Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 32

Petualang Asmara Jilid 032

<--kembali

Karena mereka memasuki kota berbareng dengan rombongan penari silat, agaknya para penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggauta rombongan, maka setelah pihak penjaga dan pemimpin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong diperkenankan masuk tanpa banyak pemeriksaan. Juga karena sikap dan pakaian Keng Hong tidak mencolok seperti orang biasa, sedangkan Kun Liong yang menarik perhatian karena kepala gundulnya mudah saja lolos, karena dia dianggap seorang badut di antara rombongan penari silat itu!

Ternyata di dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata biru! Di sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya iblis-iblis dan setan seperti itulah bicaranya!

Mendesis-desis dan mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang-kadang nadanya naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa mendengar mereka itu bercakap-cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan, bersikap seolah-olah jalan itu jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di kanan kiri jalan itu mereka anggap seperti patung saja! Hemm, mereka ini orang-orang yang tinggi hati, yang memandang rendah orang lain dan merasa diri pandai sendiri, demikian Kun Liong mengambil kesimpulan setelah melihat sikap dan gerak-gerik mereka. Akan tetapi harus dia akui bahwa orang-orang itu rata-rata memiliki bentuk tubuh yang baik, tinggi besar dan kelihatannya kuat. Usia mereka rata-rata antara tiga puluh tahun. Yang aneh adalah potongan rambut mereka. Semua dipotong sepanjang pundak dan rambut itu berombak, dibelah bagian tengah-tengah. Selain rambut mereka yang potongannya lucu dan warnanya bermacam-macam itu, ada kuning, coklat, putih, dan ada yang kehitaman, juga warna mata mereka membuat bulu tengkuk meremang. Hanya iblis-iblis saja yang matanya tidak hitam, melainkan berwarna-warni seperti itu.

Kun Liong tidak dapat menghitung, berapa banyaknya orang-orang asing ini, kesemuanya pria. Akan tetapi yang dijumpainya di jalan tentu tidak kurang dari lima belas orang banyaknya. Keng Hong mengajak pemuda itu memasuki scbuah warung nasi, lalu memesan makanan dan minuman. Warung atau restoran kecil ini cukup ramai dan yang menarik perhatian Kun Liong adalah tiga orang laki-laki asing yang sedang ramai bercakap-cakap dalam bahasa mereka sambil minum arak. Muka ketiga orang ini sudah merah sekali, tanda bahwa mereka sudah agak mabok. Kun Liong tertegun melihat dari dekat kini jelas tampak betapa orang-orang ini memang aneh. Tubuh mereka yang berkulit putih itu tertutup bulu-bulu halus yang putih kekuningan, tidak kentara dari jauh, dan kulit yang putih itu dihias totol-totol merah. Harus diakui bahwa wajah mereka itu seperti wajah orang-orang ramah, hampir selalu tersenyum dan tertawa, mata mereka yang berwarna aneh itu selalu berseri. Akan tetapi tetap saja di balik sinar mata ini ada kesombongan dan pandangan yang merendahkan orang lain, terutama terhadap penduduk pribumi.

Tiba-tiba seorang di antara tiga orang asing itu, yang kepalanya agak botak, bangkit berdiri dan berteriak memanggil dengan bahasa asing ke bagian dalam, di mana tampak seorang wanita muda, agaknya keluarga dari pemilik restoran. Melihat dirinya dituding dan dipanggil, tentu saja wanita itu menjadi ketakutan dan berlari masuk, melepaskan baki yang dibawanya sehingga terdengar suara nyaring ketika dua buah mangkuk kosong pecah-pecah.

Pemilik restoran segera berlari datang menghampiri laki-laki asing yang kini berteriak-teriak dan memukuli meja, kelihatannya marah itu. Pemilik restoran menjura dan berkata, “Harap Tuan tidak marah, apakah yang Tuan kehendaki dan pesan?”

Akan tetapi laki-laki asing itu, kini dibantu dua orang kawannya, berteriak-teriak dalam bahasa asing sambil menuding-nuding ke dalam dan mengepal tinju, dan ada terdengar terselip dalam rangkaian bahasa asingnya itu kata-kata “perempuan”.

Tentu saja pemilik restoran tidak mengerti, dan seorang tamu yang duduknya di belakang Kun Liong, di meja yang berdekatan, berkata kepada pemilik restoran itu, “Dia minta supaya dilayani wanita yang kelihatan tadi.”

Mendengar ini, pemilik restoran menjadi merah mukanya. Dengan bahasa gerak tangan, dia menggoyang-goyang tangannya di depan hidung laki-laki asing itu sambil berkata, “Tidak bisa! Tuan jangan kurang ajar! Dia itu bukan pelayan akan tetapi anakku dan dia tidak boleh diganggu!”

“Desss!” Kepalan tangan laki-laki itu menghantam, mengenai dada pemilik restoran sehingga pemilik restoran itu terjengkang dan roboh menimpa meja kursi kosong!

Keadaan menjadi kalut. Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang Keng Hong yang memberi isyarat agar pemuda itu duduk kembali. Kun Liong merasa penasaran sekali, akan tetapi pada saat itu dia melihat tiga orang asing itu sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing, berdiri dengan muka ketakutan dan ditundukkan meng-hadap seorang asing lain yang telah berada di pintu restoran. Orang yang baru datang ini juga seorang asing, akan tetapi Kun Liong memandang kagum. Orang itu masih muda, belum ada tiga puluh tahun, tubuhnya tegap jangkung, pinggangnya kecil tidak seperti yang lain yang rata-rata berperut besar. rambutnya kuning emas terpelihara bersih dan disisir rapi, dibelah tengah dan panjangnya sampai ke bawah telinga sedangkan yang belakang agak panjang diikat dengan pita! Wajah pemuda asing ini tampan dan gagah, pandang matanya yang biru itu tenang dan tidak memandang rendah orang lain sungguhpun di balik itu tersembunyi keangkuhan yang membayangka tinggi hati! Pakaiannya aneh dan indah, jubahnya yang lebar berwarna kuning, kemejanya putih dan celananya abu-abu. Sepatunya yang aneh bentuknya dan tinggi sampai ke lutut itu terbuat dari kulit yang mengkilap, di pinggangnya tergantung sarung sebatang pedang yang kecil panjang.

Dengan suara lantang orang muda asing itu berkata-kata kepada tiga orang tadi yang menjawab dengan kata-kata pendek dan mengangguk-angguk. Setelah pemuda itu mengangkat telunjuk kanannya ke atas dengan gaya memperingatkan, dia memutar tubuh dan pergi dari situ. Tiga orang laki-laki tadi lalu duduk kembali dan orang yang memukul pemilik restoran menghampiri orang yang dipukulnya, menjabat tangannya dan digon-cancang-goncangkan dengan gaya minta maaf.

“Twako, dia minta maaf atas kekasarannya tadi,” kata pula orang di belakang Kun Liong yang agaknya mengerti bahasa mereka. Si Pemilik Restoran tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia menganggap bahwa peristiwa itu timbul karena salah pengertian akibat perbedaan bahasa mereka.

Keng Hong berkata kepada laki-laki muda yang duduk di belakang Kun Liong, “Agaknya Hiante mengerti bahasa mereka.”

Orang itu mengangguk dan tersenyum. “Mereka itu bangsa Portugis. Kerena sudah lama kota ini kedatangan orang-orang bangsa itu, dan pernah ada yang bersahabat dengan saya, maka sedikit-sedikit saya mempelajari dan mengerti bahasa mereka. Mereka itu adalah pelaut-pelaut yang biasanya bersikap kasar, apalagi kalau melihat wanita. Maklumlah, berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun mereka berada di atas kapal mengarung samudera, haus akan wanita.”

“Mengertikah Hiante apa yang diucapkan oleh orang asing muda tadi, dan siapakah dia?”

“Dia adalah Tuan Muda Yuan, putera pemilik kapal Kuda Terbang. Seringkali dia datang bersama kapalnya, dan dia ditakuti semua orang asing itu. Agaknya dia mempunyai pengaruh besar diantara mereka. Dia tadi memarahi mereka dan memperingatkan bahwa kebutuhan mereka akan perempuan telah disediakan tempat khusus untuk itu maka mereka dilarang keras mengganggu wanita baik-baik.”

Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya merasa tidak enak. Mau apakah orang-orang asing ini berkeliaran di sini? Karena penasaran dia bertanya lagi, “Tahukah Saudara, mereka itu berada di Ceng-to mau apa?”

“Biasanya mereka adalah pedagang-pedagang, membawa barang-barang aneh dari dunia mereka dan di sini mereka membeli rempa-rempa, obat-obatan dan juga barang-barang buatan pribumi. Mereka, tentu saja para pemimpin mereka, mempunyai hubungan baik dengan pembesar-pembesar di sini.”

Keng Hong tidak bertanya-tanya lagi. Sehabis makan dia dan Kun Liong keluar dari rumah makan, dan menyewa sebuah kamar di hotel sederhana. “Biarlah malam nanti saja kita melakukan penyelidikan. Aku sendiri mungkin akan dikenal orang kalau aku keluar siang ini. Lebih baik engkau saja yang siang ini berjalan-jalan, memasang mata dan telinga. Engkau tentu tidak akan ada yang mengenal dan tidak akan menimbulkan curiga.”

Kun Liong mengangguk, kemudian dia keluar seorang diri meninggalkan supeknya yang tinggal di dalam kamar. Keng Hong bersamadhi di dalam kamar hotel itu untuk memulihkan tenaganya karena semenjak dia mengoperkan sebagian sinkangnya untuk melatih Thi-khi-i-beng kepada Kun Liong, tenaganya belum pulih seluruhnya.

Kun Liong yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja langsung dia berjalan-jalan ke tepi laut! Ketika dia tiba di bagian pantai yang sunyi, agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan minggirkan perahu dan menjemur jala, ikan dan sebagainya, dia melihat scorang laki-laki tua sedang menambal jaring yang bocor seorang diri. Dia mendekati, orang itu mengangkat muka, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Agaknya sudah biasa dia ditonton orang, karena kota pelabuhan itu memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota maupun orang asing.

“Lopek, ramaikah penangkapan ikan musim ini?”

Kakek itu mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab, “Yaah, lumayan saja. Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja. Semua gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!” Kakek itu kedua tangannya memegang jala, maka dia menunjuk ke arah kapal-kapal asing dengan hidungnya ketika mukanya digerakkan ke arah laut.

“Mengapa gara-gara mereka?”

“Kapal-kapal besar itu mengacaukan lautan, menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa penjaga lautan juga ketakutan melihat rambut kuning mata biru kulit putih itu. Hasil penangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing itu doyan sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan naik keras.”

Kakek itu dengan penuh gairah lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong yang memang memancing percakapan. Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu, “Eh, Lopek. Engkau yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini, bukan?”

“Tidak semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak pendatang baru, terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing itu. Siapa mengenal mereka?” Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya dia tidak senang dengan kedatangan kapal-kapal itu.

“Akan tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu.” Kun Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. “Tahukah Lopek di mana tempat tinggalnya?”

Sejenak kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang sejak tadi bekerja ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar!

“Kau... kau... sahabatnya, orang muda?”

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Bukan, aku hanya ingin tahu di mana tinggalnya orang yang tersohor itu.”

“Rumah dia itu, siapa yang tidak tahu? Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih banyak pekerjaan, maafkan orang muda.” Bergegas kakek itu meninggalkan Kun Liong menghampiri perahunya dan memeriksa perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu menjadi takut untuk bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk kaum sesat itu, akan tetapi yang dikehendakinya, alamat datuk itu, telah terpegang, maka dia pun pergi dari situ, menuju ke utara.

Belum lama dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat ribut-ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat dia menghampiri dan melihat betapa rombongan penari silat yang pagi tadi bersama dia memasuki kota dan agaknya membuka pertunjukan di tempat itu, sedang berhantam melawan tiga orang asing yang tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang asing itu sudah mabok, muka mereka merah sekali dan mereka berhantam melawan tiga orang dari rombongan penari silat.

Kun Liong menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu gerakannya tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak merobohkan mereka dan kini mereka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras sekali. Dua orang anggauta rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak dapat bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu!

Melihat ini Kun Liong sudah meloncat ke depan. Karena tadi dia melihat betapa tiga orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia berpendapat babwa tentu tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian.

“Hee, berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar! Mengapa mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?” teriak Kun Liong sambil meloncat ke depan dan menangkis pukulan orang asing ke tiga yang sudah hampir merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerahkan sin-kangnya.

“Dukkk...!”

Orang asing itu mencak-mencak, berjingkrak sambil memegangi lengan tangannya yang terkena tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah!

Dua orang temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam bahasa mereka, dua orang asing itu menerjang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras itu menyambar-nyambar. Sikap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk.

Kun Liong tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke atas. Tubuhnya mencelat seperti dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya, kedua kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang orang maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung. Dua orang asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeruduk kembali dengan ganas. Kun Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok dan kedua orang itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah. Terdengar sorak-sorai orang-orang yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada orang asing “biadab” itu dihajar. Biasanya, tidak ada yang berani melawan orang-orang asing ini karena pembesar setempat sudah mengeluarkan pengumuman agar tidak mengganggu mereka yang disebut “tamu-tamu agung” itu. Memang benar bahwa orang-orang asing itu royal mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan tetapi sikap mereka angkuh dan memandang rendah kepada penduduk pribumi. Begitu angkuhnya sehingga kadang-kadang mereka itu melakukan hal-hal yang amat menghina, misalnya, orang asing itu berani secara main-main menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu di tengah jalan!

Kun Liong mengambil keputusan bahwa kalau dua orang itu masih nekat, begitu memukul lagi dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua orang itu bangkit, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong ketika tiba-tiba di depan kedua orang itu telah berdiri pemuda asing yang tadi! Dia terheran-heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan gerakan seorang ahli gin-kang! Pemuda itu kembali bicara nyaring, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Tiga orang asing itu dengan kepala tunduk, muka kemerahan, lalu berjalan pergi yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan. Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biarpun nada suaranya terdengar lucu dan asing, “Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka.”

Kun Liong juga membungkuk. Diam-diam dia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah.

“Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu.”

Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.

“Tuan bukan anggauta mereka?” Dia mengulang. “Kalau begitu, mengapa Tuan menyerang orang kami?”

“Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya.”

Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. “Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?”

“Sama sekali bukan!” jawab Kun Liong. “Saya bukan pendekar, akan tetapi tiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang.”

Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya memandang penuh perhatian, kemudian berkata, “Saya ingin sekali melihat kepandaian Tuan. Marilah kita menguji kepandaian masing-masing secara bersahabat.”

“Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?”

“Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... eh, apa namanya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!”

Dan pemuda asing itu dengan penuh semangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pukulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!

“Aihh!” Kun Liong mengelak cepat, makin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan ginkang, kini ternyata memiliki tenaga sin-kang yang hebat pula!

“Wut-wutt... siuuuttt!” Pemuda asing itu telah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi memukul dan ketika Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut “terbang” dan kaki kiri menyusul tendangan kaki kanan. Itulah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!

Kun Liong tidak dapat mengelak lalu bergerak menangkis sambil mendorong.

“Dessss! Aughhhh!” Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir-balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguhpun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi. “Bagus, kau hebat! Sambutlah!” Dia menyerang lagi, kini benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua tangan dikembangkan, kadang-kadang dikepal kadang-kadang dibuka seperti cengkeraman. Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah.

Ketika untuk kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan kedua tangan terpentang, Kun Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sin-kang untuk menempel, akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi-i-beng, hanya sekedar membuat kedua tangan lawan melekat pada tangannya.

“Ahhhh...!” Pemuda asing itu terkejut berusaha menarik kembali kedua tangan-nya, namun sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda itu. Kembali dia membetot dan saat itu dipergunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan tenaga mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun kembali, tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor. Dari tempat dia terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, “Saudara hebat sekali! Saya Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?”

Menyaksikan sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri mengakui kekalahannya, Kun Liong menjadi tertarik dan senang hatinya. Dia pun membungkuk berkata, “Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong.”

“Terima kasih, sampai jumpa lagi!” Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepatnya menuju ke utara!

Kun Liong tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk memuji dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-kali membayangi Si Pemuda Asing, melainkan karena dia hendak melanjutkan penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh nelayan tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia sengaja memperlambat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebelah tikungan.

Kun Liong hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang besar den megah. Agak aneh juga karena di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga seperti yang biasanya terdapat pada bangunan kuil. Agaknya datuk kaum sesat itu hendak menyesuaikan rumahnya de-ngan julukannya. Dia berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau rumah seorang “malaikat” mempunyai penjaga seekor naga!

Setelah mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong lalu kembali ke rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika ia tiba kembali di kamar penginapan di mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan tentang rumah datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan tentang peristiwa yang terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan supeknya dan dengan maksud ke-datangan mereka berdua di kota itu.

“Setelah kau pergi, aku tadi pun pergi diam-diam mengunjungi beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari keterangan agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada hal-hal aneh di kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena menurut keterangan yang kuperoleh, selain mereka itu berhubungan dengan para pembesar, juga kelihatan ada orang asing yang mengunjungi Hek--bin Thian-sin!”

“Hemmm, katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat pula dalam urusan kejahatan,”
Kun Liong berkata dan teringatlah dia kepada pemuda asing bemama Yuan de Gama tadi. Melihat sikap pemuda itu, agaknya bukan dari golongan penjahat, dan ilmu kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Malam hari itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh malam dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah me-nutupkan daun pintu.

“Jangan sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andaikata di sana tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan secara berterang menanyakan ke-padanya tentang ayah bundamu, juga tentang penyerbuan ke Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dia sebagai datuk dan aku sebagai Ketua Cin-ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus terang.”

Kun Liong mengangguk dan memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali kalau terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu. Dengan mudah saja kedua orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu, kemudian dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara, memper-gunakan gin-kang untuk menyelinap mendekati rumah, mengitari rumah itu ke-mudian menghampiri bagian belakang. Atas isyarat Keng Hong, mereka melom-pat ke atas genteng di baglan belakang tanpa menimbulkan suara, kemudian me-rayap ke bagian di mana tampak pene-rangan dan di bawah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan hati-hati Keng Hong menggeser genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah.

Ruangan itu lebar dan perabot-pera-botnya mewah. Di sepanjang dinding ter-dapat tempat lilin dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang membuat cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin dan lampu minyak dari perak yang ter-gantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti siang hari. Banyak lukisan-lukisan indah tergantung di din-ding dan di sana-sini terhias tirai sutera berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke udara terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi yang terdapat di ruangan itu semua mengkilap, dan buatannya halus, sedang-kan kedua jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat in-dah.

Ada tujuh orang yang berada di ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan bangku-bangku yang agak berjauhan letaknya, mereka duduk berha-dapan merupakan setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana terdapat tempat bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi arak.

Ketika Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah tua, kepalanya ba-gian atas botak pelontos seperti kepala-nya sendiri, bahkan lebih licin seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, meng-kilap, rambutnya hanya tumbuh di sekeliling kepalanya saja, akan tetapi aneh-nya rambut yang tumbuh ini cukup lebat, demikian pula jenggotnya dan kumisnya. Kun Liong bergidik membayangkan bagaimana jadinya kalau kelak kepalanya yang gundul itu mau tumbuh rambut, yang tumbuh hanya sekeliling kepala seperti kakek asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke dua tadinya dia kira Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata bukan. Orang-orang asing ini begitu sama muka-nya! Orang ini pun masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya dengan Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini mem-bayangkan kekejaman dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehi-jauan itu galak sekali. Bentuk hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk hidung kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian yang dipakai Yuan de Gama tadi, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih besar dan panjang, dengan kantung-kantung besar sekali.

Keng Hong juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok kurang lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya dapat menduga bah-wa laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di atas kursi tuan rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu, selain diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya yang berkulit hitam. Seorang lain yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembe-sar yang berkuasa di Ceng-to, dan di sebelahnya yang berpakaian seperti se-orang panglima tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pan-tai sebelah timur, yang markasnya ber-ada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu yang kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw!

Dugaan Keng Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar perca-kapan mereka itu, berubah wajah pen-dekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan!

“Kami hanya bermaksud membantu, karena Kaisar telah menolak untuk mengadakan perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di sini. Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menja-jah. Kami membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, sedangkan kami datang membawa da-gangan hasil bumi. Juga kami membutuh-kan rempa-rempa dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, untuk perjuangan sau-dara-saudara, kami akan membantu me-ngeluarkan biayanya, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta agar diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini.” kata kakek asing botak dengan suara lancar.

“Kami percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado,” jawab orang yang berpakaian sebagai pembesar sipit. “Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat sekali, dan kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di pantai timur ini tidak terlalu besar ditambah dengan para anggauta Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum ada sepersepuluh tentara kerajaan. Melakukan pemberontakan secara berterang merupakan hal yang berbahaya sekali, karena menjadi perang terbuka.”

lanjut ke Jilid 033-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar