Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 26

Si Tangan Sakti Jilid 26

26

“Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu.”
Seng Bu tertawa.
“Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun.” Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan dia nampak senang sekali. Memang hatinya gembira, Yo Han orang yang paling ditakutinya telah tiada, dan kini dia melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok gadis yang dicintanya, jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi amat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu mengobati dirinya.
Kini mereka duduk berhadapan, hanya terhalang meja kecil. Beberapa kali pandang mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan hati masing-masing, biarpun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Giok-moi, kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?”
“Habis, engkau memandangku seperti itu!”
“Seperti apa?” Seng Bu menggoda.
“Pandang matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko.”
Tiba-tiba Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan menggenggam tangan itu!
“Giok-moi, perlukah aku jelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi.”
Kim Giok menundukkan mukanya yang kini menjadi merah sekali.
“Bagaimana, Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?”
Kim Giok menggeleng kepala, tetap menunduk.
“Lalu, kenapa engkau diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan cintaku?”
Kini gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan.
“Bu-ko, aku pun kagum dan suka padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita itu. Kita baru saja berkenalan dan kalau kita sudah menjadi sahabat baik, itu sudah menyenangkan sekali, bukan?”
Seng Bu seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya. Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.
“Baiklah, Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik dan biarlah urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kaukehendaki. Aku hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang tinggal di dalam hatiku.”
Lega rasa hati Kim Giok dan ia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian itu. “Terima kasih, Bu-ko atas pengertianmu. Sekarang mari kita bicara tentang apa yang terjadi tadi. Aku masih merasa heran sekali kenapa Sin-ciang Tai-hiap hendak membunuhmu setelah dia membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?”
Ouw Seng Bu menghela napas panjang.
“Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan seringkali membuat orang lupa diri!. Dia hendak menguasai Thian-li-pang hendak menonjolkan diri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang.”
“Akan tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang, hanya kedudukan ketua dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang dan sekarang hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti.”
“Giok-moi, agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh tua Thian-li-pang. Akan tetapi, sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang mempergunakan kekerasan menentang pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa Thian-lipang agar menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para pimpinan Thian-li-pang yang pendiriannya tegas tegas menentang penjajah. Melihat aku yang diangkat menjadi ketua menghimpun tenaga, bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang lainnya, dia menjadi marah dan dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, tiba-tiba dia menyerangku dan hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan kepada para pimpinan lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia yang terlempar ke dalam sumur tua itu.”
“Aihhh,” Cu Kim Giok menghela napas panjang. “Ayah dan ibu pernah mengatakan bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Ha-ko.”
“Tidak mungkin, Giok-moi. Apalagi kalau engkau suka membantuku dan berada di sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi membebaskan rakyat dan tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan untuk mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?”
“Tentu saja aku percaya padamu, Buko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kauambil?”
“Aku akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang lainnya. Seperti juga pendirian orang-orang sombong macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tidak mau bekerja sama untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apalagi kalau disertai persaingan, menimbulkan pertentangan antara para pejuang sendiri dan hal ini melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah berusaha
untuk lebih dulu menundukkan para kelompok dan tokoh dunia persilatan. Kalau selurub dunia kang-ouw sudah dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan merupakan hal yang sukar lagi.”
Kim Giok yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu, tertarik oleh gaya bicara dan sikapnya, mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia manganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga sudah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga sudah menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.
“Pendapatmu itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!” katanya penuh semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.
“Terima kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit pun akan dapat kuraih!”
Mereka saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu.
***
Dengan bantuan yang besungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang kini dia angkat menjadi wakil ketua Thian-li-pang, mendatangi banyak perkumpulan silat dan perguruan-perguruan silat yang terkenal, mula-mula membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menaluk juga karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok mengajak mereka yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-bengpai agar kini bekerja sama dengan Thian-li-pang karena Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan pemerintah.
Hanya ada satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi Siangkoan Kok. Untuk menalukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini belum pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat bukan main.
Thian-li-pang menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum. Beberapa kali ia menawarkan diri untuk membujuk orang tuanya agar mau membantu perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi Ouw Seng Bu selalu menolak dengan halus.
“Belum tiba saatnya, Giok-moi. Ayah ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut melihat hubungan kita yang akrab dan hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan yang lembut. Apalagi kalau ditambah dengan bujukan agar mereka membantu perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri akan menghadap mereka, untuk melamarmu dan kalau kita sudah menjadi suami isteri, orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan membantu perjuangan kita.”
Kim Giok tidak membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini sebagai calon suaminya.
Ouw Seng Bu memang cerdik luar biasa. Setiap kali dia berlatih silat Bukek Hoat-keng yang ditemukannya di dalam sumur dan dia tahu bahwa latihan itu membuat dia berubah dan merasa aneh, dia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, apalagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang. Juga, dia melarang keras anak buahnya agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang gagah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang akan menjadi celaan orang. Hal ini untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.
Untuk biaya perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih menguasai semua tempat pelesir dan tempat judi, juga dengan halus namun mengandung ancaman maut, mereka dapat memeras para pedagang untuk setiap bulan menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-lipang! Ada pula anggauta yang tugasnya melakukan pencurian di rumah para hartawan dan bangsawan, namun mereka yang bertugas mencuri adalah anggauta yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan setiap kali melakukan pencurian, mereka selalu menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun tidak mengaku bahwa mereka orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus ditaati, karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggauta Thian-li-pang yang melanggar pesan itu. Demikianlah, dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat memperkuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walaupun kini tidak ada lagi anggauta yang melakukan kejahatan secara berterang.
Sebenarnya, sejak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya ini.
Akan tetapi, sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi kelainan pada batinnya, seolah-olah dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan! Watak aneh ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walaupun pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.
Pada suatu hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para pimpinan perkumpulan yang sudah menaluk kepada Thian-li-pang dan ada pula orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama dan yang sengaja diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tidak kurang dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang terdiri dari golongan hitam.
Dalam pertemuan yang diadakan seperti dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan hadir dan tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang. Ouw Seng Bu nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati.
Siangkoan Kok yang juga nampak gagah berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang. Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luas di dunia Kang-ouw.
Setelah semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok mewakili ketuanya, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak, mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.
“Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cu-wi merasa heran mengapa saya sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang telah gagal dan hancur oleh sebuah pasukan pemerintah, sekarang menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan yang sehaluan dengan Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Oleh karena itu, bagi Cu-wi yang belum mengadakan perjanjian kerja sama dengan kami, untuk membantu perjuangan kami, diharapkan sekarang juga menyatakan kesediaan untuk kerja sama itu, demi tanah air dan bangsa.”
Sambutlah tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok. Dan para pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka. Akan tetapi pada saat itu para penjaga yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.
“Rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!”
Semua orang terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Hoa-sanpai yang menganggap diri mereka sebagai partai “bersih” dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam atau sesat! Bahkan dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai teman seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung?
Dengan tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, dipimpin oleh Thian Tocu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat. Tosu ini adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya adalah adik-adik seperguruannya dan lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu silat Bu-tongpai yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau Thian To-cu membawa sebatang tongkat, empat orang sutenya membawa pedang di punggung mereka. Mereka berpakaian sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke atas. Sikap mereka tenang dan lembut.
Siangkoan Kok mengenal Thian To-cu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Ah, kiranya To-tiang Thian Tocu dan para To-tiang tokoh Bu-tong-pai yang datang berkunjung.” Dia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata,
“Pangcu, mereka adalah Thian To-cu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cu-wi Totiang (Para Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang kami.”
Ouw Seng Bu yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata,
“Maaf, karena Cu-wi Totiang tidak memberitahui lebih dahulu akan kunjungan ini, kami terlambat menyambut. Silakan Cuwi mengambil tempat duduk.”
Lima orang tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka telah mendengar banyak berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan. Kabarnya, ketua itu masih muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu menjadi wakilnya, dan juga bahwa kini Thian-li-pang telah menalukkan hampir semua kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw. Melihat bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu mengangkat kedua tangan depan dada.
“Siancai....” kata Thian To-cu dan memandang kagum. “Kiranya Ouw-pangcu, ketua Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tidak tahu bahwa pagi ini Thianli-pang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw.” Tosu itu memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dari daerah itu, dan sebagian besar di antara mereka adalah golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-pai hadir pula di situ.
Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan ramah kembali.
“Kalau begitu kehendak Totiang, silakan.”
“Begini Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang Tai-hiap yaitu Yo Taihiap menjadi pemimpin Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan kepada pangcu Lauw Kang Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang oleh Ouw Pangcu. Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Tai-hiap! Kami semua merasa heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Akan tetapi, melihat sepak terjang Thian-lipang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada Pangcu.”
“To-yu, kalau hendak bertanya, tanya saja. Kenapa berbelit-belit seperti itu?” Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena dia sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.
“Benar, Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu.” kata Seng Bu.
“Ouw Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang telah mengubah seluruh sikapnya. Thian-li-pang menalukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok pejuang, mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu, dan Thian-li-pang juga menguasai semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dahulu? Kami melihat Thian-li-pang telah menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja merasa curiga dengan perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, ada desas-desus disebarkan oleh orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini! Nah, itulah penasaran yang mendorong kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan Thian-li-pang!”
Siangkoan Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot.
“Tosu Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang!”
Ouw Seng Bu juga bangkit berdiri dan menyabarkannya.
“Sudahlah, Paman. Biarkan aku menghadapi mereka.”
“Tapi, Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!”
“Paman Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku menangani urusan ini!” kata pula Seng Bu dan nada suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang tosu Bu-tong-pai itu, dan untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.
Kini Ouw Seng Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka.
Sikapnya masih tenang saja dan Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!
“Ngo-wi To-tiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan To-tiang tadi. Tadi To-tiang Thian To-cu menyinggung tentang terbunuhnya suhu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan pembunuhnya adalah Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Hal ini dapat kami ketahui dari luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, memang benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja, melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah Mancu. Dan kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itu, kami sengaja mengadakan hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu perjuangan kami. Adapun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan sedikit harta mereka?
Kalau kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini tidak cocok dengan keinginan Bu-tong-pai, maaf hal itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Kami sendiri pun belum pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai.”
“Siancai.... keterangan Ouw Pangcu masuk diakal sungguhpun belum meyakinkan kami tentang Sin-ciang Tai-hiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang Tai-hiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan jempol belaka?”
Cu Kim Giok mengerutkan alisya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terbelalak memandang rendah kepada Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu tetap tenang Menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.
“To-tiang, Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain, akan tetapi ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia menyerangku dan nyaris membunuhku. Untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan bantuan para anggauta Thianli-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal ke dalam sumur tua dan tewas, walaupun aku sendiri menerima pukulan darinya.”
“Siancai....! Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar budiman, dan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dapat dikalahkan demikian mudahnya? Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja....”
Sepasang mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali.
“To-tiang tidak percaya kepada keteranganku?”
“Bagaimana kami dapat percaya?” kata Thian To-cu. “Kalau kami melihat buktinya, barulah kami dapat percaya.”
“To-tiang adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana dapat bersikap seperti anak kecil begini?” tiba-tiba terdengar suara merdu dan lantang. “Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw Pangcu. Aku yang membantunya mengobati lukanya di dada yang terkena pukulan tangan Sin-ciang Tai-hiap Yo Han!”
Semua orang memandang dan lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan pandang mata penuh selidik.
“Siancai, kalau boleh kami mengetahui, siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?”
“To-tiang, Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman, pendekar Cu Kun Tek. Ia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman. Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?” kata Ouw Seng Bu.
Lima orang tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian To-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di Thian-li-pang?
“Maafkan kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walaupun kami sudah mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?”
“Singgg....!!” Nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya. “Pendeta yang sombong, lihat baik-baik, apakah engkau masih meragukan pedangku ini?” bentak Kim Giok. Pedang Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi, suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.
Melihat pedang itu, Thian To-cu terkejut dan cepat dia memberi hormat.
“Koai-liong Po-kiam! Ah, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat kami sukar percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Tai-hiap dapat dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw Pangcu sendiri, gurunya tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Tai-hiap! Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?”
“Ngo-wi To-tiang,” kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya mencorong, “haruskah seorang murid lebih lemah dibandingkan gurunya? Ingat, To-tiang, orang muda mempunyai kesempatan jauh lebih banyak untuk memperoleh kemajuan daripada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan mampu menandingi Yo Han, silakan To-tiang berlima maju dan menguji kemampuanku!”
Mendengar tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi seorang pemuda!
“Ha-ha-ha-ha-ha, aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw Pangcu. Haha-ha!” Siangkoan Kok berkata sambil tertawa mengejek dan minum araknya. Itulah ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima. Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu. Walaupun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang. Kalau tidak lima orang itu disatukan hanya sebanding dengan tingkatnya, maka tidak mungkin mereka berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.
“Siancai! Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu menewaskan Sin-ciang Tai-hiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!” berkata demikian, Thian To-cu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan empat orang sutenya juga sudah mencabut pedang masingmasing dan mereka membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).
Ouw Seng Bu maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya, bukan saja untuk menundukkan dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang memandang rendah kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang. Dia tahu bahwa peristiwa ini tentu akan disebarluaskan oleh mereka yang hadir dan sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang telah mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi lima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat yang cukup luas dan semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.
Melihat Ouw Seng Bu menghadapi lima orang tosu itu dengan tangan kosong, padahal lima orang itu memegang senjata dan mereka membentuk suatu barisan, hati Kim Giok menjadi resah.
“Ouw Pangcu, pergunakan pedangku ini!” katanya dan dia pun sudah meloncat ke depan, mencabut pedang Koailiong Po-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Seng Bu.
Ouw Seng Bu merasa girang bukan main. Dengan ilmunya yang ajaib, yaitu Bu-kek Hoat-kehg, dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan lima orang tosu itu walaupun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi, sikap gadis itu yang menyerahkan pedangnya kepadanya, membuktikan bahwa Kim Giok benar sayang kepadanya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dia pun menerima pedang itu.
“Terima kasih, sebetulnya tanpa pedang pun aku tidak gentar menghadapi lima orang tosu yang tinggi hati ini.”
“Ouw Pangcu, sambutlah serangan kami!” kata Thian To-cu sambil menggerakkan tongkatnya menyerang. Seng Bu menyambut dengan pedang Koai-liong Po-kiam dan terdengar suara mengaung menyeramkan karena dia menggerakkan pedang itu dengan mengerahkan sin-kangnya. Thian To-cu yang mengenal pedang ampuh, menarik kembali tongkatnya dan meloncat ke samping. Dua orang tosu lain sudah menyerang dari kanan kiri, diikuti dua orang lain lagi yang sudah siap untuk melakukan serangan sambung menyambung, dan Thian To-cu sendiri yang sudah menyelinap ke arah belakang lawan juga siap dengan tongkatnya.
Seng Bu maklum bahwa lima orang tosu itu menjadi berbahaya karena mereka bergerak mengikuti kedudukan bintang Ngo-heng yang perubahannya otomatis dan kadang amat ganas itu. Seng Bu mengerahkan tenaga Bu-kek Hoat-keng dan memutar pedangnya.
Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata dan suara mengaung-ngaung itu sungguh menggetakkan hati para pengeroyok. Karena cara Seng Bu bergerak amatlah aneh, seperti kacau balau akan tetapi semua serangan senjata lawan dapat digagalkan, lima orang tosu itu terseret oleh kekacauan gerakannya sehingga kerapian gerakan barisan Ngo heng-tin itu juga menjadi retak. Tiba-tiba Seng Bu mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring mengerikan, sehingga bukan saja membuat lima orang lawannya terkejut, juga semua orang yang berada di situ tergetar dan merasa ngeri. Teriakan itu bukan seperti suara manusia, mengandung gaung yang aneh dan seketika membuat lima orang tosu itu seperti kehilangan kesadaran. Kemudian terdengar suara keras lima kali berturut-turut dan empat batang pedang beserta sebatang tongkat telah tersambar dan patah-patah oleh sinar pedang Koai-liong Po-kiam!
Lima orang tosu itu berlompatan mundur dengan kaget bukan main. Dalam waktu belasan jurus saja, senjata mereka telah patah-patah dan ini berarti bahwa mereka telah kalah. Ucapan Siangkoan Kok tadi terbukti!
“Ha-ha-ha, sekawanan tosu sombong sekarang baru menyaksikan tingginya langit!” Siangkoan Kok tertawa bergelak, diikuti oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Thian-li-pang.
Seng Bu yang tadinya seperti kesetanan, kini sudah tenang kembali dan dia pun menghampiri Kim Giok dan mengembalikan pedang gadis itu. Gadis itu masih duduk tercengang. Tadi ia melihat betapa pemuda pujaan itu seperti telah berubah. Gerakannya demikian aneh, seperti bukan orang bersilat, seperti orang gila atau binatang buas mengamuk, dan suaranya tadi! Juga matanya mencorong aneh dan mengerikan. Akan tetapi sekarang dia telah kembali menjadi seorang pemuda yang tampan dan lembut seperti biasanya, yang mengembalikan pedangnya dengan senyum manis. Ia pun menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pemuda itu.
“Terima kasih, Giok-moi,” kata Seng Bu dan dia pun kembali menghadapi lima orang tosu yang masih berdiri tertegun.
“Apakah Totiang berlima masih penasaran? Masih tidak percaya bahwa aku telah mengalahkan Yo Han yang hendak membunuhku dan kini dia telah tewas di dalam sumur tua?” tanyanya tersenyum, akan tetapi senyumnya dingin dan pandang matanya mengejek dan merendahkan. Lima orang tosu itu merasa penasaran sekali. Sukar bagi mereka untuk menerima kekalahan dari seorang pemuda, padahal mereka tadi maju bersama.
“Ouw Pangcu, senjata kami rusak karena keampuhan pedang Koai-liong Pokiam, akan tetapi kami belum merasa kalah.” kata Thian To-cu.
“Lalu To-tiang mau apa?” Seng Bu menantang.
“Kita lanjutkan pertandingan dengan tangan kosong agar kalah menang ditentukan oleh kepandaian, bukan oleh keampuhan senjata.”
“Baik, kalau Totiang masih penasaran, silakan!” Seng Bu menantang.
---lanjut ke jilid 27---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar