Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 22

Dewi Maut Jilid 22

<--kembali

“Adik Beng...! Di mana Eng-moi...?” Bun Houw yang dikepung ketat itu masih sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim.

Akan tetapi Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab. “Tidak tahu...!” hanya demikianlah dia mampu menjawab karena Ciok Lee Kim dengan dua helai saputangan suteranya sudah membuat dia terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya berkunang.

“Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang...” Ciok Lee Kim berbisik dan saputangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng. Sudah sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang diri mendesak Kwi Beng yang sudah kewalahan. Kwi Beng kini juga kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan kedua saputangan Ciok Lee Kim, apalagi sekarang dia memecah perhatiannya.

“Cus-cus... plakk!” Dua kali ujung saputangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini lalu memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu. Andaikata melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapapun mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh. Akan tetapi mereka tadi sudah melihat jelas bahwa biarpun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun merekapun sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu.

Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, kini mulai terdesak hebat. Dia makin marah dan menyesal kalau mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi. Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga orang musuhnya ini. Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu ingat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dahulu terlalu banyak menentang golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tuapun dia masih dimusuhi orang!

“Tahan...!” bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berobah menjadi gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. “Sam-wi tiga orang tua mengapa bersikeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan Dewa? Saya sama sekali bukan takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa.”

Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena baru sekarang selama hidupnya, dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebatnya. “Orang muda, kalau tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya.”

Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam.

“Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoat-su yang biarpun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Slankouw ini merupakan tangan kananku, sehidup semati denganku.”

Bun Houw mengerutkan alisnya. “Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima Bayangan Dewa?”

“Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!” Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biarpun telah mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang, sudah menerjang lagi dengan kebutannya.

“Wiir... siuuuuttt...!” Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati!

“Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!” Bun Houw membentak, tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin sendiri!

“Aihhh...!” Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat dia menggerakkan tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.

“Singgg... tranggg... aihhhh!” Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw, pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang di tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya!

“Plakkk...! Hemm, kau hebat, orang muda!” Bouw Thaisu sempat menangkis pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu terobek!

Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yaitu ilmu sin-kang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang amat mujijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya sendiri. tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan! Maka tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena mereka maklum bahwa biarpun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan saling bantu, amatlah berbahaya bagi mereka!

Bun Houw menjadi makin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, dan Tio Sun agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat berbahaya ini. Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa, akan tetapi kalau sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia!

“Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!” Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk makin hebat, pedangnya merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung sekaligus sehingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.

“Adikku, jangan putus asa. Encimu datang membantumu!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu!

“Keng-cici (kakak Keng)...!” Bun Houw berteriak, girang bukan main karena biarpun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, dia sudah mengenal sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang putih seperti perak itu.

Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itupun tak boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak dan membalas. Akan tetapi, Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan beraninya. Biarpun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat menandingi, namun sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.

Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat dan tamparan tangan kirinya yang penuh dengan tenaga mujijat, Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.

“Mampuslah...!” Cia Giok Keng melihat tosu itu terhuyung sudah menerjang dengan sabuk sutera dan pedangnya.

“Hayaaaaa...!” Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.

“Plakk!” Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh tubuhnya seperti lumpuh.

“Sratttt...!” Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.

“Enci, aku tidak perlu dibantu. Kaubantulah Tio-twako... dia terdesak!” Bun Houw berkata.

Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang didesak oleh seorang kakek dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang pengeroyok dalam waktu singkat saja. Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali sedangkan Liok-te Sin-mo yang sudah hampir depat mengalahkan Tio Sun menjadi marah sekali, cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang itu.

Bun Houw masih gelisah memikirkan kedua orang saudara Souw. Tio Sun sudah mending keadaannya, karena dia tahu bahwa encinya juga bukan orang sembarangan dan dengan bantuan encinya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.

“Bun Houw, kau terlalu sembrono!” sambil membantu Tio Sun, Giok Keng berteriak menegur adiknya. “Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan curang!”

Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, eh, masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.

“Cici, maaf!” Teriaknya kembali. “Tapi setelah engkau datang, mari kita basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!”

Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam dan kepalanya memakai topi, ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng terkejut dan kemarahannya memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api. “Kiranya Si Iblis Kuburan!” bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya makin cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo. Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini.

“Keparat, siapa engkau?” bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.

“Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!” bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.

Kini terkejutlah semua tokoh itu. Kiranya wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!

“Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?”

Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.

“Enci, awass...!” Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.

“Plak-plak, cringgg... bresss...!”

Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Biarpun Giok Keng sudah mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini seperti hidup. Tio Sun sudah cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu seperti mengenai baja tebal saja. Ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu sudah mengancam ubun-ubun kepala Giok Kehg dengan pukulan maut.

Tiba-tiba saja ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ sambil memandangnya dengan sikap tenang.

“Kau...? Huh...!” Demikian kata Giok Keng, dan wanita ini tidak memperdulikan lagi laki-laki yang sebenarnya telah menyelamatkan nyawanya itu, dan dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya seperti digerayangi tenaga mujijat yang membuat napasnya sesak. Maka ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh ke belakang.

“Yap-suheng...!” Bun Houw berteriak girang. Biarpun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.

“Sute, engkau sekarang hebat sekali!” Yap Kun Liong, pria itu, memujinya sambil tersenyum, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karena Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya menggunakan kedua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terhuyung ke belakang!

Melihat datangnya wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sutenya yang tidak nampak batang hidungnya lagi.

“Maju semua...! Kepung dan keroyok...!” teriaknya dan anak buahnya yang sesungguhnya juga merasa gentar, apalagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian ganas mainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!

Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu merekapun meloncat ke belakang dan melarikan diri.

“Hemm, aku ingin bertemu dan bertanding sendiri kelak berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai!” Bouw Thaisu berkata dan diapun meninggalkan Kun Liong yang sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.

“Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara Souw!” Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat itu. Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang. Murid ayah mertuanya itu benar-benar amat lihai sekarang. Kini dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, dan Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah. Diam-diam Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa biarpun masih kelihatan amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-musuhnya, apalagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya. Akan tetapi sekarang, biarpun masih ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum karena biarpun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja.

Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, namun sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggauta keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik, “Hayo cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!” Sengaja menempelkan pedangnya di leher wanita yang tentu saja menjadi ketakutan sekali.

“Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana...”

Bun Houw melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun kecil di sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas lapangan rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit oleh sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya pucat, kemudiah perlahan-lahan menjadi merah sekali. Dia melihat Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa, sedangkan di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian gadis itu tertumpuk di sebelah dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si muka monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan tertotok karena tidak mampu bergerak sama sekali!

Saking marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan. Terdengar suara berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh dan melihat sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang membuka baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan, menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang.

“Hyaaaaaatttt...!” Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw sudah meloncat dan seperti seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit dengan kedua tangan di depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda.

“Heiittt...!” Bu Sit yang sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya, yaitu joan-pian atau pecut baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar suara meledak, pecut itu dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang melayang datang, akan tetapi Bun Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja! Bu Sit hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal perbuatan ini lebih berbahaya daripada menangkap pedang telanjang. Dia mengerahkan tenaga, mendengarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun Houw pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Namun sia-sia belaka dan tahu-tahu pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya!

“Augghhkkkk...!” Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri, menghentikan pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di depannya, maka dia lalu menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun Houw.

“Bukkk! Dessss...!” Sedikitpun tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi pergelangan tangan kanan Bu Sit yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya!

“Auukhhh... auukhhhhh...!” Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur keluar. Mengingat akan penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya, masih belum begitu memarahkan hati Bun Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi Kwi Eng dan hampir saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah sekali. Akan tetapi, terngiang di telinganya segala nasihat orang tuanya, maka dia terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang dirampasnya dari tangan Bu Sit.

Begitu dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi leher dengan kedua tangan, megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-malu lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut!

“Ampun... ampunkan aku...”

Bun Houw meludah penuh kejijikan. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng, dia menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandang matanya ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng, tanpa memandangnya lalu melemparkan pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia membebaskan totokan tubuh Kwi Eng.

Terdengar sedu-sedan dari leher dara itu dan Kwi Eng mengenakan pakaiannya cepat-cepat, kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke arah pedang Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-pincang menghampiri Bu Sit.

Bu Sit bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat cerdik. Dia masih berlutut setengah menangis minta-minta ampun, seolah-olah tidak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi sekarang terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan! Akan tetapi, begitu Kwi Eng telah tiba dekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan ketika pedang menyambar, dia meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya ke belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara itu.

“Ha-ha-ha, majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!” Bu Sit mengancam Bun Houw.

Bun Houw memandang pucat, tak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan Dewa itu akan melakukan hal securang itu.

“Serang dia, Houw-ko! Jangan perdulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanam ini keparat!” Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu.

“Cobalah, majulah dan jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya akan bereeceran keluar!” Bu Sit menghardik.

Bun Houw masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng, menyerang dan membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil membunuh penjahat keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu.

“Jangan maju, selangkah saja aku akan bunuh dia!” Bu Sit berkata lagi dan kini dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak bergerak.

Kwi Eng meronta, akan tetapi sia-sia saja. “Houw-koko, kauserang dia, kaubunuh dia! Aku lebih suka mati daripada diculik dan dibawanya!”

Akan tetapi Bun Houw tetap tidak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap untuk menyerang apabila dia diberi kesempatan. Akan tetapi dengan jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin dia berani bergerak? Betapapun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat dengan jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu.

“Ha-ha-ha, sampai bagaimanapun engkau tidak akan mampu menandingi Lima Bayangan Dewa, ha-ha-ha...” Pada saat itu, tampak sinar hijau menyambar seperti sinar halilintar dari belakang, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya.

“... ha-ha-ha... augghhhh...!” Suara ketawa dari Bu Sit disambung pekik melengking, matanya yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan, mukanya pucat dan kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam kepala Kwi Eng!

Akan tetapi, kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun Houw. Kalau tadi jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara itu, dia tidak berani bergerak. Sekarang, setelah iblis itu menerima serangan sinar hijau dari belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul kepala Kwi Eng, cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw. Bagaikan terbang dia meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat menyambar, membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain saat Bun Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dengan telapak tangan itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan.

Pada saat itu, Bu Sit berdiri limbung, dengan muka pucat sekali. Dalam keadaan sehat saja tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apalagi dalam keadaan seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di punggungnya.

“Dessss...!” Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan tak dapat bergerak lagi karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya hancur oleh getaran hawa pukulan dahsyat tadi.

Bun Houw memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana tadi datang sinar hijau, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu. Dengan lengan kiri masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit dan tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna kehijauan. Dia tahu bahwa Bu Sit terkena serangan senjata rahasia beracun, agaknya seperti senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum), yaitu senjata rahasia khas dari Giok-hong-pang!

Tiba-tiba suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia peluk pinggangnya. Dia tetkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat bahwa dia masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka dilepaskannyalah rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir jatuh, maka cepat Bun Houw memegang lengannya, menahannya.

“Ah, kau... kau terluka, adik Kwi Eng?” Bun Houw bertanya penuh kekhawatiran.

Kwi Eng menggigit bibirnya. “Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi...” Dia lalu duduk di atas tanah.

lanjut ke Jilid 23-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar