Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 28

Petualang Asmara Jilid 028

<--kembali

Pada waktu itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi mereka akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana di dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar daripada di Leng-kok. Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru menjadi baik, dia akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk minta bantuan suhengnya, Cia Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong. Betapa akan bahagianya kalau Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah bundanya. Tentu puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas tahun tentu usianya! Dan betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan melihat adiknya!

Tiba-tiba dia mendengar teriakan Kakek Theng, “Nyonya mantu! Lari...”

Dia terkejut sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diaku sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar teriakan yang penuh kegelisahan dari kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu tiba-tiba terhenti, hatinya khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan dengan pedang terhunus Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke ruangan dalam.

Hampir saja dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri di ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih tergenggam di tangannya. Agaknya kakek ini melakukan perlawanan sampai saat terakhir sambil tadi berteriak menyuruhnya lari.

Dapat dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk matanya dia melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia terhenti tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam ruangan itu sambil tersenyum-senyum menyeringai. Seorang di antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Yang empat orang lainnya dia tidak kenal, yaitu seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan berpakaian mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang keadaannya menyeramkan.

“Apa... apa yang telah kalian lakukan?” Dia membentak, sedikit pun tidak merasa takut biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah membuat nyonya ini tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan bahaya lagi.

“Inilah dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu,” kata Bu Leng Ci.

Wanita berpakaian mewah itu mengangkat muka. “Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak buahku?”

Yan Cu makin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. “Hem, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua perkumpulan sesat Kwi-eng-pang?”

“Huh! Huhh!” Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu menahan ketawanya.

“He-he-he!” Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. “Kalau dia tidak takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami tiga orang datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!”

Gui Yan Cu memandang kakek bermuka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia terkesiap juga. Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak, “Jadi kalian berlima inikah yang disebut lima Datuk kaum sesat?”

Kakek tua renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan sinar aneh dan mengerikan itu terbatuk?batuk, menggumam, “Dan engkau kabarnya sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?”

“Benar! Aku dan suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, mengapa kalian mengganggu kami dan membunuh orang?orang yang tidak berdosa ini? Beginikah sepak terjang tokoh?tokoh besar yang mengaku sebagai para datuk? Seperti kelakuan bajingan?bajingan kecil saja!” Yan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang?orang yang tak mungkin dapat dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut karena kemarahannya melihat kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan?pelayan terbunuh seperti itu.

“Gui Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu kami perpanjang beberapa lamanya.”

Mendengar ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri. Pertanyaan itu membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!

“Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan. Selamanya aku belum pernah mendengar tentang bokor emas dan andaikata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku akan memberitahukan kepada kalian?”

“Perempuan sombong! Kalau begitu mampuslah!” Kwi?eng Niocu sudah hendak menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi kakek tua renta berambut putih itu terbatuk?batuk, dan melangkah maju menghalangi Kwi?eng Niocu sambil berkata, “Nanti dulu, Pangcu. Kalau dia benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba Thi?ki?i?beng.”

Kakek berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin dia menghindarkan diri dari pertandingan mati?matian, segera mengelebatkan pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan menyamping ketika kakek itu mengelak.

Tiba?tiba pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri, kemudian secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan menampar ke arah kepala Yan Cu. Gerakan ini cepat sekali maka terpaksa Yan Cu menganglcat tangan kiri menangkis.

“Plakkk!”

Yan Cu terhoyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek it kelihatan kecewa, tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel, “Mana itu Thi?khi?i?beng yang disohorkan orang? Kalau hanya sedemikian saja kepandaian perempuan ini, tidak cukup pantas melayani aku!”

Diam?diam Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali dan kalau dilanjutkan pertandingan itu, biarpun dia memegang pedang, agaknya sukar sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu yang berjuluk Toat?beng Hoat?su, datuk yang penuh rahasia dan yang mungkin sekali paling lihai di antara lima orahg itu.

“Aku pun ingin mencoba!” kata kakek muka hitam yang bukan lain adalah Hek?bin Thian?sin Louw?Ek Bu. Belum habis ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat sebatang golok besar di tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar pedangnya menangkis.

“Tranggg...!”

Kembali Yan Cu terkejut karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking kuatnya tenaga yang terkandung di golok itu. Namun dia tidak menjadi jerih dan sudah membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah. Sambil tertawa?tawa mengejek Si Kakek Muka Hitam itu menyambut dengan golok besarnya dan terjadilah pertandingan yang seru, namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya. Mulailah Yan Cu merasa khawatir. Bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan puterinya yang kini ia dengar menangis di dalam kamarnya! Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi bagaimana nasib puterinya yang belum ada satu tahun usianya itu kalau terjatuh ke dalam tangan iblis?iblis ini? Mengapa suaminya belum juga pulang?

“Hek?bin Thian?sin, aku ikut berpesta, ha?ha?ha!” Suara ini keluar dari mulut Ban?tok Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah meluncur ke depan. Pada saat itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek?bin Thian?sin yang membuat tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu kini bertemu dengan pedang ular yang didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat mempertahankan lagi dan pedangnya terlepas dari tangannya.

Suara terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang wdah menyambar pedang itu dan pada saat itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang dimaksudkan untuk memanggil suaminya. Guratan kuku jari tangan Kwi?eng Niocu yang mengenai pundak Yan Cu itu membuat wanita perkasa ini terhuyung den pening kepalanya. Namun ia masih nekat dan sambil membalik dia membarengi memukul sebelum Kwi?eng Niocu menarik tangannya.

“Dukkk!!”

Biarpun Kwi?eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai pangkal lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya seperti lumpuh sejenak.

Dia marah sekali, sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia menubruk maju, tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu menangkis sebuah tamparan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu, akan tetapi tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya. Dia terpekik dan terjengkang. Sebelum tubuhnya mengenai tanah, sinar pedang berkelebat dan pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah menembus dada wanita perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh telentang dengan dada tertembus pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah muncrat membasahi bajunya.

Pada saat Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat rumah itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya den cepat sekali dia lari ke dalam rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki kamar dan lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam keadaan selamat. Disambarnya puterinya itu dan dibawanya lari keluar. Ketika dia melihat mayat?mayat bergelimpangan, mayat Kakek Theng, puterinya, mantunya den dua orang pelayan, Cong San terkejut setengah mati. Dengan jantung berdebar tegang dia terus lari ke arah suara pertempuran di ruangan dalam dan pada saat dia muncul di ambang pintu ruangan itu dilihatnya isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!

“Yan Cu...!” Dia memekik dan meloncat ke dalam. Sejenak dia seperti terpesona memandang jenazah isterinya, kemudian dia menyapu dengan pandang matanya kepada lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum?senyum. Air mata mengalir di sepanjang kedua pipi pendekar itu akan tetapi sepasang matanya tidak pernah berkedip ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian kembali dia menoleh kepada jenazah isterinya.

“Yan Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!” Dia merintih, rintihan yang diselingi oleh tangis Yap In Hong, anak kecil dalam pondongannya.

Tiba?tiba Cong Son membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain itu. Biarpun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, akan tetapi dia sudah mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat. Biarpun kemarahan den kedukaan menyesak dadanya, namun sebagai seorang pendekar besar Cong San dapat menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng dan isterinya.

“Bukankah kalian ini Lima Datuk kaum sesat?” tanyanya dengan suara terdengar aneh sekali, agak parau den nadanya bercampur tangis dan kemarahan.

“Hi?hi?hik, sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?” Bu Leng Ci tertawa mengejek.

“Mengapa kalian memusuhi kami?”

“Yap Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas kaukatakan di mana dia dan di mana bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa engkau akan menyusul isterimu!”

Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang berduka den sengsara. Bukan hanya dia, bahkan empat orang kawannya pun demikian juga, pandang mata mereka seperti mata kanak?kanak melihat seekor cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan gembira dan puas!

Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, bahkan bertanya lagi, “Siapa yang membunuh isteriku?”

“Aku yang membunuhnya, kau mau apa?”

belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.

“Siuuuuttt... wesss!”

Cepat bukan main serangan itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan kaget sekali untuk menyelamatkan dirinya.

“Brettt!” Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.

“Keparat!” Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh serangan itu tadi. “Srattt!” Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.

“Tring-tring-tranggg!”

Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundah Cong San, akan tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya berkelebat menyambut untuk menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya melipatgandakan tenaga dan kecepatannya. Si Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat, Yap Cong San telah dikeroyok oleh empat orang diantara Lima Datuk itu. Hanya Toat-beng Hoat-su seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan. Biarpun demikian, Cong San sudah repot sekali. Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapapun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati?matian, biarpun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya memondong puterinya yang menangis nyaring.

Pertandingan yang berat sebelah, Yap Cong San adalah murid Tiang Pek Ho?siang. Dia telah menguasai ilmu silat Siauw?lim?pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk?datuk kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali dan beberapa belas jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja. Apalagi karena empat orang lawannya adalah orang?orang sakti golongan hitam yang tidak pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok sambil tertawa?tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan pendekar itu. Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Baru sekarang dia yang tadi dilanda kedukaan teringat bahwa puterinya yang masih kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.

“Huh! Memalukan!” Toat?beng Hoat?su mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya belum juga mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok. Baru pengeroyokan itu saja sudah menjengkelkan hati kakek ini. Disebut datuk?datuk akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba?tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!

Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya! Tidak ada jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit?nya untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.

“Bretttt...! Desss...!”

“Suhu...! Subo...!” Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.

Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil berteriak, “Cui Lin, bawa lari In Hong...!”

Hantaman jubah di tangan Toat?beng Hoat?su tadi hebat sekali. Memang pitnya mampu merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh dengan tulang patah?patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan siap menghadapi lawan?lawan yang amat lihai itu!

Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena kedua kakinya menggigil ketika dia melihat subonya mati, apalagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan, hampir dia roboh pingsan dan berlutut sambil memeluk In Hong dan menangis!

Biarpun lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan kirinya, namun Cong San masih mengamuk hebat sehingga pitnya berhasil melukai pundak Hek?bin Thian?sin, sungguhpun dia sendiri telah menerima pukulan?pukulan dengan senjata lawan yang membuat pakaiannya robek?robek dan penuh darah.

“Jahanam Yap Cong San, mampuslah!”

Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San, menggerakkan tangan kirinya dan sinar hijau menyambar. Pada saat itu, Cong San sedang terhimpit karena Toat?beng Hoat?su yang marah karena jubahnya robek sudah mendesaknya, maka pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran Siang?tok?soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.

“Aduhhh...!” Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya. Hidungnya mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia menyambitkan pitnya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban?tok Coa?ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga biarpun Ban?tok Coa?ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus betisnya!

“Auuuww... setan kau!” Ban?tok Coa?ong menubruk dan pedang ularnya membacok. Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat dan pinggangnya robek. Dengan luka parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya dan memeluk isterinya.

“Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!” Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar ini menghembuskan napas terakhir! Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.

“Huh, menjemukan!” Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San. Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa, ternyata bahwa pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah?olah sampai mati pun dia tidak mau melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.

“Ha?ha?ha, mesra?mesra... auggghh...” Ban?tok Coa?ong mencabut pit dari betisnya dan mengobati lukanya.

“Suhu...! Subo...! Uhuhuhuhhh...!” Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai. Di luar pintu tampak Phoa?ma berlutut, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak den mulutnya mewek?mewek menahan tangis saking ngeri den takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari?lari pulang ketika mendengar laporan seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar ribut?ribut seperti orang berkelahi.

“Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!” Bu Leng Ci berkata den samurainya sudah menggetar di tangannya.

“Mo?li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan kepadaku sebelum dibunuh!” Yang berkata demikian adalah Hek?bin Thian?sin Louw Ek Bu.

Bu Leng Ci membuang ludah. “Cuhh! Laki?laki kotor!”

“Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan tetapi sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia?siakan dan dibunuh tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang.”

Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini meresa muak den kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.

Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong. Perintah gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong. Akan tetapi dia tidak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan putera gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sukar untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi, yang terpenting adalah menyelamatkan In Hong. Dia bangkit berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,

“Ampuni anak kecil yang tak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar disuruh mati sekalipun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma.”

“Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menurut kehendakku?” Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.

“Asal adikku dibebaskan.” Cui Lin mengangguk.

“Anak itu tentu anak mereka. Orangku dahulu mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan kerepotan saja,” kata Kwi-eng Nio-cu.

Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya dan berkata nyaring dengan nada mengejek, “Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut kalau kelak membalas dendam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!”

“Budak hina!” Kwi-eng Nio-cu menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.

“Nio-cu, tidak boleh dia dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya.”

“Kau... hendak membelanya? Kaukira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?” Kwi-eng Nio-cu membentak.

“Takut atau tidak bukan urusanku, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja.”

“Kalau begitu, majulah!” Si Bayangan Hantu menantang.

“Uh-uhh!” Toat-beng Hoat-su terbatuk-batuk. “Apakah kalian ini anak?anak kecil yang karena urusan sepele saja hendak saling hantam?”

Ditegur demikian oleh orang tertua di antera mereka, keduanya mundur lagi, dan Hek?bin Thian?sin bekata kepada Cui Lin, “Dara manis, siapa takut kepada bocah itu? Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa bilang Hek?bin Thian?sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi? Entah kalau yang lain takut!”

“Sombong! Aku pun tidak takut!” Si Bayangan Hantu membentak.

“Hi-hik, biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin aku melihat bagaimana dia hendak membalas dendam!” kata pula Bu Leng Ci.

Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak. “Nah, begitulah sikap orang gagah! Tak takut dan pantang mundur menghadapi tantangan pendendam! Eh, Nona, benarkah kau akan menurut segala perintahku kalau kami membebaskan becah itu?”

“Aku Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali bicara tidak akan ditarik kembali!” Cui Lin yang sudah mengambil keputusan tetap untuk menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab dengan sikap gagah.

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, hayo kautanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang bulat di depan kami!” Hek-bin Thian-sin memerintah.

Dapat dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui Lin mendengar perintah biadab seperti itu. Hampir pingsan membayangkan betapa dia harus menanggalkan semua pakaian di depan mereka. Penghinaan yang tiada taranya bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa dan kedukaan melihat semua orang yang dikasihinya tewas, dia menjawab dengan suara tenang, “Bebaskan dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Eh, Phoa-ma, bawa pergi In Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia.”

Dengan tubuh menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin, memondongnya lalu bergegas pergi keluar dart rumah itu dengan tubuh gemetar.

Setelah melihat Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan perlahan?lahan, jari?jari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu. Dia sengaja melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian mereka dan memberi kesempatan kepada Phoa?ma untuk lari jauh di tempat yang aman. Tidak akan sukar bagi Phoa?ma untuk bersembunyi dan andaikata iblis?iblis ini melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa?ma di kota sebesar Tai-goan. Andaikata keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai mati pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi, perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan lain?lain, yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong didorong perasaan duka dan sengsara.
Kwi?eng Nio?cu dan Siang?tok Mo?li membuang muka.
“Menyebalkan, perempuan hina!” Siang?tok Mo?li Bu Leng Ci berkata.
“Perempuan tak tahu malu seperti pelacur!” Kwi?eng Nio?cu juga memaki. Akan tetapi Hek?bin Thian?sin Louw Ek Bu mononton pertunjukan itu dengan mata melotot. Makin lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, makin menarik dan menggairahkan, menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Toat-beng Hoat-su hanya terbatuk?batuk sama sekali tidak tertarik, juga tak membenci pertunjukan yang baginya sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu. Akan tetapi Ban-tok Coa-ong juga tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan terpesona menyaksikan tubuh dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi sedikit seperti itu?
Akhirnya Cui Lin telah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang bulat. Seperti seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja yang masih mentah ini dan yang menjadi matang karena himpitan duka itu mencabut tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai lepas di atas kedua pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan tetapi makin menggairahkan.
“Aduh, nona manis, engkau hebat sekali!” Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara itu dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui Lin. Dara itu hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum pernah dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu menciumnya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia mengeraskan hati, memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya bergerak.

lanjut ke Jilid 029-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar