Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 018

Pendekar Sadis Jilid 018

<---Kembali

Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya ia merasa bingung dan amat sukar untuk mengakui hal itu di depan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, ia dapat mengaku terus terang dengan rasa canggung sedikit saja, akan tetapi bagiamana mungkin ia dapat mengaku terus terang di depan orang yang bersangkutan? Apalagi karena ia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena ia memilih Han Tiong! Akan tetapi ia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir batin, maka tentu akan dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekalipun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang. Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian.

"Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang karena engkau menghendakinya. Sesungguhnya, sejak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa amat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku mempunyai perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan kalau ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sukarlah aku untuk menjawabnya. Kalian memiliki daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andaikata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu... maafkan aku, Sin-ko, karena... karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau... engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana..."

Hening sekali saat itu setelah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu menundukkan mukanya. Biarpun ia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, namun ia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong daripada dia, sungguh membuatnya penasaran!

"Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau kita sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji karena tidak ada yang ditakutinya lagi!"

"Maaf, Sin-ko. Aku tidak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang menundukkan kejahatan tidak dengan kepandaian akan tetapi menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko... ah, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko..."

"Akan tetapi, kalau penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tidak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlalu lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!"

Lian Hong merasa tidak setuju dalam hatinnya, akan tetapi ia tidak mampu membantah atau menjawab, maka iapun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.

Pendapat Thian Sin itu mungkin sekali juga merupakan pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang benar. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan! Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu kalau kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan kalau kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya kalau kita menyelidiki dulu persoalan ini sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!

Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan maupun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapapun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat ataupun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.

Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidak demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dan hukuman yang sifatnya membalas dendam! Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.

Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah dapat merupakan hukuman mendidik, dapat pula merupakan pelampiasan kebencian. Kalau si ayah itu marah, jengkel di waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh kebencian. Sebaliknya, kalau jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik, dan antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.

Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apapun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.

"Kalau bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Mana mungkin mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat daripada penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji dan pembunuh-pembunuh itu?"

"Sin-ko, aku tidak mengerti, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?"

"Ah, tidak bisa! Para pendekar tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!"

Lian Hong tidak bicara lagi karena iapun tidak mengerti benar akan apa yang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Ia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan Thian Sin, sebaliknya ia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.

Tiba-tiba Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya sehingga Lian Hong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, "Awas... ada banyak orang..." dan dia mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak dan mengintai keluar.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu, orang-orang itu adalah pasukan besar, karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak orang pula yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai! Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah ketika melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring.

"Siapa membakar rumah? Eh, apa artinya semua pasukan ini?"

"Tangkap pemberontak! Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw! Basmi pemberontak dan pengkhianat...!"

Teriakan-teriakan itu terdengar dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan kini pasukan-pasukan itu telah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama dua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!

Tentu saja keluarga itu segera bergerak membela diri dan mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau memprotes. Pasukan itu sudah menyerbu dengan membabi-buta, bahkan dibantu oleh beherapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah.

Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka. Agaknya mereka memang telah menerima perintah untuk membunuh semua penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping dan merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.

Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apalagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.

"Keparat!" teriaknya dan iapun lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya.

Akan tetapi di situ telah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya. Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya telah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu dan sekali terjang, dia sudah merobohkan empat orang perajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin telah dikepung oleh banyak perajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai. Dia mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan.

Karena mengkhawatirkan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apalagi dia tadi mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.

"Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!" bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang.

"Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!"

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, namun pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat. Dengan kemarahan meluap-luap, apalagi karena rumah itu telah terbakar semakin berkobar, Thian Sin lalu mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya, dengan tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya.

Hebat bukan main sepak terjangnya dan para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak berpakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi.

Di antara mereka itu ada yang berpakaian pengemis, mengingatkan Thian Sin kepada para anggauta Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tidak menjadi gentar, dan dia terus mengamuk. Akan tetapi kini dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong! Maka, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu.

Melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka merekapun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak terdengar perkelahlan di tempat lain. Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu dan dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong! Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.

"Tranggg... desss! Creppp!" Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.

Thian Sin cepat memeriksa dua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya telah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal inipun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu!

Keluarga ini telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semuanya itu karena dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!

"Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terimalah pembalasanku!"

Dan diapun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan manapun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu. Entah herapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh.

Makin lama makin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin dan dia seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan.

Akhirnya, para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorangpun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi. Thian Sin mengejar dan merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Kemudian dia menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.

"Ngekk!" Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah. Thian Sin menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu.

"Cepat, ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!" Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itupun terobek sedikit dan berdarah.

"Baik... baik... kami hanya diperintah... mula-mula komandan kami menerima laporan dari... dari Su-couw..."

Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Mendengar disebutnya kota Su-couw, diapun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.

"Phoa-taijin...?" Dia membentak dengan sikap mengancam.

"Ya... ya benar...!"

"Mengapa? Hayo katakan mengapa dia melakukan ini?" bentaknya dan perwira itu menggeleng-geleng kepala karena memang dia tidak tahu.

Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan tentang adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Hui-eng-piauwkiok di Lok-yang, dan komandannya segera bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.

"Tidak... tidak tahu..." perwira itu berkata dan kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin telah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!

Malam itu juga, lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Sejak mengamuk tadi, dia tidak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu, kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam seperti mata iblis dalam dongeng!

Dia tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan agar keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, mengapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggauta keluarga Ciu terbasmi habis?

Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan kini dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin! Maka diapun cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lalu menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan namun serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.

"Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak dapat ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tidak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!"

"Tapi, taijin. Keluarga Ciu telah dapat dibasmi, lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali..." terdengar suara orang lain.

"Saya belum mengerti mengapa taijin memusuhi keluarga Ciu?" seorang lain dengan suara serak.

"Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang telah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar perampok untuk merampok barang-barang yang kusuruh kawal Pouw-an-piauwkiok? Kalau mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?"

Thian Sin mengerutkan alisnya. Biarpun hanya samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok dan merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an-piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga. Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.

"Aku berada di sini!" Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu.

"Braakkkkk!" daun jendela itu pecah dan diapun sudah meloncat ke dalam.

"Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!"

Akan tetapi empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan telah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu. Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi lunak seperti karet, lunak namun kuat sekali dan begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sin-kang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sin-kang empat orang itu tersedot seketika.

Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi-i-beng. Makin mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kang mereka tersedot dan pada saat itu, sinar pedang perak berkelebat dan robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.

Phoa-taijin sudah melarikan diri melalui sebuah lorong, akan tetapi tiba-tiba bayangan Thian Sin menyambar dan pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.

"Ampun... ampun... taihiap...!"

"Keparat jahanam! Engkau mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Kau mau apa sekarang!"

"Ampuun... aku... aku hanya melakukan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah... dan karena... ayahmu dahulu pernah memberontak maka... aku... aku..."

"Cacing busuk! Kalau begitu, kenapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu dibasmi? Engkau membalas karena kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an-piauwkiok itu, ya? Hayo katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara..."

Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan ketika pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin. Pemuda ini cukup waspada. Pandang mata pembesar itu membuatnya mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang dan tahulah dia bahwa ada dua tiga orang bergerak di belakangnya.

Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.

"Hayo jawab!"

"Mereka... mereka itu... ah... para datuk kaum kang-ouw... telah bersekutu... eh, dengan mereka yang bergerak di utara... orang-orang bangsa Mancu..."

"Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!"

"See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui..."

"Hem, juga Tung-hai-sian?"

"Tidak... tidak... belum, sedang dihubungi... dia yang keras kepala..."

"Setan, mampuslah kau!" Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali, terdengar tulang terbacok beberapa kali disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan ketika Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi pendek karena kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.

Sekarang Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu telah mengambil bala bantuan dan kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tidak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.

Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.

Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat sekali. Biarpun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.

"Inilah Ceng Thian Sin! Inilah putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!" Thian Sin mengamuk sambil berteriak-teriak.

"Sin-te...!"

Sesosok bayangan berkelebat dan sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang mendatangkan Han Tiong! Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan semakin heran karena tidak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak dan diapun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi dibaca oleh Thian Sin.

Biarpun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir akan keadaan Thian Sin, dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.

Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke mana perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja. Tiba-tiba dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu!

Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini semakin kuat ketika dia menanti-nanti dan belum juga adiknya pulang. Maka dia lalu mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia membawa buntalan-buntalan pakaian lalu menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.

Tak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru tiba di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Dan ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia telah melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang kelihatan panik di luar rumah-rumah mereka dan bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Hui-eng-piauwkiok!

Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu dan dia mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya ketika dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong segera menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kiri. Han Tiong menoleh dan melihat, bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang perajurit. Melihat bahwa pakaian para perajurit yang telah menjadi mayat berserakan di tempat itu, tahulah dia bahwa mereka ini adalah teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka diapun lalu meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu terpelanting.

Mereka bangkit lagi dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan perajurit-perajurit yang bertugas menjaga di tempat itu dan Han Tiong sudah dikepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudian menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap. Para perajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul dan sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh membawa seorang yang telah ditotoknya. Di tempat sunyi, Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberitahukan apa yang telah terjadi."

Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si perajurit tidak takut lagi dan diapun lalu menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan Phou-taijin, untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin, yang rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.

"Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?" Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya.

Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan perajurit, kalau bukan adiknya?

"Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!"

"Di mana dia sekarang?"

"Tidak tahu... tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja."

"Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?"

"Tidak tahu... hanya kabarnya lolos..."

Han Tiong lalu menotok orang itu sampai pingsan dan diapun lalu cepat melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itupun melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang perajurit untuk menceritakan keadaannya dan begitu mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw.

Cepat diapun menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu. Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu, kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja. Kalau dia masih berada di situ ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu. Akan tetapi, semua telah terjadi. Keluarga Ciu telah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harap mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat.

Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam.

Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun dan menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.

"Sin-te, ingatlah...!" Dia berkata lagi.

Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Cepat Han Tiong memondong tubuhnya, menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar pedang untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka. Berkat ketangkasannya, Han Tiong dapat cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung.

Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia lalu menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar. Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luar maupun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka diapun lalu mendiamkannya saja, dan diapun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.

Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong bersikap waspada maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru, "Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tidak mengenalku? Kau lihat baik-baik, aku adalah Han Tiong!"

Tiba-tiba Thian Sin menghentikan serangannya, memandang kepada wajah Han Tiong, kemudian dia menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga berlutut dan merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.

"Adikku... ah, Sin-te... tenangkanlah hatimu. Aku tahu... aku telah melihatnya... akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te."

"Tiong-ko... aduh, Tiong-ko... betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!"

"Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?"

Thian Sin menenangkan hatinya, lalu duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan diapun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.

"Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku... aku malam tadi membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah..."

"Aku sudah tahu, adikku."

"Kau tahu? Dan kau diam saja..."

Han Tiong tersenyum duka. "Keinginan tahu seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te."

"Lupakanlah? Ah, Tiong-ko, engkau tidak tahu betapa jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!"

"Ah!" Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.

"Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar dan kami bicara panjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena... karena aku... hemm, aku orang yang kejam dan jahat!"

"Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!"

"Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu telah menyerbu. Mereka berteriak-teriak katanya hendak menangkap aku, anak pemberontak, akan tetapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Aku tentu saja tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, akupun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh... betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat..." Dan pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.

"Akupun telah melihat mereka, Sin-te. Dan... dan... Hong-moi, bagaimana dengan dia?" tanya Han Tiong, suaranya agak gemetar.

"Tidak tahu, Tiong-ko... tidak tahu... lenyap begitu saja... aku tidak tahu ke mana ia pergi... ah, hal itu membuatku semakin sedih karena malapetaka yang menimpanya adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!"

"Jangan, Sin-te. Urusan yang terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya perajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya..."

"Kalau perlu, aku akan siksa semua perajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!"

"Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Kalau ia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te."

"Habis apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya dan tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan... ia adalah calon isterimu sendiri!"

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran. Han Tiong menarik napas panjang.

"Sin-te, haruskah aku memperlihatkan atau memamerkan rasa dukaku karena kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku karena hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu telah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu telah disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tiada lain jalan bagi kita selain melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te."

Akhirnya, biarpun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukan takut, melainkan segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini. Biarpun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang sudah jatuh cinta kepada dara itu, namun dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlampau sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarangpun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu amat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda inipun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga.

***

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun.

Melihat keadaan dua orang muda, Bhe Bi Cu sudah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu.

"Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji... ada apakah? Mengapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?"

Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandang matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.

"Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Menangis seperti anak-anak kecil. Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekalipun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!"

Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka dan tidak terisak-isak lagi sungguhpun kedua mata mereka masih basah. Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, kemudian kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya bertemu dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.

Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penurutan dua orang muda itu, apalagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu.

Kemudian dua orang muda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang.

Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya. Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.

"Sungguh tidak pernah kami kira bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah." Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. "Pada malam terakhir kami berada di Lok-yang secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, namun fihak musuh terlalu banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong... mereka berempat itu... ah, mereka semua tewas...!"

"Ohhhhh...!" Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.

"Hemm...!" Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seolah-olah hendak menolak penglihatan yang nampak oleh cerita puteranya itu.

Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itupun menundukkan muka.

"Tapi mengapa? Mengapa?" Akhirnya Sin Liong berkata.

"Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang berdosa, keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk...!"

"Thian Sin!" Cia Sin Liong membentak dengan keren.

Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.

"Aku telah meneriakkan bahwa aku di situ, agar mereka jangan mengganggu keluarga Ciu, aku telah mengamuk, aku telah membunuh puluhan orang perajurit, akan tetapi tidak berdaya menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, lalu aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah
Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri perampokan barang-barangnya yang dikawal Paman Kui Beng Sing untuk mengumpulkan uang pengganti, dia... dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka itu berhubungan dengan orang-orang di utara, bangsa Mangcu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya mengaku, kemudian aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya..."

"Sin-te...!" Han Tiong berseru.

"Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, akulah yang menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Namun kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui... dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!"

"Thian Sin! Diam kau!" Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai pengerahan tenaga khi-kang sehingga ruangan itu tergetar dan Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan terkejut sekali.

Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang seperti naga itu, dan diapun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf. Mereda kemarahan Sin Liong melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.

"Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tidak akan tergoyahkan oleh peristiwa apapun juga. Kalau engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam menguasai batinmu, maka engkaupun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu."

Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga diapun tidak akan banyak bicara lagi.

"Ayah, melihat Sin-te mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena kalau tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini... ini adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan kepada Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah." Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya.

Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai tua ini, nampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seorang yang telah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong!

Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.

"Han Tiong... kau harus... harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Sekarang juga!" akhirnya dia berkata.

"Ah, dia baru saja datang!" bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu.

Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan diapun merasa terharu sekali.

"Bagaimanapun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kauketahui jejak kepergiannya."

"Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari dan besok lusa engkau harus berangkat mencarinya sampai dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu."

"Baik, ayah."

Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, "Dan engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, apalagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang amat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang engkau harus lebih banyak berlatih samadhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau dapat dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu. Mengerti?"

"Tapi... tapi, ayah... saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi..."

"Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih samadhi!"

Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, tidak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut tentang segala yang mereka tanyakan mengenai perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.

Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin telah tidak ada di dalam kamarnya dan melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Dan agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri.

Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Ah, kukira akan dapat menundukkannya, setelah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin... hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, kalau engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikanlah kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kaubujuklah dia agar pulang atau biarlah kauperbolehkan dia ikut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk."

"Baik, ayah," jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali.

Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya oleh kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, dan melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit. Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah dapat ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Kalau perlu, dia akah mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu.

LANJUT KE JILID 019--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar