Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 08

Dewi Maut Jilid 08

<--kembali

Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini kedua orang puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga. Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur. Adapun putera kedua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, amat lihai bermain silat pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam.

Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, sejak pagi sekali dua orang pemuda itu sudah menyambut datangnya para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat teratas di dekat tempat duduk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur di atas meja. Dan tepat seperti diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu juga mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akal itu pagi-pagi telah mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya. Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, “Bagus sekali! Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu, lihiap.”

“Hemm, aku tidak hendak membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak,” In Hong berkata. “Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain, paman.”

“Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, lihiap, mari kita berangkat.”

Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. “Selamat pagi, Sin-touw,” Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. “Kami girang sekali menerima kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini, Sin-touw!”

Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong. “Lihat, betapa gagah dan ramahnya putera-putera tuan rumah, lihiap!”

In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dan memandang tak acuh.

“Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!” tiba-tiba Phoa Kim Cai berkata.

“Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui kongcu.”

Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat dan halus, “Silakan siocia duduk di dalam!”

In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topinya agak miring di atas kepalanya sehingga dia kelihatan lucu sekali. In Hong bersikap dingin ketika tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih gagah dan tampan, aku tidak perduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang melihat pandang mata mereka itu. “Paman, engkau masih saja menyebutku lihiap,” In Hong berbisik. Mereka sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apalagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu.

Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa bersama tamu-tamu lain.

In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw mengomel panjang pendek. “Aku boleh dia suruh duduk di sini, akan tetapi engkau? Ruangan kehormatan itupun masih kurang layak bagimu!”

“Ssttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk di sana,” In Hong menegur dengan hati geli “Eh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan kita?”

Can Pouw mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. “Kalau kita tidak diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!”

“Hushh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat berikan barang sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang, menyerahkan bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah sejak tadi memandang ke arah kita saja.”

Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi memandang ke arah mereka akan tetapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.

Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian. Semua orang memandang penuh perhatian ketika laki-laki dan wanita itu memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.

Wanita itu cantik luar biasa, cantik dan gagah penuh semangat dan agak angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan menyambar-nyambar penuh selidik. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan bentuk yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja. Di sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tingg! besar seperti tokoh Kwan Kong, sikapnya pendiam, wajahnya tampan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar.

“Mereka siapa...?” In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw ketika rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga penerima sumbangan.

“Engkau tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itulah puteri ketua Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main dan pria itu adalah suaminya, seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga Cin-ling-pai.”

In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia mengingat-ingat dan akhirnya teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!

“Siapa namanya...?” Dia berbisik lagi.

“Nama siapa? Ah, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan ilmunya mainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!”

Phoa Lee It menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh penghormatan, membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka duduk di tempat kehormatan!

“Huh, menjilat-jilat...!” In Hong berkata lirih tanpa disengaja.

“Hemm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!” Malaikat Copet itu membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah.

“Ke mana kau?”

“Menyerahkan hadiah, kautunggu di sini!” Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong. Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua “dilempar” ke tempat tamu biasa. Dia melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah ia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas!

Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua yang duduk juga di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah.

Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh di Go-bi-san yang terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah agak bongkok, pakaiannya dari sutera serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, wajahnya bengis penuh keriput dan sepasang matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga mata yang cekung, mulutnya seringkali bergerak-gerak seperti orang makan dan bibirnya sudah “nyaprut” karena mulut itu tidak bergigi lagi. Di dekatnya duduk seorang gadis cantik sekali, usianya baru lima belas tahun, berpakaian seperti gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet sehingga amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak berduka yang ditekan-tekankan, dan dia kelihatan takut kepada nenek itu yang memperkenalkannya sebagai muridnya.

“Aihhh... sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang tokoh besar yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah Go-bi Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan? Siauwte sudah menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte, Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menghaturkan selamat datang dan hormat.”

Go-bi Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang hampir tidak tampak bersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit, dia senang juga menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah menyenangkan ini, apalagi ketika mendengar julukannya.

Ehe, kau pencopet? Heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu awas benar dapat mengenal aku.” Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini menjadi lunak hatinya oleh sikap Can Pouw.

Can Pouw menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan kehormatan itu dan sebentar saja In Hong dari jauh melihat dia asyik bercakap-cakap sekali dengan nenek itu, bahkan si gadis Tibet yang cantik manis itupun terbawa-bawa dalam percakapan. In Hong tersenyum di hatinya. Memang dia tahu betapa pandainya “pamannya” tukang copet itu dalam pergaulan, pandai menarik hati orang dan pandai pula bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap, kadang-kadang diseling pencopet itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan sinar mata kagum penuh pujian, bahkan nenek itupun kadang-kadang tersenyum lebar. Juga In Hong melihat betapa mereka itu kadang-kadang melirik ke arah keluarga Cin-ling-pai seolah-olah sedang membicarakan mereka itu.

Setelah lama bercakap-cakap dengan nenek itu yang membuat para tamu lainnya terheran juga mengapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu akrabnya dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke tempatnya dan ketika berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa! Akan tetapi Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia tidak mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang juga tidak terkenal, bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu kehormatan? Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya tamu biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar kesalahan itu dapat dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu yang menganggap bahwa pencopet ini seorang tamu agung?

Ketika duduk kembali dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah sungguh-sungguh Can Pouw berkata, “Wah, ada berita hebat! Kau tahu siapa dara Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu? Dia itu adalah tunangan dari putera ketua Cin-ling-pai!”

“Ehh...?” In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi, seolah-olah dia hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

“Hemm, tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya.”

“Ah, tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya gagah itu dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang sakti di Tibet.”

“Hemm, agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu kau mengenal pula nama puteranya itu.”

“Tentu saja! Tidak percuma aku menyelidiki setelah terjadi peristiwa menggegerkan itu. Namanya adalah Cia Bu Houw dan... eh, kau kenapa?”

“Tidak apa-apa, aku sudah muak mendengar kau bercerita terlalu banyak tentang keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan benar, siapa sih dia?”

“Dia itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-kouw! Kaulihat betapa dia bercakap-cakap dengan akrab tadi denganku? Ha-ha, dia menceritakan segala hal sampai-sampai ketika secara kebetulan dia menemukan gadis Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut, kecantikan yang asli dan khas, pantas saja putera ketua Cin-ling-pai itu tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw, betapa lucu dan anehnya dunia ini!”

In Hong tidak bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang bergelora. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai telah mempunyai pacar! Dia bukan cemburu, hanya merasa terhina. Sudah mempunyai pacar, seorang kekasih gadis Tibet yang cantik manis, tidak malu untuk melamar dia menjadi calon jodoh! Hatinya panas dan dia mulai memandang ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir di situ tidak seperti tadi, penuh kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum mengejek.

Gadis Tibet yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri kepala dusun yang menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tahu-tahu dia bisa datang sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan seorang nenek iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu?

Seperti telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika ditinggal pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua hari setelah pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan diajak pergi ke Lhasa, dipersembahkan kepada seorang pangeran tua.

“Akan tetapi, ayah...” Dia membantah. “Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko untuk tidak membawaku ke Lhasa!”

“Hemm, kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng Lama dan aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa selama dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku boleh melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itupun seorang laki-laki tidak bertanggung jawab. Kalau memang dia cinta kepadamu, mengapa dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?”

Yalima tidak dapat membantah lagi dan dia lari ke kamarnya, menangis sehari penuh, sampai air matanya tidak ada lagi. Dan pada malam hari itu juga, gadis yang sudah terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat meninggalkan rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan menyusul dan mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolongnya!

Yalima adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan, biasa pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya tanpa persiapan, dengan nekat dan dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui daerah-daerah yang liar dan buas, perjalanan yang amat sukar ini, membuat dia mengalami kesengsarean lahir batin yang amat hebat. Dia tidak tahu arah jalan, hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, makan seadanya asal tidak kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan seorang diri saja di dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun di pohon-pohon besar. Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak membawa bekal lain, kecuali tekad bahwa dia akan hidup di samping Cia Bun Houw atau mati terlantar di tengah jalan!

Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak tahu lagi, pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dan pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat gadis itu tidak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya!

“Desss...! Plak-plak-plak...!” Tubuh harimau itu terlempar ke belakang ketika sinar hitam menghantamnya dan bertubi-tubi memukul kepalanya. Seorang nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berada di situ, menggunakan tongkatnya menghalau binatang buas itu. Agaknya harimau itu dapat merasakan pukulan yang amat keras, tahu bahwa nenek hitam itu berbahaya sekali, dan mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar, maka setelah mengaum marah satu kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

“Bangunlah...!” nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima.

Yalima lalu menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan menghaturkan terima kasih dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan Bangsa Tibet.

Nenek itu agak terkejut. “Hemm, engkau pandai berbahasa Han?”

“Nenek yang baik, Houw-koko telah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek, engkau telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku yang sengsara ini...”

Nenek itu adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah seorang wanita lihai yang memiliki kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di dalam sebuah istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw. Go-bi Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar Yap Kun Liong. Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut kesenangan hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat gadis cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi kerinduan besar akan seorang anak seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis Tibet ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata, “Tenangkan hatimu, aku akan menolongmu. Siapakah namamu?”

“Nama saya Yalima, nenek yang baik.”

“Jangan sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak sekarang engkau menjadi muridku. Maukah engkau?”

“Saya akan mentaati semua perintah subo asal subo sudi menolong saya, agar kita dapat mencari Houw-koko.”

“Hemm, kila lihat saja nanti. Sekarang ceritakan siapa itu Houw-koko dan mengapa engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri.”

Yalima lalu menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala dusun dan bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa pemuda itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan meninggalkannya, dan dia akan dipersembahkan kepada pangeren tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat dan ingin mencari pemuda yang dicintanya itu. Semua dituturkannya dengan panjang lebar dan jelas kepada Go-bi Sin-kouw.

Mendengar penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. “Anak bodoh, apakah engkau amat mencintanya?”

“Teecu (murid) mencinta Houw-koko, subo, dan lebih baik mati saja daripada tidak bertemu kembali dengan dia.”

“Anak bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu juga cinta padamu?”

“Teecu yakin sekali, sungguhpun... dia tidak pernah mengatakan dengan mulutnya. Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!”

Melihat kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw mengerutkan dahinya. “Hemmm, betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu? Mengapa seorang pemuda Han berada di Tibet?”

“Dia bukan seorang biasa, subo. Dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama...”

“Haiiiii!!!” Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta Lama ini. Pernah dia bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa itu dan untung dia tidak mati di tangan manusia luar biasa itu (baca Petualan Asmara) dan kini mendengar namanya saja dia sudah merasa gentar. “Mu...muridnya? Dan sekarang ke mana pemuda itu?”

Dia pulang ke Cin-ling-san...”

“Eihhh...!” Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. “Tahukah kau anak siapa dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?”

“Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal...”

“Aahhh...!” Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran. Sampai lama nenek it tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja, dia telah dikunjungi oleh Hek I Sinkouw dan Lima Bayanga Dewa, dimintai bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan kesanggupannya. Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit kalau dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu telah membalik dan tidak mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggauta keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Kini dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, maka dia segera menyatakan setuju untuk membantu.

“Sungguh hal yang amat kebetulan sekali...!” gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu. Betapa kebetulan sekali dia bertemu dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.

Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Apalagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw sehingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu. Namun Yalima menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.

“Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu di depan kakimu!”

Yalima terbelalak kaget. “Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!”

“Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!”

Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tidak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tidak berani menyatakan ketidaksukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, setelah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya.

Dan pada hari itu, dia diajak oleh subonya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal tokoh-tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw karena diapun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa.

Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu ikut bersamaa Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama sekali tidak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali. Seketika timbul kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.

Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru dan In Hong melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya, yang sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu, sedangkan di sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.

Hidangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Untuk sumbangan yang berupa barang biasa saja, para tamu menyambutnya dengan senyum, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.

“Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw...” Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan. Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! Go-bi Sin-kouw mengangguk dan tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya.

Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang memandang dan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kalah kini oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang murah!

“Eihh, kenapa begitu pelit,?” terdengar suara orang.

“Maklumlah, baru habis kecurian hebat!”

“Memang pelit, pedangnyapun pedang-pedangan dari kayu!”

Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi, semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas di mana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang tajam, mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa. “Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!”

Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenal tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.

Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. “Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta, sungguh memalukan kita!”

Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng.

“Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?” seorang diantara mereka berkata.

“Memang kami hanya mengatakan apa adanya!” kata orang kedua.

“Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?” kata orang ketiga.

Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali. “Plok! Plok! Plok!” Tiga orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.

Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. “Harap lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini.” Dan diapun menghadapi para tamu. “Perkara barang sumbangan, harap tidak dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut.”

Cia Giok Keng menahan kemarahannya. “Melihat muka tuan rumah, kuampunkan kalian bertiga!” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya.

In Hong mengerutkan alianya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak den angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.

“Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!” Terdengar pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.

Tepuk sorak gemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah dan terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

“Inilah baru bingkisan namanya!” terdengar orang berteriak.

Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata. “Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?”

In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak ada lagi di tempatnya! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

“Maaf, aku pergi dulu karena... takut!”

In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang yang tidak berapa banyak ia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas peti kayu indah itu dari tangan piauwsu pengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, “Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong, ketahuilah! Benda ini adalah apa yang kusumbangkan, entah bagaimana telah berada di dalam bungkusan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku bisa berada di dalam bungkusannya!”

Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.

Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, “Sejak tadi ketika bungkusan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematian! Kalau tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!”

Sebenarnya, biarpun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tak mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah karena kedukaan dan kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai. Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan tentang malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan ingin mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu. “Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret,” demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan. Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, tentu saja kemarahannya meledak dan dia menyinggung nama Cin-ling-pai tanpa disadarinya untuk mengangkat nama ayahnya.

Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. “Pho-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaanmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannyapun orang-orang rendah!”

“Eh-eh, nanti dulu, toanio!” Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.

Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan. “Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?”

“Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Kalau toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa.”

“Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannyapun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?” Cia Giok Keng yang memang sudah amat marah itu membentak.

“Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?”

“Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!” Bentak Cia Giok Keng yang sebetulnya menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Sejak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya, dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!

Kui Liok menjadi marah. “Toanio terlalu menghina orang! Jangan mengira bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!!”

Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. “Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!”

“Wanita sombong!” Kui Liok membentak dan akan menyerang.

“Tahan...tahan...!” Tiba-tiba Phot Lee It maju dan berdirl di antara mereka. “Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang telah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah.”

“Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di manapun dan kapanpun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!” Sikap dan ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah dan terpaksa dia mundur sambil menggeleng kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas.

“Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!” puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang dan Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang biarpun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Dengan jurus-jurus dari San-in-kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya! Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras dan menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka seperti seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw-pok-ma (Macan
Kelaparan Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan kedua tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.

Namun cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan pada saat jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

“Dess... auukkk...!” Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.

Kini semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sakaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan seperti seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

“Srattttt!” Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia masih merasa terlalu besar namanya untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, maka dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak. “Keluarkan pedangmu!”

Cia Giok Keng tersenyum mengejek. “Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!”

Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun dan dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan. Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan amat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia telah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak. Akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap, Kui Liok sudah menyerang, terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng.

Sampai lima jurus Kui Liok terus meyerang dan selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, ketika Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok. Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada saat perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menamper keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

“Plakkk...!” Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

“Ini makanlah golokmu!” Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri kalau saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangannya, kemudian dengan senyum menghina dia melempar golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

Giok Keng sendiri terkejut bukan main. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.

Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Diapun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu takut kalah karena dia percaya bahwa dia mampu menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah. Betapapun juga, muridnya, Pek Hong In, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang mempunyai hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu dan sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali kalau tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapapun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong In. Maka kini, biarpun tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian setelah dia melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, “Minum ini untuk menolak hawa beracun!”

Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju dan berhadapan dengan Giok Keng. Setelah kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengar In Hong berkata, suaranya dingin, “Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang terbaik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!”

Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. “Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggauta golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!”

In Hong tersenyum. “Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, kiranya orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andaikata dia menukar sumbangan, itu hanyalah sendau guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang.”

“Bagaimanapun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina.”

“Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?”

Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. “Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!”

“Kebenaran dan keadilan siapa?” In Hong mengejek. “Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!”

“Wanita iblis! Kaumaksudkan adikku Cia Bun Houw?”

“Siapa lagi kalau bukan dia?”

Saking marahnya, Giok Keng sampai sukar mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah.

Akhirnya dapat juga dia membentak, “Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!”

“Nah, itulah! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja...”

“Ahhhh, tidak...!” Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, dan dia menonton dengan hati tegang gembira.

“Wuuutt... wirrr...!” Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.

“Pratt!” In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya dan Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi ternyata sekali bertemu dengan jari-jari tangan gadis cantik ini, ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring, “Nona Yap In Hong, tahan dulu...!” Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi ketika melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jerih dan cepat menyelinap keluar dan mengintip dari luar. Akan tetapi ketika melihat betapa In Hong turun tangan membelanya dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding.

In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. “Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja.”

“Nona In Hong, jangan...!” Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.

“Kau... kau... bernama Yap In Hong...?” tanyanya dengan heran.

In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, “Maafkan saya, lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi karena merasa penasaran melibat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk para tamu, lalu ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak mengira bahwa barang-harang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut...”

Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?” Giok Keng menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu.

“Plakkkk! Desss!!”

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main. “Mundurlah, paman Can!” In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar dan pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan lenyap dari situ.

Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang tardesak, maka hal ini dianggapnya amat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya, “Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?” pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu karena dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.

“Benar, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia,” jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin.

Giok Keng melongo, akan tetapi segera dapat menekan keheranannya dan dia membentak, “Dan kau tadi berani bicara bohong terhadap adikku Bun Houw?”

“Hemm, mengapa tidak kautanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?”

“Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?”

In Hong memandang tajam, dan bibirnya melukis senyum mengejek. “Tentu saja aku tahu engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong...”

“Bocah kurang ajar!” Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya dan tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.

“Tahan senjata...!” Lie Kong Tek meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya. “Tidak perlu kita berlarut-larut, apalagi dia bukan orang lain. Mari kita pergi saja.”

Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali ketika dia menyarungkan pedangnya dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata, “Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!” Lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah.

In Hong tidak memperdulikan lagi suami isteri itu, dia menengok den mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat dan meloncat keluar tanpa pamit. Keadaan pesta itu menjadi agak riuh dan bising karena semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar menggegerkan baik fihak golongan hitam maupun golongan putih.

***

“Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!” In Hong menghentikan langkahnya, menengok den melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu.

In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia lalu pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, diapun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu. “Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?” tegurnya dengan suara dingin.

“Heh-heh-he-he-he!” Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah. “Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi juga panjang mulutnya, ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini.”

lanjut ke Jilid 09-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar