Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 35

Dewi Maut Jilid 35

<--kembali

“Dukk! Desss!” Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai dada dan lambung, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, malah cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.

“Plakkk!” Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak mampu bergerak.

Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi berserabutan masuk dari pintu dan jendela.

“Mo-ko, kaupondong dia!” teriak Hek-hiat Mo-li sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya, Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.

“Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!” teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu. Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan dan terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.

“Kejar...!” Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Namun gerakan kakek dan nenek itu memang hebat sekali, gin-kang mereka jauh lebih sempurna daripada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.

“Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!”

“Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!”

Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panahpun tidak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang berkepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu, namun dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!

Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong dan memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorangpun pengawal yang berani menyerang mereka!

Dengan “perisai” hidup istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara inipun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap. Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!

Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!” antara lain kaisar yang marah itu berkata. “Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Kalau dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!”

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang seperti iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga dan dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai? Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu penjagaan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja!

***

Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan. Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter, seluruhnya terbuat dari dinding baja yang amat kuat dan pintunya juga terbuat dari baja tebal dan kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andaikata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekalipun. Seekor gajahpun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.

“Mo-ko, kenapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?” Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sesungguhnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.

Pek-hiat Mo-ko tertawa. “Banyak sekali sebab-sebabnya mengapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami ingin menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?”

“Karena dia telah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya!” jawab Hek I Siankouw.

“Ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja,” kini Hek-hiat Mo-li yang berkata.

Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, “Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini.”

“Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!” kata Pek-hiat Mo-ko.

“Aha, setan tua,” Hek I Siankouw berkata, “Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera agar kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul.”

“Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sanderapun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu.” Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan demikian mudah kalau saja mereka tidak “dilindungi” oleh keselamatan In Hong. Andaikata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu. “Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak.”

“Pinto (aku) mengerti sekarang,” tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. “Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Maka sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!”

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya.

“Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?”

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

“Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!”

Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang telah siuman itu ikut mendengarkan sejak tadi dan menjadi kaget dan heran. Dia diam-diam saja masih rebah terlentang di atas lantai akan tetapi dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, namun diapun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiripun tidak mengetahui, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang dan diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.

Milik kalian?” Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini? “Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!”

“Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!”

“Manusia pengecut dan pembohong besar!” Tiba-tiba In Hong tak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu. “Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!”

Mendengar ucapan In Hong yang sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan. “Memang demikian, Mo-ko!” kata Bouw Thaisu.

“Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Eh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya.”

Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu telah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka memiliki kekuasaan yang besar.

Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Bokor emas ini dahulu, ratusan tahun yang lalu, ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang ikut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh Kaisar Kerajaan Goan-tiauw, yaitu Kerajaan Mongol yang pada waktu itu menguasai Tiongkok, bahkan yang telah menaklukkan Sailan dan semua negara di selatan dan barat. Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan di suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan dia lalu menyuruh buat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.

Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang mengadakan perjalanan ekspedisi pula tiba di Sailan. Raja Sailan yang maklum akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana, dan membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu!

Mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran. Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka den terjadilah pertandingan hebat. Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok dan dia seorang diri menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh Sailan yang memiliki banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri. Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu, dan The Hoo tidak mengejar mereka melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.

Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dibawanyalah bokor emas itu pulang ke Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai. Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Panglima The Hoo sendiri sampai meninggal dunia belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu.

Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit dan dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!

“Demikianlah,” Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. “Memang kami kalah pada waktu itu oleh The Hoo, dan dia merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang, kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepat lagi, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!”

“Memang milik kalian kalau begitu,” Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja.

“Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!” Tiba-tiba In Hong berkata. “Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukan milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah dia yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak.”

“Hemm, dan sekarang subomu telah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami,” kata Hek-hiat Mo-li. “Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu.”

“Tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana bisa bilang bahwa kalian menang dariku?”

“Eh, eh, bocah sombong! Kaukira aku tidak mampu mengalahkanmu?” Hek-hiat Mo-li membentak marah.

In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya makan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang, “Hek-hiat Mo-li, kalau benar kau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan.”

“Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!” Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun.

“Hati-hati Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?” kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu. Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini telah menguasai ilmu yang amat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagaimana ampuh sekalipun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati!

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, “Boleh kaucoba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan kaubunuh dia. Kita masih amat memerlukannya.”

“Aku tahu!” jawab Hek-hiat Mo-li dan dia lalu menekan sebuah tombol yang menghubungkan dengan alat. Kuncinya terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka. “Keluarlah, bocah sombong!”

In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan empat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut! Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan di tengah ruangan itu, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, “Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!”

Hek-hiat Mo-li meloncat ke depan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, “Jaga seranganku ini!” Dan cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat. Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat.

“Desss...!” Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.

Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, namun Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya.

In Hong kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini memiliki kekebalan yang amat hebat, sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang! Dan melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, diapun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang dilatih dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh. Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong, menjadi kagum. Ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai di dalam gerakan silat In Hong, akan tetapi telah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu. Seorang gadis semuda itu dapat menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.

“Plakk! Dukk!” Tubuh nenek itu tarhuyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi! In Hong mulai merasa serem! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apalagi menyaksikannya!

Karena ternyata buhwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering dapat memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu makin kagum. Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Biarpun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat! In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!

“Aihhh!!” Nenek itu menjerit marah dan Pek-hiat Mo-ko kini mengepal tinjunya, agaknya diapun terkejut dan siap-siap untuk membantu kawannya. Betapapun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal!

Karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannyapun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itupun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka.

“Desss... plakkk...!” Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas dam dia roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu beracun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

“Heh-he-he-heh!” Nenek itu meloncat dekat. “Dessss!” Tubub dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

“Cukup, Mo-li!” Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutupkan pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

“Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalas kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kauingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!” Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.

“Kita harus bersiap-siap,” kata Pek-hiat Mo-ko. “Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini mempunyai hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya putera ketua Cin-ling-pai, maka tidak mustahil kalau sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini.”

“Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap,” sambung Hek-hiat Mo-li. “Akan tetapi jalan menuju ke lembah ini hanya melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini.

“Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai,” kata Hek I Slankouw. “Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku.”

“Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh.”

“Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kauserahkan gadis keparat itu kepadaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!” kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

“Ha-ha, jangan khawatir. Setelah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu,” jawab Pek-hiat Mo-ko.

“Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku,” kata Bouw Thaisu.

Hek I Slankouw lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan tak lama kemudian terdengarlah suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya bayangan merah. Seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali. Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah karena gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang laki-laki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan! Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biarpun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, diapun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

“Subo!” kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah, dan sepasang pedang yang bersarung dan bergagang indah terukir itu tergantung di punggung, gagangnya nampak di kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana namun terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, “Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya.”

“Hemm,” Hek I Slankouw mendongkol. “Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi dapat menjaga diri sendiri.” Lalu nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, “Eh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?”

Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu suka menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya dan dia meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, “Tentu saja teecu berani, subo.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!” kata Hek-hiat Mo-li. “Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!”

“Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!” kata Pek-hiat Mo-ko. “Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!”

“Baik, locianpwe,” jawab Si Kwi dan nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa dara yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (samadhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, dan sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiripun dahulunya adalah seorang tokouw yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak dalam perangkap nafsu berahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoat-su yang terbunuh oleh The Hoo, maka diapun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoat-su. Ke manapun Hwa Hwa Cinjin pergi, apalagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya sejak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya.

Sungguhpun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak menganggap bahwa subonya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subonya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subonya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan jahat.

Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justeru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supeknya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, demikian menurut keterangan subonya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itupun menjadi pengganti orang tuanya. “Subo, kenapa tidak dibunuhnya saja dia itu?”

“Justeru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita,” jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. “Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!”

Gadis itu mengangguk, memberi hormat lalu meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. “Gin-kang muridmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!”

“Memang betul, Thaisu. Si Kwi menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga gin-kangnya menjadi matang dan lumayan. Karena gin-kangnya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya dan dia dijuluki orang Ang-yan-cu (Si Walet Merah),” jawab Hek I Siankouw dengan bangga.

***

Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu. Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga. Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diseling gurun-gurun pasir yang tandus.

Jalan menuju ke Lembah Naga itu kalau didatangi dari barat, timur dan selatan, hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.

Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebetulnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh dan banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang manusia yang melakukan perjalanan lewat tempat itu dan tersesat, berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai! Memang amat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik di musim panas maupun di musim semi tetap saja hijau segar itu, merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun demikian tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kiri diapit-apit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yang menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu.

Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu air dari Sungai Luan-ho yang dialirkan di sekeliling dusun itu sehingga kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tidak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi di sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bawahnya lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan! Untuk mengelilingi dusun dengan perahupun tentu saja bisa, jadi tanpa melalui dusun, akan tetapi di situ tidak ada sebuahpun perahu, dan andaikata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!

Sebetulnya tempat inipun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalang musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, setelah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar. Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ, bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, juga melayani segala kebutuhan mereka.

Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Mereka bukanlah orang-orang biasa tentu saja, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat kalau dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang. Yang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan wajahnya yang membayangkan kekasaran dan keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia terlepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang memiliki tenaga besar dan dapat membunuh orang dengan kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!

Isterinya berusia empat puluhan tahun, wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!

Ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada kaisar, kedua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai. Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga.

Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah dan menyerang mereka, akan tetapi keduanya terkejut karena dengan amat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun! Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu merekapun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.

Demikianlah sedikit keterangan tentang Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah. Dua puluh sembilan wanita lain yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pemimpin dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek. Adapun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan sungguhpun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap dan gerakannya gesit, namun sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh!

Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong! Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas. Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu. Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri.

Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian ketua mereka!

Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang dan belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, dari keperluan makan sampal keperluan sex! Adapun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee. Di permulaan cerita ini telah diceritakah tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih mendiang Kiang Ti yang tercinta, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu berahi belaka. Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, diapun lalu menjadi anggauta Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok! Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya dirusak oleh seorang pria, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatannya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan meninggalkan sebuan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berobah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggauta Giok-hong-pang!

Setelah semua anggauta Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja mereka dengan senang hati menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka. Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang, ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh dari ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggauta Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang dengan dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana! Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu telah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong. Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan yang pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan merekapun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan. Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka menghadapi padang yang amat luas, dan dari situ mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.

“Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu,” kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke depan. “Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.”

Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, “Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya.”

Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. “Biarpun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!”

Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono.

Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah!

Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

“Kalian diam...! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!” Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

“Satu demi satu!” Kiat Bwee tidak kehilangan akal. “Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!” Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung.

Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

“Jangan bergerak!” Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.

Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit, “Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!”

Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit seperti orang gila. Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.

Aaihhhhh...!”

“Hiiiiihhhhh...!”

Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada sampai ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita itu menjerit-jerit, kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak! Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga!

Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata, “Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin berhati-hati.”

Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang teman mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata, “Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh.”

Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali.

Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua “dinding” alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! Banyak pasang mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!

Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu menyerang mereka dengan ganas!

“Awas, mundur...!” Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

“Mundur...!” Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee. Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu.

Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya. Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka!

Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.

Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

“Ha-ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

“Inikah pemimpinnya?” terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

“Benar, twako!” jawab seorang di antara mereka. Mereka semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!

Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?”

Bhe Kiat Bwee menjawab berani, “Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong.”

“Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang? Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?” Coa-tok Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

“Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?”

lanjut ke Jilid 36-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar