Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 43.

Kisah si Bangau Putih Jilid 43

Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki kecerdikan.
Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua itu sehingga menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hatinya untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali kalau dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan. Biarpun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa.
Kalau orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, banyak menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.
Ouwyang Sianseng yang sejak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak, menjadi repot sekali.
Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu mengandung tenaga mujijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.
“Desss....! Prakkk....!” Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping.
Dia marah sekali dan pedang Ban-tok-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan. Namun, kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sin-kang, tidak terpengaruh, dan dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar, perlahan-lahan sinar kuning emas itu menggulung sinar hitam sehingga pedang di tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak di dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas! Makin lama, makin sempit ruang gerak pedang Ban-tok-kiam dan selagi Ouwyang Sianseng repot setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.
“Tukkk....!” Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung lalu dia terpelanting jatuh. Separuh badannya sebelah kiri lumpuh tak mampu digerakkan. Melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya! Anehnya, biarpun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika, wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan warna hitam menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam!
Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.
Setelah melihat betapa Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong merasa terkejut bukan main, wajah mereka pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian dan permainan pedang mereka menjadi kacau! Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil “mematuk” pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong! Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biarpun kini ia bertangan kosong, ia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman, mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!
“Cappp!” Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Segera dicabutnya pedang itu dan hanya kurang lebih satu dim saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam! Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua daripada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.
Siangkoan Liong makin panik melihat robohnya Sin-kiam Mo-li, dan agaknya timbul perasaan ragu dalam hati Suma Ceng Liong untuk merobohkan pemuda itu. Dia merasa tidak pantas baginya yang tingkat dan kedudukan maupun usianya lebih tinggi daripada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimanapun juga, dia membayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong, yang telah memiliki kepandaian cukup tinggi itu. Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Cui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring.
“Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!”
Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apalagi orang itu adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Dia pun meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong. Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.
“Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.
Siangkoan Liong tersenyum mengejek,
“Tidak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong. Aku berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”
Sin Hong memandang dengan mata mencorong.
“Ingat apa yang telah kaulakukan terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?”
Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.
“Sin Hong, tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!”
“Hemmm, orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?”
Sin Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan meluncur dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong-kiam yang sudah digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk menyerangnya. Namun dengan tenang saja Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis dan dia pun membalas serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian dan disaksikan oleh semua orang yang hadir di situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya, karena seperti ketika menghadapi Suma Ceng Liong tadi, dia kalah segala-galanya. Kalau tadi Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia yang bersenjata pedang pusaka, kini Sin Hong sama sekali tidak main-main, tidak mengalah, bahkan di tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka, setelah lewat dua puluh jurus saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur, hanya mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali.
Sin Hong mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Biarpun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, namun dengan Cui-beng-kiam sekalipun Sin Hong dapat memainkan ilmu pedang itu dengan baik. Siangkoan Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun dalam suatu perkelahian, tidak mungkin orang hanya menangkis dan mengelak terus tanpa dapat membalas serangan. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya. Seketika kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu pun membengkak dan Siangkoan Liong yang cepat melompat ke belakang melihat bahwa keadaan dirinya takkan mampu tertolong lagi. Dia pun menggerakkan Koai-long-kiam dan di lain saat, lehernya sudah terbabat putus oleh pedang Koai-liong-kiam!
Cu Kun Tek cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong dan membawanya menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang lalu mengambil sarung pedang Cui-beng-kiam dari pinggang Sin-kiam Mo-li. Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya, dia pun lalu mengambil sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng.
Setelah tiga orang tokoh pimpinan pemberontakan ini tewas, selesailah sudah pertempuran itu. Para pendekar tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang di mana masih dilanjutkan pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintan melawan sisa kaum pemberontak. Tiada seorang pun di antara para pendekar yang sesungguhnya ingin membantu pemerintah. Kalau mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah karena Tiat-liong-pang bukan memberontak demi kepentingan bangsa, melainkan dengan pamrih untuk berkuasa dan Tiat-liongpang tidak segan-segan untuk bersekutu dengan para tokoh sesat.
Setelah kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri, lalu saling berpisah. Cu Kun Tek dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga Siluman di barat, di mana dia akan memperkenalkan Pouw Li Sian sebagai calon isterinya kepada orang tuanya. Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walaupun ia sudah berterus terang bahwa dirinya telah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu. Setelah kakak kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis ini tidak mempunyai seorang pun anggauta keluarga, hidup sebatangkara di dunia ini.
Suma Lian, Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san untuk pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun di mana Sin Hong menitipkan Yo Han. Gu Hong Beng dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk membicarakan urusan perjodohannya dengan Suma Lian, karena gadis itu kini agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan perjodohan yang dahulu dipesankan mendiang nenek Teng Siang In.
Suma Ciang Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil yang baik dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama sekali mendengar permintaan Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan orang tua gadis itu. Pada hari itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.
Yo Han yang kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walaupun dia juga menyesal harus berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan telah mengajarkan dasar-dasar teori persilatan tinggi kepadanya. Sin Hong lalu mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li pergi berkunjung ke rumah gadis itu, yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah selatan kota raja.
Kao Cin Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apalagi mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat yang bersekutu dengan gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil mendapatkan kembali kedua buah senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi pusaka ibunya. Ketika Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya menerima Ban-tok-kiam saja.
“Biarlah kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,” katanya kepada Sin Hong, “Engkau boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah milik mendiang locianpwe Tiong Khi Hwesio yang menjadi suhumu pula.”
Sin Hong menghaturkan terima kasihnya kepada Kao Cin Liong. Kemudian dia pun berpamit dari keluarga itu. Kao Cin Liong dan Suma Hui, isterinya, tidak dapat menahannya dan Sin Hong menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar Kao Cin Liong yang masih terhitung suhengnya itu. Ketika tiba di luar, di pekarangan rumah itu, dia mendengar langkah kaki ringan dan dia menoleh.
Kao Hong Li berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air mata dan agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun menatap tajam, diam-diam dia menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya ketika pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut.
“Kau.... kau hendak pergi Su.... siok?” Suara Hong Li lirih dan gemetar.
Sin Hong menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia mengangguk.
“Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang bertanggung jawab dan harus mendidiknya.”
“Tapi.... engkau akan pergi ke manakah?” Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong tiada bedanya dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Ditanya demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya karena dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.
“Ke mana sajakah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua akan menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, mengikuti tenggelamnya matahari senja di barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara atau selatan.”
“Tapi.... tapi engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Bagaimana kalau engkau.... dan Yo Han, tinggal saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat menerima kalian....”
Diam-diam Sin Hong merasa terharu dia pun merasa betapa amat menggirangkan hatinya dan betapa ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat tinggal terus berdekatan dengan gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang tinggal di situ, makan dan segala keperluannya bersandar kepada keluarga Kao! Dan dia masih membawa seorang murid lagi.
“Terima kasih, Hong Li. Engkau.... sungguh baik sekali, dan percayalah aku akan merasa berbahagia sekali kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku seorang laki-laki, dan aku bahkan mempunyai seorang murid, aku akan merasa rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup, mencari kedudukan yang pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang tetap....“
“Tapi.... tapi.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku harus mencarimu kalau aku.... kalau aku ingin mengunjungimu?” Dalam suara ini terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga Yo Han sendiri yang baru berusia tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.
***
Suara anak itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.
“Eh.... oh.... ke.... luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba. “Kita merantau kemanapun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku miskin tidak ada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”
“Kenapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.
“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia amat sayang kepada Suhu.”
Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu.
Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.
“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”
“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?
Si Hong mengerutkan alisnya.
“Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”
Yo Han menggeleng kepala.
“Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di manapun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”
“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”
“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”
Sin Hong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong kehidupan baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”
“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” kata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!
Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti.
“Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”
Melihat sikap suhunya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon.
Sedangkan Sin Hong duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya dan hatinya dipenuhi rasa iba. Dan sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini, agar dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi.
Dia percaya seorang anak seperti Yo Han ini akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.
“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”
“Untuk menjadi seorang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu,”
“Hemmm, tahukah engkau bahwa seorang gagah harus pertama-tama mengalahkan kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?”
Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik.
“Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”
Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk.
“Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!” Dan dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa pura pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.
“Muridku, seorang pendekar tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”
Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu, Sin Hong membiarkannya saja, mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tak lama kemudian, dia membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.
Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya dalam Sungai Yang-ce yang besar. Sin Hong amat tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apalagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi, dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang dia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya. Dan selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han telah berusia kurang lebih sembilan tahun. Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan. Karena dia bukan orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat, ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal! Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu karena hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biarpun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.
Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, diruangan samping kiri. Yo Han lalu tanpa diperintah membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri. Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkannya kepada muridnya.
“Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan dan sedikit arak.”
“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”
Sin Hong tersenyum. Tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tidak pernah dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur karena anak itu pandai sekali memancing kegembiraannya.
Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tidak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.
“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kauhabiskan uang itu membeli makanan.”
Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari situ. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari situ dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.
Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhunya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhunya amat sayang kepadanya dan bahwa suhunya adalah seorang pendekar yang budiman. Kalau suhunya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya. Suhunya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhunya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa semakin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik kepadanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!
Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya! Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya! Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Kini ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.
“Hukkk! Kaing.... kaing....!” Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!
“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”
Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.
“Tapi.... tapi.... ia tadi akan menggigit kakiku....“ Dia membela diri.
“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu main-main. Ia tidak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini sudah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin menyesal.
“Maaf.... aku.... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.” Dia teringat akan nasihat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekalipun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.
“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!” bentak seorang di antara mereka yang paling besar, usianya kurang lebih dua belas tahun sambil bertolak pinggang. Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat.
Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.
“Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali telah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.
“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”
Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasihat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.
“Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai nukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar