Petualang Asmara Jilid 095
Hari berganti malam dan yang mereka tunggu-tunggu pun datanglah! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khi-kang yang cukup kuat, “Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!”
Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Sejak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-1ampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini.
Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong. Biarpun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam. Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang memiliki rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum.
Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi sama sekali hati pendekar ini tidak merasa takut. Dia memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu. Ada sepuluh orang banyaknya dan melihat pakaian mereka seperti pendeta berwama kuning dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Pendekar yang sudah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, melainkan tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo. Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktip dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya.
Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai di waktu mereka, masih muda dahulu. Tok-jiauw Lo-mo di waktu mudanya adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar. Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, selagi Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu! Gak Liong menjadi marah dan sakit hati, mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri. Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng dirinya dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya.
Ketika Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apalagi mengingat bahwa pendekar itu adalah pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.
“Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!” Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh.
Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, “Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!”
Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali. “Kau mampuslah!” Tongkatnya menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Sikap dan teguran Kun Liong itu baginya sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!
“Plak! Plak!”
“Uughhhh...!” Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu. Hampir dia tak dapat mempercayai kalau tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!
“Kau... kau siapakah?” bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.
“Hemm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kaubohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!”
Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.
“Ketika itu kepalaku tidak berambut...”
“Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!”
Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.
“Tahan...!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.
“Suhu...!” Poa Su It berkata. “Biarlah teecu dan Yap-enghiong yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!”
Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya. “Su It, kau mundurlah.” Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, “Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain.”
Kun Liong membungkuk dan berkata hormat, “Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako kalau iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok.”
“Heh-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong.”
“Lo-mo, kita sama-sama tua dan marilah kila selesaikan urusan lama tanpa membawa-bawa yang muda. Kalau para anggauta Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula.”
“Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!” Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong. Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.
“Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Mari kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita.”
“Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!” Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan.
“Tranggg! Trakkk!”
Pendekar dari Secuan itu telah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipu. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga setiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, sungguhpun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat.
Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya dan berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tidak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak segera bergerak sehingga dia mendapat kesempatan untuk mengamuk!
Andaikata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri. Dia tahu bahwa Gak Liong amat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga seadanya pula.
Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biarpun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.
“Eeeaaaghhh...!” Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, itulah pukulan baru yang telah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh besar ini.
Gak Liong agak terkejut, tidak mengira bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya meluncur ke depan.
“Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!” Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, sedangkan pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan sin-kang yang mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu. Tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan dan dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-putus, “Aku...aku cinta padanya...kau telah merampasnya...maka kubunuh...dia...hanya kalungnya...yang menjadi penggantinya...ini...ini...kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong...”
Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, wajah Gak Liong membayangkan keharuan. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.
“Gak-locianpwe, awas...!” Kun Liong berteriak namun terlambat. Ketika Gak Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat dan pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa kemudian berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi.
“Suhu...!” Poa Su It berteriak, akan tetapi pada saat itu, sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukan orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw.
Kun Liong juga dikeroyok dan karena orang-orang Pek-lian-kauw itu pun tadi menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw mengepungnya.
Namun, dengan tenang, Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis dengan amat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya. Semenjak dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi Tosu telah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul menyelamatkannya. Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan para tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia sekarang bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak.
Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina oleh cara pendidikan yang sudah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk bercita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita. Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, sejak kecil, bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing sehingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, karena cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, namun semua itu hanyalah kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu : mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir maupun batin!
Kalau kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau keinginan mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan-kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia. Sekelompok anak-anak pun, kalau melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang penting lagi! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi, seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.
Karena kita mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada, maka kita tidak mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita. Bahkan ada pendapat yang amat menyesatkan bahwa “cita-cita menghalalkan segala cara”. Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?
Demikian pula dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan lain sebagainya, terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya. Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak terdapat cita-cita yang baik. Baik maupun buruk tetap saja cita-cita, tetap saja keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan, dan terjadilah bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si “aku” dan penonjolan si “aku” dan si “kamu” tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya.
Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan memperoleh sesuatu yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup di saat ini? Hidup di saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan. Kalau kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya kalau mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang “sana” yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari “sini”? Mengapa kita menginginkan yang “begitu” dan tidak menghayati yang “begini”? Yang “begitu” adalah khayal, sedangkan yang “begini”, saat ini, barulah nyata dan hidup!
Karena sudah seringkali bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang mempergunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi hati lagi.
“Kalian orang-orang jahat!” bentaknya.
Bentakan ini disusul oleh berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas karena tubuh pemuda itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh. Mereka berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi, akan tetapi Kun Liong sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, pundaknya, dan ada yang benjol-benjol kepalanya.
Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi. Namun, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam waktu singkat!
“Pergilah...!” Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah menangkap tongkat seorang lawan, tangan kanan menampar pangkal lengan kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh.
Habislah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu, bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak.
“Biarkan mereka pergi,” kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar. Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong kemudian lari menghampiri mayat suhunya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan penuh duka. Orang tua itu telah puluhan tahun menjadi gurunya dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapat dimengerti betapa sedih hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu.
Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu dan berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian dia berpamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan keterangan dari Poa Su It tentang perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama Lama Jubah Merah.
Wajah Pek Hong Ing yang cantik jelita dan segar itu sebentar pucat sebentar merah ketika dia mendengar dari para pelayan bahwa kedua orang pendeta Lama yang telah pergi hampir dua bulan itu, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, hari itu telah kembali ke kuil. Jantungnya berdebar keras dan bermacam pertanyaan mengaduk-aduk hatinya. Apakah kedua orang pendeta itu telah berjumpa dengan Kun Liong? Apakah bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai? Apa yang telah terjadi? Harapan dan kecemasan membuat jantungnya berdebar tegang dan dia segera lari keluar dari dalam kamarnya untuk menemui mereka.
Mereka telah duduk di ruangan besar, bersila di atas bantalan kuning. Hun Beng Lama, Lak Beng Lama, dan Sin Beng Lama yang mendengarkan pelaporan mereka. Ketika mereka bertiga melihat munculnya Hong Ing, Sin Beng Lama lalu tersenyum dan berkata, “Hong Ing, kau duduklah. Biarpun kedua orang susiokmu belum berhasil mendatangkan Kun Liong, namun kami yakin bahwa tidak lama lagi dia akan muncul di sini.”
Hong Ing tidak menjawab, matanya memandang ke arah seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang duduk di atas lantai dekat dengan Lak Beng Lama. Anak laki-laki itu tampan dan sehat, matanya tajam bersinar-sinar dan kelihatan sedang marah. Mendengar ucapan Sin Beng Lama, anak laki-laki itu segera membuka mulutnya dan berkata, suaranya nyaring dan lantang, “Kalau Suheng Yap Kun Liong datang bersama ayahku, kalian tentu akan dihajar sampai mampus!”
Tentu saja Hong Ing terkejut sekali mendengar ucapan anak itu yan menyebut Suheng (kakak seperguruan) kepada Kun Liong. Dia menghampiri, memandang anak itu dan bertanya kepada Sin Beng Lama. “Susiok, siapakah anak ini dan dari mana dia datang?”
Sin Beng Lama yang bersikap lemah lembut itu tersenyum, “Dia ikut bersama kedua orang susiokmu...”
“Aku diculik!” Anak itu berseru marah. “Pendeta-pendeta menculik anak kecil, sungguh tak tahu malu!”
Hong Ing makin kaget dan heran, juga kagum menyaksikan sikap yang demikian tabah dari anak itu.
“Lak Beng Susiok, siapakah dia itu?” tanyanya kepada paman gurunya ke tiga yang menjaga anak itu.
“Dia? Ha-ha-ha, dia adalah putera Ketua Cin-ling-pai...”
“Ohhh...! Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) tidak memegang janji! Aku minta agar supaya Yap Kun Liong yang dibawa ke sini, kenapa malah membawa anak kecil, putera Ketua Cin-ling-pai yang tidak tahu apa-apa?”
“Siancai...! Kami sama sekali tidak melanggar janji. Kami membawa anak ini ke sini justeru adalah untuk memenuhi janji karena hanya dengan cara inilah Yap Kun Liong dapat muncul di sini,” Lak Beng Lama berkata.
“Apa maksud Susiok?”
Hun Beng Lama yang lebih halus sikapnya dibandingkan dengan Lak Beng Lama, menjawab, “Kami tidak berhasil bertemu dengan Yap Kun Liong di Cin-ling-san, bahkan Ketua Cin-ling-pai juga tidak berada di rumahnya. Kami hanya bertemu dengan isteriya dan puteranya ini, maka terpaksa kami membawa puteranya ini ke sini dan meninggalkan pesan kepada isterinya bahwa apabila Ketua Cin-ling-pai mengantarkan Yap Kun Liong ke sini, maka puteranya akan dikembalikan. Bukankah ini merupakan cara terbaik untuk memaksa Yap Kun Liong datang ke sini?”
Wajah yang tadinya pucat itu menjadi merah kembali dan berseri gembira setelah mendengar penjelasan ini. Diam-diam hati Hong Ing merasa girang sekali karena siasatnya telah berhasil. Memang sebaiknya begini karena perbuatan dua orang pendeta Lama itu tentu memancing kemarahan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan tentu pendekar itu bersama Kun Liong akan muncul di tempat ini! Kalau Kun Liong datang bersama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, tentu ayahnya dan dia sendiri akan dapat diselamatkan. “Ah, maafkan saya, Ji-wi Susiok! Kiranya begitukah? Memang baik sekali dan saya amat berterima kasih kepada Ji-wi Susiok. Akan tetapi, agar anak ini tidak rewel dan suka tinggal sementara di sini, blarlah dia tidur bersama saya.”
Sin Beng Lama tersenyum. “Sebaiknya begitu. Bawalah dia ke kamarmu.”
Hong Ing menghampiri anak itu yang memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh curiga.
Hong Ing tersenyum manis dan menyentuh pundak Cia Bun Houw. “Mari ikut bersama Enci.”
Tiba-tiba Bun Houw menggerakkan tangan menangkis lengan dara itu dengan sigap dan mengelak ke belakang. “Siapa kau? Kalian semua orang jahat!” bentaknya.
Hong Ing memandang kagum. Anak ini benar-benar amat tampan dan bersemangat, baru berusia lima tahun sudah memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya. “Jangan salah duga, Adik baik. Para Locianpwe yang membawamu ke sini bukan berniat jahat. Engkau hanya disuruh tinggal di sini sampai ayahmu datang menjemputmu. Marilah aku Pek Hong Ing, dan aku sama sekali tidak berniat jahat kepadamu.”
Melihat dara yang cantik jelita itu bersikap halus kepadanya, Bun Houw mulai berkurang kecurigaannya. Dia mengangguk biarpun dia tidak mau ketika Hong Ing hendak menggandengnya.
“Siapakah namamu, Adik yang baik?”
“Namaku Cia Bun Houw,” jawabnya singkat.
“Adik Bun Houw, marilah ikut bersamaku. Engkau tentu lapar. Kita makan lalu bermain dan bercakap-cakap di dalam taman. Di sini terdapat sebuah taman yang indah.”
Sikap yang amat ramah dan baik dari Hong Ing menghibur juga hati anak itu dan dalam beberapa hari saja dia telah menjadi sahabat baik Hong Ing dan menaruh kepercayaan besar kepada dara itu. Dua pekan kemudian, ketika Hong Ing mengunjungi ayahnya di dalam kamar hukuman, dia sengaja mengajak Bun Houw. Kamar hukuman itu amat luar biasa, tidak patut disebut kamar hukuman, karena kamar itu merupakan kamar yang lebarnya empat meter persegi dan kosong sama sekali tidak ada perabotnya sepotong pun. Di tengah-tengah kamar ini, duduk bersila seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Kok Beng Lama. Memang luar biasa cara para Lama Jubah Merah ini. Yang merupakan belenggu hukuman hanyalah janji-janji mereka yang lebih kokoh daripada belenggu baja. Dan dia melaksanakan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dengan cara bersamadhi siang malam, hanya berhenti apabila tubuhnya membutuhkan makan saja, atau membutuhkan istirahat dan tidur. Selain terpaksa memenuhi kebutuhan jasmaninya, semua waktunya dihabiskan dengan bersamadhi! Agaknya kakek ini sudah mengambil keputusan nekat untuk menghabiskan usianya dengan bersamadhi, setelah dia memperoleh janji ketiga orang sutenya bahwa puterinya, Pek Hong Ing, takkan diganggu. Satu-satunya orang yang dapat menyadarkan kakek ini dari samadhinya hanyalah Hong Ing. Setiap kali puterinya ini datang tentu dia suka untuk menghentikan samadhinya dan bercakap-cakap, bahkan menurunkan ilmu-ilmunya kepada Hong Ing. Kalau bukan puterinya, biar siapa saja dan biar diapakanpun dia tidak akan dapat disadarkan dari samadhinya.
Setelah membuka pintu kamar itu dengan hati-hati dan melihat ayahnya sedang bersamadhi seperti biasanya, Hong Ing menuntun tangan Bun Houw dan mengajak anak itu berlutut lalu duduk bersila di depan kakek itu, dalam jarak dua meter karena mereka berdua duduk bersandar dinding di atas lantai yang mengkilap bersih, karena seringkali dibersihkan sendiri oleh Hong Ing.
Kakek itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya. Namun pendengarannya yang sudah terlatih hebat dan amat tajam itu dapat menangkap semua suara dan mengikuti semua gerak-gerik Hong Ing dan Bun Houw.
lanjut ke Jilid 096-->
<--kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar