Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 022

Pendekar Sadis Jilid 022

<---Kembali

"Tentu saja, bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus menerus berada di dekat suhu. Bagaimana kalau aku sedang merantau sendirian dan bertemu dengan orang yang memiliki ilmu menghilang atau ilmu hitam lain lagi yang lihai?"

Akhirnya, setelah menggunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling memperoleh rahasia itu dari gurunya. Dengan hati girang ia berpisah dari suhunya dan segera menemui Thian Sin yang sudah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga.

Karena ia memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak mudah, Cian Ling juga menjual mahal. Ia membuat Thian Sin melayaninya dan menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum ia membuka rahasia itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar.

"Kalau engkau menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah tanah dan sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi."

Bukan main girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian Ling, dan dengan sabar dia menanti sampai lewat tiga bulan. Dia hendak membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan petunjuk-petunjuk dalam kitab itu, bukan memperoleh yang hebat melainkan malah merusak dirinya sendiri!

Setelah lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantar oleh Cian Ling. Setelah menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. "Locianpwe, waktu tiga bulan telah lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku."

Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, kenapa engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?"

"Suhu, aku hendak pergi merantau bersama dia!" jawab muridnya.

"Ho-ha-ha, Ceng Thian Sin. Aku telah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu."

Thian Sin mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi, dengan tenang dia menjawab, "Kalau aku tidak mau melayanimu, bagaimana, locianpwe?"

"Hemm, kalau engkau tidak mau melayanikupun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali kitab-kitabmu."

"Maksud locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku menang?"

"Ha-ha-ha, kau menang?" Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu.

Sebelum dia mempelajari kitab-kitab pemuda itu, Thian Sin sudah mampu dikalahkannya, mana mungkin sekarang dapat menang? "Kalau kau menang, tentu saja engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian Ling."

"Dan kalau aku kalah?" Thian Sin bertanya.

"Kalau kau kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha! Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!"

Ucapan itu terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah merah.

"Locianpwe, karena pertandingan antara kita dahulu terjadi di tempat sunyi itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di tempat itu. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di sana sekarang juga!"

Setelah berkata demikian, Thian Sin lari keluar dari tempat itu untuk pergi ke tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya.

Setelah kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan lebih tidak senang lagi hatinya melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin. Tidak mengapa baginya kalau muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan pria-pria lain. Akan tetapi dia tidak ingin kehilangan Cian Ling untuk selamanya karena selain dia amat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang amat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai daripada murid kepala di situ, yaitu Ciang Gu Sik.

"Gu Sik...!"

Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring. Muridnya yang setia itu segera lari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya.

"Teecu berada disini, suhu."

"Gu Sik, tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku dan kalau menang dia akan membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoimu akan ikut pergi bersamanya?"

Pria muda berwajah pucat itu menarik napas panjang. "Suhu, sumoi masih terlalu muda sehingga ia lemah dan mudah dihanyutkan oleh perasaannya, harap suka suhu memaafkannya."

"Ha, engkau selalu membela sumoimu."

"Memang teecu amat mencintanya dan teecu telah menghargai sumoi daripada nyawa teecu sendiri."

"Bukankah itu juga suatu kebodohan?"

"Memang, tapi teecu tidak berdaya..."

"Sudahlah, memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sutemu, juga undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus disaksikan banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan dan dia sudah berjanji kalau kalah akan menjadi pembantuku!"

Ciang Gu Sik mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoinya!

"Suhu, kalau dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan, akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bias berbahaya bagi yang memeliharanya."

"Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia di depan banyak orang."

"Baik, suhu. Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan." Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya.

Sementara itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya.

Cian Ling menyusulnya dan setelah tiba di tempat itu, ia berkata dengan suara khawatir, "Thian Sin, engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apalagi setelah suhu mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia telah mengenal ilmu-ilmumu yang paling kauandalkan."

Thian Sin tersenyum tenang. "Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhumu, Cian Ling. Sekali ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!"

"Tapi, sungguh amat sukar untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah... sekali ini belum tentu aku akan dapat menolongmu..."

"Kalau sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling. Engkau sudah cukup banyak membantuku."

"Dan kalau engkau menang?"

"Aku akan meninggalkan tempat ini!"

"Dan engkau akan mengajak aku, bukan?"

Thian Sin menggeleng kepalanya. "Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi."

"Tapi... aku... aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin... ah, aku akan merana, aku akan merindukanmu, aku cinta padamu..."

Thian Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. "Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus pergi, sendirian saja."

Wajah Cian Ling berubah agak pucat. "Aku... aku akan kehilangan..." Hampir ia menangis.

Gadis ini sejak kecil hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah ia merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum ia bertemu dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya. Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini lain sama sekali. Bukan hanya hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu.

Thian Sin tersenyum ramah kepadanya. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah berjasa besar kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong, kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu. Bagaimanapun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang baik, seorang penolong. Akan tetapi tak mungkin dia menerima gadis ini sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta itu, bagaimanapun juga, akan membosankan.

"Tidak ada pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita bersilang, dan kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja, akan tetapi kelak kita akan saling bertemu, karena bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling."

Sebelum gadis itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara orang banyak datang dari luar hutan dan bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu dan murid-murid suhunya, juga diantara mereka ia melihat banyak orang-orang kang-ouw di Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan main. Permainan apa yang akan dilakukan suhunya ini, mendatangkan semua pembantu dan kenalan?

"Hati-hati... mereka adalah orang-orangnya suhu..." Cian Ling berbisik.

Tak lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu berseri-seri dan sepasang mata yang lebar dan bersinar tajam itu nampak gembira. Memang hatinya gembira, karena dia melihat betapa banyak juga orang kang-ouw berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dia gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera Pangeran Ceng Han Houw dengan disaksikan banyak orang.

Kalau saja pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan bersusah payah mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apalagi kalau diingat betapa pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu tinggi dari Cin-ling-pai! Yang ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi kini dia telah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan mampu menundukkan lawan kalau pemuda itu mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan.

Melihat kakek raksasa itu, Thian Sin melangkah maju. Baginya, berkumpulnya banyak orang itu tidak menimbulkan gentar, karena dia merasa yakin bahwa seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan memiliki kesaktian seperti See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan keroyokan untuk menghadapi lawan. Bahkan mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Setidaknya, kakek yang tentu banyak akalnya itu karena banyak orang yang menyaksikan, akan merasa malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun penuh tantangan.

"Locianpwe See-thian-ong telah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini, aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, dan kitab-kitab yang kutitipkan kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu agar dipegang orang lain dan siapa menang berhak menerima kitab itu."

See-thian-ong tertawa bergelak, senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di depan orang banyak betapa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dipelajarinya. Memang sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga kakek ini tidak akan menggunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya, mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang bisa membahayakan dirinya.

"Ha-ha-ha, kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sekarang engkau berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu engkau telah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa dengan sia-sia. Bagaimana kalau engkau mengaku kalah, berlutut delapan kali dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada See-thian-ong?"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu, karena memang maksudnya agar terdengar oleh semua orang. Thian Sin menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tidak mau dipengaruhi kemarahan. Dia memandang ke sekeliling dan melihat, betapa wajah orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik berdiri di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran. Thian Sin menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu.

"Locianpwe, kalah menang dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa dikatakan kalah atau menang kalau sudah dibuktikan. Maka, harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu."

"Ha-ha-ha, kitab-kitab macam ini tidak ada harganya!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat.

Melihat itu, semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, melainkan demonstrasi kekuatan khi-kang dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke manapun dia suka.

"Harap locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai pemegangnya," Thian Sinberkata lagi.

Kakek itu masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam!

Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Ia berhasil menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang.

"Ceng Thian Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan ilmu-ilmu dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu itu!" kata See-thian ong dan kini mengertilah Cian
Ling mengapa suhunya mengumpulkan semua orang kang-ouw di daerah itu.

Kiranya suhunya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia telah dapat mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han Houw, untuk mengangkat namanya lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat menduga maksud hati lawannya, maka diapun tidak mau banyak bicara lagi.

"Awas serangan!" Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong.

Kedua tangannya yang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat. Namun, kakek tinggi besar itu telah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang
membuat tubuhnya menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat sekali sehingga dia tidak takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya.

Thian Sin hanya mainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan setelah beberapa kali mereka saling serang dan mengadu lengan, Thian Sin sudah mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang. Juga ilmu silat yang membuat kedua lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa jurus
saja, disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai.

Memang pemuda ini sengaja menahan dulu dan tidak mengeluarkan ilmu simpanannya yang dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk mengecohkan lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Hal ini membuat lawannya penasaran. Justeru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan.

"Ceng Thian Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw? Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!"

Thian Sin memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang amat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya. Melihat pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat
Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal gerakan ini, dan cepat dia bersiap-siap menandinginya dan sudah tahu bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini. Akan tetapi, ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lain merupakan pancingan dan juga gertakan belaka.

Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang juga mengandung inti tenaga dalam jurus itu. Akan tetapi kenyataannya berbeda sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan serangan seperti yang terdapat dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan "kosong", dan begitu ditangkisnya, tiba-tiba dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik!

Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Biarpun dia dapat meloloskan diri, namun sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api!

"Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!" Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang!

Akan tetapi kini kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlalu mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang telah dipelajarinya, walaupun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, namun amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia telah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini!

Betapapun juga, dia penasaran. Ketika Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa diapun dapat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga cepat berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, kembali dia kecelik dan setelah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya inipun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini!

Ketika Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya namun tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan. Maka diapun tidak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, maka dia mengira bahwa saat inilah yang terbaik untuk mendahului lawan. Maka begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan sedangkan tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!

Akan tetapi segera kakek itu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dulu datangnya daripada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.

"Desss...!" Jalan darah di pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tidak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mujijat dari sin-kang yang diperolehnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar!

Terkejutlah semua orang yang hadir di situ! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting dan terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula. Akan tetapi, kakek itu tidak percuma disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Wajahnya yang berkulit hitam itu mula-mula agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali ketika darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.

Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar.

"Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?"

Sikap Thian Sin sekarang tidak hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan.

"Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah."

Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo-pang-hoat yang dahsyat itu. Angin bersuitan dari segala penjuru ketika dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu amat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.

Terjadilah pertandingan yang amat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang-kadang keduanya lenyap dan nampak hanya bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh.

Jurus berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka kini kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang amat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara terkejut ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, namun gerakannya masih dapat tertangkap oleh telinga mereka. Thian Sin hanya mengandalkan ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis, kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.

"Bukk!" Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.

"Ha-ha-ha...!" Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya.

Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.

"Ahhh...!" Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!

Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis diapun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat.

"Desss...!" Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya jungkir balik itu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu.

See-thian-ong berteriak keras dan tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung.

Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, telah menerjang Thian Sin dengan menggunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk.

Melihat ini, Thian Sin tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.

"Thian Sin, tunggu...!" Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suhengnya dan gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.

Melihat gurunya memandang kepadanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.

"Murid murtad!" See-thian-ong membentak marah sekali.

"Suhu...!" Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan melihat gurunya melangkah maju mendekatinya.

"Plakkk!" Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan wanita itu, membuatnya terpelanting keras.

"Engkau pengkhianat! Engkau telah membuka rahasia kepadanya, ya?" See-thian-ong membentak marah. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?"

"Suhu, aku... aku cinta padanya..."

"Tidak peduli engkau cinta padanya, engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak lagi hidup!" See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang-kadang menjadi kekasihnya itu.

Cian Ling berlutut dan mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.

"Mampuslah, murid pengkhianat!" See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.

"Trang...!" Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih!

Sikapnya melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apalagi melawan dengan senjata. Akan tetapi, See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tidak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunyapun tidaklah aneh. Apalagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik inipun kadang-kadang meniadi kekasih gurunya itu!

"Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!" kata See-thian-ong dan diapun menyerang lagi lebih hebat.

Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga.
"Suhu, jangan bunuh sumoi...!" Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan dan dengan senjata ruyungnya diapun membantu sumoinya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoinya itu.

Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan biarpun kini ada Gu Sik yang membantu sumoinya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat dan beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.

See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak disangkanya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani pula menentangnya. Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega, pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, melainkan dipergunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoinya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.

Dihadapi dua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apalagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar dan di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling. Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoinya dan menghalangi suhunya.

"Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dulu!" kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoinya.

"Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhumu pula? Hendak membela pengkhianat?"

"Suhu, teecu mencintainya."

"Karena dia cantik dan muda?"

"Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa."

"Kalau begitu, aku ubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu."

"Terima kasih, suhu!" Gu Sik berlutut.

See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi "krek-krek" dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk. Dengan demikian, biarpun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk memiliki ilmu kepandaian tinggi sudah tidak mungkin lagi bagi Cian Ling.

Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat. Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan cukup kuat tulang yang tersambung lagi. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, biarpun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali. Cian Ling menjadi penderita cacad dan ia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, dibandingkan dengan wanita biasa, ia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, ia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.

Menerima hukuman seperti itu, yang amat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoinya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouwpun bubarlah, tidak ada yang berani bicara, apalagi membicarakan kekalahan datuk itu! Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani bicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di depan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu.

Setelah luka-lukanya akibat hukuman suhunya sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa ia harus menjadi isteri suhengnya itu. Ia menerimanya setengah terpaksa, karena kalau ia menolak, ia tahu bahwa gurunya tentu tidak akan mengampuninya dan akan membunuhnya.

Melawanpun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhunya merupakan hal yang amat tidak mungkin. Ke manapun ia melarikan diri, akhirnya ia tentu akan tertangkap juga. Kalau saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu ia tidak takut menghadapi suhunya. Akan tetapi, Thian Sin meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa ia menerima keputusan itu. Dan ke tiga, karena ia melihat kenyataan betapa Cian Gu Sik, suhengnya itu, benar-benar amat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah dan tubuhnya, bukah sekedar cinta berahi seperti yang selama ini ia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi.

Thian Sin melarikan diri dengan hati girang. Dia telah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, karena dia menganggap belum tiba waktunya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya. Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa benar-benar kuat, barulah dia akan turun tangan, membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya.

Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah merupakan kemenangan tipis, belum mutlak. Maka dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya secara sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan kalau mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw! Maka, dengan hati mantap, Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himlaya!

Kita tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, keluarga Ciu telah tertimpa malapetaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat memberontak. Dalam keributan itu, Lian Hong lenyap tak meninggalkan jejak. Apakah yang telah terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu?

Ketika terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua terkejut dan mengamuk ketika melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai itu telah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan. Lian Hong juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi akhirnya setelah ia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, ia berhasil juga mendekati depan rumah di mana tadi ayah ibu dan keluarganya dikeroyok. Dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, telah menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas.

"Ibuuuuu...! Ayaahhh...!" Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi ia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya, dara ini terguling dan pingsan di dekat mayat keluarganya.

Tiba-tiba di antara para pengeroyok itu nampak seorang pengemis muda yang usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan itu tertawa.

"A-khun, jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!" seorang di antara mereka berseru. Yang lain tertawa.

"Jangan khawatir!" jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari Lian Hong meninggalkan tempat itu.

A-khun adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang dalam penyerbuan itu ikut membantu pasukan karena memang dalam usahanya berhubungan dengan pemberontak, pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam.

Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai.Dengan cepat A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota dan membawa dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di tepi jalan.

Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tidak ada penghuninya dan tempat itu siang tadi dipergunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu. Dengan hati berdebar girang dan tegang, A-khun memasuki kuil itu. Tadi dia melihat kecantikan Lian Hong dan segera merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu dengan Phoa-taijin. A-khun memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Oleh karena itu, melihat kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak menyia-nyiakan dan bukankah keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona inipun harus dibunuh, akan tetapi sebelum itu..., dia menyeringai ketika merebahkan tubuh gadis itu di atas lantai di bagian belakang kuil.

Dengan tenang saja A-khun lalu membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di atas meja tua bekas meja sembahyang sehingga ruangan yang gelap itu kini menjadi terang. Dengan sepasang mata bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya, diam-diam memberi selamat kepada diri sendiri karena sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang berada dalam keadaan pingsan.

Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala dan tengkuk Lian Hong. Gadis itu mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu ia membuka mata dan menjadi silau oleh sinar lilin, ia terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di sebelah kanan, ia menengok dan melibat sebuah wajah pucat seorang pria yang berlutut di dekatnya, ia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi ia didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong.

"Apa...siapa...?"

"Nona manis, jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Engkau cantik manis, aku suka padamu..."

"Keparat busuk! Engkau... engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu...!"

Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi pada saat itu, ia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka ia hanya memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di depan mulut harimau yang siap menerkamnya.

"Ha-ha-ha, benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan malam ini engkau menjadi milikku... ha-ha!"

Tangan kanan pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari
tubuh Lian Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba saja menjadi kaku!

"Ehhh...?" A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia merintih ketika melihat bahwa di punggung tangannya itu nampak sebatang jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini mampuslah aku!

"Binatang, berani engkau melanggar laranganku?" tiba-tiba terdengar suara halus merdu, suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan masih berlutut dia memutar tubuhnya menghadap ke arah seorang wanita yang baru saja masuk di ruangan itu tanpa diketahuinya.

"Pangcu... am... ampunkan... saya..." Dengan seluruh tubuh menggigil seperti orang yang sedang mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah.

Sementara itu, Lian Hong yang masih rebah tertotok memandang dengan jantung berdebar tegang dan seram. Dari tempat ia rebah, ia memperhatikan wanita itu. Seorang nenek yang berwajah menyeramkan! Rambut di atas kepala itu lebat sekali, akan tetapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai ke kulit leher dihias cacad bekas penyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi kulit bagian tubuh lain karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi, kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam. Pakaiannya kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih memiliki kesegaran dan kekuatan tubuh. Sukar menaksir usianya, akan tetapi melihat rambut yang putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tidak akan kurang dari tujuh puluh tahun! Hanya sepasang matanya saja yang masih amat tajam, bahkan mencorong seperti mata orang-orang sakti. Di punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang, dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya seperti tubuh ular. Dari sebutan yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong dapat menduga bahwa tentu nenek ini merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Ia merasa semakin serem.

Kalau anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apalagi ketuanya! Teringat akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat akan bayangan mayat-mayat ketuarganya, Lian Hong tak dapat menahan keluarnya air matanya. Akan tetapi ia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa ia akan berkumpul dengan keluarganya.

"Berapa lama engkau menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?"

Kembali terdengar suara lembut merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya langsung keluar dari dalam mulut.

"Satu... dua... tahun..."

"Apa larangan pertama dari perkumpulan kita?"

"Berkhianat terhadap perkumpulan."

"Dan ke dua?"

"Bicara tentang Pangcu..."

"Dan ke tiga?"

"Ke tiga... eh... ampunkan saya, Pangcu... saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di sini, saya... saya tidak tahu Pangcu akan datang..."

"Apa larangan ke tiga?" suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya tak pernah berkedip. Mengerikan sekali.

"Larangan ke tiga... eh... memperkosa wanita... akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus dibunuh juga?"

A-khun mencoba untuk membela diri. Tangan kiri nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah mengenai lehernya tanpa dapat dielakkannya.

"Semua anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan tetapi tak seorangpun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?" kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan tetapi makin menakutkan bagi A-khun.

"Karena... karena... Pangcu adalah seorang wanita pula..."

"Karena ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria yang memperkosa wanita!" Kembali tangan itu bergerak.

"Pangcu, ampuuuuun...!"

Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam!

Kini nenek itu melangkah maju menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya, pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian.

"Mana pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu?" tiba-tiba suara merdu itu bertanya dan Lian Hong terkejut.

Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin, dan baru ia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi pasukan.

"Aku tidak tahu!" jawabnya ketus.

"Ah, aku ingin sekali melawan dia. Katanya mereka itu lihai, putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu..." Nenek itu berkata dan kelihatan termenung.

"Kalau ada Tiong koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan membunuhmu!" Lian Hong berseru penuh semangat ketika ia teringat kepada pemuda yang dikaguminya itu.

Nenek yang tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka dan memandang kepada Lian Hong, sinar matanya seperti kilat menyambar.

"Begitukah? Apamukah pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu?"

Lian Hong tahu bahwa ia menghadapi kematian, maka ia hendak mempergunakan saat terakhir itu untuk membanggakan dirinya.

"Dia adalah tunanganku, calon suamiku!"

"Hemm, akan tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu."

"Siapa takut mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukan apa-apa bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, kalau mau bunuh, lekas bunuhlah. Biar aku menyusul orang tuaku!" Lian Hong menantang.

Tangan yang bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini sama sekali tidak berkedip, karena ia hendak menyambut maut dengan mata terbuka.

"Ceppp!" Ujung tombak itu amblas ke dalam lantai, hanya satu senti saja dari pipi Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak.

"Tidak, engkau tidak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Eh, maukah engkau menjadi muridku?"

Ditanya seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar ia suka menjadi muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapapun juga, pembunuh orang tuanya adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau ia dapat menjadi murid nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak ia akan dapat membalas dendam kematian orang tuanya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka iapun menjawab, "Kalau locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja teecu akan senang sekali."

Nenek itu tertawa, suara ketawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba saja ia sudah dapat bergerak kembali! Dengan girang iapun lalu berlutut di depan kaki nenek sakti itu.

"Muridku yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?"

"Kalau teecu tidak salah menduga, locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), betulkah?"

"Hemm, tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku tapi masih dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan bicara dengan aku dan bahkan menjadi muridku."

Diam-diam Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh amat luar biasa, sombong bukan main, agaknya seolah-olah menganggap dirinya benar-benar seorang malaikat, bukan manusia lagi. Akan tetapi iapun bukan seorang dara yang bodoh, maka ia cepat berkata, "Kalau begitu, sungguh teecu memiliki keberuntungan besar dan teecu menghaturkan terima kasih kepada subo."

LANJUT KE JILID 023--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar