Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 61

Petualang Asmara Jilid 061

<--kembali

“Aku hendak ditangkap, tentu saja aku tidak mau karena tidak merasa bersalah.” jawabnya.

“Hi-hi-hik, ada nikouw bersikap kasar dan suka mainkan pedang. Sungguh lucu! Siocia tentu akan suka melihatmu. Sukouw, siapa pun yang lewat di sini tanpa ijin harus ditangkap, maka tidak ada kecualinya, biarpun engkau seorang nikouw muda berkepala gundul, tetap saja harus menghadap Siocia.”

“Aku tidak mau, kecuali kalau Siocia kalian itu datang sendiri ke sini, jika hendak bicara dengan pinni,” kata Hong Ing dengan sikap angkuh.

“Bagus, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaianmu! Sambut golokku ini!” Wanita baju merah itu sudah menerjang dengan goloknya. Gerakannya cepat dan mantap, maka Hong Ing tidak berani memandang rendah, cepat dia melangkah mundur sambil menangkis dengan pedangnya.

“Cringgg!!” Bunga api berpijar dan keduanya terpental mundur, membuat Hong Ing makin terkejut karena ternyata tenaga sin-kang yang dikerahkannya tadi hanya seimbang saja dengan lawannya.

“Hi-hik, bagus sekali! Tenagamu lumayan! Mari kita main-main sebentar!”

Gadis baju merah itu menyerang lagi setelah tertawa-tawa dan Hong Ing kini cepat mainkan ilmu pedangnya, memutar
pedangnya secepat kitiran, menjaga diri sambil balas menyerang dengan dahsyat.

Karena dia maklum bahwa biarpun hanya seorang pelayan, kepandaian Amoi ini benar-benar hebat dan amatlah memalukan kalau dia sampai kalah oleh seorang pelayan saja! Dia mainkan limu Pedang Pek-eng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Putih) yang merupakan ilmu pedang kebanggaan subonya. Benar saja, begitu dia mainkan ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi-pai ini, wanita baju merah menjadi kaget dan mengeluarkan seruan nyaring, kemudian goloknya dimainkan sedemikian rupa yang membuat Hong Ing terheran-heran dan kagum.

Ilmu golok itu amatlah aneh dan lucunya, kelihatannya kacau-balau akan tetapi justru kekacaubalauan gerakan ini yang membuat lawan menjadi bingung! Di balik kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat kuat, membuat gadis itu dapat menangkis semua serangan pedang Hong Ing, bahkan membalas dengan tiba-tiba, tak terduga-duga dan tidak kalah dahsyatnya! Semua ini dilakukan oleh gadis baju merah itu sambil terkekeh-kekeh genit!

Dengan penasaran sekali Hong Ing lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, menerjang maju dan mainkan jurus yong paling berbahaya dari Pek-eng-kiam-hoat. Pedang itu mula-mula menangkis golok lawan yang menyambar, lalu dari tenaga lawan yang dipinjamnya, pedangnya meluncur ke atas, berputaran dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung, kemudian sinar ini meluncur ke bawah dengan gerakan masih membentuk lingkaran akan tetapi dari lingkaran itu menyambar sinar kilat ke arah dua tempat secara bertubi dan susul-menyusul sedemikian cepatnya sehingga hampir berbareng, yaitu ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan tusukan yang disambung dengan babatan ke arah leher. Inilah jurus yang dinamakan Pek-eng-to-coa (Garuda Putih Mematuk Ular), sebuah jurus pilihan yang amat sukar dihindarkan lawan saking cepatnya dua serangan susul-menyusul itu.

“Hi-hik... haiii...! Cringgg... trangg...!” Gadis baju merah yang tadinya terkekeh itu menjerit kaget, cepat menggunakan goloknya menangkis dua kali, namun karena agak terlambat, goloknya terlepas dari pegangannya dan pada saat itu juga, sambil terkekeh lagi gadis itu sudah menubruk maju hendak memeluk pinggang Hong Ing!

Hong Ing masih merasa betapa lengan kanannya tergetar ketika pedengnya ditangkis tadi, maka terkejut melihat lawan meraih pinggangnya. Dia meloncat ke belakang dan menjerit karena ternyata bahwa gerakan gadis baju merah itu hanya merupakan tipuan belaka dan sebenarnya, pada saat itu gadis baju merah yang lihai ini sudah melakukan tendangan tersembunyi dari bawah yong tepat mengenai pergelangan tangan kanan Hong Ing yang memegang pedang. Karena lengannya masih tergetar maka tendangan itu tepat sekali, membuat pedangnya juga terlepas dan terlempar!

“Hi-hi-hik, sekarang kita sama-sama, tidak bersenjata!” kata gadis beju merah yang mengaku bermma Amoi itu.

Hong ing menjadi marah dan penasaran sekali. Masa dia harus kalah menghadapi seorang pelayan saja? Dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang lihai, maka tentu saja dia tidak gentar untuk bertanding dengan tangan kosong. Sambil berseru marah dia menerjang maju.

“Bagus! Mari kita berlatih sebentar!” Amoi berseru dan cepat mengelak ke belakang menghindarkcn diri dari tendangan Hong Ing, kemudian tendangan berantai itu hendak digagalkannya dengan sambaran tangannya yang hampir saja berhasil menangkap sepatu kiri Hong Ing. Dara ini terkejut, cepat menarik kembali kakinya dan pada saat itu Amoi sudah membalas menyerang dengan cengkeraman ke arah leher kanannya yang juga dapat dihindarkan dengan baik oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Keduanya sama gesit dan sama lincah sehingga setiap gerakan lawan kalau tidak dapat dielakkan tentu dapat ditangkis dengan baik. Terdengarlah berkali-kali suara beradunya kedua lengan yang berkulit putih dan kelihatan halus lemah namun yang sebenarnya mengandung tenaga sin-kang kuat itu menyelingi suara gerakan mereka yang menimbulkan angin. Tadinya kedua orang gadis itu mengandalkan kelincahan mereka untuk saling mengalahkan lawan, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, bukan main kagetnya hati Hong Ing, kaget dan terheran-heran melihat perubahan aneh dalam permainan silat gadis baju merah itu. Lawannya kini mulai terkekeh-kekeh lagi dan ilmu silatnya amat luar biasa, kadang-kadang lawannya itu bergerak dengan halus dan lemah gemulai seperti bukan sedang bertanding melainkan sedang menari-nari bersamanya, akan tetapi tiba-tiba saja tarian indah itu berubah menjadi gerakan kaku dan buruk sekali seperti gerakan seekor monyet pincang! Bahkan lebih aneh lagi, kadang-kadang Amoi menjatuhkan diri ke atas tanah, bergulingan sambil menangis, menjambak-jambak rambutnya sampai awut-awut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, selagi Hong Ing terbelalak kaget, dia mencelat ke atas dan menyerang dengan hebat!

“Aihhhh...!” Hong Ing menjerit kaget dan untung masih dapat melempar tubuh ke belakang terhindar dari hantaman yang amat dahsyat ke arah dadanya.

Mulailah Hong Ing bersikap hati-hati. Kini dia tahu bahwa ilmu silat aneh seperti gila itu bukan semata-mata ilmu yang dimainkan oleh seorang gila, melainkan ilmu silat yang terselubung sikap gila-gilaan yang bukan tidak ada gunanya, karena sikap gila-gilaan itu justeru untuk memancing lawan dan mengacaukan perhatian lawan! Kini dia bersikap hati-hati sekali kalau Amoi menjambak-jambak rambutnya atau jatuh terduduk dan menangis seperti seorang anak kecil yang merengek minta makanan, tidak peduli lagi kalau Amoi membanting-banting kaki atau bahkan merangkak-rangkak seperti anak kecil belajar merangkak! Dan memang dia benar karena di tengah-tengah gerakan aneh ini tiba-tiba sekali Amoi mencelat ke atas dan menyerangnya dengan dahsyat. Karena dia tidak mempedulikan gerakan-gerakan aneh dari lawan, maka kini dia dapat menghadapi serangan mendadak itu dengan baik sehingga semua serangan Amoi dapat digagalkannya.

“Robohlah!” Tiba-tiba Hong Ing membentak dan dia menerjang maju dengan tendangan berantai, tendangan yang hanya dilakukan untuk mengacaukan posisi lawan, dan selagi Amoi sibuk mengelak dan menangkis, Hong Ing melihat lowongan baik lalu “memasukinya”, tangan kirinya dengan jari terbuka menampar ke arah leher kanan lawan.

“Hayaaaa...!” Amoi menjerit dan berusaha mengelak, namun tetap saja pundaknya kena ditampar sehingga dia terpelanting dan jatuh miring. Akan tetapi, sambil menangis tersedu-sedu dia sudah meloncat lagi ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar. Melihat ini, Hong Ing bersiap-siap karena maklum bahwa lawan hendak menggunakan ilmu silat semacam Eng-jiauw-kang atau Houw-jiauw-kang (Ilmu Silat Cakar Harimau) yang berbahaya. Dia melihat Amoi menerjang maju, menggerakkan kedua tangannya untuk mencakar mukanya.

“Heiiii!” Hong Ing berteriak kaget dan maju untuk mencegahnya. Dia merasa kasihan kepada Amoi yang dikalahkannya dan menangis itu, sikap seperti seorang anak kecil saja dan kini Amoi agaknya merasa kesal dan jengkel, hendak mencakar muka sendiri. Perhuatan ini tentu saja berbahaya, bisa merobek hidung atau mencokel mata sendiri!

“Hi-hik...! Dukkk!”

“Kau curang...!” Hong Ing berteriak akan tetapi karena sambungan lututnya kena disentuh ujung sepatu Amoi, tentu saja dia jatuh berlutut dan pada saat itu terdengar suara bersiutan dan tahu-tahu tali-tali hitam telah menyambar dan membelenggu tubuhnya. Kiranya belasan orang gadis lain telah menggunakan tali hitam yang berbentuk lasso dan melempar lasso itu dengan baik sekali sehingga semua lemparan tepat mengenai dirinya. Lingkaran-lingkaran lasso itu semua tepat menelikung tubuhnya. Dia kaget sekali akan tetapi diam-diam tersenyum mengejek ketika merasakan dengan lengannya betapa tali-tali itu tidaklah kuat. Dia akan menanti sampai rasa kesemutan di lututnya lenyap, baru akan memutuskan semua tali yang mengikatnya.

Dengan pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadig itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia bangkit berdiri dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang kepada Amoi dan tiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja. Hemmm, tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan sin-kangnya dan tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit dengan suara melengking nyaring

“Haaaiiittt!”

“Hi-hi-hik!”

“Heh-heh-hi-hik!”

Belasan orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan akhirnya dia maklum, bahwa tidak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang mengurungnya itu. Betapa mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur ketika dia mengerahkan sin-kang akan tetapi segera mengkeret dengan ketat lagi setelah itu? Tenaga hanya dapat menghancurkan atau mematahkan benda keras, betapa mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang mempunyai keuletan luar biasa?

Seperti menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak dapat bergerak itu meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah ditelikung seperti ayam itu.

Hong Ing bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Segala bisa terjadi dengan dirinya di tangan mereka. Apakah dia akan dipanggang seperti seekor anak babi (babi guling?) sampai kulitnya menjadi kering kemerahan untuk kemudian mereka makan bersama arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan dicocolkan kecap? Hong Ing membelalakkan matanya penuh kengerian, apalagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil tertawa dan berkata, “Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss... hi-hi-hik!”

Hong Ing bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidaknya adalah orang-orang yang sudah terasing dari dunia ramai sehingga menjadi seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila? Subonya, Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san). Ketika Go-bi Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dahulu tidak berani mendekati Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudan tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang amat terkenal pula sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia bergidik lagi.

Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang dikelilingi hutan gelap, karena dari tempat dia digotong tergantung dengan kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar den megah di tempat sunyi itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan gurunya.

Dia digotong masuk, melalui lorong yang panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan indah dan kain sutra bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu. Amoi mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau dupa wangi yang dibakar orang di dalam raungan itu.

”Brukkk!” Tubuhnya dilempar ke atas lantai yang terbuat dari batu marmer putih, begitu bersih sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekeliling dangan menggerakkan lehernya. Dia melihat Amoi berlari menghampiri seorang wanita gemuk yang duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang tertutup sepatu kain sutera itu.

“Siocia...”

“Hemm, Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan.” kata wanita gemuk itu.

Hampir saja Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai?houw? Dia memperhatikan wanita itu. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut tak dapat disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus. Ketika tertawa,
mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias anting-anting besar dan memang pantas dan sesuai dangan dirinya. Wajahnya kelihatan ramah, tersenyum selalu akan tetapi dari matanya yang lebar itu keluar wibawa yang kuat.

Seorang gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang lebih cantik malah dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu. “Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?”

Amoi tersenyum dan duduk di dekat majikannya, bersanding dangan gadis yang menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itu yang disebut oleh Amoi sebagai Acui.

“Siocia, dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita dan ketika hendak ditangkap, dia melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga, Siocia. Hampir saya kalah olehnya,” kata Amoi.

“Ahhh, begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda bangunlah!” Wanita gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dangan telapak terbuka bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil tersenyum.

Menyaksikan kepandaian yang seperti sulapan Hong Ing menelan ludah. Bukan main! Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu maka begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri dan menjura dangan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya dirangkap di depan dada.

“Harap maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia,” katanya.

“Tidak apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil apakah, Pek Nikouw?” tanya wanita gendut itu dengan suara ramah.

“Pinni datang dari kuil Kwan-im-bio.”

“Aihhh... sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah mempunyai segala sesuatu dengan lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau inilah. Apalagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar Thian mengabulkan permintaanku, bukan?”

Diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seolah-olah semua itu diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Biarpun kata-katanya terdangar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa juga Siocia ini tidak bisa dibilang waras otaknya!

“Siocia, sebagai seorang nikouw, tentu saja pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan manusia dan sedapat mungkin menolong manusia terhindar dari kesengsaraan. Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?”

“Ada dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku berdoa kepada Thian agar mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah agar aku dapat menemukan jodohku...” Suara wanita gendut itu menjadi gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya mendengar ini.

Wanita gendut itu berhenti bicara dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk mengusap air matanya! Kemudian dia melanjutkan, “Adapun hal yang ke dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dandam kepada musuh besarku.”

“Maaf , Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan mengapa orang itu menjadi musuh besarmu.” kata Hong Ing memancing karena dia ingin sekali mendangar riwayat wanita aneh ini.

“Siapa lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dia telah membunuh majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw harus dibalas dan siapa lagi kalau bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?”

Diam-diam Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, pasukan wanita gila itu, ada hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang diberitakan subonya. Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek iblis itu.

“Namaku Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas),” wanita gendut itu menerangkan. “dahulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang paling kecil. Aku baru berusia delepan tahun. Akan tetapi sebelum beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku, maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah, kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di sini untuk berdoa sampai terkabul kedua permintaanku itu. Aku harus menemukan jodohku, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh dan kalau kau menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat dan mulia di istana ini.”

Hong Ing tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?

“Baiklah, Siocia. Pinni akan berdoa untukmu don tinggal sementara di sini. Semoga saja segera terkabul pormohonanmu itu.”

Wanita itu tertawa dAn mukanya berseri gembira. “Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang paling lezat untuk Pek Nikouw!”

Hong Ing memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari. Hong Ing makin mengenal keadaan di situ dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang merupakan seorang “ratu” di tempat ini, dangan anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya. Adapun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!

Benar saja seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dangan penuh hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat. Pekerjaan Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca Jiam-keng (doa) dan tentu saja doa yang keluar dari hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa untuk keselamatan sucinya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya sendiri agar dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang sukar untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu dangan pemuda gundul itu!

Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk permintaan Kim Seng Siocia!

Setelah tinggal sebagai tamu terhormat, atau lebih tepat tahanan terhormat di istana itu belasan hari lamanya, Hong Ing mendapat kenyataan bahwa Kim Seng Siocia benar-benar merupakan seorang wanita aneh yang memiliki banyak ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa, juga wanita ini memiliki kekebalan dan pandai mainkan segala macam senjata, termasuk ahli pula dalam hal menggunakan anak panah. Dia pernah dibuat kagum bukan main ketika pada suatu sore nona gendut itu mendemonstrasikan kepandaiannya memanah burung. Sekelompok burung sedang terbang di udara, tinggi sekali sampai hanya kelihatan sebagai titik-titik hitam kecil. Burung-burung itu sedang terbang berkelompok kembali ke sarang mereka arah selatan.

“Aku ingin makan panggang burung dada hijau!” kata nona gendut itu dan Amoi segera memberikan gendewa dan tempat anak panah yang terisi belasan batang anak panah.

Biarpun tubuhnya gendut, ternyata Kim Seng Siocia dapat bergerak cepat sekali, tahu-tahu gendewa telah dipentangnya dan berturut-turut dilepasaya tiga belas batang anak panah ke udara. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata dan anak-anak panah itu meluncur beriringan seperti bersambung.

Tak lama kemudian, anak panah yang tiga belas batang jumlahnya berjatuhan dan.. setiap batang membawa dua ekor burung yang tertembus dadanya! Hampir saja Hong Ing tak dapat percaya akan apa yang disaksikannya dan diam-diam dia merasa ngeri. Demikian hebatnya ilmu memanah nona gendut ini!

Menyaksikan kelihaian Kim Seng Siocia, makin berhati-hatilah Hong Ing, tidak berani sembarangan melarikan diri karena dia maklum akan keanehan watak nona gendut itu yang tentu tidak akan segan-segan membunuhnya kalau dia melarikan diri dan tertangkap. Maka dia harus menanti saat yang paling tepat dan baik, dan dia hanya akan melarikan diri kalau sudah yakin takkan tertangkap kembali. Pula, kalau dia berdiam di tempat itu tentu tidak akan dapat dicari oleh subonya! Andaikata subonya dapat mencarinya di tempat ini, agaknya subonya akan menghadapi lawan berat sekali dalam diri Kim Seng Siocia dan anak buahnya! Lebih baik di sini daripada bersembunyi di dalam kuil, karena sesungguhnya dia pun tidak suka untuk menjadi nikouw. Akan tetapi, karena dia berada di istana itu dalam tugasnya sebagai nikouw, terpaksa dia selalu membersihkan rambut dari kepalanya kalau ada rambut mulai tumbuh. Dia tidak boleh memancing kecurigaan Kim Seng Siocia dan harus bersikap seperti seorang nikouw tulen yang saleh!

Pada suatu senja, dia melihat Acui dan Amoi berlari-larian dan mengumpulkan anak buahnya. Karena tertarik dia keluar dari kamarnya dan bertanya kepada Amoi yang bersikap bersahabat dangannya.

“Amoi, apakah yang terjadi?”

Amoi tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi?hik, pesta besar, Sukouw. Banyak lalat jantan terjebak dalam sarang laba-laba, dan diantaranya adalah seekor lalat bule (putih) yang tentu menarik perhatian Siocia. Siocia menyuruh kami menangkap mereka hidup-hidup!” Setelah berkata demikian, dua orang pelayan yang berpakaian merah itu berlari-lari diikuti anak buah mereka.

Hong Ing menjadi penasaran dan dia bertanya kepada serombongan pasukan yang agaknya hendak membantu pula. “Apakah yang terjadi? Banyak lalat terjebak dalam sarang laba-laba? Apa artinya itu?”

Karena Kim Seng Siocia menganggap Hong Ing sebagai tamu agung maka sudah menjadi kebiasaan para anak buah di situ menghormati nikouw muda ini, maka seorang diantaranya menjawab singkat, “Lalat berarti manusia dan lalat jantan adalah laki-laki. Hi-hik, mudah-mudahan aku mendapat bagian!”

“Cuihh, laki-laki!” kata wanita ke dua sambil membuang ludah, entah mengapa agaknya wanita ini pernah mengalami hal yang tidak enak yang ada hubungannya dangan pria sehingga dia membenci pria.

“Hayo kita berangkat!” kata orang ke tiga sambil menanya kepada Hong Ing, “Apakah Sukouw hendak menonton?”

Hong Ing menggngguk dan dia ikut pula berlarian dengan rombongan itu memasuki hutan yang gelap. Belum pernah dia masuk hutan ini dan ternyata rombongan ini membawanya ke sebuah daerah yang penuh dengan guha-guha di dalam hutan itu dan Acui serta Amoi bersama anak buahnya sudah pula berada di situ, menyalakan obor dan mereka bicara sambil tertawa-tawa dan menuding-nuding ke dalam guha-guha itu.

Hong Ing melangkah maju dan memandang. Bukan main herannya ketika dia melihat enam orang laki-laki di dalam dua buah guha itu dan mereka ini benar-benar terjebak dalam sarang laba-laba! Sarang laba-laba yang besar dan yang melekat di tubuh enam orang itu. Betapa pun enam orang itu meronta-ronta, mereka tidak dapat melepaskan diri dari lekatan benang yang sebesar tali itu, benang sarang yang memiliki daya melekat dan membelit!

“Iihhh, apakah itu sarang laba-laba tulen?” tanya Hong Ing mendekati Acui.

“Lihat saja di sana, kami sudah membunuh laba-labanya,” dia menuding ke kiri dan hampir saja Hong Ing menjerit.

Benar saja, di situ terdapat dua bangkai binatang yang mengerikan sekali. Jelas dua bangkai itu adalah tubuh binatang laba-laba hitam akan tetapi bentuknya luar biasa! Sebesar kucing atau anjing kecil! Pantas saja sarangnya demikian besar dan sangat kuat, sanggup menangkap manusia!

Akan tetapi dia segera tertarik ketika melihat seorang di antara enam pria itu. Dia mengenal orang yang berkulit putih itu. Itulah orang kulit putih yang bersama Tok-jiauw Lo-mo pernah menggunakan pasukan pemerintah menangkap Kun Liong dan menawan pemuda itu! Kalau dia tidak salah ingat, Kun Liong pernah menyebutkan namanya, Marcus! Ya, Marcus!

Marcus dan lima orang laki-laki lain yang sama sekali tidak berdaya itu segera ditangkap, dibelenggu kedua tangannya dan digiring keluar dari guha. Marcus berkata-kata dalam bahasa asing, kelihatannya marah, dan seorang di antara lima anak buahnya itu berkata dengan penasaran, “Kami ini mau dibawa ke mana? Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian!”

Para gadis yang menggiring mereka itu tertawa-tawa saja, dan Amoi yang genit membentak. “Hushhh, diamlah! Kalian berenam seharusnya berterima kasih kepada kami. Kalau kami tidak membunuh dua ekor laba-laba hitam raksasa itu, agaknya sekarang semua darah dan sumsum kalian telah disedot habis!”

Hong Ing menyelinap ke belakang ketika melihat Marcus. Dia khawatir kalau pemuda asing itu mengenalnya. Akan tetapi diam-diam dia mengikuti perkembangan dan ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kim Seng Siocia dan anak buahnya terhadap enam orang tawanan itu. Maka dia mendahului rombongan yang sambil tertawa-tawa menggiring enam orang laki-laki itu, berlari dan memasuki istana bertemu dangan Kim Seng Siocia, disambut oleh wanita gendut itu dangan senyum ramah.

“Ha-ha, aku mendengar ada enam orang pria menjadi tawanan. Hi-hik, Pek Nikouw, apakah ini hasil doamu? Mudah-mudahan saja jodohku berada di antara mereka.”

“Omitohud, mudah-mudahan begitu, Siocia. Pinni telah melihat mereka dan harap Siocia yang menentukan sendiri. Akan telapi sebagai seorang pendeta, pinni tidak boleh berhadapan dengan kaum pria, maka pinni hanya akan menonton dari belakang tirai saja.”

Kim Seng Siocia tertawa. “Hi-hi-hik, kasihan sekali engkau. Masih begitu muda sudah harus menjauhkan diri dari pria. Tentu saja boleh, Pek Nikouw, dan kalau benar di antara mereka terdapat jodohku, berarti doamu manjur sekali dan aku tentu akan memberi hadiah besar kepadamu.”

lanjut ke Jilid 062-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar