Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 21

Si Tangan Sakti Jilid 21

21

“Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan,” kata Bi Kim. “Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi.”
“Ah, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako...., aku tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku....”
“Tidak tega?” Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, “Kenapa tidak tega?”
“Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walaupun aku suka dan hormat kepadanya. Aku sudah menceritakan tentang hubunganku dengan Han koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya.”
Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka!
“Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?”
Sian Li bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!
“Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walaupun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga.”
“Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu.”
“Dia Pangeran Cia Sun.” Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja ia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya!
Bahkan ia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan ia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini.... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!
“Hem, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat.”
“Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, ketika ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han koko di sana. Akan tetapi ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Paobeng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu diam-diam meninggalkan ayah ibu karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya, aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat.”
“Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?” tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini. Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!
“Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Sampai sekarang, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan Pendekar Suling Naga dan isterinya tidak berhasil. Bahkan andaikata anak itu ditemukan juga, anak itu tidak mengenal orang tua kandungnya, dan suami isteri itu pun tidak akan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!”
“Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin dapat mencarinya kalau tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?” kata Bi Kim yang ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian, sulitnya. Andaikata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa ia adalah anak yang hilang itu?”
“Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!”
“Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya.”
“Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku amat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku.”
Tanpa disadarinya, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapatkan masing-masing sebuah kamar di keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.
***
Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak agar jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Ia merasa hatinya seperti diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han. Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid mendiang paman-kakeknya Ciu Lam Hok, keluarga ayahnya sedang dilanda malapetaka. Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman-kakeknya, menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!
Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya sehingga kini ia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tak kunjung datang, ia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!
Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu daripada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!
Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya menjadi-jadi.
Nafasnya sampai terasa sesak karena ia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara tangisnya.
Segala macam perasaan yang mengandung susah senang adalah permainan nafsu. Nafsu memang selalu mempunyai satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui panca-indrya.
Kesenangan itu dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan kalau penyebab kesenangan itu lepas dari tangan.
Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang agaknya memang sudah menjadi anugerah atau peserta sejak manusia dilahirkan, terkandung banyak hal. Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada setiap mahluk ciptaan Tuhan, yang bergerak maupun yang tidak, daya tarik yang merupakan syarat mutlak bagi pengembang-biakan mahluk itu. Daya tarik alami ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, saling mendekati lalu terjadi penyatuan yang melahirkan mahluk baru sebagai proses penciptaan yang amat indah dan suci. Di samping naluri, ini yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara, nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada manusia yang dilanda cinta.
Kenikmatan dirasakan manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam panca indrya.
Kalau orang sedang bercinta, mata melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman dan segala macam perasaan, sentuhan dan apa saja terasa teramat indah!
Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat daripada permainan nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat berubah menjadi kesusahan. Tidak ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kiamat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi! Dalam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi! Jelas bahwa nafsu yang bermain di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi adalah sesuatu yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang aseli dan abadi adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik, cinta ini yang mungkin biasa kita namakan kasih sayang! Kasih ini terdapat dalam sinar matahari, dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga, dalam senyum ranum dan matangnya buah-buahan, dalam air mata seorang ibu dalam belaian tangannya, dalam pandang mata seorang ayah, dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.Gan Bi Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur.
Dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga kesenangan, tidak abadi, bahkan tidak panjang umurnya, walaupun dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan manusia. Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus tanpa kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun, tidak selalu terang benderang, kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang! Dalam keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tidak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati lagi!
Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, melalui gang masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika ia berada di luar, di udara terbuka.
Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tak terhitung banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang bermunculan ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip. Bunga-bunga di taman itu banyak yang mekar indah karena memang waktu itu musim bunga sudah berumur dua bulan sehingga suasana di taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan. Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang seperti sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam dalam irama yang bebas namun tidak kacau, bahkan serasi.
Tiba-tiba suasana itu, yang pada mulanya menghibur, kini bagaikan menyentuh perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam sehingga ia terhuyung, menutupi muka dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang sejak tadi duduk melamun seorang diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri.
Pemuda itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut. Dia telah melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan tetapi tidak menemukan jawabannya. Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita putusnya cinta karena Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di dalam taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.
“Adik Bi Kim....”
Bi Kim tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang pahit dan membingungkan. Cepat-cepat ia menghapus air mata dengan tangannya, menguce-kucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum.
“Aih, kiranya Gak-toako.... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang lain.”
Hati Ciang Hun semakin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang amat canggung. Dia pun tidak berpura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantunya, kalau memang gadis itu membutuhkan bantuan.
“Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah ini. Malam amat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang. Kenapa engkau malah berduka dan menangis, Kim-moi?”
“Aku.... aku tidak berduka, tidak menangis....” Bi Kim cepat membantah, akan tetapi suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan sisa tangisnya, masih terkandung dalam getaran suaranya.
“Ah, Kim-moi, biarpun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga sudah merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita adalah satu golongan dan seperti keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik, kalau yang seorang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain membantu, bukan? Andaikata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak bersedia untuk menolongku, Kim-moi?”
“Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun sudah menolongku dari ancaman ketua Pao-beng-pai. Tentu aku akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku bisa.”
“Nah, demikian pula dengar aku, Kim-moi. Sekarang aku mengulurkan tangan dan aku bersedia untuk membantumu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan mengapa engkau begini bersedih?”
Ditanya orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan ikut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tidak mau mengeluarkan suara tangis. Ia menggeleng kepala dan menghapus air matanya dengan saputangannya yang sudah basah.
“Engkau.... engkau atau siapa pun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako....memang sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk....” kembali ia mengusapkan saputangan ke arah kedua matanya.
“Siauw-moi, tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah sewajarnya, dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu hanya pandangan seseorang yang kecil hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan hidup. Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada kalanya hitam, tidak selalu manis, ada kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita dapat menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum alam, maka kita dapat menghadapinya dengan tabah. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak meninggalkan daya ikhtiar dan didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi. Aku tadi sudah melihat perubahan pada sikapmu. Ketika Li-moi bercerita dengan terus terang, memang wataknya terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat engkau terbelalak kaget dan mukamu pucat sekali. Kim-moi, aku yakin bahwa kedukaanmu tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu atau setidaknya ada hubungannya dengan Yo Han. Benarkah dugaanku?”
Bi Kim menundukkan mukanya, sampai lama tidak menjawab, hanya menarik napas panjang berulang kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai Sian Li mengetahui hal ini, sungguh amat tidak enak. Pemuda ini dapat dipercaya, dan dengan bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah menyembunyikan rahasianya dari Sian li.
“Gak-toako,” katanya sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam,
“Kalau aku berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini dari adik Sian Li?”
“Aku berjanji demi kehormatanku, Kim-moi.”
“Ketahuilah, Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Tai-hiap Yo Han adalah adik nenekku. Pada suatu hari, Yo-toako datang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong ayahku yang terancam malapetaka karena beberapa buah pusaka istana lenyap padahal ayahku menjabat sebagai pengatur gedung pusaka itu. Karena bersyukur, di depan meja sembahyang paman kakekku itu, nenekku lalu menjodohkan aku dengan Yo-toako.”
“Ah, begitukah....,” Gak Ciang Hun menggumam lirih.
“Ya begitulah, Toako. Biarpun perjodohan itu belum diresmikan, akan tetapi sejak saat itu, aku sudah menganggap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan dapat kaubayangkan betapa kaget rasa hatiku ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan Sian Li saling mencinta dengan Yo Han.”
Ciang Hun mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.
“Apakah Yo Han sudah menyetujui ikatan jodoh itu?”
Gadis itu menggeleng.
“Belum, Toako. Bahkan dia minta agar urusan perjodohan itu ditangguhkan sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu datang dari nenek, dan dia belum menyatakan setuju atau tidak setuju.”
“Akan tetapi.... maafkan pertanyaanku ini, apakah kalian sudah saling mencinta?”
Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak memelas sekali walaupun tidak kelihatan jelas di bawah sinar ribuan bintang yang lembut, namun tarikan muka itu membuat Ciang Hun maklum bahwa pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.
“Terus terang saja, Toako, aku amat kagum kepadanya dan selama ini aku menganggap bahwa aku cinta padanya. Akan tetapi.... ah, cinta sepihak tidak mungkin, bukan? Dia sudah saling mencinta dengan adik Sian Li.... aku akan memberitahu kepada nenekku dan orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh dengannya.” Hening sejenak, kemudian Bi Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi suara tawanya sumbang.
“Ha-ha-ha-heh-heh, alangkah lucunya! Betapa lucunya....!!”
Tentu saja Bi Kim mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah merah, pandang matanya bersinar tajam karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah mempercayainya dan menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus diceritakan kepada siapa pun.
“Toako, kau.... kau mentertawakan aku....!!” bentaknya marah.
Ciang Hun menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalah-pahaman itu, maka dia menghentikan tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta maaf. “Maafkan aku, Siauwmoi. Aku sama sekali bukan mentertawakan engkau melainkan mentertawakan diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita berdua!”
Kembali dia tertawa akan tetapi menahan sehingga tawanya tidak bersuara.
Bi Kim masih mengerutkan alisnya.
“Hemmm, apanya yang lucu dengan ceritaku tadi?”
“Dengarlah, Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan kau tahu, sebelum aku sempat menyatakan cintaku kepadanya, ia mengaku kepadaku seperti yang diceritakan kepadamu tadi, yaitu bahwa ia mencinta Yo Han dan hanya mau berjodoh dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa hancurnya perasaan hatiku, namun aku dapat menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga bahwa engkau mengalami hal yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama mendengar keputusan yang menghancurkan itu dari mulut Li-moi. Hanya bedanya di antara kita, engkau mencinta yang laki-laki, aku mencinta yang perempuan. Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?”
Ciang Hun tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua tertawa-tawa, akan tetapi tawa mereka sumbang dan makin lama, suara tawa mereka semakin sumbang dan akhirnya Bi Kim menangis, dan Ciang Hun juga mengeluh dan menahan tangisnya!
Dalam keadaan seperti itu, keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya hati yang hampa karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri karena diri serasa tiada harganya, tidak ada yang menyayang! Dan timbullah perasaan iba yang mendalam satu lama lain.
“Kim-moi, kita harus dapat menerima kenyataan.... sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih lagi....” karena merasa iba sekali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan gadis itu.
Bagaikan tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu pecah dan setengah menjerit Bi Kim menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu sampai mengguguk. Semua perasaan pedih perih dan duka yang sejak tadi ditahan-tahannya dalam hati, kini terlepas semua melalui tangisnya yang meledak-ledak.
Ciang Hun mengelus rambut itu dan dia pun berdongak memandang langit penuh bintang-bintang, kedua matanya sendiri basah. Dia maklum bahwa gadis itu sedang ditekan perasaan yang amat berat, maka jalan terbaik adalah membiarkannya menangis melarutkan semua tekanan batin yang dapat menimbulkan penyakit luar dan dalam.
Setelah tangisnya itu agak mereda, seperti badai yang mereda, Ciang Hun berkata,
“Eh, Kim-moi, lihatlah betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta kasih kita, lalu dunia ini akan kiamat? Lihat di langit itu, jutaan bintang mentertawakan kita yang lemah. Kita bukan orang lemah, kita harus mampu menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya akan memperkuat batin kita, mematangkan kita. Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan membiarkan diri tenggelam dalam kecewa dan duka.”
Bi Kim sadar dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang Hun. Ia melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya, memandang kepada pemuda itu, mencoba untuk tersenyum.
“Engkau benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak pantas.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti perasaanmu dan aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Kita sama-sama mengalaminya, akan tetapi sama-sama pula dapat mengatasinya, bukan?”
“Terima kasih, Gak-toako.”Ciang Hun lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya karena akan kurang baik dugaan orang kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua saja pada waktu malam seperti itu. Bi Kim menyetujui dan ia pun kembali ke kamarnya, meninggalkan Ciang Hun yang termenung seorang diri di taman itu. Mulai saat itu, tumbuhlah perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling merasa kasihan, dan perasaan ini menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta kasih, ingin saling menghibur, saling membahagiakan!
Pohon cinta memang dapat tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman, senasib, kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan, lain lagi. Dan sekali orang jatuh cinta, maka segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak indah, segala yang dilakukan orang yang dicinta selalu menyenangkan hati. Tidak terlalu berlebihan kalau orang mengatakan bahwa cemberut seorang yang dicinta menjadi pemanis, sebaliknya senyum seorang yang dibenci makin menyebalkan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika ia keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian bersih, seperti biasa pakaiannya serba merah sehingga ia nampak segar dan jelita bagaikan setangkai bunga mawar merah di waktu pagi, masih segar membasah bermandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak Ciang Hun juga sudah mandi dan mereka duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.
Setelah mereka duduk bertiga, Sian Li berkata.
“Pagi ini aku akan melanjutkan perjalananku, dan sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan pulang.”
“Memang, sebaiknya kalau kita bertiga pergi dari sini,” kata Ciang Hun. “Tidak enak kalau mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama.”
“Adik Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang itu. Siapa tahu aku akan bertemu dengan gadis yang mempunyai tanda-tanda di pundak kiri dan kaki kanan itu. Siapa namanya?”
“Namanya Sim Hui Eng,” jawab Sian Li.
“Aku pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberitahu bahwa engkau mencarinya. Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau tidak, aku akan memberi kabar kepadamu, di rumah orang tuamu di Tatung.” kata Ciang Hun.
Sian Li tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu.
“Terima kasih, kalian baik sekali. Karena kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar harapannya akan berhasil kalau kita berpencar. Kita mencari dengan berpencar dan berjanji saling jumpa lagi pada hari Sin-cia. Bagaimana pendapat kalian?”
“Setuju!” kata Ciang Hun. “Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumahmu, Li-moi.”
“Dan bagaimana dengan kau, Kim? Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia nanti?”
“Aku setuju dengan pendapat Gak-toako. Aku pun akan berkunjung ke rumahmu pada hari Sin-cia, Li-moi.”
“Bagus! Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu juga tentu akan bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, sekarang kita berangkat!”
Tiga orang muda perkasa itu lalu berpamit kepada Lurah So sekeluarga, kemudian meninggalkan rumah dan dusun itu. Setelah tiba di perempat jalan, mereka berpisah. Sian Li menuju ke utara, Ciang Hun ke selatan dan Bi Kim ke timur.
***
Gadis itu duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan karena tempat itu agak tertutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok kota raja.
Gadis yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun itu anggun dan cantik jelita. Pakaiannya indah dan rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia seorang puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya.
Kalau orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu dan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi.
Oleh semua anggauta Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, ia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi, telah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Kalau orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya.
Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu! Dan setelah ia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan ketika ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya. Semua peristiwa itu membuat ia merasa sedih bukan main.
Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan amat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah amat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberitahukan siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati. Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah gua yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok. Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat gua-gua besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggauta Bankwi-kok sendiri jarang ada yang berani datang, apalagi bermalam di gua-gua itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah gua dan setiap hari dan malam ia hanya duduk bersamadhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka yang diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi bersamadhi, ia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa.
Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila. Ia masih belum pulih, kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka.
Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu sekarang ia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya! Karena perasaan itu, ia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam gua. Akan tetapi setelah pertempuran itu berhenti, baru ia teringat akan ibunya! Betapapun ia marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja kini ia mengkhawatirkan ibunya. Ayah kandungnya sakti, juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, ia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai dan ia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar hatinya lega.
Karena keadaan amat sunyi, ia pun keluar dari dalam gua dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggauta Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan! Ia menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggauta Paobeng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.
Dua orang anggauta Pao-beng-pai lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
“Dan di mana Pangcu (Ketua)?” Ia tidak mau menyebut ayah.
“Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil menyelamatkan diri.”
“Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini melalui semua jebakan rahasia?” tanyanya penasaran.
“Kami melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dia yang menjadi penunjuk jalan.”
Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat ia mengepal tinju, hatinya berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata. Laki-laki berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya dalam hati. Dibantu dua orang anggauta Pao-beng-pai itu, Eng Eng lalu mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.
Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air mata bukan karena teringat kematian ibunya. Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, membunuh Cia Sun!
Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya, menyakitinya, apalagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata menangis!
Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya.
“Ceng-eng! Lemah!” Ia memaki diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan terbasmi, bahkan dia pula yang menyebabkan ibuku tewas! Aku bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam untuk Siangkoan Kok, melainkan ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Setelah menghapus air mata dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Karena Ia kelihatan seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak membawa senjata karena senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di phiggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar. Apalagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tidak ada yang mau meninggalkan rumah.
Jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas. Kesepian itu membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tidak dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata. Senjata kebutan berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu. Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti kita ketahui, biarpun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, namun sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan kakak iparnya. Karena itu, biarpun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anak sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, namun dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lainnya. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintalan dari atas. Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
“Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak menaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya telah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal.”
“Nah, mau apa lagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?” terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu membentak.
“Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?”
Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh. Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh besarnya. Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, ia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
“Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan besar sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!”
Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut.
Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
---lanjut ke jilid 22---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar