Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 56

Petualang Asmara Jilid 056

<--kembali

Hong Ing melanjutkan penuturan pengalamannya. Ketika dia menghadep Biauw Kwi Nikouw untuk diperkenankan menjadi nikouw, nikouw tua itu berkata. “Nona, engkau masih muda dan cantik sekali. Kalau engkau menjadi nikouw di sini, berarti engkau akan mencari malapetaka dan kami pun terkena getahnya. Tidak, kami tidak berani menerimamu menjadi nikouw di sini, Nona.”

“Mengapa, Subo? Apa yang telah terjadi?”

“Sudah ada tiga orang muridku, nikouw-nikouw muda, mati menggantung diri dalam waktu sepekan ini.”

Hong Ing terkejut. “Mati menggantung diri? Mengapa?”

“Karena mereka tidak sudi lagi hidup di dunia setelah mereka tercemar.”

“Tercemar?”

“Ya, diperkosa seorang laki-laki, omitohud...”

Hong Ing meloncat bangun. “Laki-laki mana yang berani memperkosa nikouw?”

“Ah, kami tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi selama sepekan, berturut-turut tiga orang nikouw muda diculik dari kamarnya, dibawa ke hutan den diperkosa. Pada keesokan harinya, mereka itu satu-satu menggantung diri sampai mati. Nah, dengan adanya peristiwa ini, apakah Nona masih ingin menjadi nikouw di sini dan terancam bahaya?”

“Aku tetap ingin menjadi nikouw, dan harap Subo tidak khawatir. Aku akan menangkap dan menghajar binatang busuk itu!”

Demikianlah, karena desakan Hong Ing, akhirnya dara ini digunduli rambutnya, diberi pakaian nikouw den menjalanken upacara sembahyang menjadi nikouw, disaksikan oleh belasan orang nikouw yang menjadi murid Biauw Kwi Nikouw. Hong Ing menangis tersedu-sedu, akan tetapi betapapun juga, kepalanya sudah menjadi gundul licin dan ditutupi dengan penutup kepala berwarna putih.

Malam hari itu, sengaja Hong Ing keluar seorang diri dan berjalan-jalan di sekeliling kuil untuk menjadikan dirinya sebagai “umpan” memancing datangnya laki-laki terkutuk yang sudah memperkosa tiga nikouw den menyebabkan mereka membunuh diri. Para nikouw lain yang maklum akan usaha nikouw baru ini, mengintai dari tempat aman dengan hati berdebar tegang.

Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang yang tinggi besar den begitu tiba di depan Hong Ing, dara ini terkejut den jijik sekali. Laki-laki itu tinggi besar, usianya sudah lima puluh tahunan, rambut den jenggot serta kumisnya riap-riapan menakutkan, kotor sekali, matanya lebar den dia terkekeh memandang kepada Hong Ing sambil berkata, “Ha-ha-heh-heh, nikouw muda baru ya? Wah, cantiknya, wah, malam ini aku benar-benar untung besar! Orang secantik engkau ini sedikitnya harus kupeluk selama sebulan, ha-ha-ha!”

Hong Ing sudah meloncat dan sekali tangannya menampar, terdengar suara “plak-plak-plak!” keras sekali dan tubuh laki-laki itu terpelanting. Akan tetapi ternyata dia kuat juga, karena sudah dapat bangun kembali, matanya makin terbelalak lebar.

“Ho-ho, jadi kau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, lebih menarik lagi!”

Terjadilah pertandingan, namun sebentar saja laki-laki itu terdesak hebat dan beberapa kali terkena pukulan tangan Hong Ing. Biarpun tubuhnya kebal, namun pukulan Hong Ing bukan tidak keras dan mendatangkan rasa yang cukup nyeri, maka akhirnya laki-laki itu melarikan diri.

“Binatang terkutuk, hendak lari ke mana kau?” Hong Ing mengejar dan para nikouw lain yang menyaksikan betapa nikouw muda baru itu benar-benar lihai dan berhasil mengalahkan laki-laki cabul yang seperti orang gila itu, segera ikut pula mengejar!

Mereka masih sempat melihat betapa Hong Ing telah dapat menyusul laki-laki itu, menghajar laki-laki itu sampai jatuh bangun. Laki-laki itu marah, tiba-tiba menggereng dan dengan kedua lengannya laki-laki itu mengangkat sebuah batu besar sekali dan hendak menimpakan batu itu kepada Hong Ing.

“Aihhh...!” Dua orang nikouw lain yang lebih dulu datang di tempat itu menjerit ngeri.

Akan tetapi Hong Ing cepat meloncat ke depan, menerima batu itu dan mengerahkan sin-kangnya mendorong sehingga kini laki-laki itulah yang tertindih batu dan tergencet oleh batu besar itu. Terdengar suara orang berteriak mengerikan dan ketika Hong Ing melepaskan batu itu, ternyata laki-laki itu telah hancur dan gepeng terhimpit batu dan bersandar pada batu gunung. Dada dan kepalanya pecah dan darah muncrat-muncrat membasahi tempat di sekelilingnya!

“Omitohud...!” Para nikouw berseru ketika menyaksikan ini. Biauw Kwi Nikouw lalu memerintahkan murid-muridnya untuk mengubur mayat yang mengerikan itu, dan semenjak saat itu, Hong Ing dianggap sebagai seorang nikouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bahkan Biauw Kwi Nikouw sendiri berikap manis dan kagum kepadanya.

“Demikianlah, Kun Liong.” Hong Ing menutup penuturannya, “semenjak hari itu aku menjadi nikouw di Kwan-im-bio dan aku melatih mereka ilmu silat. Tentu saja aku tidak mau diangkat menjadi guru mereka, maka mereka semua, kecuali ketua kuil, menyebutku Toa-suci (Kakak Seperguruan Tertua).”

Kun Liong makin terharu. Sungguh malang sekali nasib dara ini. Patut dikasihani dan dia sendiri merasa menyesal bahwa dia pernah menggoda dara yang sepatutnya dilindungi dan dibela ini. ”Ahh, kasihan sekali engkau, Hong Ing. Tak kusangka orang seperti engkau ini dapat dilanda kesengsaraan hidup seperti itu. Dan dahulu, mengapa engkau sampai dapat terluka oleh jarum merah milik Ouwyang Bouw?”

“Ah, sebetulnya soalnya sepele saja, akan tetapi dasar kami yang tak mengenal orang pandai. Pada hari itu, di kuil kedatangan seorang kakek aneh dan seorang pemuda. Karena hari telah malam dan mereka minta menginap, tentu saja Subo tidak dapat menerima mereka, mengatakan bahwa Kuil Kwan-im-bio adalah kuil para nikouw maka merupakan pantangan besar untuk menerima pria sebagai tamu bermalam di kuil.”

“Hemm, orang-orang macam Ban-tok Coa-ong dan anaknya yang gila itu mana mau mengerti” kata Kun Liong.

“Memang demikianlah. Ban-tok Coa-ong memaki Biauw Kwi Nikouw sebagai nenek gila cerewet yang bosan hidup dan sekali tangannya menampar, Biauw Kwi Nikouw terguling roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika! Para nikouw menjadi marah dan menyerbu, karena mereka itu sedikit banyak telah belajar silat kepadaku. Akan tetapi, hanya dengan dorongan-dorongan jarak jauh, semua nikouw terpelanting dan tak dapat bangkit kembali karena telah mengalami luka dalam. Aku sendiri menubruk Biauw Kwi Nikouw dan pada saat itu dari belakang Ouwyang Bouw menyerangku dengan jarum merah. Aku tak dapat mengelaknya dan aku roboh pingsan. Mereka ayah dan anak iblis itu pergi sambil tertawa-tawa dan selebihnya kau mengetahui sendiri. Aku minta supaya dibawa ke seorang ahli obat di kota, dan ketika berada di joli kebetulan sekali berjumpa denganmu dan engkau telah menyelamatkan nyawaku.”

“Aihhh... sungguh kau telah mengalami banyak hal yang amat sengsara, Hong Ing. Hanya aku menyesal sekali mengapa engkau mengambil jalan pendek menjadi nikouw.”

“Tidak ada jalan lain. Untuk membunuh diri aku... aku tidak berani...”

“Jangan!” Kun Liong setengah berteriak. “Perbuatan itu adalah perbuatan paling rendah dan pengecut di dunia ini. Sekarang engkau tidak perlu takut lagi. Setelah engkau menjadi nikouw, apa yang dapat dilakukan oleh sucimu dan gurumu? Apakah mereka bisa memaksamu? Pula, kalau pangeran tua mata keranjang itu melihat kau sudah menjadi nikouw, apakah dia hendak memaksa memperisteri seorang nikouw?”

Melihat sikap Kun Liong yang marah-marah ini, terharulah hati Hong Ing karena hal ini membuktikan betapa besar perhatian pemuda ini kepada nasib dirinya “Ah, kau tidak mengenal guruku, Kun Liong. Dia adalah seorang yang berhati keras seperti baja dan semua kehendaknya harus terlaksana. Apa sukarnya memaksa aku memelihara rambut lagi dan memaksaku menikah? Sudahlah, serahkan hal itu kepadaku. Kau tidak perlu ikut berduka dan bingung, Kun Liong. Engkau sudah terlampau baik kepadaku dan percayalah, sampai mati aku tidak akan dapat melupakan kebaikanmu. Lihat, itu Suci mendatangi kuil, kalau aku tidak lekas menemuinya, tentu para nikouw akan terancam bahaya. Kalau sudah marah, Suci seperti Subo saja, keras dan ganas. Kau pergilah, Kun Liong, pergilah, selamat berpisah, sahabat dan penolongku yang baik!” Hong Ing menyentuh lengan Kun Liong, kemudian terisak dia meloncat dan lari ke arah kuil di mana tadi bayangan Kim In telah masuk lebih dahulu.

Hati Kun Liong seperti diremas-remas rasanya. Entah mengapa, dia merasa kasihan sekali kepada Hong Ing dan mengambil keputusan untuk membela dara itu dari segala bahaya. Dengan pikiran ini, dia lalu melompat dan menyelinap, menghampiri kuil itu dari samping dan melakukan pengintaian. Dengan jantung berdebar Kun Liong melihat Hong Ing berdiri dengan kepala tunduk berhadapan dengan sucinya, Lauw Kim In yang galak itu.

Kim In sudah memegang pedangnya dan dengan suara keren berkata, “Pek Hong Ing, aku mewakili Subo Go-bi Sin-kouw memerintahkan engkau untuk berlutut!”

Hong Ing menarik napas panjang dan dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan sucinya yang galak itu.

“Pek Hong Ing, sebagai murid engkau telah murtad, melanggar perintah guru dan pergi tanpa pamit. Untuk semua itu, Subo masih dapat mempertimbangkannya asal saja engkau ikut bersamaku ke puncak Go-bi-san. Kalau tidak, sekarang juga akan kupenggal kepalamu dan akan kubawa kepalamu kepada Subo seperti yang diperintahkan Subo!”

Mendengar ucapan itu, belasan orang nikouw yang berada di situ dan yang menonton dengan muka marah itu menjadi makin marah. “Dari mana datangnya perempuan jahat yang menghina Toa-suci?” Mereka itu lalu menyerbu den mengeroyok Kim In.

“Para sumoi... jangan...!” Hong Ing berteriak, namun cegahannya terlambat, tubuh Kim In melesat ke sana-sini dan dalam segebrakan saja belasan orang nikouw itu sudah roboh semua den mengaduh-aduh terkena pukulan den tendangan kaki Kim In.

“Hemm, kalau tidak ingat kalian semua adalah pendeta, apakah kalian dapat mengharapkan untuk dapat hidup?” Kim In berkata, sikapnya dingin sekali.

Para nikouw yang hendak membela Hong Ing itu sudah bangun lagi dan mereka mulai mencari senjata. Akan tetapi Hong Ing melompat dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Para sumoi kuperintahkan agar jangan melawan! Biarkan aku pergi bersama dia, dia ini adalah suciku!” Kemudian dia menoleh kepada Kim In sambil berkata, “Saya menurut kehendak Suci dan ikut bersamamu menghadap Subo, akan tetapi baik engkau maupun Subo jangan mengharap akan dapat memaksaku menikah setelah aku sekarang menjadi nikouw.”

“Sumoi, kau tahu betapa sejak dahulu aku menganggapmu sebagai adik sendiri. Akan tetapi, betapapun juga kita tidak bisa menentang Subo.” Kata-kata ini membuat Hong Ing terharu. Dia teringat dahulu sucinya ini yang mencegahnya membunuh diri dan tahu pula bahwa andaikata sucinya itu membantunya lari, tetap saja mereka berdua tidak akan dapat terlepas dari pengejaran subo mereka yang memiliki kepandaian seperti dewi!

Maka berangkatlah kedua orang sumoi den suci ini meninggalkan Kuil Kwan-im-bio, diiringi tangis para nikouw yang dapat menduga bahwa toa-suci mereka yang juga guru mereka yang mereka sayang itu tentu menghadapi malapetaka yang besar dan mereka sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya.

Kim In den Hong Ing melakukan perjalanan cepat sekali karena keduanya menggunakan ilmu berlari cepat. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan besar yang amat sunyi. Tiba-tiba keduanya berhenti karena tahu-tahu ada bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar di depan mereka. Ketika keduanya memandang ternyata orang itu bukan lain adalah Yap Kun Liong yang berdiri dengan tenang namun dengan kedua alis dikerutkan dan wajah serius sekali, berbeda dari biasanya yang selalu berseri gembira.

“Kun Liong...! Apa yang akan kaulakukan di sini?” Hong Ing berseru kaget sekali.

“Hemmm, hwesio cabul apakah kau berani menghadang kami?” Kim In memaki dan sudah mencabut lagi pedangnya.

Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. “Nona Ing, betapa lemahnya engkau, menurut saja kepada kehendak orang lain yang hendak mencelakakan. Dan engkau, Nona. Apakah engkau demikian kejam hendak mencelakakan sumoi sendiri? Kemana perikemanusiaanmu?”

“Jangan mencampuri urusan kami!” Kim In membentak.

“Kun Liong... aku tahu maksudmu baik, tapi... tapi ahhh, pergilah, jangan membikin aku lebih susah dan bingung...!” Hong Ing memohon.

“Tidak! Sebelum aku bicara, aku tidak akan membiarkan kau dipaksa pergi oleh siapapun juga!” Dia memandang kepada Kim in, pandang matanya berkilat sehingga gadis itu terkejut juga. “Nona, kau salah sangka, aku bukan hwesio bukan pula melakukan perbuatan busuk dengan sumoimu. Kami adalah dua orang sahabat yang kebetulan saja saling bertemu dan saling menolong dari bahaya, hanya orang yang kotor pikirannya saja yang akan menyangka yang bukan-bukan! Sumoimu ini sudah menjadi nikouw, berarti menjadi seorang suci yang tidak mau lagi berhubungan dengan dunia ramai. Mengapa sekarang dipaksa hendak dibawa dan dikawinkan? Aturan mana ini? Pula, andaikata dia tidak menjadi nikouw, juga amat tidak patut kalau memaksa seorang dara seperti dia menikah di luar kehendaknya. Apakah dia itu seekor kucing atau anjing yang boleh dikawinkan begitu saja menurut selera dan pilihan orang lain? Apakah dia itu sebuah benda yang diperjualbelikan, dan karena yang membeli seorang pangeran kaya lalu diserahkan begitu saja biarpun dia tidak sudi menjadi isteri seorang tua bangka? Kau dan gurumu yang berjuluk Go-bi Sin-kouw itu sungguh tidak berperikemanusiaan dan kejam, sungguh kejam!”

“Keparat, jahanam, tutup mulutmu!” Kim in sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berkelbat menyerang dengan serbuan ganas dan dahsyat sekali. Akan tetapi dengan mudah Kun Liong sudah mengelak dan pemuda ini sudah siap untuk melawan. Dia akan merobohkan gadis ini tanpa melukainya agar mendapat kesempatan untuk mengajak lari Hong Ing. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat Hong Ing menggerakkan saputangannya menyambar dan menyerangnya.

“Tar...!” Ujung saputangan menghantam kepala gundulnya dan dia sengaja tidak menangkis karena dia merasa heran sekali. Seperti disengat lebah, tampak bagian kepala yang dihantam ujung saputangan tadi menjendol dan berwarna merah. Hal ini karena Kun Liong sengaja membiarkan kepalanya dihantam, hanya gerakan otomatis dari sin-kangnya saja yang melindungi sebelah dalam kepala, akan tetapi kulitnya tidak kebal dan kepala di bagian itu menjendol sebesar telur ayam.

“Hong Ing...” Dia mengeluh.

Hong Ing berdiri dengan wajah pucat. “Sudah kukatakan, pergilah... jangan membikin aku lebih susah lagi, Kun Liong. Engkau takkan menang melawan dan kalau sampai Suci membunuhmu, aku... lebih berat lagi untuk mentaatinya. Pergilah, aku tahu niatmu baik dan maafkan seranganku tadi, Kun Liong.”

“Bagalmana... kalau... kalau mereka memaksamu menikah?” Kun Liong masih bertanya ketika kedua orang gadis itu sudah berjalan pergi lagi.

Tanpa menengok Hong Ing menjawab, “Mudah saja membebaskan diri dari segala keruwetan dunia ini!”

Kun Liong masih berdiri pucat setelah bayangan dua orang gadis itu tidak tampak lagi. Ucapan Hong Ing itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bunuh dir! Kematian memang menjadi jalan yang paling mudah untuk membebaskan diri dari segala macam keruwetan dunia.

“Nona Ing...!” Dia mengeluh dan menghapus dua bintik air matanya dan dia kaget sendiri. Apa artinya ini? Mengapa dia merasa begini sengsara, merasa begini kesepian setelah Hong Ing pergi? Ah, apakah aku telah gila, pikirnya dan dia membalikkan tubuh, lalu berlari-lari cepat sekali menuju ke Kwi-eng-pang herusaha untuk mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu otaknya. Betapapun juga, masih saja wajah cantik jelita penuh kelembutan, mata yang bening dan sedalam lautan, sikap halus penuh pengertian itu selalu terbayang di depan matanya sampai kadang-kadang Kun Liong berhenti berlari, mengusap mukanya, mengeluh, kemudian berlari lagi secepatnya.

Dengan bantuan peta yang dahulu dibuatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong untuknya, Kun Liong dapat menyeberangi Telaga Setan. Dia menemukan sebuah perahu kecil di semak-semak di tepi telaga, kemudian dengan mengambil cara memutar sesuai dengan petunjuk di peta, dia mendayung dan menyeberangi Kwi-ouw menuju ke pulau di tengah telaga itu.

Sesuai dengan petunjuk di dalam peta itu, dia menyeberangi Kwi-ouw di waktu malam terang bulan dan mengemudikan perahunya melalui bagian-bagian tertentu, menyelusup alang-alang, melintasi bawah sebuah jembatan yang menjulur ke telaga, kemudian melalui semacam pintu dari dinding batu karang dan akhirnya dia dapat mendarat di tepi pulau sebelah timur, bagian yang tebingnya amat terjal dan terdiri dari batu karang yang amat kuat berwarna hitam kemerahan. Dia menggunakan tali yang berada di perahu untuk mencancang perahunya pada batu karang, kemudian dia mengaso dan tidur di atas perahu kecil, dibuai ombak sehingga tidurnya enak sekali. Dalam tidur itu dia bermimpi dia bertemu dengan Hong Ing, melihat Hong Ing menjadi pengantin den diarak dengan joli, akan tetapi di tengah jalan dara itu menangis dan dia lalu mengobatinya seperti dahulu, hanya melihat sebagian pinggul gadis itu saja!

Dia terbangun den di ufuk timur sudah tampak sinar kemerahan yang belum muncul. Tertawa sendiri dia mengingat akan mimpinya. Mengapa pinggul itu tak pernah dapat dia lupakan?

Mulailah Kun Liong mendaki batu karang, dibantu dengan alat yang telah disediakannya sebelumnya sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong, yaitu dua betang besi kaitan. Biarpun dia seorang ahli sin-kang yang kuat den dapat merayap ke atas dinding seperti seekor cecak, namun mendaki tebing itu merupakan perbuatan berbahaya sekali dan bermain-main dengan maut tanpa dibantu dua buah kaitan itu, karena tebing itu selain curam, juga licinnya bukan main penuh dengan lumut yang tercipta dari air yang tersinar panasnya matahari.

Akhirnya dengan perasaan lega dia dapat mencapai puncak tebing, lalu melemper kedua kaitannya di atas batu dan mulailah dia berloncatan menuju ke tengah pulau, ini pun dia lakukan dengan hati-hati, dengan perhitungan ke kanan kiri mengatur langkahnya dan menghitung langkah karena tempat ini pun tidak terluput penuh dengan jebakan-jebakan yang amat berbahaya. Dia sudah menghafalkan lebih dulu petunjuk dalam peta, maka dengan enaknya dia dapat berloncatan dengan selamat sampai akhirnya dia tiba di depan pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Kwi-eng Niocu, Ketua Kwi-eng-pang. Dia masih ingat tempat ini dan tersenyum ketika teringat betapa dia pernah ditangkap oleh para pelayan seperti orang-orang menangkap ikan saja.

Peta itu dia butuhkan hanya untuk menunjukkan jalan kepadanya. Setelah sampai di depan pondok musuhnya ini dia tidak perlu lagi bersikap sembunyi-sembunyi. Dia menggunakan peta hanya agar dapat bertemu dengan Kwi-eng Niocu. Dia datang bukan sebagai pencuri, perlu apa sembunyi-sembunyi? Maka Kun Liong berdiri dengan tegak di depan pondok itu, mengangkat dada dan mengerahkan khi-kangnya berteriak nyaring sekali, “Kwi-eng Niocu...! Keluarlah, ini aku Yap Kun Liong ingin bertemu denganmu untuk bicara...!”

Gegerlah pulau itu karena suara Kun Liong bergema dahsyat sampai ke seluruh permukaan pulau. Para petugas yang menjaga di sekitar pondok, yang tadinya tertidur karena memang tidak menyangka akan ada sesuatu, serentak bangun, menyambar senjata dan berlari-larian datang mengurung Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini tenang-tenang saja dan ketika seorang di antara mereka, seorang komandan penjaga menodongkan tombaknya di depan dadanya sambil membentak agar dia menyerah, Kun Liong menggerakkan tangan dan tombak itu sudah pindah ke tangannya, kemudian dipatah-patahkannya tombak itu seperti mematah-matahkan sebatang biting (lidi) saja! Semua penjaga menjadi bengong dan Kun Liong berkata, “Aku tidak berurusan dengan kalian. Aku mau hicara dengan ketua kalian Kwi-eng Niocu!”

Karena melihat pemuda itu sedemikian lihainya dan benar saja tidak bergerak apa-apa, mereka lalu mundur dan mengurung dengan membuat lingkaran lebar sambil menanti datangnya ketua mereka untuk menerima perintah.

Tak lama kemudian, dari dalam pondok itu terdengar suara, pintu pondok terbuka dan muncullah tiga orang dengan sikap garang. Seorang wanita setengah tua yang sikapnya agung berdiri di tengah. Wanita ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru kurang dari empat puluh tahun, tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih lemah gemelai ketika melangkah menuruni anak tangga depan pondoknya. Di sebelah kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai. Dan di sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya. Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu, tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan bulu matanya! Namun langkahnya masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa, menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik dan tentunya amat lihai, melihat sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling kanan.

Melihat pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri dan seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya, “Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!”

Kakek itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung khi-kang yang kuat sekali!

“Hua-ha-hah-ho-hoh! Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!”

“Aku yakin dia ini yang menyembunyikan bokor emas yang aseli. Hai, orang muda, bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah di mana adanya bokor yang aseli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia di pulau ini!”

Kun Liong cemberut, menyembunyikan kepanasan hatinya mengingat bahwa mereka ini adalah seorang diantara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang masib hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya. Namun dia dapat bersikap tenang karena dia ingin mendapatkan lebih dulu pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata, “Kwi-eng Niocu, dahulu aku telah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu-menahu tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli. Yang penting aku datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku memberikan bokor kepadamu? Nah, aku datang untuk menerima sebatang pedang pusaka dan sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda lama yang menjadi pusaka Siauw-lim-si. Harap engkau sebagai seorang yang terkenal, sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke Siauw-lim-si.”

“Yap Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang tidak akan melanggar janjinya. Dahulu memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah benda Siauw-lim-si kalau ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena itu, tidak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda palsu.”

“Hemmm, tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu jelas adalah milik Siauw-lim-si yang kalian curi. Maka sekarang aku datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apa pun yang terjadi!” Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap menantang.

“Gundul sombong!” Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan. “Ketahuilah dahulu aku yang mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus menempuh kesukaran, yang mengandalkan kepandaian. Kalau engkau ada kepandaian, boleh kaucoba merampasnya kembali dari tanganku!”

Liong Bu Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biarpun potongon mukanya paling cantik di antara mereka bertiga. Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini benar-benar amat menyayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini!

Akan tetapi dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh seorang diantara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit. Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup sutera kuning. Setelah mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut lepas kain kuning dan tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka Siauw-lim-si yang dahulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini!

Kun Liong memandang Bu Kong dan berkata, “Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan kepadaku?”

Liong Bu Kong tertawa mengejek. “Kita lihat saja nanti, tapi coba lebih dulu kaulawan aku, Gundul!” Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong sudah mencabut sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiem (Pedang Kilat) yang ampuh!

“Bu Kong jangan bunuh dia, aku masih membutuhkannya!” Kwi-eng Niocu berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.

“Ha-ha, jangan khawatir, Ibu. Aku hanya ingin menggurat beberapa garis di atas kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah ini!” Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar ke arah leher Kun Liong.

Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.

Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya. Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

lanjut ke Jilid 057-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar