Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 33.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 33:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 33 33 “Untuk apa, Anakku? Engkau membutuhkan apa....? Ibumu akan dapat menolongmu, Nak....” “Nah, terima kasih, Ibu. Itulah yang kubutuhkan, yaitu pertolonganmu. Kuharap Ibu suka membantuku dan suka memberi jalan kepadaku agar niat hatiku tercapai.” “Niat hatimu? Apa niat itu? Apakah engkau ingin.... menikah?” Dengan air mata masih berlinang, wanita itu mencoba untuk tersenyum dan memandang wajah puteranya yang tampan. “Bukan. Niat hatiku adalah untuk membunuh Kaisar!” “Eiihhh....!” Wanita itu menahan jeritnya dengan menutupkan tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak dan tangan kanannya mencengkeram lengan puteranya. “Kau.... kau sudah.... gila....!” Pemuda itu melangkah mundur, melepaskan diri dari pegangan tangan ibunya, memandang tajam penuh kemarahan dan rasa penasaran. Akan tetapi suaranya masih perlahan karena dia pun tidak ingin suaranya terdengar oleh orang lain, “Ibu, selain Ayah telah dibunuh oleh Kaisar, juga seluruh pendekar bangsa Han ditindasnya, Siauw-lim-si dibakarnya, rakyat ditindasnya. Dan sekarang Ibu malah bersenang-senang menjadi selir kaisar lalim itu. Ibu, katakanlah sekarang, siapakah di antara kita yang pantas disebut gila?” “Han Beng! Engkau hanya terdorong oleh dendam atas kematian ayahmu....” “Tidak, Ibu. Urusan pribadi hanya urusan kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan seluruh bangsa! Tentu saja aku merasa sakit hati atas kematian Ayah, akan tetapi aku hendak membunuh Kaisar bukan karena itu, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan Kaisar penjajah yang lalim. Dan Ibu, kalau memang Ibu masih mempunyai sedikit jiwa kependekaran seperti mendiang Ayah, Ibu harus membantuku.” “Tapi.... tapi.... berbahaya sekali, Anakku! Kaisar sendiri memiliki kepandaian yang lihai, belum lagi diingat bahwa beliau selalu dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi! Engkau akan tertangkap dan terbunuh sebelum engkau mampu mendekatinya!” “Akan tetapi, aku yakin bahwa sewaktu-waktu Kaisar tentu berdua saja dengan Ibu, di mana tidak ada seorang pun pengawal yang mendekat. Kalau aku tidak mungkin mendekatinya, maka Ibu mudah sekali. Apa sukarnya bagi Ibu untuk menyerang dan membunuhnya sewaktu dia mendekati Ibu?” “Apa kau gila? Aku.... aku adalah selirnya! Isterinya!” “Bagiku bukan! Ibu adalah isteri Ayah yang telah dibunuh Kaisar, Ibu adalah isteri Ayah yang dirampas oleh Kaisar! Ibu adalah wanita Han yang tidak ingin melihat rakyat ditindas oleh Kaisar penjajah lalim!” “Ohhhh.... Anakku...., aku.... aku memang bersalah.... tapi.... tapi tidak tahukah engkau bahwa Ibumu ini hanya seorang wanita? Aku.... cinta padanya, Han Beng.” Pemuda itu merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. “Hemm, kalau begitu, Ibu sudah lupa kepada Ayah, Ibu tidak cinta kepadaku, dan Ibu tidak peduli dengan bangsa sendiri?” “Bukan.... ah, aku cinta padamu, Anakku. Engkau anakku satu-satunya.... akan tetapi ini lain lagi, Han Beng.” “Sudahlah, Ibu. Tidak perlu banyak ribut lagi, kalau ketahuan orang semua usahaku gagal dan kita berdua akan celaka. Ibu tinggal pilih saja sekarang, Ibu lakukan sendiri bunuh Kaisar lalim itu, atau Ibu mencarikan jalan agar aku dapat mendekatinya dan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Kalau Ibu menolak, aku akan mengamuk dan menyerbu ke dalam istana! Mati bukan apa-apa bagiku. Mati sebagai orang gagah jauh lebih berharga daripada hidup sebagai pengkhianat bangsa dan pengecut!” Wajah wanita itu berubah pucat. Pengkhianat dan pengecut! Itulah lontaran dan makian puteranya sendiri kepadanya, walaupun bukan merupakan makian langsung. Dan kalau ia menolak, berarti ia membiarkan puteranya itu mati. Menyerbu istana seorang diri saja tiada bedanya dengan bunuh diri. Dengan muka pucat sekali dan bibir gemetar, pandang mata sayu dan wajah layu, akhirnya wanita ini mengangguk dan berkata lirih, “Baiklah, Han Beng. Akan kulakukan itu!” “Ibu....!” Han Beng berlutut dan menubruk kedua kaki ibunya, dua titik air mata keluar dari sepasang matanya. Dia yakin benar-benar bahwa perbuatan ibunya itu, selain akan membunuh Kaisar, juga bunuh diri. Akan tetapi, dia akan merasa bangga melihat ibunya mati seperti itu daripada melihat ibunya hidup menjadi selir Kaisar laknat yang lalim itu! “Ibu ternyata seorang patriot wanita yang gagah perkasa. Ibu berani mengorbankan nyawa demi bangsa, aku bangga dan terharu sekali, Ibu. Engkau memang Ibuku yang patut dipuja sepanjang masa!” “Engkau keliru, Han Beng. Aku melakukannya sama sekali bukan demi bangsa, bukan demi Ayahmu, bukan demi diriku sendiri, melainkan demi engkau, Anakku. Nah, pergilah.” Ucapan ibunya itu menyadarkan Han Beng dan dia pun bangkit lalu mundur, menatap wajah ibunya yang pucat, menatapnya untuk yang terakhir kali. Memang ada sedikit kekecewaan dalam hatinya bahwa ibunya hendak melakukan pengeroyokan itu bukan demi bangsa, melainkan demi dia. Betapapun juga, yang penting adalah terbunuhnya Kaisar lalim, pikirnya. “Terima kasih, Ibu. Selamat tinggal, selamat berpisah dan ampunkan anakmu.” Wanita itu hanya mengangguk dan Han Beng lalu keluar, disambut oleh dua orang pengawal itu dan diantarkan sampai ke pintu tembusan di mana kembali dia diterima oleh pengawal lain yang mengantarnya sampai ke pintu yang lebih luar. Demnikianlah, akhirnya pemuda ini, setelah melalui penjagaan yang amat ketat, tiba di pintu gerbang istana paling luar dan akhirnya keluarlah dia dari lingkaran istana. Sementara itu, wanita itu berdiri seperti patung lilin. Mukanya pucat dan matanya berlinang air mata. Demi cintanya kepada anaknya, bisik hatinya. Cinta memang sudah menjadi hal yang amat janggal dalam pengertian kita. Demikian banyaknya kata ini telah kita pecah-pecah artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sehingga cinta bahkau menimbulkan banyak kesengsaraan dan malapetaka. Han Beng ingin melihat ibunya menjadi seorang patriot, seorang pahlawan. Pemuda ini lupa bahwa ibunya seorang manusia pula, bahwa ibunya memiliki selera dan cara hidup sendiri, yang mungkin saja berbeda dengan orang lain, berbeda dengan dia. Akan tetapi dia ingin membentuk ibunya menjadi seperti yang diidamkannya, seperti yang dianggap patut menjadi ibunya, yaitu wanita pahlawan! Dia menganggap ini benar, tentu saja. Akan tetapi sebenarnya, di dasar dari hatinya, dia hanya mengejar keinginan hatinya sendiri saja. Dialah yang akan bangga kalau ibunya menjadi pahlawan bangsa! Dialah yang akan merasa bahagia. Apakah ibunya menyukai hal ini? Bukan urusannya! Apakah ibunya berbahagia jika tewas sebagai pahlawan bangsa? Juga sama sekali hal ini dilupakannya. Dianggapnya bahwa secara otomatis ibunya tentu berbahagia pula, seperti dia! Demikian pula wanita itu. Ia mau saja membiarkan dirinya berkorban. Dianggapnya pengorbanannya ini demi cinta kasihnya kepada puteranya. Akan tetapi benarkah demikian? Agaknya hal ini masih harus diselidiki dengan teliti. Kalau dia mencintai puteranya, belum tentu dia membiarkan dirinya diperkosa kemudian menjadi selir dari Kaisar yang telah membunuh suaminya dan hampir juga membunuh puteranya kalau pemuda itu tidak dapat meloloskan diri. Memang, cinta telah menjadi sesuatu yang amat aneh, bahkan kadang-kadang menjadi pendorong perbuatan-perbuatan yang luar biasa kejamnya. Padahal, yang mereka namakan sebagai cinta itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri, perasaan sendiri melalui orang lain. Jadi, orang yang katanya dicinta setengah mati itu hanya dijadikan semacam jembatan saja untuk dapat menyeberang dan memetik kesenangan untuk diri sendiri. Han Beng bersembunyi di kota raja setelah dia keluar dari istana. Dia hendak menanti saat yang amat menegangkan itu. Saat di mana akan diumumkan tentang kematian Kaisar! Mati di tangan ibu kandungnya! Dan saat yang dinanti-nantikan Han Beng itu ternyata tidak terlalu lama. Bahkan pada malam itu juga, Kaisar menjatuhkan pilihan kepada ibu Han Beng untuk melayaninya! Memang Kaisar cukup mencinta wanita ini, seorang wanita bekas pendekar yang bertubuh kuat, tidak seperti para selir lain yang lemah. Kaisar sendiri adalah seorang ahli silat, maka dia merasa memiliki persamaan dengan selirnya ini, dan Kaisar suka sekali mengajak selir ini bercakap-cakap tentang ilmu silat di waktu selir ini diberi giliran untuk melayaninya dalam kamar selama semalam. Dan malam itu, ibu Han Beng berdandan secara istimewa, menambah wangi-wangian pada tubuhnya, dan memasuki kamar Kaisar dengan senyum cerah dan penuh daya pikat sehingga Kaisar semakin terpikat dan menyambutnya dengan pelukan dan ciuman mesra. Mereka bercakap-cakap, bercumbu dan bermain cinta. Lewat tengah malam, ketika Kaisar sedang tidur pulas kelelahan, ibu Han Beng dengan air mata bercucuran lalu menghunjamkan sebatang pisau belati ke dada Kaisar. Tetapi, karena tangan yang memegang pisau itu gemetar dan karena wanita itu menutup matanya karena tidak tega menyaksikan tangannya membunuh pria yang sesungguhnya dicintanya, maka ujung pisau mengenai tulang iga dan meleset, dan Kaisar Yung Ceng yang memiliki tubuh kuat dan kepandaian tinggi itu, seketika sudah terbangun dan otomatis tangannya menghantam dengan sekuatnya. “Desss....!” Pukulan Kaisar itu amat kuatnya, dan tidak dapat dielakkan oleh wanita itu yang memang masih memejamkan kedua matanya sehingga tubuh wanita itu terlempar ke bawah dari pembaringan dan terbanting dalam keadaan kepala retak dan tidak bernyawa lagi! Kaisar cepat memanggil pengawal, mencabut pisau itu dan roboh pingsan. Pisau belati itu tidak menembus jantung atau bagian lain yang penting, akan tetapi ternyata bahwa pisau itu mengandung racun sehingga keadaan Kaisar cukup parah. Luka di dadanya itu membengkak dan para tabib yang merawatnya merasa khawatir sekali. Kaisar sendiri yang sudah sadar sepenuhnya, maklum akan keadaan dirinya, maka mulailah dia mencari-cari dan menanyakan Pangeran Mahkota Kian Liong. Diam-diam Kaisar menyesal semua perbuatannya dan dia tahu benar bahwa malapetaka yang menimpanya malam itu adalah karena perbuatannya sendiri. Dia telah lengah, tidak mengira bahwa di balik senyum manis dan pelayanannya yang amat menyenangkan hatinya dari wanita bekas isteri sahabatnya itu ternyata masih tersembunyi dendam yang demikian mendalam. Ketika dia mendengar laporan bahwa sehari sebelumnya wanita itu menerima kunjungan seorang pemuda yang mengaku sebagai anak selir itu, maklumlah Kaisar bahwa itulah pendorongnya mengapa selirnya yang biasanya amat mencintanya itu tega untuk mencoba membunuhnya. Dan sebagai seorang ahli silat, dia pun yakin bahwa kalau selirnya itu tidak memejamkan mata, tentu tusukan itu akan menewaskannya, dan dia tidak akan berhasil membunuh selirnya dengan sekali pukul saja. Selagi para panglima, menteri dan hulubalang bingung karena tidak ada yang tahu di mana adanya Sang Pangeran, datanglah utusan para patriot yang telah menawan Sang Pangeran! Kaisar Yung Ceng menerima dan mendengarkan surat tuntutan itu dibacakan pembantunya kepadanya. Wajahnya berubah merah, akan tetapi dia menarik napas panjang. Pada saat itu dia tidak dapat banyak bergerak dan tidak bisa turun dari pembaringan, dia tidak dapat berbuat banyak. “Kirim jawaban kepada mereka bahwa aku berjanji akan memenuhi semua tuntutan mereka itu, akan tetapi minta agar Pangeran Kian Liong cepat dibebaskan dan diantar kembali ke istana, karena keadaanku,” perintahnya kepada para petugas. Tentu saja utusan para patriot itu girang bukan main, bukan hanya bahwa mereka tidak dihukum atau dibunuh seperti yang sudah mereka khawatirkan, akan tetapi bahkan menerima janji dari Kaisar yang akan memenuhi semua tuntutan itu. Juga mereka mendengar bahwa Kaisar diserang oleh selirnya sendiri dan nyaris tewas! Maka, mereka cepat kembali ke Cin-an untuk membawa balasan dan janji Kaisar. Entah siapa di antara mereka yang lebih terkejut dan heran ketika pihak tamu dan pihak tuan rumah itu bertemu di ruangan tamu yang luas itu. Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi pemimpin para pendekar patriot di Cin-an itu ternyata adalah Bu Seng Kin sekeluarga, sebaliknya Bu-taihiap juga tidak menyangka bahwa tamu-tamunya yang datang adalah Jenderal Kao Cin Liong dan Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya! Sejenak mereka hanya berdiri bengong saling pandang, lupa untuk saling memberi hormat sebagaimana layaknya tamu dan tuan rumah! Akhirnya, Bu-taihiap yang memang berwatak lincah dan gembira itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, memang tidak salah dikatakan orang bahwa dunia ini tidaklah sebesar yang disangka orang! Tidak kami sangka akan dapat berjumpa di tempat ini dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya yang gagah perkasa!” Kecuali keluarga Bu yang sudah mengenal keluarga Kao ini, para pendekar patriot terkejut setengah mati seperti mendengar suara guntur di hari terang ketika mereka mendengar bahwa tamu itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya bagi mereka seperti nama tokoh dongeng saja dan yang selamanya belum pernah mereka lihat orangnya. Kini semua mata ditujukan kepada pria setengah tua berlengan satu itu bersama isteri dan puteranya, penuh kagum dan juga gentar karena mereka itu belum tahu apa yang diinginkan oleh pendekar sakti sekeluarga ini dengan munculnya di tempat itu dalam keadaan yang amat gawat, yaitu selagi Pangeran Mahkota menjadi tamu agung, juga tawanan mereka. “Kami pun tidak mengira bahwa di sini akan dapat bertemu dengan Bu-taihiap yang ternyata kini mengumpulkan banyak orang-orang gagah!” kata Kao Kok Cu sambil memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh tuan rumah. “Silakan duduk, silakan duduk dan selamat datang!” Setelah mereka semua duduk, Bu-taihiap bertanya, “Keperluan apakah kiranya yang dibawa oleh keluarga Kao yang mulia sehingga mau mendatangi tempat ini?” “Yarg mempunyai kepentingan adalah putera kami, maka biarlah dia yang menjelaskan,” kata pula pendekar itu dengan suara tenang. Cin Liong lalu berkata sambil memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya Hong Bu dan Pek In di situ, “Bu-locianpwe,” katanya hormat. “Saya adalah utusan Kaisar yang sedang mencari seorang bernama Sim Hong Bu, dan karena semalam saya melihat dia memasuki rumah ini, maka saya minta dengan hormat kepada Locianpwe untuk memberitahukan kepada saya di mana adanya dia. Kalau masih berada di sini, hendaknya disuruh keluar menemui kami. Kalau sudah pergi, harap beri tahu ke mana perginya.” Kembali Bu-taihiap tertawa bergelak. Di dalam hatinya, pendekar ini terkejut sekali melihat bahwa jenderal muda ini mencari Sim Hong Bu, dan isterinya, Tang Cun Ciu, yang duduk pula di situ tentu saja mengerti mengapa keluarga Kao mencari Hong Bu, akan tetapi dia diam saja hanya memandang tajam. Bu-taihiap yang masih merasa penasaran karena lamarannya ditolak tempo hari, kini memperoleh kesempatan untuk mengejek. “Ah, sampai hampir lupa aku bahwa aku berhadapan dengan seorang jenderal kaki tangan Kaisar Mancu, juga aku lupa bahwa yang terhormat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir adalah ayah dari jenderal besar antek Kaisar penjajah!” Mendengar ejekan ini, Kao Kok Cu tersenyum saja dengan tenang. Akan tetapi isterinya, Wan Ceng, sudah bangkit berdiri dengan muka merah. “Orang she Bu! Kenapa engkau menjadi tuan rumah yang begini kasar dan kurang ajar? Kalau mau menghina orang dan membawa-bawa keluarga, apakah engkau lupa bahwa yang pura-pura menjadi pimpinan pendekar patriot, akan tetapi di sini mempunyai seorang isteri yang pernah menjadi Panglima Nepal? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah berkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Nepal pula?” Hebat sekali serangan kata-kata Wan Ceng ini. Wajah Bu Seng Kin menjadi merah sekali dan Nandini, Puteri Nepal itu sudah bangkit berdiri dengan marah. “Sudah sepatutnya kalau pihak tamu yang bersopan diri!” bentak wanita ini. “Tamu yang menyerang tuan rumah dengan kata-kata adalah tamu-tamu yang tak tahu diri!” Akan tetapi suaminya sudah memberi isyarat agar ia duduk kembali, dan wanita Nepal itu duduk dengan marah. “Kao-taihiap datang bertiga dan agaknya sudah tahu bahwa kami di sini adalah pendekar-pendekar patriot yang menentang Kaisar Mancu yang lalim. Karena Sam-wi (Kalian Bertiga) merupakan utusan Kaisar, maka kami dapat saja nenganggap Sam-wi sebagai musuh-musuh kita, sebagai antek kaki tangan Kaisar. Kalau kami mengerahkan teman-teman untuk mengeroyok Sam-wi, apakah kalian tidak akan celaka?” “Boleh coba! Siapa takut keroyokan?” tantang Wan Ceng dengan marah sambil bertolak pinggang. Suaminya lalu memegang tangannya dan dengan halus membujuknya untuk duduk kembali. Cin Liong juga membujuk ibunya sehingga akhirnya nyonya yang keras hati ini mau duduk kembali dengan kedua pipi merah dan mulut cemberut, sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. “Harap saja Bu-locianpwe tidak berkata seperti itu. Kalau memang saya bermaksud buruk terhadap Bu-locianpwe dan semua teman, apa sukarnya bagi saya untuk datang bersama pasukan besar untuk menumpas kalian?” “Seperti yang telah dilakukan terhadap Siauw-lim-si?” Bu-taihiap mengejek. “Lihat, di antara ratusan orang murid Siauw-lim-pai, hanya delapan saudara inilah yang dapat lolos,” katanya sambil menunjuk kepada delapan orang laki-laki gagah perkasa yang berdiri di sudut ruangan itu dengan sikap keren. Cin Liong memandang kepada mereka dan berkata, “Saya tidak tahu-menahu akan hal itu dan merasa ikut menyesal dengan terjadinya hal itu. Akan tetapi, kedatangan kami tanpa pasukan hanya untuk menunjukkan bahwa kami tidak bermaksud buruk terhadap Locianpwe dan teman-teman.” “Ha-ha-ha, boleh saja kalau Kao-goanswe (Jenderal Kao) hendak membawa pasukan besar. Hendak kulihat apa yang dapat mereka lakukan kalau kuberi tahu bahwa Pangeran Kian Liong telah berada dalam tahanan kami!” Bukan main kagetnya Kao Cin Liong dan ayah bundanya mendengar ini. Mereka merasa terkejut dan juga khawatir. Dan Cin Liong menghadapi dua hal yang amat penting, yaitu soal merampas kembali pedang Koai-liong Po-kiam dan soal menyelamatkan Pangeran Mahkota. Tentu saja menyelamatkan Pangeran lebih penting. Hal ini juga diketahui oleh Kao Kok Cu. Maka pendekar ini lalu berkata dengan suaranya yang tenang sekali. “Bu-taihiap, urusan putera kami berkenaan dengan perintah Kaisar memang adalah urusannya sendiri, akan tetapi kalau sudah menyangkut diri Pangeran Mahkota, mau tidak mau aku pun terpaksa harus melibatkan diri. Siapa pun orangnya yang hendak mengganggu pribadi Pangeran Kian Liong, akan kuhadapi sebagai lawan! Nah, kami bertiga sudah berada di sini, dan kami bertiga siap mempertaruhkan nyawa kami demi melindungi keselamatan Sang Pangeran! Kalau kalian semua yang mengaku orang-orang gagah dan pendekar-pendekar hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kelaliman Kaisar, maka kalian adalah orang-orang licik dan curang. Kami bertiga menantang untuk mengadu ilmu, guna memperebutkan Pangeran!” Bu-taihiap menjadi marah mendengar ini. Memang dia pun ingin membalas penghinaan tempo hari karena lamarannya ditolak. Akan tetapi, sebagai seorang pendekar besar dia pun tidak sudi untuk melakukan pengeroyokan. Nandini, Puteri Nepal yang merasa sakit hati karena penolakan lamaran tempo hari, kini mendengar pula penghinaan yang ditujukan kepada dirinya, sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dalam hal kekerasan hati, wanita ini tidak kalah oleh Wan Ceng, maka ia pun sudah bangkit berdiri lagi. “Bagus! Tamu menantang tuan rumah, sungguh merupakan kekurangajaran yang memuncak. Akulah yang akan maju lebih dulu melawan keluarga Kao yang sombong dan tinggi hati!” Berkata demikian, wanita Nepal ini telah mencabut pedang dan berdiri tegak, sinar matanya tertuju kepada Wan Ceng maka jelaslah oleh siapa pun juga bahwa wanita ini menantang isteri Naga Sakti Gurun Pasir! Tentu saja Wan Ceng merasa bahwa dirinya ditantang, maka ia pun meloncat bangun dan membentak, “Siapa sih takut melawan perempuan Nepal, panglima yang sudah jatuh dan kini menjadi selir orang?” Semua orang yang berada di situ maklum bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dihindarkan lagi, maka mereka mundur sambil menarik bangku masing-masing, memberi tempat yang luas bagi mereka yang hendak berlaga. Kao Kok Cu dan Bu Seng Kin tidak dapat melarang isteri masing-masing. Pula, mereka yang akan berlaga adalah wanita lawan wanita dan masing-masing percaya akan kelihaian isteri mereka, dan perkelahian dilakukan dengan satu lawan satu, maka sebagai orang-orang gagah mereka merasa malu untuk melarang. Wan Ceng tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia pun mencabut pedangnya yang begitu dicabut, membuat semua orang merasa serem. Pedang itu adalah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang hawanya saja sudah terasa oleh semua orang, hawa yang mengerikan. “Hemm, engkau menantang sambil mencabut pedang, berarti engkau sudah bosan hidup!” kata Wan Ceng sambil melintangkan pedang di depan dada. “Mulailah!” “Isteriku, jangan sampai membunuh orang!” tiba-tiba terdengar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir berkata dengan halus kepada isterinya. Wan Ceng menoleh kepada suaminya, melihat sepasang mata suaminya memandangnya penuh teguran. Ia pun tersenyum, mengangguk dan menoleh lagi kepada Nandini sambil berkata, “Untung bagimu, suamiku melarangku membunuhmu.” Ucapan terakhir ini merupakan kata-kata yang oleh Nandini diterima sebagai kesombongan yang melampaui batas dan amat menghina. Ia adalah seorang bekas panglima yang tentu saja menganggap kematian dalam pertempuran sebagai hal yang sudah wajar dan tidak perlu ditakuti, akan tetapi calon lawannya begitu memandang ringan kepadanya, seolah sudah memastikan bahwa ia akan kalah! “Tak perlu banyak cerewet, bersiaplah untuk mampus!” pedangnya menyambar ganas dan wanita Nepal ini sudah menerjang dengan dahsyat. Wanita ini jauh lebih tinggi daripada Wan Ceng dan memiliki tenaga besar, dan karena hatinya marah sekali, maka begitu menerjang ia telah melakukan serangkaian serangan yang bertubi-tubi. Wan Ceng memutar Ban-tok-kiam dan menangkis atau mengelak dari semua serangan itu, diam-diam memperhatikan gaya ilmu pedang lawan yang ternyata tidaklah lemah. Dan memang Nandini selama ini memperoleh petunjuk dari suaminya sehingga ilmu pedangnya memperoleh kemajuan pesat. Betapapun juga, yang dilawannya adalah Wan Ceng, seorang wanita yang selain memiliki tenaga sin-kang yang hebat berkat anak ular naga yang pernah dimakannya (baca ceritaSepasang Rajawali), juga ia mempelajari banyak macam ilmu dan akhirnya menerima petunjuk dari suaminya yang sakti. Maka, menghadapi Wan Ceng, Nandini masih kalah setingkat, lebih dari itu, pedang di tangan Wan Ceng adalah pedang Ban-tok-kiam yang menggiriskan. Baru hawa pedang saja kalau menyambar mendatangkan rasa dingin dan perih, dan kalau sampai mengenai kulit lawan, amatlah berbahaya karena tanpa adanya obat penawar dari Wan Ceng, nyawa lawan sukar tertolong lagi! Agaknya Nandini mengenal pedang ampuh dan berbahaya, maka ia pun memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya agar jangan sampai terluka pedang lawan. Kao Kok Cu yang melihat betapa isterinya masih lebih tinggi ilmunya, merasa khawatir kalau-kalau pihak lawan akan terluka oleh Ban-tok-kiam, maka dia meneriaki isterinya, “Isteriku, jangan menggunakan Ban-tok-kiam!” Mendengar kata-kata ini, Wan Ceng tertawa lalu menyimpan kembali pedangnya. Melihat ini, Nandini juga menghentikan serangan pedangnya. Ia tidak mau menyerang lawan yang sudah menyimpan senjatanya. Hal ini saja sudah membuat berkurang kebencian dari hati Wan Ceng. Kiranya wanita Nepal ini memiliki watak yang gagah pula, pikirnya kagum. Ia tadi mentaati suaminya bukan karena ia takut kepada suaminya. Sama sekali tidak, bahkan terlalu sering ia membantah sampai membuat suaminya kadang-kadang pusing. Akan tetapi ia kini menurut karena dengan perbuatan itu seolah-olah ia telah menang angin dan “mengampuni” lawan. Kini ia tersenyum dan mengeluarkan dua buah pisau belati dari pinggangnya. Inilah sepasang senjatanya yang amat diandalkan ketika ia masih gadis dahulu. Sepasang belati ini sama sekali tidak beracun, dan memang inilah yang dikehendaki oleh suaminya. Kalau hanya menghadapi Nandini dengan kedua tangan kosong, amatlah berbahaya bagi Wan Ceng, akan tetapi dengan senjata sepasang belati ini, Kao Kok Cu dapat menilai bahwa isterinya takkan kalah, dan kalau sampai isterinya melukai lawan sekalipun, maka luka dengan belati jauh lebih ringan kalau dibandingkan dengan luka karena Ban-tok-kiam. Melihat Wan Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan nyaring dan sudah menyerang lebih ganas daripada tadi. Wanita ini semakin penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya. Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata. Dia mengenal pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya. Betapapun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaiannya sendiri. Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andaikata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang. Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Biarpun kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng “mengunci” pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan. Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak. Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak. “Siok Lan, mundur kau!” Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya. Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkarn rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja. Berbeda dengan Tang Cun Ciu, mendengar bahwa keluarga itu datang untuk juga mengejar Sim Hong Bu dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, ia sebagai pencuri pedang itu dari istana merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka sekali meloncat ia sudah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng. “Biarlah aku yang melawan pengacau!” teriaknya. Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek. “Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekalipun, siapa takut?” Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, akan tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa, “Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!” Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur! “Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya. Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya. Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawannya yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana! Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biarpun pernuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dengan gerakan yang halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh. “Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya. Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tidak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biarpun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya. Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak, “Lihat senjata!” Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya. “Tranggg....!” Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sin-kang yang kuat. Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga melainkan kecepatannya. Pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin Liong. Pemuda ini sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan maupun dengan pengelakan. Dan biarpun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya dengan satu kali saja serangan, namun serangannya amat kuat dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biarpun demikian tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang. Semua orang yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, akan tetapi menyaksikan perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong. Hanya pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Mereka berdua ini tahu benar bahwa sesungguhnya, nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong! Dalam mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan gin-kang atau keringanan tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata memiliki gin-kang yang tidak kalah hebatnya. Biarpun ilmu pedang nyonya itu istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali. Perkelahian ini jauh lebih menegangkan daripada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi, mengikuti gerakan kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang, melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak! Akan tetapi Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapapun lihainya, agaknya tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diamdiam dia menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti itu sendiri! Hal ini bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera. Ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh ditinggalkan lebih dulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu! Kita tidak dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Memang kenyataannya pun demikianlah. Semenjak jaman dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan kelicikan. Semenjak jaman dahulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan segala daya upayanya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat dan memperbesar kekuasa-annya. Dan untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan anjuran-anjuran yang muluk-muluk. Tentang kepahlawanan, tentang sucinya perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi mereka yang mau berjuang alias menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apapun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung! Betapa anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang diperhalus dengan sebutan perjuangan,dan sebagainya, yang pada hakekatnya hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam perjuangan itu pun dihalalkan. Membunuh seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum seberat-beratnya. Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji, bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara! Apakah benar bahwa suatu tujuan, apapun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni? Dapatkah tujuan terlepas daripada sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara itu terkandung pula si tujuan? Benarkah jalan penipuan, kebencian, pembu- nuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang luhur dan suci? Pertanyaan-pertanyaan ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka, untuk kita pergunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri belaka. Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, tiba-tiba Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang amat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, melainkan seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya! Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk melawan dan menahan serangan melalui khi-kang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khi-kang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya. Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh! Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan “simpanan” terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini! Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan juga, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir. “Cringgg.... desss....!” Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Dan pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuhkalau iatidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja. Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana! Biarpun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar! Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah. Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya! Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata, “Harap maafkan saya....”Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit! “Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!” Dia sengaja menyebut keluarga Kao, karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan! Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, lalu menjura dengan hormat. “Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapapun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.” Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu! “Kao-goanswe, bukan kami tidak meihat kenyataan itu, akan tetapi kami juga mengharapkan pengertian dari keluarga Kao yang terhormat bahwa kami memperjuangkan tuntutan rakyat. Kami sendiri menghormat dan mengagumi Pangeran, bahkan juga menyayanginya sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik. Akan tetapi kami tidak melihat cara lain untuk memaksakan tuntutan kami agar dipenuhi oleh Kaisar kecuali melalui penahanan diri Pangeran. Oleh karena itu, kami pun, demi perjuangan, rela untuk mengorbankan nyawa. Kami, biarpun bodoh, tidak dapat membenarkan sikap keluarga Kao yang kami hormati sebagai keluarga gagah perkasa itu, ialah untuk menjadi anjing penjilat Kaisar!” “Bu-locianpwe!” Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu. “Cin Liong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan duduk di dekat ibunya. Kini puncak pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walaupun keduanya jarang terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan, saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon lawan yang saling berhadapan! Hanya pada wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biarpun juga tampan dan terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan rasa segan dan jerih bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas. “Bu-taihiap, sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu, di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai panglima-panglima perang. Kalau sekarang puteraku, sebagai keturunan mereka, menjadi seorang Panglima pula, hal itu bukan berarti bahwa keluarga Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang menjadi pemberontak!” Bu-taihiap memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya mengandung ejekan. “Memang kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim, terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang agung dan suci!” “Dan dengan beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah kerajaan?” “Memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar lalim, mengacaukan sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar memperlakukan kami dengan baik!” “Dan akibatnya Kaisar membalas dendam kepada rakyat yang dianggap pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?” “Apa? Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?” Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran. Kao Kok Cu menjawab tenang, “Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?” “Tapi, kalau kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....” “Aku tahu,” kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari perbuatan kita, yang akan menimpa orang-orang tak berdosa, seperti yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!” Kao Kok Cu bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng telah menyeleweng daripada kebenaran, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Akan tetapi, dia menganggap bahwa semua usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.Hening sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi, yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran. Bu Seng Kin juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagaimanapun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun kembali biara Siauw-lim, membebaskan semua pendekar patriot daripada pengejaran dan lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka? “Kao-taihiap, terserah apapun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang tuntutan kami.” “Bagus, kalau begitu marilah kita pertaruhkan Pangeran dalam pertandingan antara kita. Kalau aku kalah olehmu, kami akan pergi dari sini tanpa banyak bicara lagi, sebaliknya kalau engkau suka mengalah, engkau harus serahkan Pangeran kepada kami.” “Terserah apa yang hendak kaulakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau engkau menantangku, Kao-taihiap, biarpun aku sadar akan kebodohanku sendiri dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!” “Baik Bu Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil melangkah maju mendekat. “Akulah yang minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda. Semua orang memandang dengan penuh perhatian, dengan hati berdebar karena tegang. Mereka memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap. Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki, kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak, tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan! Bu-taihiap terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti. Maka dia pun lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat, berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan, yaitu ular atau naga. itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang aselinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi Kim-sin Ho-kun yang amat hebat. Demikian hebatnya ilmnu ini sehingga tidak ada seorang pun di antara isterinya yang mampu menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja. Akan tetapi, Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna. Ujung jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu, dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sin-kang yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan. Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan “menggigit”, yaitu dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat! Saking kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya. Melihat gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu kini terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking. Melihat lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring, “Kao-taihiap, lihat serangan!” Bu-taihiap menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah kepala dan dada. Terdengar angin menyambar ketika kedua tangan itu menyambar dan tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu, dengan menyeret kaki belakang ke depan menyambut serangan lawan. “Plak! Dessss....!” paruh kanan Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut oleh telapak tangan Kao Kok Cu. Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu! “Bu-taihiap, awas seranganku!” Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak dan tubuhnya juga meluncur ke depan, tiba-tiba sampai di depan lawan tubuhnya membalik dengan putaran kakinya, lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan. Bukan main hebatnya serangan ini, karena ini adalah serangan dari Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu mengandung hawa panas! Bu Seng Kin juga terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak, melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sekuatnya. “Dukk! Dessss....!” Kembali keduanya terdorong ke belakang, akan tetapi kalau Kao Kok Cu hanya terdorong dua langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya! Sudah cukup bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biarpun tidak banyak selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat dalam hal kekuatan sin-kang. Kalau dia terus mengandalkan sin-kangnya mengadu kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan lawan itu tidak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya. Maka dia pun lalu menerjang ke depan, sekali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan dada.Akan tetapi, Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar di atas tanah menanti serbuan burung dari atas, ular atau naga itu bersikap tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun! Kao Kok Cu tidak menyerang lebih dulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan, barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biarpun Bu-taihiap nampaknya lebih sibuk dengan serangan-serangannya, namun sesungguhnya dialah yang terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau naga di bawah. “Wut-wut-wut-wuttt....!” Tiba-tiba Butaihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar. “Wir.... syuuut-syuutttt....!” Kao Kok Cu mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi satu! “Plak! Dukk!” Mereka terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah “tersentuh” ujung lengan baju yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi. Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat, setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas lagi, dielakkan dan menerima balasan. Begitu cepat dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bum! Namun, kini mulaik tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur dan wajahnya penuh keringat, dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja. Perkelahian itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu membentak, “Jangan bunuh ayahku!” Kao Kok Cu kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya! Bukan main cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khi-kang yang terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas! Gadis ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki sin-kang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang berlawanan dalam satu serangan! Belum pernah pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan “Bagus sekali....!” dan cepat-cepat dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju. Sementara itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran itu dan berseru keras, “Ci Sian, Jangan serang ayahku!” Karena Cin Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong! Tentu saja Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya, dan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat! “Plak! Dukk!” Karena tidak mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain dingin seperti es! Dan hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, menggunakan sulingnya sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh amat berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu. Sedangkan Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu! Tentu saja peristiwa ini mengejutkan semua orang. Terutama sekali melihat betapa dara yang memegang suling itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya dan suling yang dipakainya sebagai senjata itu selain menjadi sinar kuning emas yang bergulung-gulung, juga mengeluarkan bunyi seperti dimainkan dan ditiup oleh mulut yang pandai saja! Selagi semua orang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara halus namun amat berwibawa, “Harap Cu-wi hentikan semua pertempuran bodoh ini!” Suara itu mengandung teguran dan penyesalan dan semua orang memang terkejut sekali karena yang bersuara itu bukan lain adalah Pangeran Kian Liong sendiri! Akan tetapi Pangeran itu tidak sendirian, karena di belakangnya berdiri seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap tenang, dan pemuda itu berkata pula, “Sumoi, harap mundur dan jangan berkelahi!” Melihat munculnya Sang Pangeran, Kao Kok Cu dan Kao Cin Liong cepat melompat mundur dan menghampiri Pangeran itu. Pangeran Kian Liong adalah sahabat baik Cin Liong dan memang sejak dahulu Pangeran ini amat suka kepada pemuda itu, maka dia lalu mendekat. Ketika Cin Liong hendak memberi hormat, Sang Pangeran memegang lengannya dan berkata, “Jenderal Muda yang gagah! Kiranya engkau telah datang pula, apakah sengaja mencariku?” “Tldak, Pangeran, hamba mendengar Paduka di sini hanya kebetulan saja. Hamba sedang mencari Sim Hong Bu untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang dicuri orang, dan hamba dibantu oleh ayah dan ibu hamba.” “Ah, kalau Naga Sakti Gurun Pasir yang turun tangan, segalanya tentu beres!” kata Sang Pangeran dengan gembira. Kemudian Pangeran itu menghadapi Bu-taihiap yang masih bingung melihat munculnya Pangeran itu secara tiba-tiba dan dia merasa ragu-ragu untuk memerintahkan teman-temannya mempergunakan kekerasan. “Bu-taihiap, harap jangan heran kalau aku telah dibebaskan oleh pendekar sakti ini.” katanya sambil menunjuk kepada Kam Hong. “Para pendekar yang menjagaku sama sekali bukan lawannya, dan dalam segebrakan saja mereka semua telah roboh dan pingsan. Apalagi dia datang bersama sumoinya, Nona Bu Ci Sian yang selalu melindungiku, dan biarpun Nona ini puterimu, namun kurasa tidak sependapat denganmu dalam hal perjuangan dan pemberontakan. Dan di sini kulihat ada Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa, dengan ayah bundanya yang lebih perkasa lagi, maka kiranya kalian para pendekar tidak akan mampu menahanku lagi.”Bu Seng Kin memandang kepada Kam Hong. Jadi pemuda ini suheng dari puterinya? Dia tadi sudah terheran-heran karena biarpun hanya beberapa gebrakan saja, dia sempat menyaksikan puterinya yang menyerang Naga Sakti Gurun Pasir, kemudian menyerang jenderal muda itu! Dan melihat bahwa puterinya itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat “Bu-locianpwe,” kata Cin Liong yang merasa tidak enak melihat keadaan pemimpin para patriot itu, apalagi tadi dia melihat betapa Ci Sian membantu pendekar itu. Kalau sampai terjadi pertempuran lagi, sungguh dia tidak sanggup untuk melawan Ci Sian, bukan jerih oleh keahlian dara itu, melainkan tidak sampai hati untuk berkelahi melawan gadis ini. Setelah dia bertanding beberapa gebrakan saja, tiba-tiba Cin Liong melihat kenyataan yang membuatnya terkejut setengah mati, yaitu bahwa selama ini dia tidak pernah dapat melupakan dara ini, dan baru sekarang terasa olehnya bahwa sebetulnya sejak dahulu, sejak pertemuan di antara mereka dalam benteng pasukan Nepal, dia telah jatuh hati kepada Ci Sian! “Seperti telah saya katakan tadi, kedatangan kami bertiga adalah untuk mencari Sim Hong Bu yang kami tahu berada di sini. Kami membawa perintah Sri Baginda Kaisar untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang telah dicuri dan kini berada di tangannya. Kami bukan datang untuk memusuhi para pendekar. Hanya karena kebetulan saja kami tahu tentang Pangeran dan setelah beliau sekarang bebas, maka saya ingin mengulang permintaan saya, yaitu agar orang yang bernama Sim Hong Bu suka keluar dan berhadapan dengan saya.” Bu-taihiap tersenyum pahit. Dia dan kawan-kawannya telah gagal. Mereka, para patriot itu, tentu saja hanya dapat melakukan penahanan terhadap diri Sang Pangeran dengan rahasia saja, dan setelah sekarang Pangeran itu lolos, tak mungkin mempergunakan kekerasan, karena tentu mereka akan dihadapi pasukan besar yang akan membasmi mereka dalam waktu singkat. “Jenderal Kao, kaucarilah sendiri pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu.” dari dalam terdengar suara wanita, “Suheng, jangan....!” Lalu muncullah seorang pemuda yang gagah, diikuti oleh seorang dara berpakaian wanita yang kelihatan gelisah sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Sim Hong Bu! Dia dan Pek In memang disuruh menyembunyikan diri dan jangan memperlihatkan diri ketika keluarga Kao datang berkunjung. Akan tetapi ketika mendengar percakapan tentang dirinya, Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya lagi dan biarpun dicegah oleh Pek In yang merasa khawatir, dia tetap saja nekad keluar. Semua orang memandang kepadanya, dan dengan sikap tenang Sim Hong Bu menghadap Bu-taihiap dan menjura, lalu berkata dengan suara penuh penyesalan, “Bu-locianpwe, sungguh saya menyesal sekali karena kedatangan saya di sini hanya menimbulkan kegagalan dan kerugian saja bagi para saudara yang perkasa. Kalau saya tidak datang ke sini, tentu tidak akan terjadi keluarga Kao menyusul ke sini. Oleh karena itu, biarlah saya menghadapi mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh pribadi saya!” Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu menghadapi Kao Cin Liong dan juga Kam Hong. “Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kao Cin Liong, tidak kupungkiri bahwa akulah pewaris Koai-liong Po-kiam dan pedang pusaka ini adalah hak milik nenek moyang guruku. Kalau engkau menjadi utusan Kaisar untuk merampas kembali pedang ini, majulah! Pedang ini hanya dapat diambil orang lain melalui mayatku saja!” Dan sebelum Kao Cin Liong menjawab, Sim Hong Bu juga berkata kepada Kam Hong dengan lebih dulu menjura, “Kam-taihiap, aku merasa menyesal sekali untuk menyatakan ini, akan tetapi karena Tai-hiap juga sudah berada di sini, biarlah sekalian kusampaikan bahwa aku melaksanakan pesan guruku bahwa kalau aku bertemu denganmu, aku harus menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dengan Kim-siauw Kiam-sut melawan Pedang Naga Siluman dengan Koai-liong Kiam-sutnya. Dan karena urusan antara kita hanyalah urusan siapa yang lebih unggul dan pertandingan dapat dilakukan secara persahabatan, maka biarlah aku akan menandingi dulu suling emasmu sebelum aku harus mempertaruhkan pedang pusaka ini dengan nyawaku,” setelah berkata demikian, nampak sinar berkelebat dibarengi suara melengking nyaring sekali seperti suling ditiup dan tahu-tahu pemuda itu telah memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan mengerikan dan sinar kebiruan masih terbayang di dalam pandangan mata semua orang, padahal sinar yang tadi berkelebat itu telah lenyap karena pedang itu kini tidak digerakkan, melainkan melintang di depan dada Sim Hong Bu. Seperti juga Cin Liong, Kam Hong tertegun dan kagum melihat sikap Sim Hong Bu. Sejak pertemuan pertama dia memang suka dan kagum kepada Sim Hong Bu dan dia pun sudah menyaksikan kehebatan ilmu pedang pemuda ini ketika bersama dengan Ci Sian, Hong Bu mengalahkan Hek-i Mo-ong. Diam-diam, dia malah tadinya mengharapkan perjodohan antara Sim Hong Bu dan Ci Sian, yang dianggapnya sebagai pasangan yang cocok sekali. Akan tetapi, pemuda itu kini berhadapan dengan dia sebagai wakil keluarga Cu yang hendak menuntut balas atas kekalahan mereka! Cin Liong sendiri juga meragu. Dia pun sejak mendengar akan riwayat pedang pusaka itu, merasa betapa beratnya tugas yang dipikulnya, bukan berat karena berhadapan dengan lawan yang tangguh, melainkan merasa berat karena sebetulnya hatinya condong untuk mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya yang syah, yaitu keluarga Cu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, pedang itu telah dicuri dari istana dan sudah sepantasnya kalau dikembalikan ke tempatnya. Selagi Cin Liong dan Kam Hong tertegun dan merasa ragu-ragu dan menyesal bahwa mereka harus menghadapi pemuda gagah perkasa itu sebagai lawan tanpa ada urusan pribadi, kesemuanya hanya karena ikatan tugas belaka, tiba-tiba terdengar bentakan Ci Sian dan nampak sinar kuning emas menyambar dan langsung menyerang ke arah Sim Hong Bu. “Tring-trang-cringggg....!” Tiga kali suling emas itu bertemu dengan pedang Naga Siluman dan nampak bunga api berpijar. Hong Bu terkejut bukan main dan cepat meloncat ke belakang. “Nanti dulu...., Ci Sian.... aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu!” “Tidak, ya? Engkau adalah jagoan yang mewakili Pedang Naga Siluman, dan akulah yang mewakili suhengku, mewakili Suling Emas! Hayoh, tidak usah banyak cerewet. Selagi di sini berkumpul banyak Locianpwe, banyak pendekar yang gagah perkasa, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dan Pedang Naga Siluman!” Dan Ci Sian sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya. Kam Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia memandang sambil tersenyum ketika melihat tarikan muka pemuda itu yang menjadi kebingungan sekali! Kembali amat jelas nampak oleh pendekar ini bahwa pemuda yang gagah perkasa itu sungguh mencinta sumoinya! Menghadapi serangan dara yang dicintanya itu agaknya merupakan hal yang paling membingungkan dan menggelisahkan hati Sim Hong Bu. Beberapa kali pedangnya menangkis dan berkali-kali dia minta kepada Ci Sian untuk menghentikan serangannya. Akan tetapi Ci Sian nekat terus dan rendesak terus, suling emasnya mengeluarkan suara menjerit-jerit seperti ditiup oleh orang yang sedang marah! “Ci Sian.... dengar.... jangan....!” Hong Bu berkali-kali berteriak untuk mencegah dara itu, akan tetapi Ci Sian sungguh terlampau marah untuk dapat ditahan lagi. Sulingnya menyerang semakin ganas dan bunyi lengking sulingnya makin hebat. Semua orang yang menyaksikan gerakan suling ini bergidik ngeri dan para Locianpwe yang berada di situ juga menjadi bengong dan kagum sekali. Bahkan Pendekar Sakti Gurun Pasir sendiri mengamati semua gerakan itu dengan sinar mata berkilat saking gembiranya karena baru sekali ini pendekar sakti itu melihat suatu ilmu yang benar-benar hebat luar biasa. Kalau sampai seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir ini tercengang kekaguman, maka apalagai para pendekar lain yang hadir di situ. Bu-taihiap sendiri memandang dengan wajah berseri-seri walaupun tadinya dia terkejut dan terheran-heran, juga bingung melihat watak puterinya yang membolak-balik seperti angin itu, tadinya membantunya dan kini malah menyerang Sim Hong Bu! Akan tetapi semua keheranannya itu ditelen oleh rasa kagum menyaksikan ilmu silat dengan suling yang demikian hebatnya. Dia malah terpengaruh juga oleh getaran tenaga khi-kang yang terbawa oleh suara suling! Yang bingung adalah Hong Bu sendiri. Tentu saja, biarpun dia tahu bahwa dara itu amat lihai, dia tidak takut dan dapat menandinginya. Akan tetapi, mana mungkin dia menghadapi dara ini sebagai lawan? Dia mencinta Ci Sian! Dia rela mati untuk dara ini! Bagaimana dia dapat mengangkat pedang untuk melawannya, melukainya atau bahkan membunuhnya? Lebih baik dia yang mati. Dengan hati yang perih seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan bingung sekali, setelah beberapa kali menangkis dan mengelak, Sim Hong Bu tiba-tiba meloncat dan melarikan diri secepatnya dari tempat itu! “Ke mana engkau hendak lari?” bentak Ci Sian yang hendak mengejarnya, akan tetapi suara Kam Hong lebih cepat lagi. “Sumoi, jangan kejar dia!” Suara Kam Hong rnerupakan satu-satunya suara di dunia ini yang mempunyai pengaruh besar bagi Ci Sian. Biarpun belum tentu ia selalu taat, akan tetapi setidaknya, suara Kam Hong selalu diperhatikannya dan sekali ini ia pun berhenti dan tidak melanjutkan pengejarannya. Melihat larinya Sim Hong Bu, Cin Liong khawatir kalau-kalau pemuda itu lenyap dan pedang pusaka itu tidak berhasil dirampasnya kembali. “Ayah, harap suka lindungi Sang Pangeran, aku hendak mengejarnya!” katanya dan tanpa menanti jawaban ayahnya, pemuda ini sudah berkelebat lenyap untuk mengejar Sim Hong Bu. Keadaan menjadi agak tegang dan suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu setelah apa yang terjadi tadi. “Ah, betapa sayangnya melihat para pendekar yang gagah perkasa kini bersikap seperti anak-anak kecil yang memperebutkan mainan, saling serang untuk saling membunuh. Betapa menyedihkan!” Pangeran Kian Liong berkata sambil menggeleng-geleng kepala. Mendengar ucapan ini, Bu Seng Kin cepat menjawab dengan suara mengandung penasaran. “Pangeran, kami adalah pejuang-pejuang rakyat yang tertindas sebagai akibat kesewenang-wenangan Kaisar. Juga kami membela rekan-rekan kami para pendekar yang dikejar, dibunuh dan hendak dibasmi oleh Kaisar, seperti halnya sahabat-sahabat dari Siauw-lim-pai. Kami sama sekali tidak hendak memperebutkan sesuatu, melainkan minta agar kami diperlakukan dengan baik sebagai manusia, sebagai rakyat yang memiliki tanah air ini!” Jawaban yang bersemangat itu membuat para pendekar yang berada di situ mengangkat dada dan sinar mata mereka pun menjadi berapi penuh semangat. “Tapi, siapa pun yang hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai dosa apapun dalam urusan Kaisar itu, akan kuhadapi dengan sulingku!” Ci Sian berkata, suaranya juga tegas dan nyaring, dan suling emas itu dilintangkan di depan dadanya. Bu-taihiap memandang kepada gadis ini dengan alis berkerut. “Ci Sian, sungguh mati kami bingung sekali melihat sikapmu. Siapakah yang engkau bela? Tadi, aku melihat engkau sebagai seorang puteriku yang gagah perkasa dan berbakti, yang membantuku ketika aku terdesak oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, kemudian engkau bahkan melawan dan menyerang Sim Hong Bu yang berdiri di pihak kami sebagai seorang pendekar patriot! Dan sekarang pula, engkau hendak membantuku membela Sang Pangeran. Bagaimanakah ini dan di pihak siapakah engkau sesungguhnya berdiri?” “Aku tidak memihak siapapun juga. Aku bebas dan hanya berpihak kepada kebenaran. Kalau tadi aku membantumu adalah karena mengingat bahwa engkau adalah ayah kandungku, biarpun aku sama sekali tidak menyukai kenyataan itu! Dan aku melawan Sim Hong Bu karena dia menantang Ilmu Suling Emas! Kini aku membela Sang Pangeran karena beliau adalah seorang yang bijaksana dan sama sekali tidak bersalah!” “Hemm, Ci Sian, sesungguhnya di manakah engkau berdiri? Apakah engkau seorang pendekar yang berjiwa patriot dan membela tanah air dan bangsa daripada penindasan, ataukah engkau hendak menjadi seorang pengkhianat bangsa dan menjadi antek dari Kaisar penjajah?” Kini wajah Ci Sian menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi! “Biarpun engkau ayah kandungku, jangan harap untuk dapat memberi kuliah kepadaku! Tengoklah diri sendiri! Seorang di antara isterimu adalah bekas panglima Nepal! Apakah ia pun seorang pecinta rakyat dan anah air kita? Aku tidak peduli tentang urusan perebutan kedudukan. Aku bukan pengkhianat siapa-siapa dan juga bukan pemberontak.” Pangeran Kian Liong melangkah maju. “Ah, cukuplah kiranya percekcokan ini. Nona Bu, aku telah mengenalmu sebagai seorang dara yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Apapun juga pandanganmu terhadap ayah kandungmu, tidak baiklah kalau membenci orang tua sendiri. Sekarang, Bu-taihiap, dengarlah baik-baik. Tidak perlu diributkan lagi mengenai diriku, dan hentikan semua pertikaian yang tiada artinya ini. Aku berjanji, kalian semua yang hadir di sini menjadi saksi, bahwa aku akan memperjuangkan semua tuntutan kalian itu kepada ayahku, Sri Baginda Kaisar. Biarpun aku tidak menjadi tawanan di sini, biarpun aku tidak menjadi sandera, akan tetapi aku berjanji bahwa aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan itu kepada Kaisar dan aku kira semua tuntutan itu akan dikabulkan.” Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Biarpun mereka semua masih berada di dalam sarang para pendekar patriot, akan tetapi keadaan sungguh tidak menguntungkan dirinya. Sekarang Pangeran telah mempunyai banyak pelindung yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dia sendiri tadi sudah merasakan kelihaian Naga Sakti Gurun Pasir. Dan biarpun kini Jenderal Kao Cin Liong sudah tidak berada di situ melainkan mengejar Sim Hong Bu, akan tetapi sebagai penggantinya di situ terdapat puterinya, Bu Ci Sian yang dia tahu telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi suhengnya yang membebaskan Pangeran itu, dapat diduga tentu memiliki ilmu yang lebih hebat lagi. Menggunakan kekerasan dan pengeroyokan berarti hanya akan menggagalkan usaha perjuangan itu sendiri, karena pemerintah tentu akan mengirim pasukan dan menghancurkan mereka. Akan tetapi mengalah begitu saja juga amat memalukan dan dapat menimbulkan penafsiran bahwa para pendekar patriot merasa takut! Selagi Bu-taihiap kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar teriakan dari para penjaga di luar, “Utusan ke kota raja telah tiba kembali!” Wajah Bu-taihiap menjadi cerah kembali dan dia cepat berkata kepada Sang Pangeran, “Harap Paduka ketahui bahwa orang yang kami utus ke kota raja menyampaikan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar telah pulang. Kita dengarkan saja bersama apa yang dihasilkan oleh tuntutan itu.” Ketika dua orang utusan itu memasuki ruangan yang penuh orang itu, apalagi melihat pula Pangeran Kian Liong di situ, mereka menjadi ragu-ragu dan memandang kepada Bu-taihiap dengan sikap bingung. “Laporkanlah saja apa yang menjadi hasil tuntutan kita kepada Kaisar, biar didengar oleh semua yang berada di sini,” kata Bu-taihiap kepada dua orang utusan itu. “Jangan kalian ragu-ragu lagi.” “Kami telah menyampaikan surat tuntutan itu kepada kepala pengawal. Setelah kami disuruh menanti dan di jaga ketat, seolah-olah kami hendak ditangkap dengan kekerasan, tak lama kemudian muncul seorang pembesar istana dan kami menerima jawaban tertulis yang harus kami segera sampaikan kepada Tai-hiap.” Dua orang utusan itu mengeluarkan sepucuk surat bersampul yang ada cap istana, menyerahkannya kepada Bu-taihiap. Pendekar ini menerima dengan hati bangga dan juga wajah berseri. Jawaban dari istana berarti bahwa tuntutan mereka itu dihargai dan disambut. Kalau sebaliknya, tentu dua orang utusan itu sudah ditangkap atau dibunuh! Sambil tersenyum dia membuka sampul dan berkata kepada Sang Pangeran, “Harap Paduka ikut pula mendengarkan jawaban dari istana, juga semua saudara harap mendengarkan.” Setelah berkata demikian, Bu-taihiap lalu membuka surat itu dan membaca dengan suara keras. Di dalam surat itu tertulis bahwa Kaisar menerima semua tuntutan itu dan berjanji akan mengabulkannya, akan tetapi diminta agar Sang Pangeran segera dipersilakan pulang ke istana karena kaisar menderita sakit. Mendengar ini, semua orang terkejut, juga Sang Pangeran sendiri. “Ah, kiranya Sri Baginda Kaisar sedang sakit!” katanya. Lalu dia menoleh kepada Kao Kok Cu, “Kao-taihiap, aku harus segera kembali ke kota raja!” “Kami akan mengantar Paduka pulang,” kata pendekar berlengan satu itu. Bu-taihiap juga girang sekali melihat isi jawaban yang menyatakan bahwa tuntutan mereka akan dikabulkan, maka dia pun segera menyediakan sebuah kereta dan kuda yang segar untuk dipakai oleh Sang Pangeran ke kota raja. Kao Kok Cu dan isterinya lalu cepat mengawal Pangeran untuk naik kereta menuju ke kota raja, dikusiri sendiri oleh Wan Ceng dan suaminya. Sedangkan Kam Hong segera meninggalkan ternpat itu untuk mengejar Sim Hong Bu pula, bersama sumoinya. Bu Seng Kin berusaha untuk menahan puterinya, agar mau tinggal di situ bersamanya, namun dengan sikap angkuh dan keras Ci Sian menolak. “Biarpun engkau adalah ayah kandungku, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayangmu. Oleh karena itu, bagiku engkau sama saja seperti orang lain, Ayah. Maka aku tidak mungkin dapat tinggal bersamamu, kecuali.... kecuali....” “Kecuali apa?” “Kalau engkau hidup sendirian saja!” Tang Cun Ciu yang pernah bermusuhan dengan Ci Sian, bahkan pernah mereka berdua itu berkelahi, berkata dengan suara dingin, “Bu Ci Sian, engkau harus dapat melihat kenyataan! Hidup tidaklah semanis yang engkau kira. Ayahmu telah mempunyai isteri-isteri lain, dan ini adalah kenyataan, biarpun hati tidak setuju akan tetapi mana bisa mengubah kenyataan? Betapapun juga kami adalah isteri-isterinya, mana mungkin dipisahkan begitu saja?” Ci Sian cemberut. “Aku pun tidak mau merampas Ayah. Boleh kalian semua miliki selamanya, aku tidak membutuhkan dia. Suheng, mari kita pergi! Tak tahan aku berlama-lama di tempat ini!” katanya sambil melompat keluar, diikuti oleh Kam Hong. Biarpun Bu-taihiap agak terpukul batinnya oleh sikap puterinya itu, namun kegembiraan karena tuntutan para patriot diterima dan hendak dikabulkan oleh Kaisar merupakan hiburan besar. Bu-taihiap lalu menyebar orang-orangnya untuk menyampaikan berita baik itu kepada seluruh pendekar patriot yang tersebar di banyak kota, dan mereka tinggal menanti pelaksanaan daripada janji Kaisar yang hendak mengabulkan permintaan mereka itu. Akan tetapi, sementara itu, Kaisar yang menjanjikan pemenuhan tuntutan itu sendiri sedang menderita sakit yang parah karena luka oleh pisau beracun itu menjadi makin membengkak dan mulai meracuni darah dalam tubuhnya! Ketika Pangeran Kian Liong tiba di istana dan langsung mengunjungi Kaisar, Pangeran ini terkejut bukan main melihat keadaan Kaisar yang amat payah. Dia mendengar akan peristiwa penyerangan selir itu dan Sang Pangeran menghela napas panjang. Ketika mendengar bahwa selir itu sehari sebelum melakukan penyerangan dikunjungi seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai puteranya, tahulah Kian Liong siapa yang dimaksudkan oleh mereka. Pemuda itu pernah dijumpai sebagai seorang pendekar patriot yang bersemangat. Kembali akibat dari pada penyelewengan ayahnya, pikir Pangeran ini. Ayahnya kini memetik buah daripada pohon yang ditanamnya sendiri. Biarpun keadaan penyakitnya amat parah, ketika Kaisar mendengar akan kedatangan puteranya, dia membuka matanya dan memberi isyarat kepada Pangeran Kian Liong untuk duduk. Pangeran itu lalu duduk di tepi pembaringan. “Bagus, engkau sudah dibebaskan?” kata Kaisar itu bersemangat walaupun suaranya lemah dan lirih dan napasnya agak memburu. “Bagus, sekarang juga akan kuperintahkan agar dikirim pasukan besar untuk membasmi seluruh pemberontak-pemberontak laknat itu!” “Harap Paduka tenang dan tidak membiarkan kemarahan meracuni diri Paduka yang sedang sakit,” kata Sang Pangeran. “Agaknya Paduka lupa bahwa Paduka telah menjanjikan untuk mengabulkan permohonan mereka....” “Permohonan? Mereka menuntut! Tidak ada janji dengan para pemberontak! Akan kubasmi sampai ke akar-akarnya!” Pangeran Kian Liong dengan halus membantah bahwa yang disebut pemberontak oleh Kaisar itu adalah pendekar-pendekar patriot-patriot sejati yang menjadi sakit hati karena penekanan terhadap mereka oleh pemerintah. “Terutama sekali pembakaran biara Siauw-lim-si membuat mereka itu menjadi semakin mendendam. Kalau kita bersikap baik kepada mereka, maka kita dapat mempergunakan tenaga mereka itu dengan baik dan demi kemakmuran negara. Kalau ditekan, mereka akan melawan dan kita harus ingat bahwa jumlah mereka cukup besar dan gerakan mereka itu didukung oleh hampir seluruh kaum kang-ouw.” “Kalau perlu akan kubasmi seluruh kaum kang-ouw!” Kaisar membentak marah. Akan tetapi dengan suara halus, Pangeran Mahkota itu mencoba untuk mengingatkan Kaisar. Kaisar menjadi marah dan jengkel sekali dan hal ini sebetulnya amat tidak baik bagi kesehatannya sehingga Kaisar jatuh pingsan lagi dan penyakitnya menjadi semakin berat! Melihat keadaan Kaisar yang penyakitnya semakin payah itu, para pembesar lalu mengadakan musyawarah, dipimpin oleh Pangeran Kian Liong dan atas persetujuan dari Kaisar yang kadang-kadang siuman itu, maka diangkatlah Pangeran Kian Liong sebagai pelaksana dan penguasa menggantikan Kaisar yang memang menjadi haknya sebagai Pangeran Mahkota. Dan begitu Pangeran muda ini duduk sebagai penguasa tertinggi, maka keluarlah keputusan-keputusan yang amat bijaksana dan melegakan hati para pembesar yang setia, juga melegakan hati rakyat dan para pendekar. Di antara keputusan-keputusan itu adalah pembangunan biara Siauw-lim, dan dihentikan pengejaran terhadap para pendekar patriot, peringanan pajak bagi rakyat, terutama di dusun-dusun, pembangunan-pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Tentu saja keputusan-keputusan baru ini, selain di satu pihak disambut dengan gembira, namun di lain pihak ada orang-orang yang menyambutnya dengan tidak senang. Dan mereka itu adalah orang-orang yang memang pada dasarnya membenci bangsa Han yang mereka anggap sebagai bangsa yang lebih rendah daripada mereka. Mereka ini adalah pembesar-pembesar Mancu yang berkuasa di istana, yang merasa sebagai bangsa yang berkuasa di Tiongkok. Selain beberapa orang di antara para pembesar Mancu, hanya beberapa orang saja karena tidak semua pembesar bangsa Mancu berwatak seperti itu bahkan sebagian besar telah melebur diri menjadi bangsa Han pula dengan menerima semua kebudayaan, ada pula pihak lain yang tidak puas dan bahkan marah-marah dengan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dari Pangeran Kian Liong ini. Mereka itu adalah pembesar-pembesar, terutama di daerah-daerah, tidak peduli apakah mereka itu berbangsa Mancu atau Han, yang merasa amat dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru seperti meringankan pajak dan sebagainya itu. Dengan adanya kebijaksanaan baru ini, tertutuplah banyak sumber penghasilan mereka melalui korupsi! Betapapun juga, karena Pangeran Kian Liong melaksanakan semua keputusan itu dengan bijaksana, dan tidak ragu-ragu untuk menghukum mereka yang melanggar, maka setuju atau tidak setuju, keputusan-keputusan itu dijalankan juga oleh para pembesar. Dan rakyat bersorak gembira dengan hati agak lega karena mereka merasa agak terangkat dari jurang kesukaran dan terlepas dari himpitan-himpitan yang amat berat.Penyakit Kaisar semakin payah dan akhirnya Kaisar Yung Ceng meninggal dunia pada tahun 1735. Kaisar ini meninggal dalam keadaan sengsara karena penyakitnya membuat dia menderita dan rebah tersiksa selama berbulan-bulan, hampir setahun. Tidak ada kesulitan timbul dalam penobatan Pangeran Kian Liong menjadi kaisar. Sejak tahun 1735 dia memang telah menjadi penguasa penuh dan pada tahun 1736, beberapa bulan setelah meninggalnya Kaisar Yung Ceng, maka Pangeran Kian Liong dinobatkan sebagai kaisar penuh. Setelah menjadi kaisar, maka Pangeran Kian Liong makin berani dalam tindakan kebijaksanaannya. Berbagai peraturan yang dianggapnya hanya bersumber kepada keinginan pembesar-pembesar yang bersangkutan untuk menumpuk harta kekayaan dan memperkuat kekuasaan belaka dihapus dan dirubah secara radikal. Pembesar-pembesar digantinya dengan orang-orang yang cakap. Kaisar muda ini pun mengulurkan tangan kepada para pendekar, siapa saja yang ingin menyumbangkan tenaga demi kemakmuran negara dan rakyat, diterimanya tanpa pilih bulu, dan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian masing-masing. Selain ini, juga Kaisar Kian Liong menggunakan tangan besi terhadap para penjahat dan koruptor. Keadaan berubah sama sekali, baik di dalam pemerintahan maupun keadaan dalam kehidupan rakyat jelata. Kaisar ini berusaha sedapat mungkin untuk menarik simpati rakyat, untuk menghapus kesan bahwa mereka itu terpimpin oleh kaum penjajah. Di dalam istana sendiri, Kaisar mengadakan pembersihan dan mengenyahkan para penjilat dan pembesar-pembesar korup. Tentu saja semua ini disambut oleh para pendekar dengan hati lega. Memang, perasaan tidak senang bahwa negara dipimpin oleh bangsa Mancu masih ada dalam lubuk hati mereka. Namun, yang terpenting pada waktu itu adalah melihat rakyat hidup sejahtera dan makmur, tidak tertindas. Yang penting adalah kemakmuran lahiriah lebih dulu dan mereka melihat dalam diri kaisar baru ini seorang pemimpin yang adil, yang bahkan lebih baik daripada kaisar-kaisar bangsa sendiri ratusan tahun yang lalu. Kaisar Kian Liong selain menghargai tenaga para pendekar, juga tidak mengabaikan para ahli sastra. Dia pun mengulurkan tangan kepada kaum sastrawan untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran, dengan imbalan-imbalan yang memadai, dengan kedudukan-kedudukan yang cukup baik, sehingga pada masa pemerintahan Kaisar ini, kesusastraan berkembang biak dengan baiknya. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar