Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 52

Petualang Asmara Jilid 052

<--kembali

Kun Liong kaget, mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada rahasia! “Maafkan aku...” katanya lirih.

Yuan menepuk-nepuk pundaknya. “Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan gagah, tidak menggunakan kesempatan selagi ada gadis cantik mencintamu kaupergunakan untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tak dapat dipaksakan. Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian, hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu...”

“Tuan, dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas dan ke dua menolong Nona Souw Li Hwa.”

“Serahkan nona itu kepada tanggungjawabku!” Ucapan itu dikeluarkan keras-keras sehingga mengagetkan Kun Liong, akan tetapi karena maklum bahwa hal ini terdorong oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk dan berkata lirih, “Engkau pun gila oleh cinta seperti adikmu.”

Yuan menghela napas duka. “Agaknya memang sudah nasib kami berduka, menjadi korban cinta sepihak.”

“Bagimu belum tentu, Yuan.”

Agaknya Yuan tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata, “Semua sudah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado menghadapi Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku menghadapi anak buah Pulau Ular, kupimpin sendiri dan aku sekalian mencari Li Hwa. Harap saja engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan rencana penyerbuan.”

Kun Liong meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata, “Aku siap dan taat, Kapten!”

Yuan tertawa dan menampar pundak Kun Liong. “Gila kau!”

Sesuai rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat pantai lalu menembakkan meriamnya. Para anak buah Pulau Ular yang berkumpul di pantai untuk menyambut penyerbuan itu, kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur. Hal ini dipergunakan oleh Yuan dan anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat. Mulailah terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api membuat bising, diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang jarak jauh ini. Akan tetapi pihak Yuan terus mendesak sampai ke tengah pulau di mana terjadi sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol makin tidak berguna, lebih banyak terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan kepalan tangan.

Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong sudah siap menyambut, Kun Liong bersama Legaspi Selado dan Hendrik, seperti direncanakan, menghadapi mereka. Kun Liong melawan Toat-beng Hoat-su sedangkan Legaspi dan puteranya mengeroyok Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama karena terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh, “Aku mencari benda itu!” Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun Liong dikeroyok dua oleh Ban-tok Coa-ong. Agaknya Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek itu takkan mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia. Hanya dia, Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana rahasia tempat itu.

Diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoat-su, dia repot setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar amat lihai. Mula-mula kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerangnya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, pemuda itu selalu dapat mengelak dari serangannya, bahkan berani pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat seluruh lengannya tergetar, tanda bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang yang amat kuat! Karena penasaran, Toat-beng Hoat-su menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya dan begitu diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun membawa tangan maut, Kun Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya biarpun membuat jubah terpental, namun lengannya terasa pedas sedangkan lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa, berbeda kalau lengan kakek itu yang ditangkisnya! Dan sekarang tiba-tiba Hendrik dan Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan puteranya itu berwatak curang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk sedangkan mereka sendiri pergi mencaari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas itu terjatuh ke tangan Legaspi, tidak mungkin kakek asing yang tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan para datuk kaum sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan bokor pusaka.

Namun, dia tidak mempedulikan kakek asing itu. Andaikata bokor terdapat oleh kakek itu, mudah kelak dicari. Sekarang yang penting dia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong yang lihai.

Sebetulnya, mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong masih jauh lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek sesat yang hanya memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak karuan dan semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki dasar yang kuat. Juga dalam hal sin-kang, pemuda gundul ini telah memiliki sin-kang Pek-in-ciang dari Tiang Pek Hosiang, sin-kang istimewa untuk membetot dari Bun Hoat Tosu, dan terutama sekali Thi-khi-i-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, terutama sekali dua orang kakek itu adalah ahil-ahli ilmu muslihat licik, ditambah lagi Toat-beng Hoat-su menggunakan senjata jubah sedangkan Ban-tok Coa-ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang ular di tangan kanan. Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan sin-kangnya melindungi tubuh, mengerahkan gin-kang untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini dan mainkan Pat-hong-sin-kun yang dapat membuat penjagaan delapan penjuru!

Pertempuran antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi karena tidak lagi ada kesempatan menggunakan senjata api, orang-orang barat itu dalam pertandingan senjata tajam dan kepalan tangang kalah pandai oleh anak buah Pulau Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak. Akan tetapi Yuan de Gama, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggauta lawan dan menyeretnya ke pinggir.

“Lekas katakan, di mana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!”

Orang Nepal itu yang tengkuknya dicengkeram tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri sekali, menjawab gagap. “Dia... di... pondok Kongcu...!”

“Lekas bawa aku ke sana, kalau kau membohong akan kubunuh. Kalau tidak, akan kulepaskan!”

Sambil mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke arah pondok Ouwyang Bouw. Yuan menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia lari masuk sambil berteriak memanggil, “Li Hwa...! Li Hwa...!”

“Tuan...!” Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak. Ditamparnya leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di pembaringan dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang, rambut awut-awutan dan muka pucat, Yuan menjerit. “Duhai... Li Hwa... kau...!”

“Yuan! Syukur kau datang...!”

Yuan cepat melepaskan belenggu kaki tangan dara itu dan mereka seperti digerakkan tenaga mujijat saling dekap, saling cium dan keduanya menangis! Akan tetapi Yuan berbisik, “Tenanglah, kekasihku, dewiku... ah, Li Hwa yang kucinta, kau sudah selamat... mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk ini...”

Sambil tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih lemas sekali. Pergelangan kedua tangan dan kakinya masih luka-luka bekas belenggu yang kuat, dia hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu, merebahkan dan menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik, “Yuan... aku... aku cinta padamu...”

Ucapan ini membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan, hanya air matanya saja berderai saking terharu dan bahagianya, dan memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong sebuah benda pusaka keramat yang dipujanya, kemudian lari keluar dari pondok itu dan terus berlari cepat menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang yang masih terjadi di situ. Setibanya di Kapal Kuda Terbang, dia memerintahkan beberapa anak buah yang melayani kapal dan tidak ikut berperang, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan kapal agak ke tengah akan tetapi melepaskan perahu-perahu kecil di pantai sehingga para anak buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal kalau pertandingan sudah selesai.

Setelah memondong tubuh Li Hwa ke kamarnya, merebahkan dara itu ke atas pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas, lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki, memberikan seperangkat pakaian Yuan untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu berkata, “Li Hwa, kau menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan yang masih bertempur.”

“Jangan...!” Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow. “Mereka amat sakti...”
Tahu bahwa dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang sudah duduk itu. Maka Li Hwa menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu dibalasnya dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia menjadi malu sendiri dan dia ikut turun dan berdiri.

“Jangan khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak buah, dan terutama sekali, di sana ada sahabatku yang paling hebat, yaitu Yap Kun Liong.”

“Ohhhh...!” Sungguh Li Hwa tidak menyangka akan hal ini dan diam-diam dia pun girang karena dia tahu bahwa pemuda gundul itu benar-benar lihai, sungguh pun dia masih sangsi apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular.

Mereka keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal “Aku harus membantu mereka, dan kau tinggallah di sini, sayang.”

“Tidak, aku akan ikut denganmu!”

“Jangan kau masih lemah.”

“Hanya luka ringan dan sekarang sudab pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh, lihat, mereka datang...”

Yuan menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besat milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengen sigap ke darat lalu menyerbu ke pulau.

“Mereka itu tentulah anak buah Suhu!” Li Hwa berseru girang.

Mendengar ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa yang menggandeng lengannya, agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi. Diam-diam dia melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan mencintanya. Cinta yang mendalam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan tetapi Yuan, pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan dapat menyetujui perjodohan ini? Apa pun yang akan terjadi, dia tetap akan hidup bersama Yuan. Kalau perlu dia akan menentang gurunya. Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun tidak boleh mencampurinya, termasuk gurunya sendiri!

Apakah yang terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa? Ketika itu, Kun Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat yang amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih sempat mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata terompet, akan tetapi dari samping, jubah di tangan Toat-beng Hoat-su menyambar dan dia merasa seperti diseruduk gajah, tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya! Baiknya, sin-kang di tubuhnya yang otomatis itu sudah menyelamatkannya sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening, tampak bintang-bintang kecil menari-nari. Terlempar sejauh itu menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat menyambar sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang lawannya menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu. Cepat dia mainkan Siang-liong-pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri dan kedua orang kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan Toat-beng Hoat-su hampir buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah pundak kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas. Mereka kaget dan marah, Ban-tok Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia sudah menerjang dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak. Akan tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan, die lebih leluasa melawan dan lebih kuat penjagaannya, karena ranting-ranting itu setiap kali menangkis dapat dia serongkan sebagai serangan balasan.

Pada saat itu, terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Panglima Besar The Hoo sekali ini memimpin sendiri penyerbuan, bukan semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi terutama sekali karena dia khawatir akan keselamatan murid tunggalnya yang juga seperti puterinya sendiri, Souw Li Hwa.

Kedatangan pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama sekali. Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus. Para pasukan pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan karena bukankah sekarang telah ada semacam “perdamaian” antara orang-orang bule ini dengan pemerintah , karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai Pohai? Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu girang sekali dan mundur untuk beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular terdesak hebat dan banyak di antara mereka berjatuhan.

Sementara itu, ketika Cia Keng Hong melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang datuk, bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Kedua orang sakti ini kagum bukan main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting mampu mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu. Mereka segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong, “Mundurlah kau dan mengasolah!”

Kun Liong menjadi girang bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak melihat Owyang Bouw? Ke mana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini? Pemuda itu sedang berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua orang datuk itu takut kalau-kalau musuh menggunakan siasat memancing harimau keluar dari guha, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena mereka sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, tidak perlu kiranya Ouwyang Bouw membantu mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas!

“Supek, teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!”

“Hemmm, kalau begitu pergilah!” Keng Hong berkata cepat.

Setelah memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan main gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The Hoo itu! Dia lalu pergi dan meloncat ke arah ke mana perginya Legaspi dan Hendrik tadi.

Ke mana perginya Legaspi Selado dan puteranya? Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak melihat Ouwyang Bouw, dan dia menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu yang bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular, mencekiknya dan mengancam, “Hayo katakan di mana adanya Ouwyang-kongcu!” Dia tidak menanyakan bokor emas karena menduga bahwa anak buah di situ kiranya tidak ada yang diberi tahu dan memang dugaannya itu tepat.

Karena takut, orang itu lalu memberi tahu di mana kamar pusaka, karena tadi dia melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat rahasia. Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu memutar sebuah patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka dan terdapat sebuah pintu! Legaspi menampar pecah kepala orang itu, kemudian bersama Hendrik dia memasuki pintu rahasia!

Ketika Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, Hendrik melihat berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang Ouwyang Bouw tentu saja sudah tahu bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi Selado yang sudah diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang melawan kakek botak itu. Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan terlihat oleh Hendrik.

“Heee... berhenti...!” Hendrik mengejar dan mencabut pistolnya.

Melihat ada lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek ketika melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata api di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan ketepatan pelurunya, lebih bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik, tangannya sudah menggenggam jarum-jarum mautnya.

Melihat orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa orang-orang di Pulau Ular tentu lihai sekali, cepat mengangkat lengan, membidik dan menarik pelatuk pistolnya. Semua gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia termasuk seorang penembak ulung di negaranya. Akan tetapi terlalu lambat bagi pandangan Ouwyang Bouw yang telah bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol diarahkan kepadanya. Dia miringkan tubuh dan gerakan ini hanya membutuhkan waktu seperempat detik saja, sedangkan jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai sasarannya paling cepat setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan sebelum Hendrik sempai menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan menggerakkan tangannya.

Melihat sinar merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang senjata gelap, cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan.

Hanya tiga perempat saja dari jarum-jarum yang digenggam itu menyerang dan semua ini dapat dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum menyusul sedetik kemudian dan sekali ini, biarpun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah cepat dan sambil berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah memasuki dadanya!

“Hendrik...!” Legaspi berteriak. Kakek botak ini sudah keluar dari rumah itu dan mengejar. Terlambat dia melihat puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat memanggil nama puteranya. Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan cepatnya sambil memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan puteranya dan terus mengejar.

Owyang Bouw tidak berani melawan Kakek Botak itu. Dia sudah mendengar dari para datuk kaum sesat betapa lihainya kakek asing bule ini, maka dia tidak mau membahayakan dirinya sendiri. Dia mengerahkan tenaga gin-kangnya, dan berlari lebih cepat lagi masuk keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu. Namun kakek itu tetap dapat mengejarnya makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw menjadi panik sekali. Sebentar lagi, dia tentu akan tersusul. Dia meloncati jurang, namun pengejarnya dapat meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia mendengar suara kakek itu dekat di belakangnya. “Serahkan bokor itu kepadaku, ke mana pun kau lari tentu akan terdapat olehku!”

Mendengar suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw betapa tinggi ilmu gin-kang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam pikirannya. Bokor atau nyawa? Dia memilih nyawa dan tiba-tiba dia melontarkan bokor emas itu sekuatnya ke dalam jurang!

Perhitungannya tepat sekali. Melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi cepat mengejar benda itu dan tidek lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang terpenting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andaikata tidak ada bokor itu, tentu saja dia akan bunuh pemuda itu karena telah merobohkan puteranya.

Mendapatkan bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian berlari kembali. Kelika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh itu telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun yang amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia menolong.

“Ayah... tolonglah saya...”

Legaspi Selado bangkit berdiri. “Percuma, kau tentu akan mati tak lama lagi. Dan lebih baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina.”

Setelah berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia sudah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih berlangsung, apalagi menolong Souw Li Hwa seperti yang direncanakan. Bokor sudah didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik! Apalagi, dia melihat dari jauh betapa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang bertanding dan terdesak oleh dua orang yang lihai bukan main. Yang seorang dia tidak mengenalnya, akan tetapi yang melawan Toat-beng Hoat-su yang dia tahu amat sakti, adalah seorang yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri, karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima Besar The Hoo yang namanya tidak saja menggemparkan seluruh Tiongkok, akan tetapi juga terkenal jauh di negara-negara di luar Tiongkok!
Maka dia makin cepat lari dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong. Dari jauh dia tidak melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor, akan tetapi karena dia tahu bahwa Legaspi Selado dan puteranya tadi meninggalkan gelanggang pertandingan tentu untuk mencari bokor, dia mengejar terus. Di jalan tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan tanda-tanda keracunan jarum merah milik Ouwyang Bouw. Akan tetapi tidak tampak Ouwyang Bouw atau mayatnya di situ. Apakah kakek di depan itu masih sedang mengejar Ouwyang Bouw? Dia tidak tahu maka dia mempercepat larinya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek itu benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biarpun dia sudah tua dan tubuhnya gendut.

Legaspi sudah meloncat ke sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar dengan Perahu Ikan Duyung di tengah laut, dalam jarak yang tidak terlalu jauh.

Kun Liong yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di kapal dan meloncat ke atas kapal itu. Maka dia pun cepat menggunakan sebuah di antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang. Akan tetapi sengaja dia mengambil jalan memutar.

Sementara itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum bahwa penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintah Perahu Ikan Duyung yang ditumpangi ayah dan adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh (jangkar) dan berlayar lebih dulu ke utara. Adapun dia dengan Li Hwa yang memiliki kepandaian tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang lain untuk kembali ke kapal. Dan benar saja, dia melihat dari pantai ada tujuh orang temannya yang tergesa-gesa naik perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi Legaspi Selado sudah meloncat lebih dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama dan Li Hwa betapa bokor emas itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik jubahnya!

“Guruku telah berhasil merampas bokor!” kata Yuan gembira karena memang menurut rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar perhubungan antara para pedagang dan kerajaan menjadi makin erat yang hasilnya tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing.

Souw Li Hwa menghadapi Legaspi dan berkata, “Kembalikan bokor emas itu kepadaku.”

Akan tetapi Legaspi memandang dengan mata terbelalak dan melotot marah. “Kau! Bukankah kau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan sahabatku? Kau harus mati!” Sambil berkata demikian, Legaspi sudah mengeluarkan cambuknya yang lihai, mengayun cambuk di atas kepala sampai terdengar ledakan-ledakan, kemudian cambuk menyambar turun ke arah tubuh Li Hwa! Biarpun Li Hwa masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri. Dia telah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia siap menghadapi lawan tangguh itu dengan tangan kosong.

“Tuan Legaspi Selado, jangan serang dia!” Yuan de Gama membentak, “Dia adalah murid Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan bokor...”

Cambuk itu menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek.

“Ha-ha, kau hendak melawan gurumu, ya?”

Legaspi kini kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan biarpun Li Hwa dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas menyerang. Tubuhnya masih lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali di pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya robek.

“Tuan Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!”

Mendengar ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama. Dia maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu.

“Saya adalah kapten kapal ini, biarpun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah kapten!”

Pada saat itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat di atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat mereka itu adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu cukup bagi Legaspi. Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika pistolnya direnggut ujung cambuk dari tangannya!

“Ha-ha-ha! Tangkap mereka!” Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang dengan cambuknya. Yuan dan Li Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua orang di antara tujuh kaki tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan mengancam, terpaksa mereka menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti mati, maka sementara ini lebih baik menyerah.

“Ikat mereka di tihang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!” kata Legaspi. “Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!”

Di dalam kesibukan itu, mereka semua tidak melihat Kun Liong yang menyelinap dan tahu-tahu pemuda ini sudah berada di belakang tihang di mana Li Hwa dan Yuan dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka dan membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua orang tawanannya itu tidak mungkin lolos.

“Terima kasih, Kun Liong...”

“Ssst, kalian lawan tujuh orang itu dan aku menghadapi Legaspi!” Kun Liong cepat meloncat ke luar dan gegerlah tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul ini muncul seperti setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, hanya mereka yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata ketika melarikan diri dan meninggalkan banyak mayat kawan mereka, tapi dari belakang mereka meloncat keluar lima orang pelayan pribumi yang langsung menyergap mereka. Terjadi perkelahian cepat dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan tetapi Kun Liong yang bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah pistol terlempar ke laut, Li Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh orang anak buah Legaspi Selado, dan kakek botak itu sendiri, dengan bokor emas dirangkul oleh lengan kiri dan cambuknya dipegang tangan kanan, terpaksa menghadapi serbuan Kun Liong!

Adapun Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan mereka. Apalagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan kakek botak yang lihai itu, dia menggerakkan semua tenaga yang masih ada dan berkat ilmu silatnya yang tinggi, sebentar saja dia dapat merobohkan mereka, dibantu Yuan, seorang demi seorang.

lanjut ke Jilid 053-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar