Rabu, 12 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 87

Pedang Kayu Harum Jilid 087

<--kembali

"Pergunakan api, bakar restoran ini agar siluman itu terpaksa keluar!"

Si gendut pemilik restoran sampai jatuh berlutut hampir pingsan ketika dia melihat betapa restorannya dikelilingi pasukan yang membawa minyak, kemudian dia benar-benar roboh pingsan dirangkul isterinya ketika restorannya mulai terbakar. Para penduduk yang menyaksikan menjadi makin tegang dan ngeri, diam-dia mereka sudah bersiap-siap untuk mengangkat langkah seribu kalau siluman rase yang muncul itu mengamuk!

"Restoran terbakar...!" Laki-laki tampan itu bangkit duduk dan terbelalak memandang asap yang memasuki kamar.

"Sialan!" Si wanita menyumpah. "Tikus-tikus itu ingin mampus semua!" Dengan tenang namun jelas memperlihatkan wajah kecewa karena merasa kesenangannya terganggu, ia mengenakan pakaiannya lagi yang didahului oleh si laki-laki yang kembali menjadi ketakutan.

"Hayo ikuti aku keluar!"

Mengandalkan kepandaian wanita itu, laki-laki ini terpaksa mengikutinya keluar dengan hati berdebar-debar tegang. Kini dia harus berhadapan dengan datuk golongan hitam yang ditakutinya itu sebagai lawan! Betapapun juga, dia tidak dapat mundur karena lawan wanita ini berarti mati, kalau bersekutu dengannya masih ada harapan si wanita lihai ini akan menyelamatkannya dan di masa depan tampak harapan yang amat menyenangkan menjadi sahabat dan terutama kekasihnya! Namun dia bersikap cerdik, tidak mau memperlihatkan sikap bermusuh kepada Mo-kiam Siauw-ong dan akan melihat gelagat dahulu. Kalau wanita ini tewas di tangan Mo-kiam Siauw-ong, dia masih dapat menggunakan alasan bahwa dia dipaksa dan tidak berdaya menjadi tawanan si wanita lihai! Maka dia mengikuti wanita itu dari belakang, menuju ke pintu rumah makan yang sudah terbakar.

"Jangan bergerak, aku akan membawamu keluar melalui api!" Wanita itu berkata dan tiba-tiba laki-laki itu merasa pinggangnya dipeluk dan tubuhnya melayang keluar.

Ia makin kagum dan terheran-heran. Manusia ataukah iblis wanita ini? Kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali. Bagaimana orang selihai ini sampai terluka pundaknya?

Ia hanya merasa panas sedikit ketika tubuhnya meluncur cepat menerjang api di luar restoran, berdiri di samping wanita itu yang tersenyum-senyum memandang Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya yang sudah siap mengepungnya.

Mo-kiam Siauw-ong tercengang. Tak disangkanya bahwa orang yang amat lihai itu hanyalah seorang muda yang amat cantik, melebihi isterinya sendiri cantiknya dan berdiri tersenyum tenang tanpa ada senjata menempel di tubuh! Para pasukan juga bengong, demikian pula para penonton, hampir tidak percaya karena siluman rase itu ternyata tidak menggiriskan, hanya seorang wanita yang cantik dan agaknya seorang manusia biasa! Ataukah memang penjelmaan siluman?

Biarpun hatinya marah sekali, Mo-kiam Siauw-ong terpesona dan tertarik, merasa sayang kalau sampai wanita itu dibunuh begitu saja. "Wanita siluman, menyerahlah sebelum aku turun tangan!" bentaknya.

"Hi-hi-hik, aku keluar bukan untuk menyerah, melainkan untuk membunuh kalian yang sudah mengganggu kesenanganku!"

"Serbu...!" Pembantu Mo-kiam Siauw-ong tak sabar lagi dan menyerbulah pasukan yang tinggal empat puluh orang itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat lenyap dan terdengar jerit di sana-sini disusul robohnya enam orang pasukan sendiri. Gerakan wanita itu sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata. Yang menusuknya, tahu-tahu goloknya membalik dan menusuk perutnya sendiri. Yang membacoknya pun demikian dan tahu-tahu wanita itu telah berada di depan Mo-kiam Siauw-ong! Datuk golongan hitam itu dapat mengikuti gerakan si wanita itu benar-benar memiliki ginkang yang dia sendiri tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli tidak takut dan pedangnya menyambar ganas.

"Bagus! Kiam-hoat lumayan juga!" Wanita itu mengejek dan mengelak, tangan kirinya tahu-tahu menyambar ke depan, mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka kepada lawannya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat miringkan tubuh akan tetapi hawa pukulan tangan itu tetap saja menyambar dan menyerempetnya. Dia terhuyung dan merasa pundaknya seperti dilanggar benda yang panas. Makin terkejutlah dia. Ginkang wanita ini juga luar biasa hebatnya. Dia mengerahkan kepandaiannya sehingga pedang di tangannya berubah menjadi segulungan sinar yang berkilauan dan yang menggunakan tubuh wanita itu.

Para pasukan berbesar hati melihat pimpinan mereka sudah turun tangan maka mereka pun cepat mengurung dan menyerbu. Wanita itu berada dalam keadaan terluka, lengan kanannya tidak dapat dipergunakan untuk bertanding sehingga dia hanya melawan dengan gerakan tangan kiri saja. Namun, ia cepat meloncat menjauhi Mo-kiam Siauw-ong yang benar-benar lihai ilmu pedangnya itu, dan dengan mudah tangan kirinya merobohkan setiap anak buah pasukan yang menyerangnya. Apalagi kini tangan kirinya mulai menyebar jarum-jarumnya sehingga kembali ada lima orang pasukan roboh dan tewas!

"Heh-heh-heh-hi-hi-hikkk! Ang-kiam Bu-tek benar-benar tak boleh dipandang ringan!" Tiba-tiba terdengar suara yang lembut dan muncullah seorang nenek tua sekali berdiri di barisan depan para penonton.

Wanita itu terkejut, merobohkan dua orang lagi dengan dua kali tendangan kaki yang menghancurkan anggauta rahasia tubuh mereka, menoleh ke arah nenek itu dan dia cepat berkata,

"Go-bi Thai-houw, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan ini. Tikus-tikus ini tidak ada gunanya. Biarlah lain kali aku Ang-kiam Bu-tek menghaturkan terima kasih dan mengangkat guru kepadamu!"

"Heh-heh-hi-hi-hik! Punya murid macam engkau ini menyenangkan juga!" Nenek itu menjawab kemudian tiba-tiba saja ia lenyap dari situ.

Mendengar disebutnya nama Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong seperti mendengar halilintar menyambar di atas kepalanya dan cepat-cepat dia berseru,

"Pasukan mundur semua..!"

Pasukan yang sudah merasa gentar sekali cepat lari mundur dan kini Mo-kiam Siauw-ong melangkah maju, menekuk sebelah lututnya dan mengangkat kedua tangan depan dada ke arah wanita itu sambil berkata, "Mohon kebijaksanaan Sianli untuk mengampunkan saya yang bermata akan tetapi seperti buta tidak mengenal Sianli, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata."

Melihat sikap Mo-kiam Siauw-ong, anak buah pasukan menjadi terkejut dan mereka yang belum pernah mendengar nama Ang-kiam Bu-tek, cepat-cepat mengikuti mereka yang mengenalnya dan yang sudah menjatuhkan diri berlutut. Sebagian besar mengenal nama itu dengan hati penuh rasa takut.

Wanita yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu tersenyum mengejek, memandang kepada Mo-kiam Siauw-ong dan bertanya, "Hemmm..., siapakah engkau sebenarnya?"

"Harap Sianli memandang kepada mendiang ketiga orang suhu saya, yaitu Thian-te Sam-lo-mo" kata pula laki-laki berpakaian mewah itu.

Ang-kiam Bu-tek mengangguk-angguk dan otaknya yang amat cerdik itu membuat perhitungan. Dia membutuhkan sekutu di saat itu dan setelah lawan menyerah dan ternyata adalah murid yang merupakan orang segolongan dengannya, memang tidak perlu lagi membunuh mereka.

"Kiranya engkau adalah murid tiga orang iblis tua itu? Baiklah, aku mengampunkan engkau dan anak buahmu."

"Terima kasih, Sianli!" Mo-kiam Siauw-ong menjadi girang sekali dan meloncat bangun. Bersahabat dengan Ang-kiam Bu-tek merupakan hal yang amat menguntungkan, pula dia maklum kalau pertandingan dilanjutkan, jangankan baru dia dan pasukannya, biar ditambah tiga orang gurunya yang sudah meninggal sekalipun takkan menang!

"Karena saya melihat Sianli terluka dan perlu beristirahat, saya perlihatkan Sianli beristirahat di dalam rumah saya."

"Baiklah, Eh, Tampan, kau gendong aku ke rumah Mo-kiam Siauw-ong!" kata Ang-kiam Bu-tek sambil tersenyum kepada kekasihnya. Laki-laki tampan, seorang di antara ketujuh Fen-ho Chit-kwi yang sebenarnya bernama Ma Kiat Su itu menjadi girang dan lega bukan main. Tanpa malu-malu lagi, ditonton begitu banyak orang, dia lalu memondong tubuh Ang-kiam bu-tek yang merangkul lehernya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat menyerahkan seekor kuda. Ma Kiat Su membungkuk dengan hormat kepada Mo-kiam Siauw-ong kemudian melompat ke atas punggung kuda sambil memondong tubuh wanita cantik itu, kemudian mereka di iringkan oleh Mo-kiam Siauw-ong sendiri menuju ke gedung kepala daerah. Para pasukan sibuk mengurus mayat-mayat para kawan mereka dan para penonton kini sibuk memadamkan api yang membakar restoran.

Siapakah wanita cantik itu dan mengapa seorang datuk golongan hitam seperti Mo-kiam Siauw-ong sampai begitu ketakutan mendengar namanya? Dan siapa pula nenek tua renta yang agaknya lebih aneh dan menyeramkan lagi sehingga Ang-kiam Bu-tek sendiri sampai bersikap hormat, bahkan berjanji untuk berguru kepadanya?

***

Mereka berdua merupakan tokoh-tokoh besar, bahkan Ang-kiam Bu-tek merupakan seorang tokoh penting. Semenjak kecil, wanita cantik ini yang bernama Bhe Cui Im, adalah murid nenek Lam-hai Sin-ni, seorang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang puluhan tahun lamanya menjadi tokoh-tokoh utama kaum sesat. Sebagai murid Lam-hai Sin-ni, kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena semenjak muda dia merupakan seorang wanita yang haus akan laki-laki dan besar nafsu, lihai ilmu pedangnya dan lihai pula senjata rahasianya yang beracun, ia terkenal dengan julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Mera). Akan tetapi, setelah dia bersama Cia Keng Hong berhasil menemukan tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan mempelajari kitab-kitab itu selama bertahun-tahun, dia keluar dari gua rahasia sebagai seorang wanita yang sukar dicari tandingannya lagi. Ia bahkan membunuh bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni, membunuh banyak sekali tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw sehingga julukannya yang ia ubah menjadi Ang-kiam Bu-tek menjulang tinggi di dunia kang-ouw dan dikenal oleh semua tokoh dengan hati penuh rasa ngeri dan takut.

Itulah dia wanita cantik yang pagi hari itu menimbulkan keributan di dalam restoran di kota kecil Sun-ke-bun, menyebar maut seperti menyebar pasir saja! Bhe Cui Im, berusia dua puluh sembilan tahun, cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat, membuat hati pria terangsang apabila melihatnya, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Ketika ia terhuyung-huyung dalam keadaan terluka pundaknya, baru saja dia melarikan diri dari puncak Tai-hang-san di mana terjadi pertemuan puncak antara tokoh-tokoh besar yang dilanjutkan dengan pertandingan-pertandingan hebat, di mana dia terluka oleh Cia Keng Hong, si pendekar sakti yang biarpun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dapat disebut adalah suhengnya, karena Cia Keng Hong adalah murid langsung dan tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong.

Karena kekalahannya terhadap Cia Keng Hong inilah yang membuat Cui Im tidak membunuh Mo-kiam Siauw-ong. Dia tidak membutuhkan bantuan orang-orang pandai, membutuhkan bantuan tokoh yang anak buahnya itu. Dan karena cintanya yang berubah kebencian amat mendalam terhadap Cia Keng Hong pulalah yang membuat ia berjanji untuk berguru kepada nenek Go-bi Thai-houw karena ia maklum bahwa nenek itu memiliki kesaktian yang luar biasa, memiliki banyak ilmu yang dapat ia pelajari untuk kelak dipergunakan menghadapi Keng Hong dan terutama sekali, untuk dapat mengajak nenek itu bersama-sama menghancurkan kehidupan Keng Hong yang amat dibencinya!

Ketika Coa-taijin, yaitu kepala daerah kota Sun-ke-bun mendengar dari mantunya akan kesaktian Ang-kia bu-tek, dia menyambut dengan ramah, bahkan mempersilakan Cui Im menempati sebuah kamar kehormatan di dalam gedungnya, sebuah kamar yang mewah sekali. Kepala daerah yang cerdik ini tahu bahwa makin banyak orang pandai membantunya, makin kuatlah kedudukannya!

Cui Im merasa girang bukan main. Dia langsung mengajak Ma Kiat Su memasuki kamar mewah itu, menutupkan daun pintunya dan tenggelamlah dia dan Ma Kiat Su dalam lautan nafsu yang membuat laki-laki itu mabuk dan merasa beruntung sekali karena selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang wanita hebat seperti Cui Im!

Selama tiga hari tiga malam Cui Im tidak boleh meninggalkan kamarnya, tidak memperbolehkan kekasihnya keluar pula. Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan Coa-taijin seperti sepasang pengantin baru, seperti tamu-tamu terhormat.

Pada malam hari ke tiga, tiba-tiba pintu kamar itu dibuka orang dari luar, daun pintunya tertolak perlahan dan muncullah seorang pemuda di ambang pintu. Cui Im yang sedang membelai tubuh Ma Kiat Su yang tidur kelelahan, mengangkat muka dan seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang pemuda yang juga berdiri seperti terpesona menyaksikan wanita cantik setengah telanjang yang rebah menelungkung di atas pebaringan itu. Pemuda itu tampan sekali, pakaiannya indah dan sikapnya tenang. Yang membuat Cui Im terkejut adalah wajah pemuda ini, sehingga tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Cia Keng Hong..!"

Pemuda itu tidak mendengar suara lirih ini, dianggapnya Cui Im menegur dan mencelanya, maka dia cepat menjura dan berkata, suaranya halus sekali dan sopan, "Harap Sianli sudi memaafkan saya karena kesalahan masuk ke kamar ini.."

Cui Im menarik napas lega, cepat ia bangkit duduk, menurunkan kedua kakinya dari atas pembaringan tanpa mempedulikan baju dalamnya yang tidak lengkap menutupi tubuh atasnya, tersenyum manis dan bertanya, "Kongcu siapakah..." Ia masih memandang heran akan persamaan wajah pemuda itu dengan wajah Keng Hong, bahkan bentuk tubuhnya hampir sama besarnya.

Kembali pemuda itu menjura. "Saya Coa Kun, putera dari Coa-taijin pemilik rumah ini. Saya baru datang dari luar kota, sudah mendengar bahwa Sianli bertamu di sini, sudah mendengar akan nama Sianli yang sakti dan mulia. Akan tetapi saya mengira Sianli berada di kamar tamu sebelah, tidak menyangka bahwa kamar saya yang diberikan oleh ayah untuk Sianli, maka saya lancang membuka pintu kamar ini. Maafkan, saya..." Pemuda itu menjura, membalikkan tubuh dan hendak pergi.

"Coa-kongcu, tunggu...!" Cui Im sudah meloncat turun, kakinya telanjang dan ia melangkah menghampiri pemuda yang sudah membalikkan tubuh lagi memandang dengan kedua pipi kemerahan karena keadaan Cui Im benar-benar membuat dia merasa jengah dan kikuk. Wanita cantik itu lebih telanjang daripada berpakaian!

"Kongcu, masuklah dan mari kita bicara dulu. Engkauah yang harus memaafkan aku karena kamarmu kupakai! Ahhh, aku menganggu saja padamu. Kalau aku tahu bahwa aku akan menganggu seorang yang begini... hemmm... ganteng seperti engkau, aku lebih suka tidur di dapur!"

Coa Kun menjadi makin merah mukanya. "Ah, harap Sianli jangan berkata demikian. Dengan senang hati aku menyerahkan kamarku untukmu. Sudahlah, saya tidak berani menganggu lebih lama..!" Kembali dia hendak pergi.

Cui Im melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Nanti dulu, Kongcu, mari duduklah, kita bicara dulu.. Atau... engkau tidak sudi bicara dengan orang seperti aku?" dia tersenyum dan memandang penuh tantangan.

Pemuda itu makin tersipu, akan tetapi dia tidak berani menarik tangannya yang kini dituntun oleh Cui Im. Dia terpaksa memasuki kamar dan dia melirik ke arah tubuh Ma Kiat Su yang tidur dengan perasaan tidak sedap. Laki-laki itu pun tidak berpakaian, hanya berselimut sebagian tubuhnya yang kekar.

"Tidak baik, Sianli. Dia... dia..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena keadaan di tepat itu benar-benar membuatnya malu dan kikuk.

Cui Im tersenyum lebar, "Memang babi itu menganggu saja. Tunggu kulempar dia keluar!" Tanpa menanti jawaban, sekali bergerak tubuh Cui Im sudah meloncat ke atas pembaringan dan sekali kakinya menendang, tubuh Ma Kiat Su terlempar ke bawah pembaringan.

"Aehhhhh.. ada apa... apa yang terjadi...?" Ma Kiat Su terbangun, merangkak dan meloncat berdiri. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh ketika tangan kiri Cui Im bergerak dan dua buah jari tangannya menusuk dan mengenai pelipisnya. Ia roboh tak bernyawa lagi, di pelipis kanannya terlihat bekas dua jari tangan yang membiru!

Cui Im kembali menendang dan... mayat laki-laki yang selama tiga tiga malam menjadi kekasih dan kawan bermain cinta itu terlempar keluar melalui pintu kamar. Dia cepat menghampiri daun pintu dan ditutupnya, kemudian ia membalikkan tubuh dan seperti tak pernah terjadi sesuatu, dia melangkah maju menghampiri Coa Kun yang duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.

"Kenapa.... kenapa kau membunuhnya...?"

"Ah, aku sudah bosan dan jemu dengan dia. Apalagi dia hanyalah seorang anak buah rendah saja, tidak tepat menjadi sahabatku. Coa-kongcu, engkaulah orang yang paling patut menjadi sahabat baikku dan kamar ini adalah kamarmu."

Sambil tersenyum manis sekali dengan pandang mata panas membakar hati, Cui Im menghampiri pemuda itu dengan langkah dan lenggang memikat, kemudian merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu.

Coa Kun memandang dengan mata terbelalak, hidungnya mencium keharuman yang aneh dari tubuh wanita itu, jantungnya berdebar ketika merasa betapa hangat tubuh yang menempel rapat di dadanya.

"Eh, Sianli... Ah, apa artinya ini?" Ia tergagap, karena biarpun sebelum salah mamasuki kamar itu dia sudah mendengar cerita tentang Ang-kiam Bu-tek yang sakti seperti iblis dan cabul seperti siluman rase namun tak mengira sama sekali bahwa wanita ini akan membunuh kekasihnya begitu kemudian mengalihkan cintanya kepadanya!

Tiba-tiba Cui Im meraih ke atas dan memaksa muka pemuda itu tunduk, kemudian mencium mulut Coa Kun yang membuat pemuda itu makin mabuk kepayang dan makin terheran-heran. Setelah melepaskan ciumannya, Cui Im berbisik halus, "Kongcu, apakah engkau tidak suka aku menemanimu di kamarmu ini? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabat baikku?"

Coa Kun dapat mendengar ancaman hebat bersembunyi di balik bisikan halus penuh getaran berahi itu dan dia bergidik. Ia mengangguk dan cepat menjawab, "Tentu saja aku suka sekali, Sianli, tapi..."

"Kongcu yang tampan dan halus, engkau mengingatkan aku akan seseorang.. Ahhh, jangan engkau khawatir, terhadap engkau, aku tidak akan menganggu. Kalau kau memang suka, mengapa tidak memondongku ke ranjangmu?' Coa Kun adalah seorang pemuda yang biarpun sudah berusia dua puluh tahun lebih dan sebagai putera kepala daerah, biarpun belum menikah namun sudah memiliki beberapa orang selir dan bukan tidak berpengalaman menghadapi wanita, namun dibandingkan dengan Cui Im dia hanyalah seorang pemuda yang masih hijau! Kini, berada dalam cengkeraman Cui Im, menghadapi rayuan Cui Im yang merupakan seorang ahli dalam permainan cinta, mana mungkin dia dapat bertahan? Menghadapi rayuan Cui Im yang luar biasa, dalam waktu singkat saja dia sudah bertekuk lutut dan menyambut serta melayani segala kehendak wanita itu!

Biarpun Cui Im memang seorang wanita yang haus akan cinta kasih laki-laki dan mata keranjang, selalu ingin memeluk pria tampan, pembosan dan ingin selalu berganti teman bercinta, namun Cui Im memilih Coa Kun bukan semata-mata karena pemuda ini tampan. Terutama sekali karena kemiripan wajah Coa Kun dengan wajah Keng Hong amat menarik hatinya dan otaknya yang cerdik segera sudah mendapatkan siasat untuk sewaktu-waktu mempergunakan pemuda ini untuk membantunya menghancurkan penghidupan Keng Hong, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pernah meruntuhkan hatinya, pernah dicintanya dengan cinta murni, akan tetapi yang kini telah berubah menjadi satu-satunya orang yang paling dibencinya di dunia ini!

Sementara itu, ketika Mo-kiam Siauw-ong mendengar pelaporan para penjaga akan adanya mayat Ma Kiat Su di depan pintu kamar tidur, hanya tersenyum dan dia menyuruh anak buahnya membawa pergi mayat itu dan menguburnya. Ia mengangguk-angguk dan menggosok kedua tangannya. Kalau Ang-kiam Bu-tek jatuh hati kepada Coa-kongcu, hal itu amat baik sekali. Lebih baik lagi kalau Ang-kiam Bu-tek suka menjadi isteri putera kepala daerah itu, pikirnya.

Hati Cui Im gembira sekali karena pemuda putera Coa-jin itu sebentar saja sudah benar-benar jatuh hati dan kepadanya dan dapat memuaskan hatinya. Ia senang tinggal di gedung itu, selain menerima penghormatan berlebihan, menerima pelayanan yang menyenangkan, ditemani seorang kongcu yang halus dan tampan mirip Cia Keng Hong, juga ternyata luka di pundaknya oleh pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong tidaklah merupakan luka parah dan dalam beberapa hari saja tentu akan sembuh.

Akan tetapi malam hari itu, selagi dia asyik bercumbu dengan kekasihnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara terkekeh dari arah jendela kamarnya. Mendengar dan mengenal suara ini, Cui Im melompat turun dari atas pembaringan, secepat kilat menyambar pakaiannya dan ketika ia membalik dengan pakaian yang belum lengkap, ia melihat Go-bi Thai-houw telah melayang masuk dari jendela yang dibuka dari luar dan berada di kamar itu, tertawa-tawa.

Bukan main kagetnya Coa Kun melihat munculnya seorang nenek yang amat tua dan menyeramkan itu. Ia cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan selimut dan hanya berani mengintai dari balik selimut.

Cui Im cepat maju dan berlutut menyambut Go-bi Thai-houw. "Subo telah datang…."

"Heh-heh-hi-hi-hik! Benar-benarkah engkau mengangkat aku sebagai gurumu, Ang-kiam Bu-tek?"

"Subo adalah seorang yang paling sakti di dunia ini, tentu saja teecu (murid) akan senang sekali menjadi murid Subo. Apalagi dengan adanya Subo. Kita dapat bekerja sama untuk membalas sakit hati terhadap Cia Keng Hong."

"Hemmmmm..!" Nenek itu mendengus, keningnya yang sudah putih itu mengkerut, dahinya yang sudah penuh keriput itu makin mendalam garis-garisnya. "Cia Keng Hong manusia busuk! Aku harus bunuh dia.. Akan tetapi.. Di sana ada isteri Sin-jiu Kiam-ong.."

"Takut apa, Subo? Kalau kita bekerja sama, dibantu oleh Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong adalah murid dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo, masih segolongan sendiri. Marilah teecu perkenalkan Subo dengan Mo-kiam Siauw-ong dan mertuanya, Coa-taijin kepala daerah Sun-ke-bun, pemilik gedung ini." Nenek itu melirik ke arah Coa Kun yang masih memandang ketakutan di atas pembaringan, kemudian tertawa lebat memperlihatkan mulut yang tiada giginya lagi.

"Ha-ha-ha, engkau cocok sekali dengan aku muridku. Aku pun dahulu seperti engkau ketika muda, mengejar kesenangan, setelah cintaku ditolak oleh Sie Cun Hong (Sin-jiu Kiam-ong) si keparat! Besok saja aku berkenalan dengan mereka. Kau lanjutkan permainanmu dengan Kongcu ini, aku ingin menonton."

"Subo..!"

"Hi-hi-hik! Aku sudah terlalu tua, tidak bisa main sendiri, akan tetapi menonton menimbulkan kesenangan yang besar pula. Hayolah, anggap saja aku tidak berada di sini!" Nenek itu lalu duduk di atas sebuah bangku, duduk tegak tak bergerak seperti arca. Semenjak ia bertemu dengan bekas majikan wanitanya, yaitu Tung Sun Nio isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong, gilanya menjadi sembuh karena pertemuan itu mendatangkan guncangan batin yang hebat. Dia tidak gila lagi, akan tetapi setelah menjadi waras, timbul kembali wataknya yang seperti iblis, watak yang sama dengan watak Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im di waktu dia masih muda. Watak yang amat cabul dan keji!

Dan terjadilah perbuatan maksiat yang tiada keduanya di dunia ini, yang dapat dilakukan oleh wanita. Cui Im melanjutkan permainan cintanya dengan Coa Kun yang makin lama makin hilang rasa ngerinya terhadap nenek itu, ditonton oleh nenek itu! Bagi manusia-manusia yang mengenal kesusilaan, yang telah hidup di dalam jaman yang beradab, perbuatan mereka bertiga itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat cabul tak mengenal susila dan rasa malu lagi! Coa Kun, putera seorang pembesar yang terpelajar, yang sejak kecil telah membaca kitab-kitab dan tahu akan tata susila dan sopan santun, sedikit banyak mengenal pula ilmu silat, kini terseret dan terguling ke dalam jurang kehinaan, terseret melakukan perbuatan yang patutnya hanya dapat dilakukan oleh golongan hitam tingkat paling rendah!

Dan pada keesokan harinya, setelah ketiga orang ini merasa Coa Kun merasa puas karena merasa diayun ke sorga oleh cumbu rayu dan permainan cinta Cui Im yang merupakan seorang ahli berpengalaman dalam hal itu, Cui Im puas karena selain mendapatkan seorang kekasih baru yang tampan juga diterima menjadi murid Go-bi thai-houw dan nenek itu puas karena sudah lama ia kehilangan seperti yang dinikmatinya semalam dengan menoton pertunjukan yang menggairahkan hati tuanya, diadakan pertemuan yang dia sambung dengan perundingan? Sebuah perundingan yang tujuannya hanya satu, yaitu menghancurkan penghidupan Cia Keng Hong! Go-bi Thai-houw membenci Keng Hong karena dianggap sebagai biang keladinya sehingga dia kehilangan dua orang muridnya yang tercinta, yaitu mendiang Hek-sin-kiam Tan Hun Bwee dan Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Cui Im membenci Keng Hong, benci yang timbul karena cinta yang tak terbalas dan karena banyak hal lagi. Mo-kiam Siauw-ong juga membenci Keng Hong karena pendekar sakti itu telah membunuh ketiga orang gurunya, Thian-te Sam-lo-mo.

Hanya Coa-taijin dan Coa Kun yang hadir dalam perundingan itu saja yang tidak membenci Keng Hong karena mengenal pun tidak, akan tetapi mereka terbawa karena hubungan mereka dengan Mo-kiam Siauw-ong dan dengan Cui Im.

Benci! Perasaan ini merupakan nafsu manusia yang menjadi pokok penyebab utama daripada timbulnya segala kekacauan di dunia ini oleh manusia. penyebab timbulnya nafsu kebencian bersumber kepada rasa sayang diri dan iba diri (egoisme), terdorong oleh iri hati. Kalau merasa diri dirugikan, maka timbullah bibit yang menjadi benih nafsu kebencian. Kalau sudah bertunas bibit kebencian dalam hati, maka si manusia yang dicengkeram kebencian itu akan tertutup mata batinnya dan muncullah perbuatan-perbuatan kekejaman. Kebencian menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Kebencian menciptakan perbuatan yang merugikan dan merusak, akan tetapi sebenarnya yang paling di rugikan dan dirusak adalah diri si pembenci sendiri. Kebencian merupakan sifat yang paling buruk yang harus dijauhi oleh setiap orang manusia, karena kebencian ini bertentangan dengan sifat alam. Tidak ada sifat benci pada alam yang hanya mempunyai satu sifat, yaitu Kasih! Yang tidak mau menyadari akan hal ini, yang tidak mau berusaha sekuat tenaga kemauan untuk mengenyahkan sifat benci dari hatinya, merupakan orang yang sungguh patut dikasihani, karena perasaan bencinya akan menyeretnya ke dalam segala macam kesengsaraan batin.

Orang yang percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, tentu akan mudah melenyapkan dan menjatuhkan perasaan benci kepada siapa pun juga. Karena orang ini akan menyadari bahwa segala yang menimpa dirinya, tidak terkecuali apakah hal itu menguntungkan atau merugikan, adalah hal yang sudah dikehendaki oleh Tuhan! Di luar kehendak Tuhan, segala tidak akan terjadi! Tuhan Maha Kuasa, kuasa untuk memberi, kuasa untuk mengambil.

***

lanjut ke Jilid 088-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar