Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 2

Si Tangan Sakti Jilid 2

2

“Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?” Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira, matanya bersinar-sinar. Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya. Isterinya adalah seorang wanita cantik, akan tetapi puteri mereka ini lebih cantik lagi. Apalagi dalam pakaian serba merah begitu. Hati pemuda mana yang takkan terpikat? Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh cinta kalau bertemu dengan Sian Li.
Tan Sin Hong tertawa.
“Ha-ha-ha, berangkat ke mana?” Dia menggoda, tentu saja tahu bahwa puterinya menagih janji.
“Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri? Bukankah setahun yang lalu Ayah menjanjikan kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?”
“Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li. Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap dan berkemas,” kata Kao Hong Li.
Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira.
“Kalau begitu, aku pun akan berkemas, ibu!” dan gadis itu berlari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.
Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia.
“Dia sudah dewasa akan tetapi kadang-kadang masih kekanakan.” kata Tan Sin Hong.
“Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa,” kata Kao Hong Li.
“Sekali ini kita akan mempertemukan ia dengan Pangeran Cia Sun. Kita matangkan urusan ini dengan keluarga Pangeran Cia Yan.”
“Mudah-mudahan mereka berjodoh.” kata isterinya, akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong Li tidak yakin benar. Ia mengenal benar watak puterinya, Sian Li yang lincah gembira itu memiliki pendirian yang sekeras baja. Kalau puterinya itu tidak setuju untuk dijodohkan dengan seseorang, biar dengan pangeran sekalipun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu memaksanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya dengan pendapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.
Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berangkatlah mereka bertiga menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kareta yang ditarik dua ekor kuda.
Akan tetapi Sian Li melihat bahwa setelah tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok ke utara menuju ke kota raja tidak dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur.
“He, apakah Ayah tidak salah jalan? Kota raja berada di sana!” katanya menuding ke kiri.
“Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu. Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun paman Suma Ceng Liong?” kata ibunya.
Sian Li terbelalak, lalu berseru gembira.
“Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahukan lebih dahulu? Aku sampai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan semua anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Gunung Naga!” Teringat akan itu, Sian Li gembira bukan main. Tidak saja ia akan dapat bertemu dengan kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima tahun, dan bertemu pula dengan para anggauta tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali karena adanya kemungkinan ia berjumpa dengan Yo Han di sana!
Tan Sin Hong dan isterinya tertawa. Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak mengingatkan puteri mereka tentang itu dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.
Perjalanan yang cukup jauh itu mereka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar sehingga tidak terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka menikmati alam, berhenti di kota-kota yang ramai. Waktunya masih banyak dan biarpun dengan santai, mereka tidak akan terlambat.
***
“Berhenti....!” Teriakan itu lantang sekali dan tiga belas orang yang menghadang dan menghentikan kereta itu nampak bengis dan dari sikap, pakaian dan wajah mereka dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.
Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong yang memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan kereta pun berhenti.
Kao Hong Li dan Tan Sian Li menjenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling pandang. Mereka bahkan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani menghadang mereka!
“Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu. Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar orang-orang jahat itu!”
Ayahnya tersenyum dan mengangguk.
“Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian Li.”
“Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak pernah melupakan semua nasihatmu, aku tidak akan membunuh mereka, hanya menghajar biar mereka jera!”
Sian Li turun dari atas kereta, sengaja tidak memperlihatkan kepandaiannya, turun dengan biasa saja seperti seorang gadis yang lemah. Ketika ada seorang gadis berpakaian serba merah turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu cantik jelita, tidak memegang senjata dan nampak lemah dengan langkahnya yang lembut menghampiri mereka, para perampok itu terheran-heran. Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan tubuhnya seperti raksasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan melotot, seperti harimau kelaparan melihat datangnya seekor kelinci yang berdaging gemuk dan lunak.
“Aduh-aduh.... kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik rupawan....” kata raksasa muka hitam itu. “Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam) bertemu bidadari, sungguh beruntung!” Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, dua belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar dan bengis, tertawa-tawa dan semua mata memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak melahapnya.
Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di kanan kiri mulutnya. Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tak dapat menahan air liur dan mereka menelan ludah, membuat kalamenjing di kerongkongan mereka bergerak naik turun.
“Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?” tanyanya, bersikap polos dan tidak mengerti.
Si muka hitam menoleh kepada kawan-kawannya.
“Haiii, dengar, kawan-kawan. Kita ini menghadang kereta bidadari ini mau apa? Hayo jawab, mau apa, ya? Ha-ha-ha-ha-ha!”
Kembali mereka semua tertawa bergelak. Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang tidak sedap. Agaknya sebagian dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.
“Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan menghalang jalan, keretaku akan lewat.” kata pula Sian Li.
Hek-bin-gu melangkah makin dekat.
“Nona manis, tadinya kukira kereta ini tumpangi pembesar Mancu dan kalau demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya kami bunuh. Akan tetapi, karena engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku bersenang-senang di puncak bukit.”
Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi dengan wataknya yang jenaka. “Hei, bukankah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya? Bagaimana aku dapat bergaul dengan kerbau, apalagi yang hitam mukanya? Baru berdekatan saja, baunya sudah membuat aku hampir muntah. Menggelindinglah kalian pergi. Kalian ini perampok-perampok busuk, jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku.”
Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu. Nona ini kelihatan lembut dan lemah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak merasa takut menghadapi mereka? Hek-bin-gu bukan orang bodoh. Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya nona cantik ini mempunyai andalan maka sikapnya demikian tabah. Biarpun demikian dia geli melihat sikap itu.
“Aih, Nona. Engkau tidak takut, berarti engkau berani melawanku?”
“Kenapa tidak berani? Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!”
Hek-bin-gu masih memandang rendah. Dia menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan dada dan lengan yang berotot.
“Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat daripadamu, bagaimana engkau akan mampu melawan aku?”
“Hemmm, betapapun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nyaring akan tetapi tidak ada gunanya.”
Kini Hek-bin-gu mulai marah.
“Mari kita bertaruh! Kalau engkau dapat bertahan melawanku selama sepuluh jurus biarlah kubiarkan keretamu lewat. Kalau sebelum itu engkau dapat kuringkus, engkau harus mau menjadi isteriku!”
Sian Li tersenyum.
“Begitukah? Bagaimana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang roboh?”
Si muka hitam tidak menjawab melainkan tertawa, diikuti dua belas orang kawannya.
Mereka agaknya merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu.
“Ha-ha-ha-ha-ha, Toako kami ini kalah olehmu, nona manis? Mungkin dalam pertandingan bentuk lain, ha-ha-ha!” terdengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.
“Nona, kalau sampai aku Hek-bingu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, aku akan berlutut di depan kakimu!” kata si muka hitam.
“Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk berlutut menciumi tanah yang terkena tahi kudaku!” kata Sian Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak menangkap artinya. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan makna kelakar mesum itu, akan tetapi mereka pun ingin melihat sepak terjang puteri tersayang mereka.
Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena bau yang penguk dan masam segera menerpa hidungnya. Ia menahan napas dan si kerbau muka hitam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan seekor beruang menerkam mangsanya. Tentu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu menangkap dan mendekap gadis yang menggemaskan hatinya itu.
“Wuuuuuttttt....” Terkamannya mengenai tempat kosong dan hanya nampak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dari depannya.
“Hahhh....?” Dia memutar tubuh dengan cepat, akan tetap mukanya disambut sepatu.
“Plakkk!”
“Auhhhppp....!” Tubuhnya yang gempal itu terjengkang dan terbanting keras! Dua belas orang kawannya ternganga. Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu dan tiba di belakang raksasa muka hitam itu, pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu telah meloncat ke atas lagi dan kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor burung bangau kalau akan hinggap di cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu. Sebelah kaki itulah yang menyambut muka Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan landasan mendarat!
Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena Sian Li hanya menendang biasa tanpa mengerahkan sin-kang, dia pun begitu terbanting sudah cepat meloncat bangkit lagi. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi mukanya menjadi semakin hitam. Baru satu gebrakan saja, belum sejurus penuh, dia sudah terjengkang! Dia bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram. Entah apa jadinya kulit dan daging lunak seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang membentuk cakar itu. Sebelah mata kiri Hek-bin-gu lebih hitam daripada kulit mukanya dan agak membengkak karena mata itu tadi kebagian sisi sepatu yang menonjol.
“Haiiittttt....!” Dia membentak dengan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.
“Wuuusssss....!” kembali dia kehilangan lawan dan hanya melihat bayangan merah berkelebat. Cengkeramannya luput dan dia melihat bayangan itu berada di sebelah kanannya. Cepat kakinya yang kiri melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim tendangan ke arah tubuh Sian Li. Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung kekuatan otot yang besar.
Kembali tendangan itu luput dan sebelum kaki itu turun, Sian Li sudah meloncat ke depan, kakinya yang kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan. Karena pada saat itu kaki kiri Hek-bin-gu sedang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya didorong kaki dari belakang, tanpa dapat dicegahnya lagi kaki kanannya ikut pula terangkat ke atas.
“Bluggggg....!” Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul terlebih dahulu dan debu pun beterbangan. Biarpun tubuhnya kebal, namun sekali ini Hek-bin-gu meringis kesakitan. Seperti patah-patah tulang punggungnya terbawah ketika berat badannya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan kerasnya.
Dan sekali lagi teman-temannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin gadis itu dalam dua gebrakan telah membuat orang terkuat diantara mereka dua kali terbanting jatuh?
Hek-bin-gu bukan sekadar heran saja, akan tetapi dia lebih merasa penasaran dan marah, tetap tidak mau mengakui bahwa dia kalah jauh dibandingkan lawannya. Sambil menggereng dia melupakan rasa nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, menghampiri Sian Li. Tanpa disadarinya, jalannya agak terseok seperti kerbau pincang kaki belakangnya.
“Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!” Setelah berkata demikian, Hek-bin-gu menerjang dan menyerang. Sekali ini, dia bukan sekedar menubruk dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat, memukul dan menendang.
Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu mengelak ke samping.
Hek-bin-gu menyusulkan hantaman yang diseling tendangan, akan tetapi sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas. Dia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kembali dia kalah cepat. Kedua kaki Sian Li bergerak.
“Plak! Desss....!” Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras dan sekali ini, hidungnya bercucuran darah karena bukit hidungnya patah oleh tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal, dan membuat kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok!
Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walaupun kelihatan lemah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata mereka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi. Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta. Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya berhadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tidak berisi apa-apa kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan mereka.
Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukannya itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan empat buah kakinya.
“Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanya seekor kerbau. Tentu saja engkau tidak akan memegang janji. Tapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!” Tibatiba tubuhnya meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.
Dua belas orang itu terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bin-gu. Kakinya menendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda penarik kereta. Karena jatuhnya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu. Tentu saja, biarpun dia masih nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah, menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari kotoran itu.
Akan tetapi dia mengeluh kesakitan ketika tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau kotoran itu yang memasuki mulut dan hidungnya tidak hanya membuat dia muntah-muntah, akan tetapi juga megap-megap karena sulit bernapas.
Dua belas orang anak buahnya menjadi marah sekali dan sambil berteriak-teriak mereka menyerbu, mengeroyok Sian Li seperti segerombolan anjing srigala mengepung seekor singa betina.
Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat pinggangnya.
Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangan. Suling itu pemberian Kam Bi Eng isteri kakek Suma Ceng Liong. Kemudian, begitu sulingnya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik dengan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liongsiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kimsiauw-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Bukan main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan-teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang terkena tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!
Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya melarikan diri, diikuti oleh dua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit-birit dan terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.
Sian Li tertawa geli lalu menghampiri ayah ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan kesukaannya mempermainkan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.
“Kenapa, Ayah?” tanya Sian Li. “Kenapa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?”
“Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh mereka atau melukai berat. Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan menghina orang. Yang kaulakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan. Kenapa tidak kaurobohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?”
“Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang baru puas hatiku kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu agar mereka jera untuk menghina orang lagi.”
“Sudahlah,” kata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka. “Sian Li kadang masih kekanak-kanakan. Eh, Sian Li, kenapa engkau tadi mempergunakan dan memaikan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun? Dan kulihat engkau tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan.”
“Aih, apakah Ibu tidak tahu? Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-olah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan ketika mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku. Kalau aku melawan dengan Ang-ho Sin-kun aku terpaksa menggunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka. Ihh, aku tidak mau!”
Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walaupun mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engaku bertingkah dan banyak lagak.”
Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai. “Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!”
Sin Hong menghela napas panjang. Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li. Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!
“Mari kita lanjutkan perjalanan.” akhirnya Sin Hong berkata. Mereka naik kembali ke atas kereta dan Sin Hong menjalankan kereta menuju ke timur.
Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal. Sin Hong sendiri beristirahat, melenggut di dalam kereta, membiarkan isteri dan puterinya mempersiapkan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk dihembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di daerah yang berbukit dan lengang itu.
Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.
Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, membalapkan kuda ke arah mereka.
Sian Li mengepal tinju.
“Kalau buaya-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!”
“Bersabarlah, Sian Li. Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspadaan.” kata ayahnya. Mereka menanti sambil duduk di dalam kereta.
Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belasan orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa. Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan-kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hekbin-gu dan kawan-kawannya.
“Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!” Hekbin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.
Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang segera dituntun anak buah gerombolan. Mereka berdiri berjajar dengan tegak, menghadap ke arah kereta.
“Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!” kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.
Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka.
“Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?” bentaknya.
Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hekbin-gu dan dua belas orang anak buahnya? Sukar dipercaya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluh tahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya.
“Biarkan aku yang menghadapi mereka!”
“Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan serigala itu.”
Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat isterinya. “Kalian mundurlah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!”
Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis kecil panjang dengan suara gemetar dan gagap bertanya,
“Engkau.... engkau.... Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih)....?”
Sin Hong tersenyum.
“Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih....”
“Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!” kata Sian Li dengan sikap menantang dan bertolak pinggang.
Sin Hong memandang puterinya.
“Mereka ini adalah isteri dan puteriku. Siapakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apakah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?”
Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya.
“Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya mendengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut dihajar!”
Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang anak buah itu dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.
“Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tidak pantas hidup!” setelah berkata demikian, si kumis itu bersama dua orang saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan. Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam mereka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin mereka.
Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sendiri sampai tiga belas orang itu mati konyol.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat mereka sambil membentak. “Hentikan pukulan!”
Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong. Tan Sin Hong berkata dengan nada suara keren.
“Kalian bertiga menghajar anak buah kalian karena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka.”
“Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!” kata Sian Li. “Biar kuhajar mereka bertiga!”
“Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biar aku yang akan menghajar mereka agar bertaubat. Nah, Tiat-liong Sam-hengte, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela anak buah kalian. Itu lebih jantan dan lebih bertanggungjawab daripada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!”
“Kami.... kami tidak berani!” kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat. Tidaklah begitu mengherankan kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih. Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang.
Mereka ingat benar betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siang-koan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini. Pendiri Tiat-liong-pang itu bersama puteranya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana mereka akan berani melawan Si Bangau Putih?
“Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!” kata Kao Hong Li.
“Tidak, Ibu. Biar aku saja yang menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan? Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian.”
“Kami.... kami tidak berani....” Mereka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.
---lanjut ke jilid 3---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar