Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 74

Pedang Kayu Harum Jilid 074

<--kembali

"Ha-ha-ha-ha-ha, bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku. Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha--ha-ha!"

Yan Cu mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga tak dapat ditahannya lagi ia bertanya, "Engkau raja hutan? Aku mendengar bahwa raja hutan adalah harimau........."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala rampok, melainkan juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat persembunyian mereka.

Yan Cu memandang sekeliling dan ia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan orang baik-baik.

"Nona manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi), akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."

"Hemmmm, jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah mengangguku? Aku tiadk mempunyai barang berharga."

Kepala perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil berkata, "Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Nona manis, tubuhnya merupakan barang yang paling berharga di dunia ini! Marilah, Nona... kalau engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang........"

"Apa.......?" Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagaian kecil karena jengah dan sebagaian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Eh, kepala perampok, apakah engkau sudah bosan hidup?"

Kini giliran si kepala rampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan menjawab, "Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"

Yan Cu sedang berduka hatinya, dia kehilangan kegembiraan. Andaikata dia tidak sedang berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang ia menarik napas panjang, dan berkata jengkel, ""Kepala rampok, kau ajaklah anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekat dan membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh orang. Pergilah!"

Yan Cu memang terlalu cantik dan terlalu halus sikapnya sehingga ucapannya itu pun tidak kelihatan seperti ancaman, lebih lucu kedengarannya daripada menyeramkan hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar ini. Kepala perampok itu pun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha-ha, wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan marah-marah makin denok! Ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah, manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu. Ha-ha-ha!" Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini.

Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul dari kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang telah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya ia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegak mereka menawan Keng Hong. Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.

"Krakkk!"

"Wadouhhhhhh..... aaahhhhh.....!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangan menekan-nekan dadanya dan berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!

Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan bagaikan segerombolan anjing srigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.

Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh denan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu makin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu telah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!

Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya, matany mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan. Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.

Ia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan tak terasa begitu teringat kepada Keng Hong ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong, kiranya dia tidak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, sungguhpun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.

"Keng Hong suheng....! Mengapa engkau mau saja ditawan......? Suheng..... Keng Hong.......... mengapa engkau begitu lemah..........?"

Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam segebrakan saja merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia makin tertarik maka kini pun diam-diam dia membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis. Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, ketika menyebut nama suhengnya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.

***

Yan Cu sedang berduka, namun pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang. Melihat bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.

Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Setelah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong-hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng, dari tangan Keng Hong, pemuda ini membawa dua buah kitab itu kepada suhunya. Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio. Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu telah menerjangnya maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!

"Ehhh...... jangan sekarang, Nona.......!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.

Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu makim marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!" Lalu ia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!

Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawak keras khawatir melukai lengan berkulit halus itu, akan tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget dan cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak.....!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.

Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa ia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat ia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi ia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,

"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, tidak sopan, jahat dan keji, tukang merampok dan memperkosa........"

"Wah, wah....... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat.....!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.

Yan Cu tertawa mengejek. Serrrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras! Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apalagi kini melihat mulut yang biarpun tertawa mengejek masih terlalu manis tampak olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seolah-olah melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu,

"Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"

Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang dan tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu? Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh daripada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw- lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tidak pernah memikirkan wanita. Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, sekali ini berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seolah-olah matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari!

"Heiii! Jawab pertanyaanku!!" Yan Cu membentak makin marah.

"Eh.....! Ohhh.....! Apa..... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah.

Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan ia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!" Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak sinar berkilat dan ketika pedang itu digerakan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak "mengalungi" leher Cong San! Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Kalau lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentulah amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang! Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyeksikan kehebatan gerak dan serangan yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.

"Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai.....!" Ia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang kepinggangnya.

Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong diserahkan kepadanya brsama pusaka-pusaka yang lain. Ia menahan serangnya, sebagian karena kagum sekali menyaksikan betapa pemuda itu dengan tidak banyak kesukaran dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini mengenal pokiam dari Hoa-san-pai.

"kau mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya.

***

Cong San cepat memberi hormat, bersoja, tanpa dibalas oleh Yan Cu, "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat......"

Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"

"Wah...... wah.....!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali.

"Masih wah-wah-weh-weh mau apa lagi? Pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!"

Akan tetapi Cong San masih belum pergi, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan.

"Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.

"Maaf, Nona. Aku...... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu...... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka........."

"Hemmmm...... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"

"Maaf......."

Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf....... maaf....... apa kaukira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!"

Cong San makin guguk. Ia harus cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini. "Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tidak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justeru sedang pergi mencarinya. Dapatkah engkau menunjukan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"

Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, ia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat dan kini mengaku sebagai sahabat suhengnya. Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi ia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!

"Tidak percaya! Engkau tentu akan mencelakakan suhengku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat.

Cong San kaget. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia cepat mengelak akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Biarpun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, namun dengan tangan kosong menghadapi amukan pedang seperti itu, amatlah berbahaya.

Di samping ini, timbul pula di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apalagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-Yang-pit yang berwarna hitam dan putih.

"Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"

Yan Cu yang melihat pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak menghentikan serangannya. Con San sudah menggerakan sepasang senjatanya, yang kiri siap menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan serangan, dia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda.

"Engkau ini sengaja hendak menghinaku ataukah barangkali memang engkau sudah begini?" Berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi.

Cong San mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar! Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya kuda-kuda agar kelihatan gagah..... eh, malah disangka menghina atau gila!

"Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis.

Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biarpun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah dan Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas mendadak menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Kalah arak merah!

"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata bertanding ?Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun agar kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi Siu-cai."

"Nona, kulihat engkau lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kaupegang itu."

"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu kini meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.

"Singgggg..... trang-cring-cringggg.....!!"

Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tiak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus ia kembalikan ke Hoa-san-pai dan sekarang ia hanya "meminjammya". Kalau sampai rusak kan repot! Ketika tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, ia merasa betapa tangan dan lengannyatergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Tentu saja ia cepat menarik tangannyadan mencelat ke belakang. Kini ia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan.Yan Cu menjadi panas.

"Kaukira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia mnerjang maju dengan amat ganas. Cong San yang maklum bahwa gadis ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan, cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Pertandingan berjalan dengan seru. Setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar amat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya. Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar lihai sekali dan boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi ia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar ia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak? Apalagi melihat selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu........ entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar dan kedua pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran! Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!

"Bocah sombong!" Tiba-tiba Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.

Cong San kaget. Tak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi. padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada gadis itu, namun selisihnya tidaklah banyak dan dia hanya dapat mengandalkan kematagannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua fihak.

"Nona, sudahlah, Nona...... mari kita bicara....... aku mengaku kalah........!"

"Siuuuuttttt...... singggg....... cringggg......!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.

"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kauberi hadiah dengan mengaku kalah! Coba kaukalahkan aku dengan benar-benar kalau mapu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu sudah menyerang lagi.

Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga sehingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya. Secepat kilat dia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lenganya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya!

Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Ia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,

"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."

Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, ia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Ia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,

"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Ia sudah siap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.

Cong San menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.

Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan "pasrah bongkokan" kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. ""Kau laki-laki pengecut! Mengapa mengalah begini? Mengapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"

Cong San tidak mengerti mengapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?

"Aku..... aku tidak akan melawanmu, Nona."

"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.

Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.

"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andaikata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."

Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu ia bertanya,

"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"

Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.

"Aku....... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu.......?"

"Tahu apa?"

"Tentang........ eh, tentang jatuh cinta......"

Yan Cu menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suhengku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."

Cong San meloncat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang...... cinta.....? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."

Yan Cu tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?"

Cong San memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San dan guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."

Kini gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan dia mengira tadi seorang kepala perampok!

"Ahhhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmmmm, biarkan kuobati lukamu itu!" Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu di bagian pangkal lengan yang luka, memeriksa kemudian memberi obat bubuk dan membalut lengan dengan sehelai saputangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa. Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.

lanjut ke Jilid 075-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar