Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 007

Petualang Asmara Jilid 007

<--kembali

Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong ketika iring-iringan itu lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah bukit. Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara. Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh ataukah hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula, di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguhpun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.

Tiba-tiba Kon Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan biarpun sudah penuh keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan sedang mengiringkan kematian, melainkan mengiringkan mempelai!

Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian, terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki, melangkah maju mengikuti iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.

Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat sebagaimana biasanya penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.

“Aihh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?” Si Kakek itu melangkah maju mendekati laki-laki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur dengan nada suara mengejek.

Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang matanya yang merah karena terlalu banyak menangis itu memandang Si Kakek tak senang, akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu maka jawabnya,

“Paman Lo, orang menangis adalah tanda berduka, dan seorang anak yang kematian ayahnya, tentu berduka. Apa anehnya kalau aku menangisi kematian ayahku? Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya.”

Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan berwarna dua. “Heh-heh-heh, sebetulnya siapakah yang kau kutangisi, itu Akian!?”

“Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!” jawabnya penasaran karena dia merasa betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.

“Benarkah? Kalau ayahmu yang kautangisi, mengapa kautangisi?”

Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,

“Dia kutangisi karena dia mati!”

“Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?” kakek itu mendesak. Kun Liong menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran dan membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.

“Aihhh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja dia mati kutangisi, karena dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya dan kami takkan saling dapat berjumpa selamanya.”

“Ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kautangisi bukanlah ayahmu, melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu sendiri yang ditinggal pergi!”

Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang sukar dibantahnya ini. Hatinya merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar terhadap ayahnya kalau benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya, melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk membela diri,

“Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan terhadap ayah yang meninggal dunia!”

“Hemmm, benarkah itu? Tahukah engkau bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya? Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tidak dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat bicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kausandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku bahkan gembira karena sahabat baikku itu telah terbebas daripada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup.”

“Benarkah itu, Paman Lo?” Tiba-tiba Akian membantah dan menyerang. “Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?”

MULUT kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba kehilangan serinya, matanya terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot dan akhirnya dia menarik napas panjang berulang-ulang. “Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri...”

Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak laki-laki kecil melangkah perlahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang menyebabkan orang-orang itu bersikap seperti itu.

“Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena gigitan ular berbisa...” Terdengar suara Akian memecah kesunyian.

“Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular itu...”

“Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?”

Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas dan pucat.

“Aihh, siapa engkau?” Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-laki yang tidak terkenal di tanah kuburan, di waktu senja larut dan cuaca mulai agak gelap itu.

“Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi mengapa sampai ada ular membunuh orang? Mengapa tidak ditangkap ular-ular berbisa itu?”

Kakek itu bangkit berdiri. “Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani menangkap ular berbisa?”

“Hemm, aku sudah biasa menangkap ular sejak kecil!” Kun Liong berkata, “Dan sudah biasa pula makan daging ular berbisa.”

“Aku tidak percaya!” Akian juga bangkit berdiri.
Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis. “Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang manapun juga!”

Biarpun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong dengan ketakutan. Kun Liong melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu. Dia mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan temyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini. Kun Liong segera menggunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan, mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus. Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya merah! Makin lama makin panjang tubuh ular itu tersembul keluar dan secepat kilat, tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.

“Wah, engkau benar-benar dapat menangkap ular!” Akian berseru girang seperti bersorak.

“Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh, maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...” kata Si Kakek.

“Apa...?” Kun Liong bertanya tidak percaya. “Siapa yang memelihara ular?”

“Ssstt, Paman, harap jangan main-main...” Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan kelihatan takut-takut.

“Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena kau telah berani menangkap ular ini.”

“Ular raksasa? Di mana binatang itu?”

“Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami,” kata Si kakek, tanpa mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam.

“Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku akan menangkapnya!” Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.

Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan matanya. Kepada Kun Liong dia berkata, “Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?”

“Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?”

“Ada dua orang, di dusun kami!” Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.

“Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat jangan sampai terlambat!” kata Kun Liong.

Kakek Lo dan Akian mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang seekor ular hitam, apalagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.

Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa di waktu mereka mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu pingsan, sedangkan si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti anaknya.

Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami dan anaknya. Berbondong-bondong orang-orang mengikuti Kun Liong memasuki rumah petani itu. Setibanya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata, “Harap para paman dan bibi suka menanti di luar saja. Tidak baik kalau kamar yang menderita sakit dipenuhi orang.”

Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong dan berkata dengan suara lantang, “Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!” Dengan lagak bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya membolehkan nyonya rumah, dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar anak itu memasuki kamar dua orang karban gigitan ular berbisa itu.

Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang sudah memperoleh pelajaran tentang racun ular agak matang dari ibunya yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang mengembung dan mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut.

Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh mereka tidak panas lagi. Dia serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali.

Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, “Aihhh, Siauw-sinshe, kepandaianmu seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,”

Kun Liong mengangguk. “Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok akan kucoba menangkap ular raksasa yang kauceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum makan...”

“Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu dan tentang makan, jangan khawatir. Marilah!” Dia menggandeng tangan Kun Liong, menariknva diajak ke luar menuju ke rumahnya. Ketika tiba di luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.

“Mereka sudah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini makan dan tidur di rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!” Tanpa menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan anak ajaib ini!

Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang “anak ajaib” yang ia dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita tentang dia, tentang munculnya yang dikatakan melayang turun dari angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran daripada orang-orang dusun itu sendiri!

Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya yang masih mereka punyai sehingga tak lama kemudian Kun Liong duduk menghadapi meja penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.

Setelah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat sekali bentuknya. “Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali.”

Kun Liong tidak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu, dan rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai saputangan sutera. Juga pemberian sepatu baru dipakainya.

“Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!” Kakek Lo berseru dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.

“Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa saja.”

“Siapakah namamu, Siauw-sinshe?”

“Aku she Yap, namaku Kun Liong.”

“Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)…!”

“Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek.”

“Ah, tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu.”

Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu, dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil berkata,

“Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan penduduk yang terluka dan akan menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami.”

“Harap Cuwi tidak bersikap sungkan,” kata Kun Liong malu-malu. “Aku hanya melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap agar disediakan seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan.”

Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun Coa-tong-cung (Dusun Guha Ular). Akan tetapi tak seorang pun berani memasuki hutan, hanya berdiri di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan kengerian.

“Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa itu?”

Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo segera melangkah maju dan berkata dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, “Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!”

“Aku juga!” Akian melangkah maju pula.

“Hemm, sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini memerlukan bentuan,” kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya memilih sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat, membawa senjata dan dia sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.

Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang pun berani maju lagi.

Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. “Harap Cuwi menanti saja di sini,” katanya dan dia membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri sebuah guha di antara batu-batu gunung. Setelah dia menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut guha, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar dan panjang. Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular itu melihat kedatangannya. Ular itu mendesis dan tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas dan tampaklah tubuh yang panjang sekali, tidak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya melebihi paha Kun Liong!

Setelah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajarinya dari ibunya. Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, sungguhpun tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan ibunya, seekor ular besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tidak berbisa seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang gigitannya tak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan tubuhnya yang amat kuat. Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkong ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong yang berbahaya adalah belitan tubuh itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.

Ular itu kini mengeluarkan desis keras ketika Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan mengerakkan sayap hendak lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular.

Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu memekik-mekik dan meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing yang telah menancap di tubuhnya dan mengait daging dan tulang. Kun Liong menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara tiba-tiba memaksa tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong sudah meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya, mengerahkan semua tenaga untuk memijat dan memukul tengkuk ular. Bau yang amis dan wengur membuatnya muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Kalau moncong ular itu tidak penuh ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan tubuhnya bulat-bulat.

Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya yang penuh ayam, dia hanya menggunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!

“Suara apa itu...?” Kun Liong bertanya, akan tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget ketika mendengar suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan ekor ular besar kecil yang mengurung mereka! Tadinya ular-ular itu bergerak dan mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tidak bergerak seperti mati!

“Apa... apa ini...?” Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehinggia dapat melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur “barisan” ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main.

Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk dusun itu ketika tiba-tiba, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa, seorang kakek berusia lima puluh tahun, pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan lehernya amat panjang, kepalanya lonjong. Benar-benar seorang manusia yang bentuk tubuhnya “mendekati” bentuk ular! Tangan orang ini memegang sebuah benda yang bentuknya seperti suling akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang sebatang pedang.

“Hahhhh! Siapa kalian ini berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!” Tiba-tiba dia menggetarkan tangah kanannya ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang rombongan itu terlepas karena tiba-tiba mereka, termasuk Kun Liong merasa ada angin menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya!

Kepala dusun dan anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat akan cerita Kakek Lo dan Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengaku ular-ular itu sebagai anak buah dan peliharaannya! Dia teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi, Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata,

“Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini.”

Manusia aneh itu sejenak memandang ke arah ular-ular yang hanya dapat bergerak lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan heran. “Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau yang melakukan ini? Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?”

“Pemah kupelajari dari orang tuaku sendiri.”

“Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, berani melumpuhkan dan menangkapi ular-ularku! Kalian tidak berhak hidup lagi karena kalian telah berani menghina Ban-tok Coa-ong!”

Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak buahnya. “Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami...”

“Hemmm, aku barangkali bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!” kata kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.

Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata,

“Locianpwe yang telah memiliki nama julukan demikian menyeramkan tentu bukanlah seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe tidak malu dan tidak ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?”

Kembali kakek itu tercengang memandang Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.
“Kalian telah mengganggu ular-ularku, sudah pantas dihukum. Siapa yang akan mentertawakan aku?”

lanjut ke Jilid 008-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar