokoh pendekar itu, maka dia membelalakan mata sambil memandang penuh ketegangan. Suling bambu di tangannya dia pegang erat-erat, seolah-olah dia pun bersiap-siap menerima terjangan maut.

Setelah tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Berbarengan dengan gerakan mereka, masing-masing mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut kepala Ang-bin Kwi-bo menyambar ke depan, berlumba cepat dengan rantai tengkorak dan hudtim di tangan kedua orang kawannya. Sembilan orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka tidak berdaya menghadapi kehebatan tiga orang lawan ini, apalagi sekarang setelah mereka terluka dan lemah. Betapapun juga mereka terluka dan lemah. Betapapun juga mereka menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri.

Tiba-tiba terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat sinar hijau yang panjang dan tebal, disusul bunyi "Cring-cring-tranggg....!" dan tiga orang manusia iblis itu mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangkisan sinar hijau tadi membuat sebagian rambut kepala Ang-bin Kwi-ong rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-ong berputaran dan kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai! Peristiwa ini bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak pernah mereka mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur mereka. Karena kaget dan heran mereka mencelat mundur dan kini mereka memandang denga mata terbelalak penuh dengan kemarahan. Kiranya di depan mereka telah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-senyum dan pedang Siang-bhok-kiam yang diperebutkan itu berada di tangan kanannya.Kakek ini tenang-tenang saja menoleh ke belakang dan berkata kepada sembilan orang tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak kagum.

"Harap Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biarlah aku menghadapi mereka karena tiga iblis ini adalah tandinganku!"

Biarpun angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan orang-orang yang mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka lalu melangkah mundur dan hanya menonton dari pinggiran.

"Sin-jiu Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek tua renta itu. "Kabarnya engkau telah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia ramai. Bahkan tadi kami mendengar bahwa engkau telah menyerahkan nyawa, tidak hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali ucapannya yang masih terdengar gemanya?"

Sin-jiu Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab, "Hemmm, kalian Bu-tek Sam-kwi dengarlah baik-baik! Aku sama sekali tidak pernah berjanji kepada kalian bertiga! Aku berjanji kepada sembilan orang yang mewakili partai-partai yang pernah ku ganggu. Aku berhutang kepada mereka, maka kini aku bersedia membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini sama harganya dengan nyawaku, maka kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh Siang-bhok-kiam, harus lebih dulu dapat merampas nyawaku!"

"Bagus! Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka bicara denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan sekali-kali mengira bahwa kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo marah.

"Heh-heh-heh, Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki kesukaan yang sama dengan aku, yaitu berenang dalam lautan asmara. Akan tetapi sekarang, heh-heh-heh, engkau buruk sekali.......!"

"Gila....!" Ang-bin Kwi-bo menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku runcing mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini menggoyang pergelangan tangannya, sinar hijau berkelebat dan si nenek memekik keras dan cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari kedudukan menyerang berbalik terancam dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam! Dua orang kawannya tidak tinggal diam. Mereka sudah menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat lagi daripadatadi. Sembilan orang sakti yang menonton, hampir berbarengan mengeluarkan seruan-seruan kagum. Mereka adalah orang-orang sakti maka dengan pandang mata mereka yang terlatih , mereka dapat menikmati dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-benar belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri karena setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga orang iblis itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.

Bagi Keng Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang tampak olehnya hanyalah segulung sinar hijau se3perti seekor naga bermain-main diantar mega-mega yang beraneka warna, ada mega hitam, ada yang putih dan ada yang kemerahan. Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening sehingga Keng Hong terpaksa harus memejamkan matanya. Kalau dia membuka matanya, dia menjadi silau dan berkunang lagi. Terpaksa dia meramkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan telinganya. Yang terdengar hanya lengking dan suara bercuitan, tidak tahu dia bagaimana jalannya pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Jangankan bagi mata Keng Hong yang tidak terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama gerakan Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang lawannya, terutama sekali gerakan Raja Dewa Lengan Delapan, makin cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata lagi. Sinar pedang Siang-bhok-kiam yang hijau itu mendadak menjadi lebar sekali ketika terdengar Sin-jiu Kiam-ong membentak, dan tampaklah sinar hijau mencuat ke tiga jurusan seperti bercabang, disusul pekik kesakitan tiga orang iblis. Namun tampak jelas oleh sembilan orang itu betapa ujung pedang Siang-bhok-kiam berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya, pipi kanan Sin-jiu Kiam-ong terkena guratan kuku tangna Ang-bin Kwi-bo dan punggungnya terkena gebukan sebuah tengkorak yang terbang membalik dan seolah-olah mencium punggung kakek itu. Sin-jiu Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat sampai tiga tombak jauhnya.
lanjut ke jilid 004
<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar