Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 50

Petualang Asmara Jilid 050

<--kembali

Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong. “Kun Liong, untung Ayah dapat menekan kemarahan Tuan Selado,” kata Yuanita. “Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang ber-kuasa penuh untuk menanggungmu seba-gal seorang tamu yang tak boleh digang-gu.”

“Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?”

“Biarpun dia guruku, akan tetapi se-bagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberitahukan guruku bahwa per-musuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pembe-rontakan di darat, maka saat itu engkau tidak boleh dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya.”

Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. -Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan tentang pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.

“Kaisar telah bersikap baik sekali kepada kami,” Yuan menutup penuturannya dan menarik panjang. “Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengebarkan kepada para pedagang yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado dan teman-temannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebi-jaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan menda-tangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pe-dalaman dan langsung membeli rempa--rempa dari para penduduk pribumi, juga dengan langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan ke dua dan sebagainya...”

“Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok sendiri dari pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang dan tidak hendak mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan,” kata Kun Liong.

“Apa yang dikatakan Yap-taihiap be-nar, Yuan,” kata Richardo de Gama. “Semenjak dahulu, kita bukanlah keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang.”

Yuan mengangguk-angguk. “Aku pun tidak suka terseret ke dalam pemberon-takan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang hal itu telah terjadi dan tentu kami telah mendapat kesan buruk dari Kaisar. Andaikata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pembe-rontak terkutuk itu, agaknya pihak peme-rintah akan lebih longgar terhadap kita, apalagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar ne-geri berkat pelayaran-pelayaran Laksa-mana The Hoo yang bijaksana...”

“Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Beser The Hoo!” Tiba--tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. “Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan berada tak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau berhasil mengembalikan bokor itu, dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali.”

“Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus prosen. Di mana bokor itu?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu.

Yuan bangkit berdiri. “Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!”

Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela. “Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang telah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk memperoleh kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang amat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan, akan tetapi mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?” Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, kalau merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi pengha1ang dan musuh, dan amat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang berbahaya. Apalagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoat-su dan semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.

“Memang kita harus bekerja sama,” akhirnya dia berkata setelah semua du-duk. “Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat. Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su. Mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai.” Legaspi Selado bangkit berdiri, “Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apalagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!”

Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong agar kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Setelah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bertemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih.

“Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?”

“Sst... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular dan di sana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat.”

“Aku tidak inginkan bokor emas!”

“Hussshhh, engkau tidak menginginkannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, besar sekali jasamu. Selain kau, engkau tidak tahu bahwa kita harus menolong Nona Souw Li Hwa...”

Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramya erat-erat. “Apa katamu? Dia... dia... kenapa?”

Yuanita membelalakkan mata. “Yuan! Siapakoh nona itu?”

“Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?”

“Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa telah melakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi malapetaka di sana. Karena itu, bukan-kah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapat-kan kembali pusaka Panglima Tht Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?”

“Kalau begitu kita harus cepat ke sana!” Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya. Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik, “Apakah dia telah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?” Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia.

Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah ia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya cumbu rayu yang saling ditukarnya dengan Yuanita. Di dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang takkan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang. Mengapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selelu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang.

Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tidak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang telah berada di tangannya malah berlarut-larut menjadi makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa! Sekali ini dia harus berhasil. Biarpun Pulau Ular kabarnya -berbabaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu besar dan kuat, diperlengkapi dengan senjata meriam. Juga ia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka. Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apalagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti tidak sia-sia semua jerih payahnya. Dia harus cepat menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya. Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran kalau dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Ken Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supeknya itu. Kalau memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, mengapa sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya? Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya, tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu!

Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam timbul dalam lamunan, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memperoleh pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan untuk mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya. Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya dan dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai de-ngan ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya, dalam saat itu juga semua urat syarafnya menegang dalam kesiapsiagaan menghadapi suatu ancaman bahaya. Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya meningkat akan tetapi berubah, bahkan tegang karena khawatir, melainkan karena heran. Jelas tampak sosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar ke-ras. Benarkah Yuanita yang masuk? Be-tapa beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap! Timbul kekhawatiran di dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampunya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mondengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu, “Tuan... kekasihku...” Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina!

Kun Liong terpesona dan bagaikan se-ekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil ke-putusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat “berbahaya”. Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya, akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat me-ngeluarkan suara sedikit pun.

“Yuan... gelap amat...” wanita itu berbisik lagi akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan! Tak pernah dia dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum dan membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!

“Haiii...!” Tiba-tiba Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu mem-belai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit. “Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya se-orang pendekar yang sakti? Ahh, aku mendengar bahwa pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu...”

Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelainya, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.

“Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang...” kata-nya gagap.

“Hi-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?”

Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.

Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak dapat menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang. Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjina dengan isteri orang lain! Ingatan ini mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus.

“Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!” katanya lirih.

“Ahhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hik, orang muda yang kuat, ja-ngan kau berpura-pura alim...”

Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah dan wanita itu hendak meng-gelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan, “Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?”

Kun Liong terkejut bukan main. Apalagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!

“Yuan... dia... dia ini...” Kun Liong berkata gagap.

Yuan mengangguk. “Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!”

Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari “hawa segar”.

“Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk...” Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan dan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!

“Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu...”

“Cukup, Nina! Satu kali saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi se-mua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!”

“Hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di gini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku kesalahan masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menu-tupi maluku, aku... hemm... dia pun...”

“Sudahlah, Nina. Tak perlu berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kaubujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan.”

Akan tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan menghampirl Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja. “Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu...”

“Diam!” Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. “Orang seperti engkau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!”

Kun Liong yang sudah kembali dan mendengarkan dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama. Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama?

Terjadi kegaduhan di kamar itu kare-na dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi be-tapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis. Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga kepada wanita itu, maka dia menyelinap dan memba-yangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu. Biarpun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya membutuhkan penyaluran, akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya.

Nina berlari menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk pintu kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Sela-do! Kakek botak itu membawa sebuah batol yang tinggal sedikit isinya, mukanya merah dan begitu melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar,

“Plakkk!!”

“Aughhh...!” Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak me-rah, matanya terbelalak memandang suaminya. Melihat ini, Kun Liong merasa langannya gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa yang menampar adalah suami sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia sudah keluar menegur kakek botak itu!

“Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu!” Legapsi Selado memaki lalu menenggak minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, setelah itu sekali mengayun tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari kapal menuju ke laut gelap.

Kun Liong mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu marah-marah, mengata-ngatai-nya dengan gerakan tangan dan sambil bercucuran air mata. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wa-nita itu, akan tetapi dia melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali sedangkan Legaspi Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak dengan acuh tak acuh dan pergi meninggalkan Nina. Wa-nita itu membanting-banting kaki, berteriak-teriak dan menangis. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda yang bukan lain adalah Hendrik Selado, putera Legapsi Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan merangkulnya, bergantung pada pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak. Hendrik menge-luarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya, kemudian dia menarik tubuh ibu tirinya, diajak mema-suki kamar dan lenyaplah kedua orang itu di balik pintu kamar yang tertutup.

Kun Liong berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba--tiba terdengar suara tarikan napas pan-jang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat bahwa Yunita telah berdiri tak jauh dari situ.

“Keluarga yang luar biasa...” Yuanita berkata lirih, “Kotor dan mengerikan sekali...”

Kun Liong menghampiri. “Apa maksudmu, Yuanita? Aku tidak mengerti.”

“Mereka itu...” Yuanita mengangkat muka ke arah pintu kamar di mana ibu tiri dan pemuda itu tadi lenyap. “Sungguh mengerikan! Tentu engkau tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya.”

Kun Liong menggeleng kepalanya dan memandeng wajah dara itu penuh perhati-an. Wajah yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut menyaksikan adegan yang mene-gangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya.

“Dia menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah mendapat kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suami-nya hanya namanya saja suami, akan tetapi tidak pernah mencintanya, tidak pernah memperlakukannya sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bi-lang... suaminya yang terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah se-orang wanita yang masih muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa lebih lama lagi dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani kebutuhan tubuhnya sebagai seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia serong dan suka berjina, melainkan karena kesalahan sua-minya yang tak pernah dapat melayani nafsu berahinya...”

“Sudahlah, Yuanita... sudah cukup...” kata Kun Liong yang menjadi merah sekali mukanya sampai kepalanya. Dia merasa heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-kata orang wanita barat ini. Begitu bebas bicara tentang urusan yang bagi bangsanya merupakan pelanggaran susila yang memalukan! Sungguhpun dia sendiri tidak melihat sebabnya mengapa urusan manusia ini dianggap pentang untuk dibicarakan!

Yuanita memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini berjalan bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi.

“Kasihan sekali Nina” kata Yuanita. “Dia hanya dipermainkan oleh nafsu berahi, dan tidak mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena aku mengenal cinta. Kun Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya sebelum berjumpa denganmu, aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku mengenalnya. Akan tetapi, begitu bertemu denganmu, tahulah aku apa yang disebut cinta itu, Kun Liong, dan setelah mengenal cinta, nafsu berahi sama sekali bukan hal yang terpenting.”

Mereka duduk di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut bayangan tihang-tihang layar dan tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pandang dengan bantuan sinar bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong menarik napas panjang dan berkata, “Tetap saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku tidak dapat membalas cinta kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun juga.”

Yuanita menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, kemudian dia berbisik, “Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang menarik hatimu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan tidak seperti matamu yang hitam, rambutku keemasan tidak seperti rambutmu yang hitam arang dan kulit tubuhku putih berbulu halus seperti kulitmu yang kekuningan dan halus licin tak berbulu. Akan tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang mana pun, hal itu... ah, bagaimana aku dapat percaya?”

“Percaya atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi setelah melihat segala peristiwa tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!”

“Aihh, mengapa?”

“Karena melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu dan hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta antara pria dan wanita, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya, cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan tanah airnya, antara manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata hanyalah pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan diri, dan dengan apapun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit kesengsaraan. Bibit itu berakar di hati, kita terikat, dan sekali waktu tentu akan datang saat perpisahan sehingga akar yang sudah mengikat itu akan membuat hati kita terluka dan membuat kita sengsara. Ikatan itu akan mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian, karena itu cintakah ikatan itu? Kurasa bukan!”

Yuanita memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak. “Tentu saja itu cinta! Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi dan diberi, ingin menikmati kesenangan, dan tentu saja di situ terdapat pula cemburu, iri, dendam dan kebencian. Itulah memangnya cinta!”

Kun Liong tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu. “Kalau begitu, kasihan sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, Berarti hanya menanti kesengsaraan hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita.”

“Habis kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?”

Kun Liong menggeleng kepalanya yang gundul. “Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta.”

Yuanita merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas panjang. “Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun Liong, sekali jatuh cinta benar-benar tentu akan hebat sekali! Ah, sungguh buruk nasibku, tidak dapat memiliki cinta seorang pria seperti engkau.”

lanjut ke Jilid 051-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar