Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 30

Dewi Maut Jilid 30

<--kembali

“Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di dunia ini kita tidak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi...”

“Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu, Khamila...” Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah kalung dari lehernya dan mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil barbisik, “Khamila, kalung ini pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan kepada permaisuriku.”

Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, matanya yang berair memandang terbelalak. “Tapi... tapi... kita...”

“Kita berpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang wanita sekalipun.”

“Ah, sri baginda...” Khamila menangis dan makin terharu dan beratlah hatinya untuk berpisah.

“Kaumintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar jika engkau melahirkan seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku, yaitu Ceng Han Houw.”

Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya sambil mengangguk, kemudian berbisik, “Kalau perempuan?”

“Terserah kepadamu.”

Setelah mendekap sekali lagi mereka berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In Hong dan pergi dari situ, diikuti pandang mata kaisar yang berdiri dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari kembali kepada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong. Setelah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih menantinya itu, “Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan daripada dua orang yang saling mencinta terpaksa harus berpisah?”

Cia Keng Hong yang semasa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat memaklumi perasaan kaisar saat itu, akan tetapi dengan jujur dia mengingatkan. “Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria dan wanitapun hanya merupakan sebagian saja daripada hidup yang luas ini, apalagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di sana masih menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang oleh lain orang.”

Ini merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang tajam dan bertanya, “Siapa dia?”

“Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Cing Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya itu.:

Kaisar mengerutkan alisnya. “Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang sudah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa, ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai.”

Cia Keng Hong lalu menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui penyelidikannya selama ini. Diceritakannya betapa pasukan orang-orang Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian malah mereka itu menentang para pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Cing Ti sebagai pengganti kaisar.

Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Kini pikirannya terisi penuh dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali.

Demikianlah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita, maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain. Padahal setiap kesenangan itu selalu disanding oleh kekecewaan, kebosanan, dan kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain. Sumber segala kedukaan berada di dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya perobahan mujijat dalam diri kita.

“Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?” kaisar bertanya.

“Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin mengantar paduka kepada mereka di kota raja.”

“Hemm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe.”

***

Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju ke kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai.

Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong. “Paduka telah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?”

Khamila menarik napas panjang. “Enci Hong, engkau benar. Aku telah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi...ah, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal...demi keselamatannya, demi nama baiknya dan...demi negara terpaksa aku harus berpisah darinya...yang ada hanya ini...” Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapapun juga, maka tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. “Hanya ini yang diserahkan padaku...” katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.

“Untuk siapa?” tanyanya.

“Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai.” Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Aih, sering kalau aku memandangmu, timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong.”

“Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara.”

Justeru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke manapun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ah, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tidak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang amat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang akan mendatangkan duka saja.”

Ucapan itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang sejak dahulu bebas tidak lagi dapat memakan kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri? Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu? Tak disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh. Sekarang dia tidak lagi marah kepada pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak menuduhnya membunuh orang secara sembarangan saja, bukan fitnah kosong, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subonya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia. Akan tetapi, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri dengan pasukannya tak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu dan melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya kalau mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu!

Oleh karena keinginan yang timbul di dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya, “Hong-moi...!”

In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu amat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.

“Hong-moi...!”

In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak merah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir.

“Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?”

Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapt ketika dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata, “Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?”

Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian, lalu dia mengangguk. “Enci Hong, siapakah dia ini?”

“Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya,” jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi, “Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?”

“Aku... aku telah mendengar akan perbuatanmu yang amat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!”

In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali. “Hemm, kalau sudah begitu mengapa?” tanyanya, dingin dan angkuh.

Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, “Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apalagi aku mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!”

“Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?” Tiba-tiba Khamila bertanya.

Bun Houw mengangguk membenarkan.

“Bagaimana kesehatan beliau?” tanya pula ratu itu sehingga Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan suaminya! Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya tidak menceritakan secara lengkap, apalagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan kaisar.

“Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja.”

“Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?” kini In Hong bertanya.

“Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apabila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang mengutus aku karena beliau tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal.”

“Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?”

Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan. “Akan tetapi...sebagai penyelamat kaisar...engkau harus dibantu...”

“Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?”

“Hemmm...tentang itu...eh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan...sudahlah, Hong-moi, aku tidak lagi mau membicarakan hal itu. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe.”

In Hong menjadi marah. “Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku seorang pembunuh. Nih, kauterima kembali pedangmu, bisa kotor terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!”

Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisah. “Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!”

“Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!”

“Tidak, akupun tidak mau menerimanya kembali.”

Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sesungguhnya amat disayangnya itu. “Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kaukatakan?” Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya. “Mari kita pergi saja!” Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw yang masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa?

Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara berisik dan tahu-tahu tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tidak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata, “Hamba diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng.”

Puteri Khamila mengerutkan alisnya. “Akupun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini.” Puteri Khamila memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengen sinar mata melindungi, kemudian mengangguk kepada mereka. “Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, mari ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai dan semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan.”

Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah siap untuk melawan, akan tetapi In Hong diam-diam khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apalagi di situ masih ada ratusan orang perajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka diapun mengangguk, dan Bun Houw juga tidak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biarpun disuruh memasuki neraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang perajurit yang seolah-olah “mengawal” mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti.

Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu menjadi berseri seketika setelah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia cepat bangkit berdiri, memegang tangan isterinya dan menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata, “Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin.”

Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik, “...hamba... kaisar...”

Raja Sabutai tersenyum dan menyentuh tangan isterinya. “Aku memang bermaksud membebaskannya...” Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.

Sementara itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw Taisu dan Hek I Siankouw. Akan tetapi subonya sudah berada di situ, duduk di atas kursi dengan muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja subonya marah kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan oleh ketua Cin-ling-pai! Dua orang kakek dan nenek guru Sabutai kini telah mengambil tempat duduk di belakang raja itu. Adapun pembesar Wang Cin juga hadir di situ, bersama anak buahnya yang kini hanya tinggal tiga orang yang dapat dia andalkan, yaitu tiga orang Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang telah menimpa diri empat orang undangan pembantu mereka, tidak tahu akan kematian Go-bi Sin-kouw dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.

Komandan pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya tentang sang ratu yang ditemukan di dalam hutan bersama In Hong dan pemuda yang kini ikut pula dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong maupun Bun Houw tidak tahu artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan kelihatan lega, hati merekapun tidak khawatir.

Setelah mendengarkan pelaporan komandang pasukan itu, Sabutai lalu memberi isyarat menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi sunyi, hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja Sabutai, isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In Hong, memandang kagum kemudian dia berkata, “Nona Hong, engkau sungguh menepati janji, terus mengawal isteri kami sampai ke manapun sehingga telah kembali pula ke sini dengan selamat. Sayang engkau mempergunakan akal untuk meloloskan kaisar keluar dari benteng. Kenapa engkau tidak terang-terangan saja minta ijin dariku? Apakah engkau tidak tahu bahwa memang kami tidak mempunyai niat untuk membunuhnya? Kalau memang kami bermaksud membunuhnya, sudah sejak lama dia kami bunuh!”

In Hong melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan gagah, “Saya telah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan kaisar keluar dari tempat tahanan. Setelah saya mengaku, maka terserah atas kebijaksanaan paduka!” Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa dia tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.

Mendengar ini, tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga, mengira bahwa In Hong hendak menyerahkan diri menerima segala hukuman, maka cepat dia berkata, “Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan kaisar, melainkan isteri paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka tidak semestinya kesalahan ditimpakan kepada nona Hong.”

Semua orang memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan mata menyelidik. Sementara itu, Khamila berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona Hong itu jangan diganggu.

“Mereka saling mencinta...” bisik ratu itu akhimya.

Sabutai tersenyum dan mengertilah dia kini mengapa pemuda itu mati-matian mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran-heran bagaimana Bun Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya kaisar bersama Ratu Khamila. Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong dan telah mendengar penuturan ayahnya tentang kaisar yang melarikan diri dibantu oleh Ratu Khamila itu.

“Orang muda, siapakah engkau?” Raja Sabutai bertanya, diam-diam dia menaksir apakah pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In Hong.

“Nama saya... Bun Houw.” Bun Houw masih menyembunyikan she-nya, karena dia teringat betapa In Hong sendiripun mengira dia she Bun. Pula, di tempat seperti ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya? Yang terpenting, kaisar telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In Hong dan juga untuk mencari tiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang Bayangan Dewa yang kabarnya berada di situ. Sejak tadipun dia sudah memandang-mandang ke arah tiga orang kakek yang duduk di belakang seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang Cin dan tiga orang kakek itu agaknya adalah orang-orang yang selama ini dicarinya, maka dia memandang penuh perhatian sampai dia ditanya oleh Raja Sabutai.

Tiba-tiba Wang Cin berkata, “Sri baginda, harap sri baginda berhati-hati. Tidak salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata-mata dari kerajaan, dan pemuda ini tidak syak lagi juga seorang mata-mata. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang-terangan telah meloloskan kaisar itu dari tahanan!”

“Apa yang dikatakan oleh Wang-taijin benar sekali” Tiba-tiba Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri. “Sudah sejak dahulu hamba semua tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata-mata musuh dan tentu sekali waktu akan mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah seorang jahat yang masih mempunyai perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh dua orang saudara hamba.”

Melihat betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw, hati Raja Sabutai tertarik sekali. Memang raja ini, di samping ambisinya untuk menjadi raja besar yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, juga merupakan orang yang keranjingan ilmu silat, amat suka menyaksikan pertandingan silat. Maka melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu bertanya kepada pemuda yang baru datang itu.

“Orang muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka? Kalau benar, mengapa?”

“Maaf sri baginda. Mereka itu adalah orang-orang jahat yang tadinya berlima, menamakan diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang telah menyerbu Cin-ling-pai, di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak murid Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai. Selain itu juga bersekutu dengan orang-orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan pengkhianat ini!” Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin. “maka sudah sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudara mereka termuda yang bernama Toat-beng-kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa.”

“Bohong kau!” Pat-pi Lo-sian membentak marah.

“Dan aku yang membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu berbuat tidak patut terhadap seorang pemuda.” In Hong kint juga bersikap berani.

“Sri baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua berani menghina saya dan menentang sri baginda!” Wang Cin menuding dengan marah.

In Hong melirik kepada subonya yang hanya memandang ke kanan kiri dengan wajah dingin. Diam-diam gadis ini merasa ngeri. Subonya adalah seorang yang aneh luar biasa, sukar diketahui isi hatinya. Kalau subonya berfihak kepada Wang Cin celakalah, pikirnya. Sementara itu, Bun Houw juga sudah siap-siap untuk mengamuk dan melindungi In Hong. Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan dilakukannya andaikata Raja Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia akan melindungi pemuda ini? Dia tidak dapat menjawab saat itu. Betapapun juga, kedua orang muda ini sudah merasa tegang dan mereka menanti saat yang menentukan sambil memandang wajah Sabutai yang tersenyum-senyum misterius. In Hong menaksir keadaan. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya Bun Houw bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apalagi ditambah tiba Bayangan Dewa, para perwira dan banyak perajurit, tentu mereka berdua tidak akan mampu menyelamatkan diri. Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya, kalau demikian masih mending, sungguhpun agaknya, dengan kekuatan mereka bertiga sekalipun amatlah sukar lolos dari benteng yang kuat ini.

Agaknya keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai. Dia tadi mendengar bisikan isterinya bahwa antara In Hong dan Bun Houw terdapat hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu, tentu berarti dara perkasa yang dikaguminya itu akan membela mati-matian. Akan tetapi kalau tidak ditangkap, seolah-olah dia tidak menghargai bantuan Wang Cin dan kawan-kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir berhasil akan tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu. Pada saat dia meragu, tiba-tiba Khamila menyentuhnya. Dia menoleh dan ternyata isterinya menyerahkan sesampul surat. “Harap paduka baca ini dulu...” bisik Khamila.

Sabutai tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang dari Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai isyarat agar semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf halus dan indah itu.

Raja Sabutai yang saya hormati,

Anda mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan racun berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan menjadi tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan yang memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan keluarga anda.

Kini saya telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan perang antara kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka apabila anda suka mundur dan menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya akan menjadi wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apabila anda melanjutkan penyerbuan ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan mempersilakan ratu untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami.

Sekian dan kemudian terserah kebijaksanaan anda.

Tertanda,

Kaisar Ceng Tung

Sabutai menyimpan surat itu dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah isterinya. Kemudian dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian yang terakhir kepada Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang. “Kami memutuskan agar urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi tamu-tamu kami yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga harap Wang-taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya. Hendak kulihat apakah benar-benar kaisar muda itu berkepandaian begitu hebat untuk merampas kembali kedudukannya dan menarik mundur pasukan seperti yang dijanjikannya. Ha-ha-ha!” Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya memasuki ruangan sebelah dalam. Persidangan itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantar Bun Houw ke dalam sebuah kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi. Demikianpun In Hong dan Yo Bi Kiok maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh kakek dan nenek guru Sabutai. Semenjak peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia Keng Hong, guru ini bersikap dingin terhadap muridnya dan tidak pernah menegur, akan tetapi In Hongpun diam saja karena makin lama makin terbukalah matanya betapa subonya itu memiliki watak yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas dan amat kejam sehingga dia merasa tidak senang dan juga berduka, karena sesungguhnya, subonya itulah yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang paling baik baginya.

Sementara itu, dengan bantuan Cia Keng Hong, Kaisar Ceng Tung cepat mengadakan kontak dengan para menteri dan jenderal yang setia kepadanya. Untung baginya, kebetulan sekali bala tentara yang dikerahkan ke utara untuk menghalau pasukan-pasukan Sabutai, dipimpin oleh Jenderal Bao Ciang, scorang jenderal yang setia kepadanya dan menjadi sahabat baik pendekar Cia Keng Hong. Mula-mula kaisar oleh Cia Keng Hong disembunyikan lebih dulu dan dia sendiri pergi menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru beramai-ramai menjadi sukarelawan membantu bala tentara pemerintah untuk menghadapi pemberontak dari utara.

Sebelum bicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong lebih dulu dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu sekarang sehingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao inipun tidak setuju akan pengangkatan Cing Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan pemberontak.

Dengan singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik kandung Kun Liong yang bernama In Hong telah berhasil menyelamatkan dan meloloskan kaisar dari dalam tahanan pemberontak.

Kun Liong terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa kehilangan adiknya yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang kejam seperti gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa besar!

“Supek, di manakah dia sekarang?”

“Dia menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Dia kembali ke benteng Sabutai, dan aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada bahaya mengancamnya. Karena aku sendiri harus cepat membantu sri baginda kaisar menghubungi para jenderal...”

“Kalau begitu saya akan menyusul ke sana, supek.”

“Sebaiknya begitulah.”

Kun Liong memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng Hong yang merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa sampai sekarang, kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak malapetaka itu masih juga belum terbongkar rahasianya dan tentu usaha penyelidikan semua terhenti oleh adanya perang melawan pemberontakan. Bahkan penyelidikan puteranya dan dia sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti. Semua kepentingan pribadi memang terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi menghadapi ancaman dari orang-orang Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu.

Kemudian Cia Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan antara dua sahabat lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu Panglima Besar The Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong menjajagi isi hati Jenderal Bao, karena biarpun dia sudah mendengar keterangan dari Kun Liong, namun dalam urusan diri kaisar dia harus berhati-hati. Setelah dia yakin benar bahwa jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng Tung, Cia Keng Hong memancing. “Akan tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang lemah sekali, yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam yang khianat, dan mudah tunduk oleh selirnya yang bernama Azisha?”

Jenderal Bao mengerutkan alisnya yang tebal. “Memang benar, akan tetapi saya mengenal betul watak beliau sejak kecil, Cia-taihiap! Beliau adalah seorang yang sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menjadi seorang kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berobah lemah, hal itu adalah karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapapun juga, pengangkatan Kaisar Cing Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung tidak ada beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami telah bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak buahnya!” Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja.

“Seandainya Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri dari tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?”

Mata yang lebar itu memandang tajam. “Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka yang berambisi mencari kedudukan tinggi sudah memperjuangkan agar Kaisar Ceng Tung tidak ditolong selana ini dan agar mereka dapat mengangkat kaisar lain yang dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang macam Wang Cin memang banyak terdapat di istana dan tak lama lagi kaisar baru akan jauh lebih lemah lagi daripada Kaiar Ceng Tung.”

“Akan tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?”

“Tidak mungkin! Harapan kosong belaka!”

“Goanswe, lupakah goanswe kepada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap keadaan kita tidak boleh sekali-kali berputus asa? Kalau belum ada bukti-bukti bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak mungkin dan harapan kosong belaka? Jawablah, andaikata beliau masih hidup dan sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kaulakukan?”

Jenderal itu bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik, tiba-tiba memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar dan kuat, dan matanya menjadi basah. “Cia-taihiap! Engkau satu-satunya orang yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu, katakanlah. Benarkah beliau masih hidup?”

“Duduklah, goanswe. Lebih baik kaujawab dulu pertanyaanku tadi. Apa yang akan kaulakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?”

“Demi Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau karena itu adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka kaisar yang baru itu tidak sah!”

“Hemm, bagaimana akan kaulakukan hal itu begitu mudahnya? Kaisar yang baru memiliki banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara.”

“Tidak! Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa pasukan di dalampun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar Ceng Tung. Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pengawal dan pasukan-pasukan pinggiran yang tidak berarti kekuatannya. Aku akan lebih dulu mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka kalau perlu. Akan tetapi betulkah...?” Dia memandang penuh harap.

Cia Keng Hong sudah merasa yakin sekarang. Dia mengangguk dan berkata, “Lekas sediakan pasukan penjemput dan kereta.”

Jenderal Bao merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar menghapus dua titik air matanya. “Kau hebat, taihiap! Kau hebat sekali telah menyelamatkan kaisar! Usaha puluhan ribu perajurit tidak berhasil, akan tetapi engkau seorang diri dapat...”

“Ssssstt... jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari beliau siapa yang menyelamatkan beliau. Mari!”

Malam itu juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin pasukan menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan kaisar, Jenderal Bao menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata! Akan tetapi, dengan manis budi dan tenang kaisar itu berkata, “Bangkitlah, jenderalku yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur semua pasukan, jangan lagi mengejar pasukan Sabutai.”

Jenderal itu bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama yang aneh itu.

“Siap, sri baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?”

Kaisar tersenyum angkuh. “Kalau dia diserang, dia akan mempertahankan mati-matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu kita kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia akan mundur. Dia telah tahu kini akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik.” Kaisar tersenyum lagi, teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas diri suaminya. Cia Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya, diam-diam juga merasa heran sekali.

Kaisar lalu diiringkan ke dalam benteng dan taat akan perintah kaisar, Jenderal Bao menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng. Sabutai hanya meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal inipun segera diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk. “Hebat...” kata Raja Mongol ini. “Memang dia hebat, jauh hebat daripada aku, dalam banyak hal... dalam banyak hal...” dia teringat akan kandungan di dalam perut istrinya dan tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa dia akan menjadi ayah dari seorang anak keturunan kaisar yang demikian hebat!

Setelah berunding dengan kaisar, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng Hong yang kini bertindak sebagai pengawal kaisar pribadi untuk sementara, segera melaksanakan rencananya. Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar Ceng Tung. Para menteri dan jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung tentu saja menyambut dengan penuh kegembiraan, akan tetapi di fihak para pengejar ambisi yang telah mengangkat Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan mati-matian mempertahankan Kaisar Ceng Ti, karena turunnya kaisar baru dari tahta dan kembalinya kaisar lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru mereka yang mulia!

Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang, semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada diri sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengeoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri. Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita atau ambisi. Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada sekarang, yang lain daripada apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa yang kita miliki, yang kita anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak sama sekali. Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih daripada yang telah diperolehnya itu. Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa dan putus asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih celaka lagi, pengejaran-pengajaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu, seringkali dilakukan dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.

Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang diinginkan. Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu. Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah, timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah begitu, celakalah manusia.

Demikian pula dengan kerajaan di mana terjadi perebutan tahta itu. Fihak menteri dan jenderal yang bersimpati kepada Ceng Tung, yang masih setia kepada kaisar lama ini, menggunakan segala daya upaya dan kekuatan mereka untuk menggeser kaisar baru dan mendudukkan kembali Kaisar Ceng Tung ke singgasana. Sedangkan mereka yang berkedudukan tinggi, para pendukung atau pengangkat Kaisar Ceng Ti, mempertahankan kedudukan kaisar baru ini yang sebetulnya hanya dipergunakan sebagal “alat” untuk mencapai keinginan mereka sendiri, yaitu memperoleh pangkat dan kemuliaan, maka terjadilah ketegangan dan kekacauan di dalam istana kaisar.

Karena maklum bahwa tentu akan timbul usaha fihak lawan untuk membunuh Kaisar Ceng Tung, maka kaisar ini disembunyikan di dalam rumah gedung seorang pembesar bernama Liang Kun Ong, seorang pembesar berdarah bangsawan dan masih terhitung keluarga biarpun agak jauh dengan Kaisar Ceng Tung dan yang termasuk seorang yang setia kepada kaisar ini. Dan tentu saja pendekar sakti Cia Keng Hong selalu mengawal kaisar karena pendekar inipun maklum bahwa sebelum kaisar itu menduduki kembali singgasananya, maka keselamatannya tidak terjamin. Sementara itu, Jenderal Bao cepat memperjuangkan kembalinya Kaisar Ceng Tung melalui saluran-saluran yang resmi.

Malam itu sunyi sekali dan Kaisar Ceng Tung sudah beristirahat. Seperti biasa selama tinggal di dalam gedung itu yang sudah berjalan belasan hari, Cia Keng Hong tidur di sudut kamar, hanya teraling tirai dari pembaringan yang menjadi tempat tidur Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, tentu saja Cia Keng Hong hanya menidurkan tubuhnya saja, sedangkan kewaspadaannya tidak pernah tidur nyenyak sehingga andaikata ada sedikit suara saja, suara yang tidak wajar, tentu dia sudah meloncat dan tahu-tahu sudah berada di dekat pembaringan kaisar untuk melindunginya. Hal seperti ini tidak mengherankan bagi seorang ahli ilmu silat tinggi, karena kewaspadaan seakan-akan sudah mendarah daging di seluruh urat syarafnya seperti telah menjadi semacam naluri yang biasanya hanya dimiliki oleh binatang-binatang yang peka perasaannya.

Tentu saja bukan hanya Cia Keng Hong seorang yang menjadi pengawal menjaga keselamatan Kaisar Ceng Tung. Cia Keng Hong merupakan pengawal pribadi yang selalu berdekatan dengan kaisar, akan tetapi masih ada lagi sepasukan istimewa, yaitu pasukan pengawal Kuku Garuda yang dahulupun menjadi pengawal-pengawal dalam istana Kaisar Ceng Tung dan ketika terjadi penggantian kaisar, pasukan ini meloloskan diri karena mereka masih setia kepada Kaisar Ceng Tung. Mereka itu tersebar dan menjadi buronan, ada yang bergabung dengan barisan yang berada di bawah kekuasaan jenderal-jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung, akan tetapi ada pula yang kembali ke dusun. Kini yang dapat dikumpulkan oleh Jenderal Bao hanya ada dua puluh orang dan mereka ini dengan senang hati menerima tugas melindungi dan mengawal Kaisar Ceng Tung di dalam gedung Pangeran Liang Kun Ong.

Biarpun sudah ada dua puluh orang pengawal Kuku Garuda yang boleh dipercaya ini, yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, namun Cia Keng Hong tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa kalau fihak musuh mengirim seorang pembunuh bayaran yang tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah saja pembunuh itu akan dapat melalui penjagaan para pengawal itu. Oleh karena itu, biarpun pada malam hari yang sunyi dan dingin itu penjagaan seperti biasa dilakukan dengan ketat, tetap saja Cia Keng Hong yang kelihatan tidur pulas itu sebenarnya masih dalam keadaan “waspada”.

Bunyi kentongan ronda malam menyatakan bahwa waktu itu sudah persis tengah malam. Telinga pendekar sakti yang masih tidur itu jelas mendengar dan kewaspadaannya membuat dia mengerti bahwa suara itu adalah suara kentongan yang menunjukkan waktu, maka diapun terus tidur dengan napas teratur. Akan tetapi, ketika ada suara berkeresekan di atas genteng gedung, seketika pendekar ini membuka mata! Di lain saat tubuhnya sudah berkelebat seperti terbang cepatnya dan tahu-tahu dia telah berada di tepi pembaringan kaisar yang ternyata masih tidur pulas. Dengan pendengarannya yang tajam ketua Cin-ling-pai ini mengerti bahwa yang datang lebih dari satu orang, maka dia cepat mengambil keputusan. Tanpa membangunkan kaisar, tangannya bergerak menotok pundak Kaisar Ceng Tung sehingga kaisar itu tertotok lemas dalam keadaan tidur, kemudian Cia Keng Hong memondong tubuh kaisar, disembunyikan di bawah kolong pembaringan dan dia sendiri lalu naik ke atas pembaringan itu, menggunakan selimut kaisar menutupi tubuhnya sebatas leher ke bawah, menggantikan tempat kaisar! Dengan cara ini dia hendak menjebak fihak musuh tanpa membahayakan kaisar, karena kalau dia melakukan perlawanan berterang, dia khawatir bahwa fihak musuh akan menyerang dari berbagai jurusan yang tentu saja akan amat menyukarkan baginya melindungi kaisar sebaiknya.

Suara berkeresekan makin dekat dan kini tiba tepat di atas genteng kamar itu. Tiba-tiba dia mendengar suara jerit-jerit tertahan di luar kamar, di mana biasanya terdapat dua orang pengawal yang menjaga siang malam secara bergilir, suara ini disusul pula dengan suara-suara yang sama, seperti orang yang tidak sempat menjerit lagi lalu roboh dari luar jendela sebelah kiri dan dari atas genteng.

Hemm, mereka telah mulai turun tangan, pikir Cia Keng Hong, seluruh urat syarafnya menegang dan semua panca inderanya siap sedia.

“Sing-sing-singgg...!”

Tepat seperti yang telah diduganya semula, sinar-sinar merah halus itu meluncur cepat sekali dari tiga jurusan! Dalam waktu bersamaan, sinar-sinar merah halus itu menyerang ke arah pembaringan, ke arah tubuhnya dari luar jendela dan dari dua arah di atas genteng! Andaikata dia masih berjaga dengan berdiri di dekat pembaringan, akan repot jugalah kalau dia harus menyelamatkan kaisar menghalau sinar-sinar merah yang datangnya dalam saat berbareng dari tiga jurusan bertentangan itu. Dia tahu apa sinar-sinar itu, dan kedua tangannya bergerak dari bawah selimut, jari-jari tangannya menjepit jarum-jarum halus yang berbau harum. Jarum yang mengandung racun halus dan kalau memasuki kulit akan mendatangkan kematian seketika!

Matanya memandang cepat, melihat betapa di atas genteng, di dua tempat itu berlubang, juga daun jendela terbuka sedikit, dan kini terdengar suara “krekkk!” dan daun pintu kamar terbuka dari luar, pegangan daun pintunya hancur berantakan dicengkeram sebuah tangan yang memiliki tenaga amat kuat! Melihat bahwa yang masuk ke kamar ini seorang yang memiliki tenaga dahsyat, maka Cia Keng Hong menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Berbareng dengan terbangnya selimut merah ke arah pintu, kedua tangannya bergerak dan meluncurlah sinar-sinar merah yang sama dengan tadi, akan tetapi suara berdesingnya jauh lebih nyaring lagi karena jarum-jarum itu kini diterbangkan oleh sambitan ketua Cin-ling-pai yang memiliki tenaga yang jauh lebih kuat, meluncur ke arah tiga jurusan, yaitu ke jendela dan lubang-lubang di atas genteng.

Terdengar pekik-pekik kesakitan di atas genteng dan di luar jendela kamar, sedangkan orang tinggi besar yang baru saja menerjang masuk ke kamar dan pintu, berseru kaget ketika tiba-tiba ada selimut merah menerjangnya seolah-olah selimut itu mempunyai nyawa saja!

“Wuuuuttt-plakkk... breettttt...!” Selimut itu ditangkis oleh orang tinggi besar dan cabik-cabik, lalu dilemparnya ke samping. Akan tetapi saat itu, Cia Keng Hong telah meloncat dan berdiri di depan orang tinggi besar ini. Mereka saling pandang! Sejenak pendekar sakti Cia Keng Hong memandang tajam penuh selidik kepada kakek tinggi besar yang berwajah gagah menyeramkan itu, dan dia memutar otak mengingat-ingat, kemudian dia berkata dengan heran, “Hemm, bukankah engkau Tiat-ciang-pangcu?” Kini dia teringat dan menyambung, “Tidak salah lagi, engkau adalah Ouw-pangcu dari Bayankara!”

“Cia-taihiap...!” Kakek itu juga berseru kaget dan mukanya berobah.

Memang orang itu adalah ketua dari perkumpulan Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang dari utara, berpusat di Pegunungan Bayankara, dan terkenal dengan kelihaian tangan mereka karena ketuanya memiliki Ilmu Tangan Besi yang amat ditakuti orang (baca cerita Siang-bhok-kiam).

“Ouw-pangcu,” kata Cia Keng Hong, suaranya dingin dan pandang matanya tajam menusuk. “Apakah Tiat-ciang-pang kini telah menjadi begitu merosot dan rendah sehingga mau diperalat orang untuk melakukan pekerjaan hina seperti ini, melakukan penyerangan kepada orang secara menggelap?”

Kakek tinggi besar itu kelihatan bingung. “Apa... apa artinya ini? Kami memang diperalat, akan tetapi diperalat oleh kaisar dan para pembesar untuk membasmi komplotan pengkhianat yang kabarnya bersembunyi di dalam gedung ini. Mengapa yang berada di sini malah Cia-taihiap? Mana komplotan pengkhianat itu?”

“Ouw-pangcu!” Cia Keng Hong yang mengenal tokoh ini sebagai seorang pejuang dahulu, berkata tegas, “Yang menjadi komplotan pengkhianat adalah mereka yang memperalat pangcu.”

Muka kakek itu berobah. “Apa... apa maksudmu, taihiap?”

Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar? Siapakah sesungguhnya kaisar? Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?”

“Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu? Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?”

“Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung.”

“Ahhh...?” Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar. “Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?”

Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! “Celaka... aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini...”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan keras dari para pengawal, “Tangkap pembunuh...!”

Cia Keng Hong menjawab dari dalam. “Harap di luar tenang. Kaisar dapat diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas genteng.”

Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-bengkak merah terkena jarum-jarum halus!

Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, “Ouw-pangcu, biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!”

Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. “Cia-taihiap, keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku sekarang juga.”

“Ouw-pangcu, pergilah.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk malam ini!” Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar.

“Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!”

Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung.

Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan.

“Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau,” kata jenderal itu dan Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao.

Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya. Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran.

Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan!

lanjut ke Jilid 31-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar