Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 59

Pedang Kayu Harum Jilid 059

<--kembali

Sungguh sial bagi peuda sastrawan ini, dia mundur-mundur sehingga punggungnya menempel daun pintu untuk lebih menjauhkan diri dari mereka yang hendak bertanding, akan tetapi baru saja dia menuangkan arak, tiba-tiba daun pintu terbuka dari luar. Daun pintu itu menumbuk punggung Cong San membuat pemuda ini kaget dan hampir terperosok ke depan. Ia terhuyung-huyung dan menoleh marah saking kagetnya. Ternyata yang menerjang masuk adalah tiga orang pelayan yang bertubuh kuat tinggi besar yang tadi melayani Cui Im dan dia. Akan tetapi tiga orang pelayan itu kini memegang golok besar dan sikap mereka bukanlah seperti pelayan lagi, melainkan seperti algojo, gerakan mereka tangkas dan kuat. Memang tiga orang ini adalah tiga orang pengawal istana yang berhasil "dikait" oleh Cui Im untuk membantunya menghadapi Keng Hong malam itu.

"Matamu kau taruh di mana?" Cong San membentak marah. "Membuka daun pintu tidak melihat-lihat lebih dulu!"

"Eh, oh.... apa kau bilang?" Seorang di antara pengawal itu balas membentak. Dalam keadaan seperti itu mereka bukanlah pelayan-pelayan lagi, melainkan pengawal yang galak, apalagi mendengar betapa ucapan pemuda itu tidak sehalus tadi, bahkan membentak kasar.

Cong San yang masih memegang guci arak di tangan kanan, cawan penuh arak di tangan kiri, berkata, "Aku bilang kalian ini tiga ekor anjing gendut yang matanya buta dan tidak tahu aturan, masuk tanpa permisi dan menubruk-nubruk seperti anjing gila!"

Cui Im juga mendengar suara Cong San ini dan sedetik ia merasa heran, teringat pula akan lantai di bawah meja. Akan tetapi karena ia sedang siap mengeroyok Keng Hong yang lihai, ia tidak menengok. Adapun tiga orang pengawal yang mendengar maki-makian ini menjadi marah bukan main.

"Kutu buku busuk, mulutmu lancang sekali!" Teriak mereka dan ketiganya berluba aju untuk memukul Cong San.

Sungguh amat mengherankan kalau orang menyaksikan perubahan sikap pemuda sastrawan itu. Kalau tadi dia amat penakut, bahkan meloncat ke punggung kuda pun merasa ngeri, kini menghadapi ancaman tiga orang pengwal tinggi besar yang marah itu kelihatan tenang saja. Juga perubahan sikapnya yang tadi lunak halus menjadi kasar amat aneh. Melihat tiga orang itu berlumba-lumba menghampirinya, entah hendak memukul atau membacok dengan golok mereka. Cong San tenang-tenang saja, dan setelah ketiga orang itu mendekat, dia hanya menggerakkan kedua tangan dan mengangkat kaki kiri. Mungkin dia tidak bergerak, atau mungkin juga bergerak akan tetapi tentu cepat sekali karena sama sekali tidak diketahui tiga orang itu. Akan tetapi, secawan arak telah muncrat dan menyambar muka pengawal pertama yang menjerit karena muka dan kedua matanya seperti disiram air mendidih, kemudian pada setengah detik selanjutnya, ujung sepatu mencium dada, tepat mengenai bagain di mana jantung berada. Pengawal itu terguling dengan jantung pecah oleh tenaga yang keluar dari tendangan itu. Dalam detik berikutnya, cawan dan guci melayang, entah yang mana lebih dulu menyambar kepala dua orang pengawal yang lain karena hanya terdengar suara "prok-prok!" dua tubuh orang pengawal itu.

***

Dalam waktu tidak ada setengah menit, tiga orang pengawal itu telah roboh di depan kaki Cong San dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Cui Im tidak melihat ini semua karena dia berdiri membelakangi pemuda itu. Akan tetapi dia mendengar jerit tiga orang pengawalnya dan mendangar suara gaduh ketika mereka roboh. Dengan sedikit memutar kepala dan mengerling Cui Im dapat melihat ke belakang dan alangkah kagetnya melihat betapa tiga orang pengawal itu telah mati, sedangkan Cong San masih berdiri di sudut sambil memangku kedua lengan di atas dada!

Keng Hong tertawa. Dia berdiri menghadap ke arah Cong San maka dia dapat melihat jelas, "Ha-ha-ha-ha-ha! Betapa lucunya! Batu baja disangka arang lapuk. Aku bermata dua akan tetapi seperti lamur! Sobat, maafkan aku yang tidak mengenal orang gagah. Akan tetapi dalam urusan pribadi ini harap engkau tidak mencampuri dan aku tidak mengharapkan bantuan!"

"Cia-taihiap, lama aku mendengar nama besarmu, beruntung aku dapat bersua malam ini! Tidak ada bantu-membantu karena aku pun mempunyai perhitungan besar dengan iblis betina cabul tak bermalu itu. Aku Yap Cong San ingin membalas kematian suheng Thian Ti Hwesio!"

Keng Hong dan Cui Im menjadi heran sekali. Mereka mengenal Thian Ti Hwesio, tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai yang terbunuh oleh Cui Im, Hwesio itu sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya dan kabarnya murid ketua Siauw-lim-pai sendiri? Mengapa mempunyai sute yang begini muda?

Akan tetapi Cui Im yang merasa kecelik dan tertipu, sudah menjadi marah sekali dan ia pun maklum bahwa kalau tidak lekas turun tangan, rencananya pasti gagal. Ia lalu melengking nyaring dan menggerakkan pedang merahnya menyerang Keng Hong.

Gerakannya ini cepat disusul oleh Siauw Lek yang menggerakkan pedang hitamnya, dan disaingi menyambarnya dua buah tengkorak di ujung rantai Pak-san Kwi-ong! Keng Hong bersikap tenang akan tetapi dia sama sekali tidak berani memandang rendah. Dia maklum bahwa Cui Im merupakan lawan yang amat tangguh dan banyak mengenal ilmu silatnya, bahkan mereka belajar bersama di dalam gua di bawah Kiam-kok-san. Juga dia maklum akan kelihaian Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang kabarnya murid tunggal Go-bi Chit-kwi. Tentu saja dia sudah mengenal pula kehebatan ilmu silat Pak-san Kwi-ong sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi, datuk-datuk hitam yang menggemparkan dunia persilatan. Dia dikeroyok tiga orang yang berilmu tinggi, maka pemuda sakti ini cepat menggerakkan Siang-bhok-kiam dan pertandingan yang amat seru terjadilah di dalam pondok merah di mana biasanya hanya terjadi pertandingan yang lain lagi sifatnya!

Yap Cong San masih berdiri tenang dan menonton pertandingan yang dahsyat itu. Dia maklum orang apa adanya Cia Keng Hong yang sudah dia dengar namanya, murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat lihai. Dan dia dapat menyelami watak seorang gagah seperti itu maka dia tidak berani turun tangan membantu begitu saja, khawatir kalau-kalau menyinggung harga dirinya. Dengan pandang mata tajam penuh selidik dan penilaian, dia menjadi kagum bukan main kepada Keng Hong. Memang bukan memiliki nama kosong pemuda ini, pikirnya, bahkan tidak lumrah. Dia pun terkejut menyaksikan gerakan-gerakan tiga orang pengeroyok yang dahsyat. Terutama sekali pedang merah yang digerakkan Cui Im. Maklumlah dia bahwa dia sendiri bukan tandingan wanita cabul itu. Pedang merahnya terlalu hebat dan kalau yang dikeroyok bukan seorang pemuda sakti seperti Keng Hong yang memegang Siang-bhok-kiam, agaknya tentu tak dapat bertahan lama. Cong San juga kagum menyaksikan gerakan dahsyat Pak-san Kwi-ong.

Dia pun sudah mendengar nama besar raksasa hitam ini, seorang datuk hitam dari utara tokoh besar giolongan sesat. Dan dia harus mengaku pula dalam hatinya bahwa untuk menangkan kakek hitam itu, harapannya tipis sekali. Pengeroyok ke tiga tidak dikenalnya akan tetapi karena dia sudah melakukan penyelidikan sebelum memasuki kota raja, dia dapat menduga bahwa laki-laki tampan pesolek yang memegang pedang hitam itu tentulah Kiam-lian Jai-hwa-ong! Di antara tiga orang pengeroyok kiranya si penjahat cabul ini yang paling rendah tingkatnya. Namun serendah-rendahnya Cong San masih tidak berani menentukan bahwa dia akan menang menghadapinya. Benar-benar Cia Keng Hong dikeroyok oleh tiga orang lawan yang amat tinggi kepandaiannya, dan hal ini membuat Cong San makin kagum terhadap Keng Hong.

Keng hong maklum bahwa dia sudah dikurung dan jalan keluar sudah ditutup oleh tiga orang pengeroyoknya. Hal ini berarti bahwa memang Cui Im sudah melalkukan rencana matang untuk membunuhnya karena dia dianggap penghalang besar dalam hidup wanita itu. Biarpun ruangan itu cukup luas akan tetapi kalau makin banyak datang anak buah Cui Im akan sukar baginya menyelamatkan diri. Sedangkan untuk merobohkan tiga orang ini dalam singkat saja merupakan hal yang tak mudah. Keng Hong memutar pedangnya sekaligus menangkis sambaran senjata tiga orang lawannya lalu melompat ke kanan, kakinya menyambar meja yang mencelat ke depan. Mangkok-mangkok dan sumpit yang tadi dipergunakan Cui Im dan Cong San, dengan cepat sekali menyambar ke arah tiga orang pengeroyok itu. Tentu saja mereka bertiga menganggap serangan meja seisinya itu bukan apa-apa, akan tetapi karena ternyata mangkok-mangkok itu masih mengandung banyak kuah, repot juga mengelak sambil berloncatan, bukan takut terluka melainkan takut menjadi kotor pakaian atau tubuh mereka disiram kuah masakan!

Kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk mencelat ke depan dan Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti angin badai menyambar ke arah tiga orang itu. Hebat bukan main serangan Pedang Kayu Harum ini dan memang Keng Hong telah menyerang dengan jurus Ilmu Pedang Siang-bhok-Kiam-sut ciptaan gurunya. Getaran pedangnya terasa di seluruh ruangan, bahkan terasa oleh Yap Cong Sang yang berdiri di sudut sehingga pemuda ini tak kuasa menahan seruan pujiannya "Bagus sekali kiam-sut itu!"

Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut karena tahu-tahu ada gulungan sinar kehijauan yang amat harum menyambar mereka dari angkasa. Ke tiganya sudah mengenal ilmu pedang itu. Cepat mereka menangkis dengan senjata masing-masing.

"Cring-cring-cringgggg...!!"

Siauw Lek terhuyung ke belakang. Pak-san Kwi-ong menggereng marah melihat betapa bagian dagu sebuah tengkoraknya semplok. Hanya Cui I yang dapat menangkis dengan baik dan kini wanita itu malah sudah membalas dengan serangan kilat sehingga tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar merah pedangnya meluncur seperti anak panah berapi. Serangan itu disusul Pak-san Kwi-ong yang marah dan Siauw Lek yang penasaran. Kembali Keng Hong dikurung oleh tiga orang yang membentuk barisan segitiga.

Yap Cong San mengangguk-angguk. Dia sangsi apakah di dunia ini ada tokoh kang-ouw yang ilmu kepandaian dapat mengatasi Keng Hong. Dia benar-benar kagum dan mengertilah dia mengapa dahulu nama Sin-jiu Kiam-ong menggetarkan langit dan bumi. Kiranya memang luar biasa lihainya dan hal itu dapat dilihat dari kelihaian muridnya.

Dia tidak khawatir kalau Keng Hong akan kalah menghadapi tiga orang itu, sungguhpun dia tahu pula bahwa bagi Keng Hong pun tidak akan mudah merobohkan mereka. Asal tiga orang itu tidak dapat bantuan lagi, dia percaya biarpun agak lama akhirnya murid Sin-jiu Kiam-ong akan menang.

Tiba-tiba Cong San mengeluarkan suara menyumpah marah ketika dia melihat berkilauan menyambar masuk dari jendela. Maklumlah dia bahwa yang menyambar itu adalah senjata-senjata rahasia yang amat hebat. Cepat dia merogoh bajunya, tangannya bergerak pula dan beberapa senjata rahasia touw-kut-chi (uang logam penembus tulang) melayang dan memapaki sinar-sinar putih itu. Terdengar suara nyaring dan beberapa batang pisau terbang itu runtuh ke lantai bersama uang logam yang dilepas Cong San. Pemuda ini terkejut juga melihat betapa senjata rahasia uang logamnya telah pecah menjadi berkeping-keping. Hal ini menandakan bahwa si pelempar pisau bukanlah orang sembarangan pula!

Pelempar pisau terbang itu bukan lain adalah Kemutani. Seperti telah direncanakan Cui Im, Kemutani membantunya dan karena ilmu silat Kemutani adalah paling rendah di antara mereka semua, maka Kemutani disuruh membantu dengan sambitan-sambitan pisau terbangnya! Dalam ilmu ini Kemutani memang merupakan seorang ahli sehingga biarpun empat orang itu sedang bertanding seru, dia masih sanggup untuk menyerang Keng Hong dengan pisau-pisaunya tanpa membahayakan teman-temannya. Ketika melihat betapa lemparan pertama dari pisaunya runtuh di tengah jalan. Kemutani terkejut dan marah sekali. Siapa yang berani main-main dengan dia? Ia lalu menerjang masuk melalui pintu untuk dapat menyerang dari luar pondok, melalui jendela. Karena dia tergesa-gesa masuk, dia tidak melihat Cong San yang berdiri di sudut dekat pintu.

***

"He, siapa kau dan mau apa?" Cong San menegur dengan suara dibuat-buat.

Kemutani membalikkan tubuhnya dan begitu melihat Cong San. Dia meludah! Tadi ketika berada dalam persembunyian, dia menjadi cemburu dan iri hati sekali melihat betapa pemuda ini dicumbu Cui Im.

"Kau....? Phuah, cacing tanah tiada guna! Kenapa engkau belum menggelinding pergi dari sini? Menghalangi orang bertempur saja!" sambil berkata demikian, Kemutani meludah lagi, kini sengaja meludah di dekat kaki Cong San dengan sikap menghina sekali, dan dia membalikkan tubuhnya, tangannya meraba-raba pinggangnya di mana dipasang banyak pisau-pisau kecil yang amat tajam dan runcing. Itulah pisau-pisau terbangnya, semacam pisau belati yang selain dapat dia pergunakan sebagai senjata dalam pertempuran, juga dapat dia lemparkan seperti anak panah. Karena senjatanya inilah Kemutani terkenal dengan julukan Hui-toi (Si Golok Terbang) dan dipilih menjadi pegawai rahasia kaisar.

"Eeeiiit-eeeiiit..., nanati dulu. Mengapa tergesa-gesa?"

Merasa betapa lengannya dipegang orang dari belakang, Kemutani mebalikkan tubuh dan betapa heran dan marahnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa yang memegang lengannya adalah si sastrawan lemah yang dimakinya cacing tanah itu! Ia melotot, mukanya yang pucat menajadi agak merah dan dia membentak dengan suara serak dan dengan ludah berhamburan.

"Mau apa...? Perlu apa kamu...??"

"Engkau belum membayar!" Cong San menjawab sambil menjauhkan mukanya agar tidak kehujanan air ludah.

"Bayar? Bayar apa? Gilakah kamu?"

"Bayar karena kau meludah sembarangan. Bayar pajak, dan inilah bayarannya!"

"Plak-plak-plak....!" Kedua pipi Kemutani telah ditampar oleh telapak tangan Cong San. Keras sekali tamparan itu sehingga Kemutani merasa dunia seperti melambung-lambung dan bintang-bintang di langit berjatuhan dan menari-nari di depan kedua matanya. Akan tetapi rasa heran, kaget dan marah membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Ia merasa malu terlalu heran melihat sastrawan lemah itu berani menamparnya!

"Kau... Kamu yang menamparku tadi?"

Cong San mengangguk, bertolak pinggang. "Apakah mau tambah?"

"Setan demit keparat!" Kemutani memaki-aki dalam bahasa Mongol dan dua sinar putih menyambar ketika tahu-tahu kedua tangannya yang sudah memegang sebuah belati itu menyambar. Sebuah menyambar leher dan sebuah lagi menyambar perut.

"Hemmm, bagus juga!" Cong San cepat mengelak dengan melengkungkan dan menarik tubuh ke belakang. Diam-diam dia terkejut. Orang ini tidak hanya lihai melempar pisau, akan tetapi serangannya ini pun hebat. Ia tidak boleh main-main dan sekali tangan pemuda ini bergerak, dia telah mencabut keluar sebuah pensil putih di tangan kiri dan sebatang lagi pensil hitam di tangan kanan.Inilah senjatanya yang amat lihai yang disebut Im-yang-pit. Keistimewaan senjata pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini adalah bahwa selain Im-yang-pit dapat dipakai menotok jalan-jalan darah terpenting juga dapat dipakai sebagai alat tulis yang sesuai pula dengan keahliannya, yaitu melukis dan menulis sajak pasangan!

Juga senjata rahasia uang logam yang dipergunakan oleh Yap Cong San adalah uang logam sungguh-sungguh sehingga selain dipakai untuk menyerang lawan, juga bisa dipakai untuk jajan!

Yap Cong San adalah murid terbaru dan tersayang dari Tiong Pek Hoasiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua dan amat sakti itu. Sebetulnya, setelah menyerahkan urusan-urusan dunia yang menyangkut Siauw-li-pai kepada dua orang muridnya, yaitu murid-murid kepala Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang tua ini sudah mengundurkan diri, dan hanya tekun bertapa. Akan tetapi, pada suatu hari Thian Ti Hwesio yang baru pulang dari tugas keluar, membawa seorang bocah laki-laki menghadap ketua yang menjadi gurunya itu dan menceritakan bahwa bocah itu terpaksa dia bawa ke kelenteng Siauw-lim-pai karena seluruh keluarganya telah terbunuh ketika terjadi perang saudara. Melihat anak itu yang bukan lain adalah Yap Cong San, hati kakek tua itu terharu dan merasa suka sekali. Maka, selain Cong San diterima menjadi kacung bukan calon hwesio, juga dia malah menjadi kacung pribadi Tiong Pek Hosiang dan akhirnya malah diangkat menjadi murid terakhir. Cong San amat cerdik, tidak saja dalam ilmu silat, juga dia pandai sekali dalam ilmu sastra, sehingga ketua Siauw-lim-pai makin menyayangnya. Hanya ada satu hal yang mengecewakan hati Tiong Pek Hosiang, yaitu bahwa muridnya ini tidak menjadi hwesio.

Betapapun juga, bakat besar yang ada pada diri Cong San membuat Tiong Pek Hosiang tidak segan-segan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya dan mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. Apalagi karena Cong San amat tekun belajar sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, pemuda itu tidak pernah keluar kuil, bahkan belum pernah bermalas-malasan.

Kalau tidak membaca kitab-kitab memperdalam ilmu kesusastraan, tentu dia berlatih silat! Tidaklah mengherankan kalau dengan bakat besar ditabah ketekunan dan bimbingan sorang guru sakti, Cong San dapat menguasai ilmu-ilmu Siauw-li-pai yang tinggi-tinggi dan tingkat kepandaiannya malah melampaui tingkat kedua orang suhengnya, yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio!

Baru setelah Thian Ti Hwesio terbunuh oleh Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, pemuda ini bersumpah untuk membalas dendam dan bermohon kepada gurunya untuk mengijinkannya mencari pembunuh suhengnya. Tiong Pek Hosiang mengijinkan dan pemuda itu turun gunung, mulai dengan perantauannya mencari jejak Ang-kiam Bu-tek yang akhirnya membawanya ke kota raja. Biarpun dia telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, namun Cong San tetap berpakaian sebagai seorang pelajar dan tidak menonjolkan kepandaian silatnya sehingga ahli-ahli silat seperti Cui Im, bahkan Keng Hong sendiri sampai tidak mengenalnya.

Ketika dia diserang oleh Kemutani, Cong San maklum bahwa untuk menghadapi lawan yang bersenjata dua batang pisau lihai itu, tak mungkin dia akan menang jika bertangan kosong. Diam-diam dia juga merasa terkejut mengapa malam ini di tempat itu, ketika hatinya sudah girang dapat menemukan pembunuh suhengnya, dia bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang bermuka pucat yang menyerangnya ini pun amatlah lihainya, sama sekali bukan seperti tiga orang pengawal yang dirobohkannya tadi.

Pertandingan segera berlangsung seru antara Kemutani dan Yap Cong San. Senjata mereka sama sepasangnya, juga sama kecilnya, dan karena senjata kecil membutuhkan kecepatan besar, mereka bergerak cepat seolah-olah bayangan mereka saling belit menjadi satu. Kemutani bertanding sambil memaki-maki saking marahnya dan saking penasaran hatinya mendapat kenyataan bahwa pemuda yang tadinya dibelai dan dipermainkan Cui Im, ternyata adalah seorang lihai dan seorang musuh pula.

Ia merasa penasaran karena ternyata orang yang dianggap lemah ini merupakan lawan tangguh, dan lebih penasaran hatinya karena halangan Cong San ini membuat dia tidak sempat membantu Cui Im menghadapi Keng Hong.

Seperti juga Cong San yang perlahan-lahan dapat mendesak lawan, Keng Hong yang dikeroyok tiga juga mulai mendesak ketiga orang lawan lihainya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu silat ini dapat dia mainkan pedang, bahkan dipetik inti sarinya dan digabung dengan Siang-bhok Kiam-sut yang lihai sehingga tiga orang lawannya menjadi bingung. Cui Im yang lebih mengenal ilmu-ilmu Keng hong dan yang memiliki kepandaian paling tinggi, di samping ilmu pedangnya sendiri yang amat tangguh, juga menjadi bingung menyaksikan gerakan-gerakan tubuh Keng Hong.

Hanya Cui Im yang berani mengadu tenaga sinkang lewat pedang melawan Keng Hong, karena gadis ini selain memiliki sinkang kuat, juga dapat menghindarkan diri dari tenaga sedotan yang juga dipergunakan Keng Hong dalam menghadapi para pengeroyoknya. Beberapa kali sudah Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek kena disedot sinkang mereka oleh Keng hong pada saat senjata mereka bertemu. Senjata kedua orang pengeroyok ini melekat pada Siang-bhok-kiam dan tenaga sinkang mereka membanjir melalui telapak tangan yang memegang senjata. Untung bahwa Cui Im bergerak cepat dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lengan Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini membebaskan senjata lawan dari tempelan pedangnya untuk menghadapi Cui Im. Dan karena beberapa mengalami kekagetan, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek yang berilmu tinggi menjadi hati-hati sekali, tidak lagi berani mengadu senjata secara berterang. Hal ini membuat Keng hong mendapat angin dan dia terus mendesak, dan menunjukkan desakannya terutama kepada Cui Im. Karena gadis ini menolak untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa dia akan membunuh Cui Im dan baru kemudian menyelidiki di mana adanya pusaka yang yang dicuri wanita itu.

Hebat bukan main desakan Keng Hong. Suatu saat, sinar hijau dari pedangnya meluncur ke arah tubuh Cui Im, dan semua tenaga dikerahkan menjadi satu. Cui Im terkejut bukan main, berusaha menangkis beberapa kali dengan pedang merahnya, akan tetapi sinar hijau itu seperti seekor naga sakti mengamuk, tiap kali ditangkis menyerang terus, makin lama makin cepat dan kuat. Melihat ini, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek berseru keras dan menerjang Keng Hong yang sedang mendesak Cui Im itu dari belakang. Mendadak Keng Hong membalikkan tubuh, sebelah lututnya ditekuk dan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke depan.

"Wirrrrr....!!" Hawa pukulan sinkang yang keluar dari telapak tangan kiri Keng Hong ini bukan main kuatnya sehingga Pak-san Kwi-ong sendiri sampai terhuyung ke belakang, bahkan Siauw Lek terdorong dan roboh bergulingan sebelum bangkit kembali. Keng hong sudah mencelat lagi sambil membuat poksai tiga kali dan dari atas tubuhnya didahului sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam, menusuk ke bawah dan meluncur ke arah kepala Cui Im.

"Crinnnnggggg...!!" Cui Im yang menangkis, terdorong dan terjengkang terus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari sinar hijau yang hendak menyambarnya.

"Sret-srettt-sretttt...!!"

Keng Hong sudah mengenal Cui Im dan tahu bahwa selain lihai ilmu silatnya, wanita ini juga curang sekali dan amat berbahaya jika sudah terdesak, karena senjata rahasianya amat keji. Maka ketika tadi Cui Im bergulingan, dia mengejar dengan waspada. Tepat seperti dugaannya, sinar-sinar merah kecil dari jarum-jarum merah beracun yang disambitkan Cui Im sambil bergulingan menyambarnya. Keng Hong menggerakkan pedang Siang-bhok-kia dan jarum-jarum itu runtuh semua. Akan tetapi Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek sudah dapat mengurungnya kembali dengan terjangan dahsyat sehingga Keng Hong cepat mengelak dan menangkis.

***


lanjut ke Jilid 060-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar