Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 7

Si Tangan Sakti Jilid 7

7

Tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Mereka agaknya mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.
“Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memrotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan menuntut agar pihak tuan rumah lebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!” Agaknya ucapan yang gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil empat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah. Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Akan tetapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara.
Gadis berpakaian putih itu dengan sinar matanya yang tajam memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.
“Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya setuju dengan usul saudara yang baru berbicara. Baiklah kalau begitu, kami akan memberi penjelasan. Ketua kami telah menyambut Cu-wi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cu-wi dijemput, diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin....”
“Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendiri yang menghidangkan!” bantah si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
“Begitukah?” Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah.
“Kalau begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!”
“Wahhh!” Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah karena darah sudah naik ke kepalanya. “Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum memperkenalkan diri, menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi daripada kami!” Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini.
Melihat betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat. Suasana menjadi tegang akan tetapi karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja suka melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.
Gadis berpakaian putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua.
Akan tetapi ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu. Melihat ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata,
“Kami menerima usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!”
Si muka bulat yang kini menjadi perhatian semua tamu, merasa bangga dan dengan membusungkan dadanya dia berkata,
“Kami bertiga pengurus Pek-eng-bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!”
Akan tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu telah berhadapan dengan tiga orang penantang yang tadi bicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.
“Untuk mengadu ilmu dengan ketua kami tidaklah mudah, harus dapat mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dahulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Sio-cia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!” Gadis itu tersenyum mengejek.
“Sam-wi, sudah maju, dan tiga orang rekan kami sudah maju menyambut tantangan, nah persilakan kalau Sam-wi hendak bertanding.
Tentu saja tiga orang tokoh Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.
“Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah orang lain. Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!” bentak si muka bulat.
Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, “Kami bertiga sudah siap.”
“Sambut serangan kami!” bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu. Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat ketika mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka kalah kuat.
Maka, mereka mempergunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka berkelebatan menjadi bayangan putih yang sukar sekali diserang oleh tiga orang pria itu, bagaikan tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.
Para ahli silat yang menjadi tamu di situ, diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin mengenal ilmu silat mereka agar mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu dan dengan sendirinya dapat mengenal ilmu silat para pimpinan Paobeng-pai. Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh tiga orang gadis berpakaian putih. Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur dengan aliran lain.
Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran!
Dipilih gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jagoan dari Garuda Putih itu terdesak dan mereka lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi. Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka dan muka mereka nampak merah. Kiranya di tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang dapat direnggutnya lepas dari kepala lawan, di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada lawannya, dan biarpun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikut kuncirnya terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.
“Maafkan kami,” kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.
Si muka bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan depan dada menghadap pihak tuan rumah sambil berkata.
“Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan dan saya sebagai ketuanya bernama Liu Pin. Kami mengaku kalah.”
Dia dan dua orang sutenya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apalagi melawan pimpinannya! Mereka yang mengenal kelihaian Pekeng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai kini tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil Pat-kwa-pai dan Pek-lianpai, juga ada lagi tiga orang pria muda yang nampaknya belum mau memperkenalkan diri.
Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali berseru,
“Apakah masih ada di antara Cu-wi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?” Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan. Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.
“Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai sebagai setingkat dan sederajat. Oleh karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!”
Kebetulan dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda.
Tadinya mereka tidak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja. Akan tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak kalau tidak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.
Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu kini tahu bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok, bersama isterinya dan puterinya yang diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka bertiga merupakan pimpinan Pao-beng-pai dan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu. Setelah para wakil empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan berseru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
“Pangcu kami menganggap Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga.”
“Siancai, siancai....!!” Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat. Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri disulam benang emas sebuah pat-kwa (segi delapan). Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, di punggungnya tergantung pedang dan nampak kokoh kuat. Matanya lebar, hidungnya besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.
“Kami Pat-kwa-pai juga mempunyai peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-bengpai melalui pertandingan silat.” Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.
Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah hendak bangkit, akan tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang sudah berdiri menanti. Kini semua orang melihat betapa ketua itu memiliki gerak-gerik yang anggun dan berwibawa, namun wajahnya cerah dan dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Patkwa-pai.
“Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, kalau kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho Sianjin?” Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.
Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seolah-olah telah mengenal baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sutenya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
“Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai,” katanya.
“Ah, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. “Sobat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding.” ucapan itu seperti teguran.
“Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai.” bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu mari kita latihan sebentar. Berapa orang dari Pat-kwa-pai yang datang?”
“Kami datang berempat.”
“Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan.”
Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sutenya. Lebih kuat keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Tiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampak betapa tiga orang ini pun bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
“Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah. Nah, sekarang kalian berempat boleh menyerangku sekuat kalian. Aku tidak akan mengelak, tidak akan membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian dapat memukulku, berarti aku kalah.”
Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong!
Semua orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apalagi empat orang itu adalah murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi. Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu tentu akan celaka oleh kesombongannya sendiri.
“Baik, kami setuju!” kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat bertahan, apalagi orang sombong ini, pikirnya.
“Nah, mulailah, aku sudah siap.” Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.
Empat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda dan menghimpun tenaga sakti, akan tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Kini, dia dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
“Pangcu, jaga serangan kami!” seru si gendut yang berada di depan dan dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga orang pengeroyok lain juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok berkibar. Ketua Pao-beng-pai ini, sesuai dengan janjinya, tidak mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar tubuhnya.
“Duk-duk-duk-plakkk!”
Empat orang itu terpental ke belakang! Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya mengandalkan tangkisan. Akan tetapi karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti telah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan mereka, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahkan mereka mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun! Namun, Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus telah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apalagi memukul. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sutenya untuk mempercepat serangan. Dia hanya mempunyai dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!
Akan tetapi, sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar cepat dan kedua tangannya menjadi banyak sekali. Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu, akan tetapi setiap kali pukulan mereka bertemu dengan tangkisan lawan yang membuat mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok dan si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sutenya untuk memasang kuda-kuda dan berdiam diri tidak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas, dan di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Patkwa-pai itu terjengkang dan roboh!
Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula. Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.
“Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai,” kata si gendut.
“Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin.” kata ketua Pao-beng-pai itu dan dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.
“Siancai...., tenaga sin-kang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat sekali. Kami semua merasa kagum!” Tiba-tiba suara itu diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung. Semua orang memandang dan dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh empat tahun, tubuhnya pendek kurus namun masih nampak segar seperti tubuh kanakkanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata,
“To-tiang (Pak Pendeta) tentu wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak To-tiang?”
“Siancai....! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?” Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya. Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw. yang lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Kini dia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sutenya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.
Kembali keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik dan agaknya Siangkoan Eng minta kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thian-cu.
“Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?”
Mendengar pertanyaan itu, Kui Thian-cu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw, masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Peklian-kauw pula!
“Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, untuk melihat apakah Pao-beng-pai pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami.”
“Andaikata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponekannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!”
Siangkoan Eng lalu bangkit dan melangkah dengan tenang menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu. Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, begaimana akan mampu menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya? Kui Thian-cu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia sudah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama belasan tahun saja. Apalagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang yang lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh.
Kui Thian-cu tersenyum pahit karena merasa direndahkan sekali dengan munculnya seorang bocah untuk menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan sihir. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya, sepasang matanya seperti menembus mata gadis itu, mulutnya berkemak-kemik membaca mantram kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.
“Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Tergores sedikit saja kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah, sekarang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas dikasihani! Menangislah....!!”
Kui Thian-cu yang merasa diremehkan, kini hendak membalas dan membikin malu, keluarga ketua Pao-beng-pai, dengan sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah memandang kepadanya, dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara yang sungguh-sungguh,
“Totiang, bagaimana sih caranya menangis itu? Aku tidak pernah menangis, harap Totiang memberi contoh.”
Tentu saja Kui Thian-cu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh. “Bagaimana caranya menangis? Engkau sungguh tidak tahu? Begini, Nona, beginilah caranya orang menangis....” Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.
“Huauuu-uuuuu.... huuuuu-uuuhhh....”
Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali.
Kakek yang tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak tua sekali itu, yang mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, kini seperti anak kecil menangis di depan Siangkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek.
Mendengar suara tawa orang-orang di situ, barulah Kui Thian-cu menyadari keadaannya dan diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tidak terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang menangis tanpa disadarinya sendiri bahwa dia telah melakukan perbuatan yang lucu memalukan.
Tentu saja dia marah sekali, akan tetapi Kui Thian-cu bukan seorang bodoh atau ceroboh.
Dia seorang tokoh Peklian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biarpun dia mendapat malu di depan banyak orang namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu amarah. Dia menyadari bahwa dia terlalu bersalah, keliru menafsirkan orang dan terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak begitu mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.
“Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona.” Dia menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan.
Siangkoan Eng masih tersenyum mengejek, tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu. Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada lalu berkata,
“Totiang, aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!” Dalam ucapan yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thian-cu, membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati. Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan melemahkan seorang, membuat orang menjadi kurang waspada, maka bagi seorang ahli silat, marah ketika bertanding merupakan pantangan besar karena hanya merugikap diri sendiri.
Kui Thian-cu yang sudah marah itu tidak lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang yang jauh lebih tua dan berkedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu kalau harus menyerang lebih dulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah marah, dia tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.
“Nona, jaga baik-baik seranganku ini!” bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi.
Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sambil kakinya membuat langkah-langkah melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis.
Kemudian sambil menangkis, ia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat membelit lawan.
Pertandingan itu berlangsung dengan seru. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan besar, tentu saja Kui Thian-cu tidak mau kalah melawan seorang gadis. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, namun agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai.
Buktinya, gadis itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat. Bahkan serangan balasan dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri. Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai! Dia makin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tak dapat ditembus gulungan sinar pedangnyra, sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.
Ketika dengan pengerahan tenaga kembali dia membacokkan pedangnya, bulu kebutan itu menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular dan pada saat yang sama, pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang! Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thian-cu kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim.
Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu berkata,
“Totiang, terimalah kembali pedangmu!” Ia menggerakkan hud-tim di tangan kiri dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lianpai itu berubah pucat akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main. Kalau puterinya saja sehebat itu, apalagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, adalah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.
“Nona memang hebat, pinto mengaku kalah.” lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi hormat, “Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw.”
Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang.
“Terima kasih, Totiang dan silakan duduk.”
Setelah tokoh Pek-lian-kauw duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.
“Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas jurus!” Sikapnya kaku dan tekebur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman.
Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi ia mewakil ayahnya menandingi Kui Thian-cu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang besar dan ia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, laki-laki muda itu biarpun murid perkumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dan dungu. Ia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.
“Sobat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!” Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga cantik itu telah berdiri di depan si pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau memperkenalkan diri sebelum menguji kepandaian.
“Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!”
Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili Kong-thong-pai, dan di sini dia dipandang rendah, tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali! Maka, dia pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap angkuh,
“Haik, sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!”
Melihat lagak yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja.
Dengan sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, ia tersenyum dan memberi hormat,
“Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus itu.”
Melihat sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak,
“Lihat seranganku!” Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri secara cepat. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.
Namun, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, merupakan pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya. Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, ia pun bersikap lincah dan meloncat ke belakang lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan ia pun sudah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!
Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala lawan! Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan sambaran angin pukulan yang cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, walaupun hanya seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka dia pun tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, mendesak pun tidak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu menandinginya, bahkan mampu membalas dengan tidak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya berubah merah sekali.
“Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!
Siangkoan Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimanapun juga, ia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu mengakui kekalahannya sesuai dengan janjinya, walaupun sebenarnya dia belum kalah.
“Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena engkau belum kalah, sobat dari Kong-thong-pai!” katanya lembut.
“Hemmm, aku Koan Tek adalah seorang laki-laki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama Kong-thong-pai. Aku sudah berjanji, dan setelah lewat dua puluh jurus aku belum dapat mengalahkannya, berarti aku kalah. Pang-cu, terimalah hormatku!” katanya sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
Ketua Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatannya.
“Silakan duduk, saudara Koan Tek!”
Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Kini, perhatian semua tamu tertuju kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih dahulu kepada pihak tuan rumah!
Dua orang pemuda itu yang merasa menjadi pusat perhatian, kini juga saling pandang.
Mereka tidak saling mengenal namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dari sepenanggungan karena keduanya menjadi pusat perhatian karena mereka berdua sajalah yang kini belurn memperkenalkan diri dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan rumah seperti dilakukan oleh wakil-wakil Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai, Pek-lianpai dan Kong-thong-pai tadi.
Pemuda pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan tegap, wajahnya bulat berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan mancung, mulutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal. Dia seorang pemuda yang tampan, dan sikapnya juga anggun, tidak malu-malu dan berwibawa.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang melakukan penyamaran! Dia meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa dan karena dia seorang yang sejak kecil suka mempelajari silat, kini dia ingin meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia kang-ouw. Maka, mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apalagi mendengar bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti pemerintahan kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong, dia tertarik dan sengaja datang berkunjung. Tentu saja dia tidak akan mengaku bahwa dia seorang pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari kematian. Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan menbunuhnya kalau mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang perjalanannya pun dia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Namanya sendiri dia pakai, hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti kerajaan atau Dinasti Kerajaan Mancu. Dan karena sejak kecil dia hidup dalam pendidikan seperti orang Han, maka tak seorang pun yang tahu bahwa dia seorang pangeran Mancu, dalam segala hal dia adalah seorang pemuda Han biasa. Dia pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa Han.
Pemuda yang ke dua juga tampan berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan sikapnya lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walaupun ketampanannya berbeda dengan ketampanan Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda Cia Ceng Sun. Pemuda ke dua ini bermuka lonjong dengan mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya tebal dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng Sun, sedang dan tegap dan gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti acuh tak acuh walaupun wajahnya ramah. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).
Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti itu tidak pernah ada orang yang melihat wajahnya, maka tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar itu di dalam pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ.
Berbeda dengan Cia Ceng Sun yang meninggalkan istana untuk memperdalam pengetahuan dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan tugasnya yang teramat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pendekar Suling Naga Sim Houw.
Para pembaca kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim piatu. Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa gagah, sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang telah bertaubat, berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), suci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw.
Sejak kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga Yo Han sejak kecil telah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak seperguruan. Namun, ketika kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka belajar atau berlatih ilmu silat. Biarpun suami isteri Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti dan mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau berlatih. Dia menganggap bahwa ilmu silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orang-orang yang suka berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain. Karena ulahnya ini, maka suami isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat akrab dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu, sehingga mereka ingin memisahkan kedua orang anak itu dengan memitipkan Yo Han pada sebuah perguruan silat yang baik. Yo Han mendengar ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu dengan nekat mengikuti seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu melepaskan Sian Li kecil yang diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai penukarnya. Demikianlah, setelah ikut dengan iblis betina itu dia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh sampai akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, namun yang memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu, yang membuat dia menjadi seorang pendekar sakti.
Ketika Yo Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Tai-hiap yang tak pernah dikenal mukanya oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian Li yang telah menjadi seorang gadis cantik. Mereka saling mengenal dan kasih sayang yang sejak kecil telah tumbuh dalam hati mereka, kinl berubah menjadi cinta kasih dewasa antara pria dan wanitai Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka karena suami isteri pendekar itu khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya yang pernah menjadi seorang wanita golongan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li telah dijodohkan dengan seorang pangeran di kota raja! Yo Han menjadi terpukul dan diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya, dia pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia kembalikan kepada bibinya.
Demikianlah riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti, dan pada hari itu, sebetulnya dia mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh Pao-beng-pai, make dia pun sengaja berkunjung dengan maksud mencari jejak adik misannya yang dicuri penjahat di waktu kecil.
Yo Han maklum sepenuhnya betapa sulitnya tugas yang dipikulnya, mencari seorang, anak perempuan yang hilang dua puluh tahun yang lalu, ketika hilang diculik orang berusia tiga tahun! Dia tidak tahu siapa penculiknya, tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan, nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk dapat dilihat orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan tahi lalat hitam di pundak kiri. Bagaimana mungkin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya? Dan sudah pasti anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan ibu kandungnya, tidak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun kalau anak itu masih hidup! Sungguh merupakan usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han mempunyai akal. Kalau dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha menyelidiki siapa pelaku penculikan itu. Den hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat. Maka, untuk tugas itulah kini dia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya.
---lanjut ke jilid 8---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar