Sabtu, 25 Januari 2014

KJIsah Si Bangau Putih Jilid 30.

Kisah si Bangau Putih Jilid 30

Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki-laki di depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.
“Baiklah, biar dia berada di sini selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.
Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak semakin cerah dan jelita.
“Aih, Paman. Bagaimana aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Takkan pernah dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian.” Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisahSULING NAGA ).
Mendengar jawaban itu Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apalagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti. Melihat pergaulan yang nampak akrab antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran di dalam hatinya walaupun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, bergaul dengan seorang pemuda merupakan hal biasa karena gadis itu mampu menjaga diri dengan kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.
“Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula.”
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu.
“Paman, rahasia apakah itu?”
“Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu. Atau barangkali engkau sudah mendengar dari orang tuamu?”
“Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?”
“Bukan kepadamu, akan tetapi justeru pesan itu mengenai dirimu, mengenai perjodohanmu.”
Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan, “Apa.... apa maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.
Suma Ciang Bun menarik napas panjang.
“Hal ini sudah kuceritakan kepada ayah ibumu, akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suhengmu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam....“
“Ban-tok-kiam....?” Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.
Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk. “Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya.”
Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam dan Cuibeng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam agar dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak disalahgunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.
“Lalu bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.
“Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng sedangkan engkau dilarikan Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Namun, nenekmu tak tertolong lagi dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu meninggalkan pesan kepada Hong Beng.” Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung untuk membuka rahasia itu.
“Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”
Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
“Sebetulnya bukan pesan kepadamu, melainkan kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapapun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu.” Kembali dia berhenti.
“Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, mengapa Paman nampak ragu-ragu?”
Suma Lian mendesak.
”Hong Beng. diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu....“
Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali. “Ahhh....“ Suma Lian menahan seruannya.
Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun dirahasiakan itu.
“Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapapun, apalagi kepada orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu.”
Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong, akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga ia tidak tahu bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.
“Dan mereka.... ayah ibuku...., bagaimana pendapat mereka, Paman?” Ia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tidak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun!
Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat Gu Hong Beng. Namun, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu saja ia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, dan berwajah cerah dan tampan.
“Ayah dan ibumu, hemmm.... mereka tidak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”
Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang bijaksana dan amat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi mereka itu menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri.
Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.
“Aku tidak tahu, Paman....“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar.
“Ayah dan ibu sungguh bijaksana. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali.
“Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan akan kubicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”
“Aih, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu....“
“Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”
“Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku....“
“Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan itu.”
Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar ini dan ia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak ia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!
“Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”
Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk. Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa dia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula. Ketika Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga tiga orang gurunya itu tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah dia tidak percaya mendengar berita mengejutkan itu.
“Apa?” teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”
“Mereka adelah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sintouw,” kata Sin Hong yang selanjutnya menceritakan betapa di antara tujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cin jin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.
“Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?” Suma Ciang Bun bertanya, hatinya diliputi rasa penasaran mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya memiliki tingkat ilmu kependaian yang sukar dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.
Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dia merasa menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia lalu menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu. Dan diceritakannya pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa akhirnya dia dapat lolos dan menyelamatkan dirinya, setelah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di dalam dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.
Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu.
Buktinya, kebetulan sekali ketika marabahaya tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tidak berdaya. Andaikata pemuda ini sudah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka bertiga itu akan tewas.
“Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?” kata Suma Lian dengan penasaran. “Bukankah mereka itu adalah orang orang gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya lalu mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara lirih, “Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum Karma takkan terelakkan oleh siapapun juga. Siapa menanam dia memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapapun gagahnya seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahanmu dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justeru karena itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Hal itu sama sekali tidak aneh, bukan, kalau kita mengingat akan Hukum Karma?”
“Akan tetapi, Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan mengemukakan pendapat saya. Biarpun para guru saya itu merupakan ahli-ahli silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, namun bukankah mereka itu pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”
Suma Ciang Bun tersenyum karena dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan tidak tahu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.
“Orang muda yang gagah. Pendapatmu itu mewakili pendapat umum, akan tetapi hendaknya dimengerti benar bahwa pendapat umum bukan merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan kekuasaan Tuhan. Terdapat banyak rahasia tersimpan di balik semua peristiwa yang terjadi. Apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran, tidak terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin saja nampaknya tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan tidak adil sama sekali oleh kita, namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama sekali tidak mampu menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi begitu terlahir sudah harus menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau karena cacad badan, atau karena tertimpa bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita, tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada orang yang hidupnya penuh dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah, mulia dan senang. Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya serba kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua itu hanya sekedar bukti bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak rahasia kekuasaan Tuhan!”
“Paman, kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau hasilnya belum tentu menguntungkan kita?” Suma Lian membantah dengan hati penasaran. Mendengar bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa.
“Ha-haha, Suma Lian, pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukan keturunan keluarga Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari paman Gak Bun Beng! Kalau kita membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, dengan pamrih hasil yang menguntungkan apakah hal itu dapat disebut perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia seutuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Bagaimana mengisi kehidupan, antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan Tuhan, bahwa kekuasaan yang menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang diisi oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah selalu harus menjauhkan segala macam kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya. Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain berada di tangan Tuhan dan kita harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan Tuhan.”
Sin Hong menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu.
Bagaimanapun juga, manusia adalah mahluk yang lemah sekali. Biarpun kebanyakan manusia merasa dirinya besar dan berkuasa, namun sesungguhnya itu hanyalah kesombongan kosong belaka. Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh sendiri di luar kekuasaan manusia yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri ke dalam kekuasaan Tuhanlah satu-satunya jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar sekuatnya.
“Aku sudah mendengar akan semua itu, Paman.” Suma Lian mendesak, “akan tetapi, aku tetap merasa penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, juga para locianpwe di Istana Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan dunia persilatan itu, di dalam usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan orang-orang sesat. Kembali Suma Ciang Bun tersenyum.
“Orang muda memang selalu ingin tahu dan penasaran. Akan tetapi sikap demikian itu baik sekali. Jangan mudah puas dan selidikilah segala sesuatu dengan seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena aku dapat menyelami watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga mengapa mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya satu macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam cara kematian. Tidak ada kematian yang lebih membanggakan daripada kematian yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas. Tugas seorang pendekar adalah menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah yang membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka sedang menentang golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar dianggap mati sebagai harimau, tidak mati sebagai seekor babi. Dan ini ada hubungannya dengan perputaran hukum karma tadi. Perajurit mati dalam perang, pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat namanya.” “Semua keterangan Locianpwe itu sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian saya. Terima kasih, Locianpwe,” kata Sin Hong dengan pandang mata kagum. “Akan tetapi, dalam kesempatan ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya hakekat hidup dan mati. Mengapa kita dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya semua ini Locianpwe?”
Suma Ciang Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali direnungkan ketika mulai menyendiri dalam pertapaan!
“Orang muda yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri dengan kematian. Hal ini sudah terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan di dunia ini. Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan. Lebih tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan kita bersama yang sama kita rasakan. Kita hanya dapat bicara tentang pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman orang lain. Sebelum kita terlahir, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup. Kemudian, setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan kembali menjadi tidak ada! Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan. Bukan hak maupun kewajiban kita untuk menyelidikinya, pula, bagaimana kita dapat menyelidiki sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini sepenuhnya, kewajiban kita adalah mengisi kehidupan ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Adapun semua penilaian tentang prilaku kita semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!”
Kalau Sin Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum. Dulu, telah beberapa kali ia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi alangkah bedanya cara pamannya bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil pertapaannya, hasil perenungan di dalam samadhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu. Dari ayah ibunya ia sudah banyak mendengar tentang Suma Ciang Bun, tentang keadaannya yang luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu laki-laki. Karena itu sampai setua itu dia tidak pernah menikah dan lebih suka hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.
Setelah bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di tempat tinggal Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk memulai dengan perjalanan mereka melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk memberontak itu. Mereka pun ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh hitam itu, di samping kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya, juga untuk menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan kakek yang amat ramah dan halus budi itu, apalagi karena Sin Hong berjanji bahwa setelah selesai tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya.
******
Sementara itu, Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggauta baru. Bahkan sedikit demi sedikit, orang-orang suku Mongol anak buah Agakai, mulai menyusup masuk lewat perbatasan bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh sesat yang menjadi pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan mereka.
Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang kini telah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tidak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Ia akan dapat mencoba untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya walaupun di situ masih terdapat banyak orang pandai, akan tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua mendapatkan sebuah kamar yang cukup luas, walaupun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.
Ketika Bi-kwi pada malam hari memberitahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya. Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur itu lalu menjadi marah.
“Huh, orang-orang macam apa yang kaubantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus memberitahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau tidak kaulakukan hal itu, sama saja dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!”
Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu berbisik,
“Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian kakakmu.”
Li Sian mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberitahu kepadanya bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, ketika Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, ia pun segera mengangguk dan mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.
“Apakah yang hendak kaubicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian dan setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.
“Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting yang menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”
Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.
“Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”
“Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu mati bersama lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu mati sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi lawannya itu.”
“Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walaupun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.
“Pada jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal lengan kiri, dan pundak kanan. Akan tetapi tiga luka yang jelas disebabkan oleh bacokan golok itu bukan luka yang mematikan. Luka yang menyebabkan kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang menembus ke punggung dan hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan tewas oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan, yang dilakukan dengan kuat sekali. Luka itu kecil, hanya dapat diakibatkan tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan golok.”
Sepasang mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan ia nampak ragu-ragu, mulai percaya karena ia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar