Rabu, 12 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 95

Pedang Kayu Harum Jilid 095

<--kembali

"Crottt! Waduhhhhhhh!!" Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang. Namun dengan gerakan seperti seorang hati silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,

"Apakah kalian buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"

Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju dan memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajarnya adalah seorang sakti seperti Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh dan sekali menggeser kaki dan dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.

"Blukkk........auuuuwwwwww!" Orang itu terkena pukulan kepalanya, terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main ketika kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan krinya.

Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.

"Plakkk!" Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Ia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.

"kau......! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?" Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu lihai, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya seperti seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu. Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong "Raja Muda" semua bajak sepanjang sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti, dia mana sudi mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut menerima serudukan kepala pemuda itu.

"Dukkk!!"

Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas kedua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa-apa lagi, pingsan!

Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari, membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Ketika dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.

"Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"

Seorang penjahat menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya rasa nyeri karena rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.

"Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"

Akan tetapi mereka tidak mempedulikannya, dan sebuah hantaman pada belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, kemudian dibawa pergi cepat oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.

Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun di hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam. Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tidak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka. Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing! Dia maklum bahwa untuk turun tangan secara kasar, menggunakan kekerasan, amat berbahaya. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, memiliki kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau. Kalau dia membawa anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, ia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, biarpun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap. Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia dapat mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng memiliki banyak sekali orang pandai. Apalagi dia sendiri kini mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu kepala daerah tidak berani mengerahkan anak buahnya membantu. hal itu selain berbahaya, juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.

Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.

Demikianlah, ketika para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun kenjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya. A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu! Biarpun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, selain sungkan kepada Coa kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi "hadiah" atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!

Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong Cui Im yang cantik dan kemerahan pipinya itu menjadi berseri. Wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, ditambah lagi karena gerak-geriknya memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.

"Bagus....... bagus........ Coa-kongcu, saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tak mengenal puas dengan nafsu berahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kaim Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa!

Dua hari kemudian, seorang anggauta anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, meninggalkan Sun-ke-bun di malam hari bersama Mo-kiam Siauw-ong dan beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu. Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki,

"Mau diapakan aku? Eh, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? hayo kembalikan!"

Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yangmeronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok kemudian dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.

Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Ci-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam. Seperti seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya di buka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam. Cong San mencelat keluar dan membentak,

"Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?"

Akan tetapi orang itu tidak menjawab malah cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakan tenaga, orang itu dipaksa membalikkan tubuh menghadapinya.

"Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"

Orang itu merasa betapa jari-jarin tanganyang mencengkeram pundaknya luar biasa kuatnya, diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba..... A-liok dan....... hamba tidak berniat buruk......hamba........hamba utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san......"

Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"

Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba..... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang....."

Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Eh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."

"Tidak..... tidak...... bukan...... hamba harus pergi......!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.

"Tunggu! hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"

Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar, "hamba tidak berani........ tidak berani, lepaskan hamba........"

Cong San makin penasaran. Ia menggerakan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya. Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan ke pada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Ia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya. Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang setelah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja tidak berubah posisinya.

Yan Cu sumoi yang tercinta,

Setengah tahun kita saling berpisah.

Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.

Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?

Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.

Penuh cinta dan rindu dari,

Cia Keng Hong.

Cong San merasa betapa dadanya menjadi sesak dan panas, seolah-olah dada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya. Isterinya mengandung tua, amat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan? Sekarang surat ini datangnya dari Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah kalau menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara apa-apa lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa!

Dengan segala kekuatan batinya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang juga biasa menjadi senjatanya yang ampuh itu, ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong daripada untuk menulis surat! Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ah, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau dia sebut-sebut dalam surat urusan itu dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?

Cia Keng Hong,

Aku masih cukup bersabar, akan tetapi sekali lagi engkau berani menulis surat tau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!

Tertanda : Yap Cong San.

Setalah memasukkan surat dalam sampul dan memasukan sampai ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.

"Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.

"Baik, Taihiap...... baik......!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok.

***

Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi, surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.

"Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.

"Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."

"Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Eh, apakah itu?"

Cong San cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang sudah dikepal-kepalnya tadi, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Ia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu. "Ah, bukan apa-apa. tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Ia merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkannya ke keranjang di sudut.

"Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."

Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Namun Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun.

Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa laki-laki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu! Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak dia tidak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya. Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirim surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali. Pertama, ketika cemburu mulai meracuni hatinya setelah mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu sekali kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan tundukan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercaya mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im. Kemudian dia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di tepi telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Ras cemburu membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan suhengnya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.

Sekarang, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya,

"Keng Hongamat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong kepada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu dapat menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?"

Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapapun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.

"Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu kini berubah menjadi ejekan-ejekan yang menyakitkan hati dan tenaga.

Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak disampingnya.

Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan kelihatah tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian terurai di atas bantal putih. tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat dan bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kananya memeluk perutnya yang gendut seperti melindungi anak yang dikandungnya.

Betapa cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.

Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San memnunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali karena dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumu bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini makin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya. Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata ketika dia melihat secara kebetulan perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seolah-olah anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!

"Yan Cu......!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.

"Apa kau yakin dia anakmu?"

Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah akan di kandungan itu menggigit jari tangannya.

"Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong......!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.

"Tidaaaaaakkk!! Setean iblis keparat!!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.

"Brakkk!!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.

Yan Cu bangkit duduk, terbelalak memandang suaminya, "Ehhh...... San-ko, apa yang terjadi.....?" Ia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.

Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya dan berkata, "Ahhh, aku...... aku mimpi..... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."

"Ihhh....., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum, engkau pucat sekali....."

"Tak usah, tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh makin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.

"Kau..... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.

"Tidak tidurlah, sayang."

Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mujijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.

Cong San sama sekali tidak tahu betapa laki-laki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.

"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar, benar-benar dia seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan baik sekali, sekarang engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."

A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi.... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya....."

"Bodoh!" Cui Im membentak. " Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, brikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kautambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tidak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap takkan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."

***

lanjut ke Jilid 096-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar