Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 93

Petualang Asmara Jilid 093

<--kembali

Mulut yang manis bentuknya itu terhias senyum mengejek. Hemmm, pikir Giok Keng, betapa pun angkuh hatimu, belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam perjalanan.

“Eh? Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie? Mengapakah?”

Lie Kong Tek agak sukar menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan kedua lengannya. “Mengapa? Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku telah berpisah dari Suhu dan hidup sebatang kara, tidak mempunyai tujuan tetap, sedangkan kau pun sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan ayahmu yang amat bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu.”

Senyum di bibir Giok Keng makin melebar. Hemm, alasan yang dicari-cari, pikirnya. “Baiklah,” katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin sekali melihat laki-laki ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia patahkan hati dan kasihnya seperti yang ingin dia lakukan terhadap semua pria sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu Kong!

Demikianlah, dua orang itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak dan berdiri di depan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai dan seorang wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian.

Melihat dua orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua orang itu ketika datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi lari berkejar-kejaran. Akan tetapi Giok Keng tidak mengenal mereka. Biarpun pernah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada waktu itu ingatan Giok Keng hilang olch obat perampas ingatan, maka dia tidak mengenal dua orang ini. Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis cantik ini yang tadinya hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw.

“Heh-heh-heh, inilah pengantin wanita yang kabur!” Ouwyang Bouw berkata sambil tertawa.

Muka Giok Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw dia tampak makin cantik. “Siapakah kalian? Perlu apa menghadang di jalan?” Giok Keng membentak.

“Ha-ha-ha, puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan dia ini isteriku.”

Mendengar nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah bahwa dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan ayahnya!

“Bagus, manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?” Bentaknya sambil menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah mendengar betapa lihainya pemuda ini.

“Ho-ho-ha-ha! Biarpun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon isteri Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan segolongan. Jangan galak-galak, Nona manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?”

“Dia sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!” Giok Keng membentak.

“Wah-wah... sudah mampus? Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai pacar lain lagi yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar juga, ya? Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng! Bagaimana kalau kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?” Lauw Kim In hanya cemberut, tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena tingkah laku dan ucapan suaminya itu merupakan pisau beracun yang menyayat-nyayat hatinya.

“Ouwyang Bouw, bersiaplah untuk mampus!” Giok Keng membentak lagi. Sebagai seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali.

“Heh-heh, makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding? Lebih baik bercinta! Mari kita bertukar pasangan!”

Giok Keng benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari lagi dia bertanya, “Apa... maksudmu...?”

“Ha-ha-ha, baru pengantin baru, masa tidak tahu? Kita bertukar pasangan, bertukar pacar untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri isteriku!”

“Iblis laknat bermulut busuk!” Giok Keng tahu akan maksud yang kotor itu, maka kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan hatinya lagi dan serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw.

“Heiiitttt... ahhh...!” Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang dan bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng tadi. Biarpun otaknya miring, namun Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan gadis itu dengan sungguh-sungguh, bahkan juga membalas dengan serangan pedang ularnya yang amat dahsyat.

Sementara itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan Ouwyang Bouw, juga cepat mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman Ouwyang Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun lalu menerjang dan membantu Giok Keng mengeroyok Ouwyang Bouw.

Ouwyang Bouw yang lihai sekali melihat gerakan pemuda tinggi besar ini tahulah dia bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau Giok Keng, maka pada saat dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok Keng, kakinya yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek dan kaki kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama sekali tidak menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu.

“Desss...!” Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit kembali, menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir kepeningan, kemudian dia maju lagi dengan penuh semangat.

“Isteriku, kautundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat pula sepak-terjangnya dalam bercinta. Kautangkap dia, biar kutangkap yang perempuan!” Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In diam saja seperti patung menonton pertandingan yang amat hebat itu.

“Kalau begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini!” Ouwyang Bouw bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu.

“Lie-twako, awas...!” Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah yang lembut. Namun terlambat. Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu menyambar cepat sekali, tepat mengenai paha Kong Tek dan pemuda itu mengeluarkan suara gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi namun dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu sudah bekerja. Kini teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan Kun Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa bahayanya jarum merah beracun itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik untuk melihat Kong Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga dia jatuh terguling.

“Brettt...!” sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw.

“Ha-ha-ha-ha, pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-ha, untungku!” Dan dia maju menubruk.

“Mampuslah!” Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang pedang telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah siap menghadapi serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya!

Dengan mata terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mulai menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata kepada wanita yang diaku isterinya tadi. “Isteriku, lekas kauajak pemuda itu, biarpun dia terluka pahanya akan tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton aku main-main dengan puteri Cin-ling-pai ini? Ha-ha-ha!”

Giok Keng hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya. Dia cepat memejamkan matanya dan mengerahkan seluruh sinkang. Dia pernah diajari oleh ayahnya cara untuk menggunakan tenaga mujijat dari sin-kang istimewa yang menurut ayahnya adalah ciptaan mendiang Tiang Pek Hosiang untuk membebaskan totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Manusia iblis!” Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin dan tahulah dia bahwa biarpun pahanya terluka, Kong Tek telah memaksa diri menubruk maju menyerang Ouwyang Bouw. Akan tetapi dia tidak membuka matanya dan tetap mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Dia menurut ayahnya, kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi-i-beng dan sebagai gantinya, ayahnya menurunkan ilmu membebaskan totokan jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya dapat dipergunakan untuk membebaskan totokan jalan darah yang tidak berbahaya. Untung baginya, Ouwyang Bouw yang tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya, hanya menotok jalan darah biasa sehingga, biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, namun tidak seluruh tubuhnya lumpuh.

“Dessss...! Brukkk...!” Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras.

“Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu agar kalau isteriku mau, dia dapat mempergunakanmu. Kalau tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku meniduri kekasihmu yang cantik ini, ha-ha!”

“Manusia iblis! Terkutuk kau...!” Kong Tek memaki-maki akan tetapi tidak mampu bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya.

“Ha-ha-ha, kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan tertawa bahagia menyaksikan betapa aku dapat menggagahi puteri musuh besarnya. Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!”

Giok Keng tetap memejamkan mata dan mematikan rasa ketika Ouwyang Bouw menciuminya dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai membuka pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun dapat dia punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi!

“Hyaaatt...!”

“Croottttt...! Aduuuhhh...!”

Tubuh Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya yang berlumuran darah. Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi, biarpun dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya yang hancur bola matanya, membuatnya buta sebelah seketika dan rasa nyeri membuat dia menggerung-gerung.

Tiba-tiba terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak. Lauw Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba telah mencabut pedangnya dan kini dari samping dia menghampiri suaminya, lengan kiri memeluk suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung.

“Crepppp...!”

Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri. Tubuh Ouwyang Bouw seperti menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu, terbelalak memandang isterinya, mulutnya berteriak, “Kau...? Kau...?”

Kemudian terdengar gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan Ouwyang Bouw telah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In yang tak dapat mengelak lagi karena wanita itu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung orang yang amat dibencinya itu.

“Aughhh...!” Lauw Kim In menjerit mengerikan karena kedua buah dadanya telah dicengkeram sedemikian rupa sampai hancur dan darah muncrat keluar, berbareng dengan darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw.

Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw terpelanting, tubuh yang tidak mempunyai lengan lagi karena kedua lengannya telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada! Lauw Kim In juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri dan berjongkok, mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.

“Katakan...kepada Yap Kun Liong...Mawar Go-bi...di saat terakhir...mempertahankan nilainya...!” Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan karena kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung.

Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya dari depan mukanya. Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena selain luka pada pahanya, juga tertotok punggungnya. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya.

“Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona,” kata Kong Tek.

“Kau merasa telah menolongku lagi?”

Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.

Kong Tek menarik napas panjang. “Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam bahaya, akan tetapi kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, -karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau selamat.”

Setelah dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu menghampiri mayat Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.

“Eh, apa yang kaulakukan itu?” Giok Keng bertanya.

Tanpa menghentikan pekerjaannya, dia menjawab, “Menggali lubang untuk mengubur dua mayat ini...”

Giok Keng cemberut. “Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!”

“Mungkin, akan tetapi sekarang aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona.”

Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia mengerti akan kebenaran pendapat pemuda itu.

Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja tidak membantu. Betapapun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya. Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatiannya? Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji. Akhirnya Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah payah bekerja. Bagaimanapun juga, pemuda itu tadi telah susah payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang amat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun telah membantunya, karena biarpun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu.

Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan keduanya bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam.

“Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona,” kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang dia menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah kembali.

Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan saputangan, dan Giok Keng berkata, “Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan.”

Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka di pahanya dengan merobek sedikit celananya di bagian yang terluka, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar.

“Ahhh, engkau terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada pertolongan Kun Liong, aku tentu sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi makin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas.”

Kong Tek menarik napas panjang.

“Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku terluka dan tidak mampu jalan, maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai.”

Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini termasuk aksinya agar dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya agar dianggap sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya!

“Begitulah kehendakmu, Toako? Aku harus melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau di sini?”

Kong Tek mengangguk. “Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya.”

“Kalau tidak berhasil?”

Kong Tek tersenyum. “Paling hebat mati!”

“Dan kau tidak ingin aku membantumu?”

“Apakah yang dapat kaulakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara, dan...dan andaikata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di sini.”

“Eh! Mengapa?”

Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab, “Tidak apa-apa.”

“Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako.”

“Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan.”

Giok Keng berjalan pergi dengan cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, melainkan memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu, mengintai dari balik pohon. Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan babwa pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kalipun tidak pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila kepadanya pemuda ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku!

Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih. “Mari kurawat lukamu itu”

Kong Tek mengangkat mukanya. “Ahh... kau belum pergi, Nona?”

Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain celana di luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit.

Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu. “Sakitkah?”

“Tidak berapa, Nona,” jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga. Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak memiliki sifat cengeng.

“Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dulu, kemudian semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi.”

“Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji itu!” hanya ini saja komentar Kong Tek.

“Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suhengku itu mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sin-kang yang amat kuat, menyedot jarum-jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sin-kang dari telapak tangannya saja. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya. Akan tetapi tentu amat nyeri...”

“Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah kau tidak merasa ngeri, Nona? Biarlah aku yang membedahnya sendiri.”

“Pertahankanlah!” Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek kulit di luka itu, terus ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum merah dan darah kehitaman keluar dari luka yang agak lebar itu.

“Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus disedot...” Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan tertolong lagi. Biarpun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun itu sudah menjalar sejengkal lebih di seputar luka! Pemuda ini sudah berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya kalau sampai dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya. Dengan mengeraskan hatinya dia berkata, “Aku akan menyedotnya bersih seperti yang ditakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu.”

“Jangan, Nona...!” Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka dengan mulutnya! “Jangan! Lebih baik aku mati saja daripada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap jangan merendahkan diri seperti itu. Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!”

Biarpun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang terluka dan menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek dapat juga mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah. Giok Keng memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha agar darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia berseru girang, “Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!”

Kong Tek kehabisan tenaga lalu menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah. “Berkat pertolonganmu, Nona,” katanya terengah.

Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan saputangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, biarpun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya. Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biarpun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seolah-olah pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang telah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan bersama seorang teman biasa saja yang tidak ada keistimewaannya apapun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria!

“Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!” Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat tentang diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.

Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya. “Aku akan segera mengejar ke sana!”

“Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu lihai sekali, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tidak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Ketika aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet.”

DENGAN panjang lebar Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan seringkali menggeleng kepala dan mengepal tinju. Setelah cerita isterinya tentang diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya. “Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini.”

“Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?” Biauw Eng bertanya dan wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua ditambah dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

lanjut ke Jilid 094-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar