Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 004

Pendekar Sadis Jilid 004

<---Kembali

Memang hampir setiap hari kedua orang saudara kembar ini saling mengunjungi, bahkan kalau Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.

Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tiada ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi, tetap saja bagi Tiong Pek, Kui Lan lebih menggairahkan! Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat daripada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan daripada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.

Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang "lebih" lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.

Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu dan pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang dan menanti pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran dan kedukaan. Hanya karena adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, akan tetapi Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau encinya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami encinya itu. Betapapun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya.

Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, dia malah telah membunuh suami adiknya, dia telah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi dan nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah tidak akan ada habisnya sumber air matanya.

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya.

Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya.

Dan keinginan ini akan terusmengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapyk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.

Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun. Ketika pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek telah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.

Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata.

"Siapa yang melakukan itu? Siapa...? Aku akan mencari pembunuhnya... hemm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!"

Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia lalu membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.

"Ada... ada apakah...?" Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya.

Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara? Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya. "I-thio... sebaiknya kita bicara di dalam saja..."

Setelah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya dan membawanya masuk ke dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.

Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng-piauwkiok yang setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai
Sun mengawal barang yang amat berharga itu. Tentu saja dia pun merasa amat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tidak diganggu dan tidak ada pula barang berharga yang dilarikan.

Akan tetapi, diapun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tidak mungkin kalau ada penjahat yang menaruh dendam kepada Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya akan hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa penasaran sekali sungguhpun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.

Dapat dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam, dia melihat Kui Lin segera menutupkan semua pintu dan jendela, sedangkan isterinya, Kui Lan kembali menubruk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Setelah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ.

Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini. Memang harus diakuinya bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, dan lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang ikut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua itu hendak menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain!

"Lan-moi, ada apakah? Kau tenanglah dan ceritakan kepadaku." Akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di depannya itu dan mencoba untuk membangunkan Kui Lan.

Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, "Sun-koko... kau... kaubunuhlah saja aku..."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya dan merangkul isterinya yang masih berlutut. "Ahh... apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau... berkata demikian, isteriku?"

"Koko... dia... dia itu..." Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, "...akulah yang... membunuhnya..."

"Aihhh...?" Khai Sun merasa seperti disambar kilat kepalanya dan dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang menunduk itu.

Kui Lin cepat menghampiri encinya dan juga berlutut merangkul encinya lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami encinya. "Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!"

Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, "Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian... kalian yang membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?"

Melihat keadaan pria yang tinggi besar dan gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan encinya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak mienangis, "Bukan kami... melainkan dia yang gila... dia layak mati... dia telah memperkosa Enci Lan...!"

"Ohhhhh...?" Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya dan dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya menatap ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya.

Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu. Ada perasaan marah yang hebat sekali membakar hatinya, akan tetapi dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa, maka tanpa disadari tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat daripada kayu yang keras itu.

Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.
Dengan mata nanar dia membuka tangannya dan memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak.

Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya seperti terapung dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu.

Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya menjadi terang dan tenang, dan terdengarlah suaranya yang parau dan berat, "Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku."

Akan tetapi Kui Lan tidak dapat mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, sehingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun sambil berkata dengan suara gemetar, "Enci Lan, duduklah... biar aku yang akan menceritakan..."

Kui Lin membawa encinya duduk di atas bangku di depan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping encinya, merangkulnya kemudian menggunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan batin yang amat mendalam.

"I-thio Khai Sun, harap kaudengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu... dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya dan akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan... untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat..."

Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isteri sendiri!

Melihat keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan setelah mendengar penuturan itu, Kui Lan menjerit lirih dan dia sudah menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis. "Suamiku... kau...kaubunuhlah saja aku... aku tidak dapat membunuh diri... karena... karena Lin-moi..." Dia menangis tersedu-sedu.

Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia bertanya. "Mengapa kau minta kubunuh?"

Kui Lan menengadah, memandang kepada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. "Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini... aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor... aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu... dan aku... aku telah membunuh suami Lin-moi... aku telah merusak hidup Lin-moi..."

"Tidak... tidak...!" Kui Lin berseru sambil terisak. "Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tidak berdaya melawan... dan tentang pembunuhan itu... kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati...! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian
menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, akupun tidak sudi hidup lagi di dunia ini...!"

"Lin-moi...!"

"Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!"

Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi semakin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah dapat membayangkan apa yang telah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.

"Sudahlah, Lan-moi... aku... aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar... peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain." Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya.

Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. "Kau... kau tidak benci kepadaku?"

Khai Sun menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu."

Kui Lan masih meragu. "Tapi... tapi aku... aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi..."

"Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu amat bijaksana, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat."

"Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar," kata pula Khai Sun.

Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Diantara para tamu itu terdapat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu. Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Ketika mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia cepat berangkat ke Kun-ting dan tiba di situ sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang.

Kurang lebih satu bulan setelah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu nampak sunyi dan masih dalam suasana berkabung, sungguhpun pekerjaan Ui-eng-piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.

Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana sudah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biarpun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, namun mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andaikata ada orang berdiri di luar kamar itupun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.

"Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, memalukan dan amat merendahkan aku!"

"Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkan masak-masak karena aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini sudah kupikirkan semenjak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk dapat hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan salah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapapun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, tidak akan terjadi hal itu dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tidak akan dapat terhapus kecuali... kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku."

"Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!"

"Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik kalau hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, adik kembarku dan di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Dan kalau engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagaimana kalau sampai engkau terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita... kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi."

"Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu."

"Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tidak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku."

"Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apalagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunuh suamiku, kalau kemudian aku menjadi... eh, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seolah-olah sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?"

"Ah, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagaimana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikiran semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan setelah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau
tidak..."

"Kalau tidak, mengapa, Enci?"

"Kalau engkau tidak mau... aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, melainkan agar kuketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa salah dalam hatiku."

"Enci Lan...!"

"Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan kalau engkau mau mempertimbangkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini."

"Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku... berilah aku waktu untuk mempertimbangkan, aku bingung, Enci..."

"Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku."

Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang-kadang dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.

"Lan-moi, isteriku sayang, kenapa engkau selalu menjauhkan diri? Aku... aku rindu padamu, Lan-moi..." kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan.

Akan tetapi Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di tepi pembaringan dan saling pandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.

"Aku... rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu... aku akan selalu merasa kotor dan hina..."

"Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku sudah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap tidak pernah terjadi padamu dan..."

"Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau..."

"Kecuali apa, isteriku?"

"Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi..."

"Aahhh...! Sudah gilakah engkau?"

Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.

Kui Lan menggeleng kepalanya. "Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tidak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati
bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku."

"Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa malapetaka itu?"

Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan kedua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus jika engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku."

"Tapi... tapi..."

"Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati."

"Tapi... Lin-i..."

"Hal ini telah kubicarakan dengan Lin-moi. Lin-moi telah menjadi seorang janda, muda, cantik dan berharta. Diapun memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan kalau menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini."

"Tapi, kaukira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu..."

"Aku tahu, akan tetapi Lin-moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua."

Dengan lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, kedua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali. "Ahhh, betapa akan malu rasanya dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku mempergunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu... aku harus memikirkan hal ini secara mendalam..."

"Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku."

Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek. Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu dan anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga dan hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio.

Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.

Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Ketika mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani "biasa" karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!

Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena kalau orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian. Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san!

Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu.

Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti. Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong.

Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masih ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!

Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera!

Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang. Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita
Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dan puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.

Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali.

Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.

"Selamat datang di Cin-ling-pai," kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga di pagi hari itu. "Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?" Pertanyaan itu singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah.

Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!

"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai," jawab Sin Liong dengan ramah pula.

Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada Sin Liong, sambil berkata. "Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?"

Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata.

"Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok Besar...”

“Kami datang dari Lembah Naga!" sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.

"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!" kata pula Han Tiong yang juga tidak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.

Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.

"Ah,... apakah... taihiap ini Cia Sin Liong...?"

Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, "Benar, itulah namaku."

"Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk..." kata mereka dan beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini.

Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka.

Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.

Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan putera mereka! Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.

Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.

"Ayah...!" Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong.

Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.

"Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!" kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.

"Inikah putera kalian?" Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.

"Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!" kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini.

Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.

Ketika Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam."

"Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw."

Ayahnya menarik napas panjang. "Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh membuat aku merasa khawatir sekali."

"Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?" tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Adapun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong.

Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. "Banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru di dunia kang-ouw. Hanya nama mereka saja yang baru akan tetapi sesungguhnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang seolah-olah merupakan raja-raja kecil di dalam dunia hitam."

"Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?"

"Aku tidak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar mereka itu berpengaruh sekali dan selain mempunyai banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapapun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai untuk tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka kalau sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja."

Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang amat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja.
Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang pernah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya memiliki ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat.

Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si.

Disebelah timur ada seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur, dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan terkenal sekali dengan ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di tepi pantai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung.

Adapun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.

Itulah mereka yang kini merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu memiliki kepandaian yang hebat, memiliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

"Ahh...! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!" kata Sin Liong terkejut.

"Yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahhh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?"

Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apalagi kalau berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.

Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati amat tertarik, bahkan dia mencatat di dalam hatinya nama-nama dan tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi.

Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik seperti Han Tiong. Bahkan dia lalu mengajak keponakannya itu untuk keluar dan mereka bermain di taman bunga di mana
terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang telah mereka pelajari dari ayah masing-masing.

Kemudian, sesuai dengan watak yang ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya saling memuji dan merendahkan diri sendiri. Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, sedangkan Kui Lin yang menikah dengan Na Tiong Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya.

Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari situ, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.

"Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?" Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. "Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?"

Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak berduka. "Sudah lama sekali terjadinya, sudah ada kurang lebih sembilan tahun yang lalu."

Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi malapetaka itu.

"Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek dan membunuhnya itu." Lalu diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek di mana Kui Lan menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu dan kemudian datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.

"Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya," kata Sin Liong.

"Merekapun mengatakan bahwa mereka tidak kenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apalagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarangpun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu."

Sin Liong mengerutkan alisnya. "Tidak mengherankan kalau Tiong Pek, sebagai seorang piauwsu, mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran kalau sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah ditinggal mati suaminya?" tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu.

Tiba-tiba sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di situ terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. "Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja."

Mendengar ini, Sin Liong merasa heran, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.

"Beng Sin, apakah yang hendak kaukatakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia."

Beng Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi engkau sebagai saudara seibu memang berhak untuk mendengar sejelasnya.Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi ikut bersama Lan-moi dan suaminya yang melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun semenjak kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi... ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya."

"Ahhh...!" Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, dan dia tidak segera dapat mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin telah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang berhak untuk menikah lagi, sungguhpun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?

"Hemm, lalu bagaimanakah kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?" tanya Sin Liong.

Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa... eh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan... agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang."

"Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang," kata Sin Liong.

Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Hui-eng-piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.

Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian setelah memperoleh persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkan isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Hui-eng-piauwkiok. Dari jauh sudah nampak papan nama Hui-eng-piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu.

Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu.

Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan ini semua karena pandang matanya tertuju ke arah beranda depan rumah itu di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak kelihatan orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin!

Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan setelah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.

"Liong-ko...!" Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada
kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata telah bercucuran di atas pipi mereka.

"Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!" kata Kui Lin.

"Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?" tanya Kui Lan.

Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. "Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!"

Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang amat menghormat Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biarpun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin
sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kui Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.

Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lalu menarik tangan Sin Liong dan berkata, "Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali."

"Duduklah, koko," kata pula Kui Lin.

LANJUT KE JILID 005--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar