Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 58

Petualang Asmara Jilid 058

<--kembali

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat. “Kau... sudah tahu? Hi-hi-hik!” Dia memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya pemuda gundul ini. “Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah bundamu!”

Sementara itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di bawah sinar penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.

“Bu Kong, bantulah aku!” Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya karena sebagian bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong sehingga membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari tangan pemuda itu sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong.

Akan tetapi seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tidak mempedulikan ibunya, bahkan dia lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata, “Nona Cia Giok Keng, selamat datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu? Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!”

“Keparat!” Giok Keng menjadi merah sekali mukanya. Harus dia akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andaikata Bu Kong tidak bersikap semanis itu di depan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih merasa bangga daripada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apalagi di depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Maka sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan kilat.

“Cringgg!” Bu Kong menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke Cin-ling-san. Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Betapapun juga, pemuda ini bukan orang sembarangan dan dia sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan.

Setelah ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi San menjadi repot sekali. Biarpun dia juga seorang dara yang berilmu tinggi, namun ilmunya kalau dibandingkan dengan Giok Keng kalah jauh, apalagi dibandingkan dengan kepandaian Thian-ong Lo-mo! Dia terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa mengejek.

“Huah-ha-ha, mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha!” kakek itu agaknya girang sekali dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya. Namun Hwi Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan memutar pedangnya dengan gerakan nekat.

“Wirrrr...!” Senjata gergaji itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.

“Plak... krekkk!” Hwi Sian mengeluh karena hampir saja telapak tangannya terkupas kulitnya ketika dia hendak mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala Hwi Sian, ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke bawah.

“Plakkk!” Telapak tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sin-kang yang beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.

“Huah-ha-ha!” Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.

“Plak! Bukkk...! Aadouuuhhh...!” Kakek raksasa itu terhuyung mundur. Tadi lengannya yang memegang senjata kena ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untung bahwa Hwi Sian terancam maut, Kun Liong melihatnya maka pemuda ini cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sebetulnya sudah terdesak untuk menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.

“Kun Liong, aku... terluka... ahhh...” Hwi Sian mengeluh tak dapat bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.

“Jangan khawatir, aku melindungimu!” Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang, diimbangi tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat. Hebat bukan main permainan ini sehingga biarpun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi Sian yang rebah miring.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan kacau balau di mana anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar biasa sehingga mereka menjadi panik.

Adapun Tio Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut, yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang amat lihai. Ketika dia menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia berseru, “Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan pengeroyokan, Akulah lawanmu!”

Jelas nampak betapa kakek raksasa ini jerih ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati) dan amat lihai ini. Namun dia juga menggereng keras, dan senjatanya juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini. Kini Kun Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.

“Kun Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari sini...” Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab, melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.

“Cring-trak-trakkk... aihhh...!” Kwi-eng Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan melibat pedangnya sehingga tak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.

Kun Liong juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu menjerit dan jatuh berlutut, ketika tenaga sin-kangnya membanjir keluar disedot melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.

“Auuughhh... celaka...!” Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya. Celakanya kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapet digerakkan pula dan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang untuk menarik tangannya yang melekat, makin banyak sin-kangnya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak pula tenaga saktinya keluar.

“Oughhh... lepaskan aku... ampunkan aku...” Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon. Kun Liong mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi-i-beng sambil membayangkan kematian ayah den ibunya di tangan nenek ini dan datuk?datuk hitam lain yang telah tewas.

Wajah nenek itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sin-kangnya makin lama makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau mengampuninya, karena sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh dia dan teman-temannya ketika itu. Maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, menggunakan tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

Pada saat itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi-i-beng karena di dalam hatinya timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu telah mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.

“Crottt.. aughhh...!” Nenek itu roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan, matanya melotot memandang ke arah Kun Liong!
Kun Liong berdiri seperti arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu, hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia tahu bahwa nenek itu membunuh diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya. Kalau dia menganggap nenek ini jahat karena membunuh ayah bundanya, lalu apa bedanya dengan dia sendiri kalau dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek itu, maupun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Kun Liong... aduh... kakiku...!”

Keluhan suara Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang lihai itu dan para perajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka parah dan matang biru, tahulan dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.

“Ke mana Nona Cia Giok Keng?” tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia tidak melihat gadis itu.

“Dia... tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh...” Hwi Sian merintih dan merangkul leher Kun Liong.

“Hemmm, jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar!” Kun Liong berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara ini.

Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu. “Mereka tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!” Kun Liong merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung perahu itu dengan cepat dengan harapan akan dapat menyusul Cia Giok Keng yang dikhawatirkannya.

Melihat kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah, tubuhnya panas semua itu berkata, “Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku... ahhh...” Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.

Barulah Kun Liong terkejut. Cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh tubuh Hwi Sian panas sekali. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat pemunah tentu akan berbahaya sekali keadaannya. Maka dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke sebuah hutan di seberang. Kemudian setelah perahunya mendarat, dia memondong tubuh Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat.

Hwi Sian merintih lirih, membuka matanya. Pertama-tamna yang menarik pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya, api unggun yang bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan penerangan sehingga dia dapat melihat bahwa dia berada di dalam sebuah kamar kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong duduk di atas lantai, dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha.

Hwi Sian merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa panas yang tadi menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, rasa nyeri pada pahanya sudah mengurang. Ketika Kun Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata, “Tenanglah, Hwi Sian. Hawa beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh pukulan keji itu.”

Sejenak Hwi Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu, bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata. Mula-mula Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh. Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,

“Heiii! Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi cengeng (mudah menangis)?”

Ditanya dengan suara sendau gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas sepasang pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.

“Eh-eh...! Kau kenapakah?” Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk, dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak disangkanya bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian tersedu-sedu dan dara itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong.

Kun Liong bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus rambut yang halus dan harum itu.

“Kun Liong...” Akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.

“Hemmm...?” Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya akan mendatangkan lebih banyak air mata lagi.

“Kau terlampau baik kepadaku...”

“Ehh...? Masa...?” Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis lagi.

“Berkali-kali kau menolongku, menyelamatkan aku dari malapetaka, seolah-olah memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, dan aku... aku hanya menghinamu...”

Kun Liong tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu yang membuat Hwi Sian menangis. Dara ini diserang perasaan terharu! Untuk membuyarkan perasaan haru, satu?satunya jalan adalah sendau- gurau. “Ah? Masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau pernah memberi upah cium, ingatkah?”

Seketika Kun Liong merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian terdengar suara Hwi Sian dari dadanya. “Itulah... dan aku menganggapmu... ahhh...” Kembali dara itu menangis!

Celaka, pikir Kun Liong. Dibawa sendau gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagaimana kalau dipancing biar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan haru dan duka, biasanya begitu.

“Eh, Hwi Sian!Kau menangis lagi?”

“Aku... berhutang budi terlalu banyak kepadamu...”

“Budi apa? Sudah lunas? Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium kepadaku!” Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya.

Benar saja. Tubuh itu meregang dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang sudah mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar, “Kalau begitu... kau... kauciumlah aku, Kun Liong...”

Kun Liong terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah gadis itu yang diangkat sehingga dia melihat mulut yang bibirnya merah membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan lagi, apalagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang suka menciumnya. Apa salahnya? Tanpa bicara lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, kemudian mengeluarkan rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka makin melekat.

Setelah mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan mata terpejam, “Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu...”

“Aih, Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu...”

“Memang, aku sudah tahu. Kau tidak cinta padaku. Kau hanya suka menciumku. Bukankah begitu?”

“Maafkan aku...”

“Kun Liong, aku... aku akan membunuh diri saja...”

“Heiii! Gila kau...!”

“Ketahuilah, aku... telah ditunangkan dengan Ji?suheng (Kakak Seperguruan ke dua)...”

“Ah, dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah perkasa!” Ucepan ini keluar dengan setulus hatinya.

“Tidak, setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapagun juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!”

“Hushh, jangan bicara ugal-ugalan kau!” Kun Liong menegur setengah menggoda. “Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri.”

“Dengan kepandaianmu, kau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi kalau aku terpaksa harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah aku membunuh diri saja daripada membikin susah hati orang lain.”

“Wah-wah, kaubikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak mencinta seperti yang kaumaksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria dan wanita. Aku... aku... wah, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tidak akan membunuh diri. Kalau tidak, selamanya aku takkan dapat nyenyak tidur dan enak makan!”

“Kun Liong, keputusanku sudah bulat. Aku akan membunuh diri begitu kita saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku.”

“Lho! Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu, Sayang.”

“Benarkah? Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari kenekatan membunuh diri?” Hwi Sian memandang wajah itu. Kun Liong juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk isi hati yang tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik, tidak boleh membiarkan diri diakali.

“Aku memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa saja untuk menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk... untuk menikah denganmu!” Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya. Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.

“Tidak, aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu...”

“Heiii! Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya ini?”

“Kun Liqng, hanya... hanya untuk malam ini... kaupenuhilah hasrat hatiku, aku hanya dapat menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau kau sudi memenuhi permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan rela menjadi isteri Ji-suheng...”

“Wah, apa-apaan ini? Aku...”

Hwi Sian sudah merangkulnya lagi. “Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku, bukan? Kun Liong...” Dara itu mendekap dan menciuminya.

Gairah yang membuat Hwi Slan seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga. Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini, tak dapat menahan gelombang dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh berahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apabila sudah diamuk berahi.

Sekali nafsu mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas. Diberi sejengkal ingin sedepa. Belaian dan dekapan, ciuman mesra sudah tidak memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung, Kun Liong menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, dari ubun-ubun kepala sampai ke telapak kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali, seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa di mana dua insan hanyut oleh dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan, segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.

Di dalam kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa?apa. Hutan itu pun sunyi tidak disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang penuh rahasia, suara mahluk-mahluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan siksa, kadang-kadang terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara derita dan nikmat kesenangan!

Pada keesokan harinya, setelah cahaya matahari pertama memasuki kuil, tampak Kun Liong duduk bersandar dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai. Keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian yang kusut masai itu. Wajah keduanya agak pucat, namun di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, mata yang masih kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biarpun ada air mata di pipinya. Kun Liong kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian, biarpun dia kelihatan masib terpesona oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat. Baru teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua telah menjadi seperti orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti nafsu berahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk. Barulah dia meragukan apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl! Dan bagi Hwi Sion sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada pria yang dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkm diri kepada pria lain yang tak dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak mampu menjawabnya.

“Kun Liong...” Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur dan kelelahan.

“Hemm...”

“Aku... aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!”

“Heiii!” kun Liong melepaskan pelukannya, menjauhkan diri dan membereskan pakaiannya. “Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapapun aku masih percaya bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!”

Hwi Sian tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian, menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.

“Kun Liong,” kata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga kelihatan manis sekali. “Aku tadinya mengharap, setelah peristiwa semalam, kalau-kalau engkau akan jatun cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun Liong?”

“Hwi Sian!” Kun Liong berkata agak keras. “Ingatlah bahwa engkau yang minta sehingga terjadi peristiwa semalam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya, bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar dari kenekatanmu. Sekarang, berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghion.”

Mata itu terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik, “Aku berjanji.”
“Kau bersumpah?”
“Aku bersumpah.”
“Nah, begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa selamanya aku tidak akan lupa kepadamu, Hwi Sian dan dengan sepenuh hatiku aku doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah bahwa cinta yang kaukira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kautemukan bersama Tan-enghiong...”
“Tidak mungkin!” Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!
“Jangan bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup oleh cinta kepada sesuatu yang lain lagi. Cinta seperti yang kaurasakan terhadap diriku hanyalah nafsu berahi yang didorong oleh rasa suka dan kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apalagi menjadi benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal.”

lanjut ke Jilid 059-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar