Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 40.

Kisah si Bangau Putih Jilid 40

Hong Li tersenyum mengejek dan melirik kepadanya,
"Hemmm, ingin sekali aku melihat kekerasan yang bagaimana yang hendak kalian lakukan? Apakah kalian ini lima orang laki-laki hendak mengeroyok aku? Pendekar macam apa kalau beraninya hanya keroyokan.
Si kumis tebal menjadi merah mukanya.
"Kawan-kawan, mundurlah dan biarkan aku yang menangkap wanita yang sombong ini!" Teman-temannya yang sudan maklum akan kelihaian jagoan muda murid Kun-lun-pai ini, mundur dan membiarkan si kumis tebal untuk menghadapi Hong Li.
Namun, sebagai seorang pendekar, agaknya si kumis tebal masih saja sungkan untuk melawan seorang wanita muda. Dia memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kuda-kuda dari silat Kun-lun-pai yang terkenal indah gerakannya itu, akan tetapi tidak segera menyerang, melainkan berkata kepada Hong Li.
"Nona, silakan mulai menyerang!"
Hong Li tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri santai saja, bahkan mentertawakan lawannya. "Eh, kenapa? Bukankah yang hendak menggunakan kekerasan itu engkau? Kenapa aku yang disuruh menyerang? Aku tidak bisa menggunakan kekerasan!"
Teman-temannya tertawa dan si kumis tebal menjadi semakin kikuk.
"Kalau begitu, biarlah aku yang mulai dulu. Awas, Nona, aku akan bergerak menangkapmu, maaf!"
Dan orang itu, dengan kedua lengan bergerak cepat, menubruk ke depan, maksudnya hendak menangkap kedua pergelangan tangan Hong Li agar dia dapat menangkap gadis itu tanpa banyak pergulatan.
"Ihhh....!" Hong Li berseru dan dengan gerakan kaku yang disengaja, ia mengelak, akan tetapi cukup untuk membuat tubrukan lawan itu mengenai tempat kosong belaka!
"Wah, sayang luput, ya?" Hong Li mentertawakannya sambil melenggang-lenggokkan tubuhnya yang ramping padat. Kembali terdengar suara ketawa teman-teman si kumis tebal.
"Awas, aku akan menotok dan membuat engkau tidak mampu bergerak, Nona. Maaf!"
Dan kini si kumis tebal kembali menyerang, bukan sembarangan lagi menubruk, melainkan mengirimkan totokan dengan dua jari tangan kanan kiri, yang kanan menotok pundak kiri, yang kiri menotok pinggang. Hong Li yang melihat bahwa tingkat kepandaian lawan masih jauh berada di bawah tingkatnya, menyambut totokan-totokan itu dengan dua pasang jari tangannya pula, jari telunjuk dan jari tengah dipergunakan untuk menangkap atau menjepit totokan lawan.
"Cuppp! Cappp!" Si kumis tebal itu terbelalak melihat betapa totokannya itu disambut jepitan jari tangan lawan. Dia berusaha menarik kembali jarinya, namun sia-sia dan terasa nyeri, seolah-olah jari tangannya telah terjapit oleh jepitan besi! Tentu saja nampaknya lucu sekali perkelahian itu dan teman-teman si kumis kembali tertawa. Kaki Hong Li bergerak dan tubuh si kumis tebal itu terpelanting, tidak begitu keras karena Hong Li memang tidak mempergunakan tenaga besar.
Empat orang kawan si kumis tebal kini menghentikan suara ketawa mereka dan baru mereka sadar bahwa gadis cantik itu ternyata bukan orang sembarangan, buktinya si kumis tebal yang mereka kenal sebagai murid Kun-lun-pai yang cukup kuat, dalam segebrakan saja roboh secara aneh! Kini mereka berempat berloncatan menghadapi Hong Li dan seorang di antara mereka membentak,
"Nona, siapakah engkau? Harap jangan main-main dengan kami dan mengaku terus terang apakah engkau seorang mata-mata pemberontak?" Mereka sudah mendengar bahwa gerombolan pemberontak bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat yang tinggi ilmunya.
"Siapakah main-main dengan kalian?" Hong Li menjawab. "Siapa adanya aku tidak ada hubungannya dengan kalian. Aku berjalan seorang diri tidak mengganggu siapapun juga. Adalah kalian yang menghadang perjalananku dan andaikata aku benar mata-mata pemberontak, habis kalian mau apa?"
"Tangkap mata-mata ini!" bentak si kumis tebal yang sudah meloncat bangun kembali dan kini lima orang itu sudah menerjang untuk menangkap Hong Li. Gadis ini dengan lincah sekali lalu berloncatan mengelak. Gadis ini adalah cucu dalam dari Naga Sakti Gurun Pasir, juga cucu luar dari Pendekar Super Sakti Pulau Es. Dari ayahnya ia mewarisi ilmu-ilmu dari Gurun Pasir, dan dari ibunya ia mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, tentu saja ia lihai bukan main. Diserang oleh lima orang pendekar yang tingkatnya masih tengah-tengah tentu saja ia seperti menghadapi pengeroyokan lima orang anak kecil saja.
Dengan mudah ia menghindarkan setiap serangan dengan elakan dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang ditangkisnya tentu terpelanting! Sungguh mereka itu seperti sekumpulan semut yang mengeroyok jangkrik, beberapa kali terpelanting dan bangkit kembali. Kalau saja Hong Li menghendaki, tentu dengan mudah ia akan membuat mereka roboh untuk tidak dapat bangun kembali. Akan tetapi gadis ini pun tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang baik-baik, dan ia pun hanya ingin main-main saja, menghajar mereka karena mereka memandang rendah kepadanya!
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang, bayangan putih dan seorang pemuda berpakaian serba putih tiba di situ.
"Tahan....!" katanya kepada lima orang itu yang segera menghentikan pengeroyokan mereka. Mereka terengah-engah, dengan tubuh basah oleh keringat dan babak bundas. Sedikitnya setiap orang sudah terpelanting dua kali dalam pengeroyokan itu.
Melihat kehadiran si baju putih, si kumis tebal cepat berseru girang,
"Tan Taihiap, cepat bantu kami menangkap mata-mata musuh yang lihai ini!"
Akan tetapi lima orang itu tertegun ketika melihat betapa orang yang mereka harapkan akan membantu mereka itu kini berdiri berhadapan dengan gadis itu, saling pandang dan akhirnya pemuda berpakaian putih itu berseru girang.
"Nona Kao Hong Li....!"
"Eh, engkau.... eh Susiok....!”
Pemuda berpakaian putih itu bukan lain adalah Tan Sin Hong. Baru kemarin dia bertemu dengan para pendekar, ketika para pendekar yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu dikepung dan dikeroyok, bahkan terancam oleh orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai yang bersekutu dengan para pemberontak. Sin Hong turun tangan membantu mereka sehingga mereka berhasil mengusir musuh dari dalam hutan. Dan semua pendekar mengagumi Tan Sin Hong yang mereka sebut Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan). Para pendekar itu adalah mereka yang berdatangan karena merasa penasaran mendengar bahwa Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan dan bersekutu dengan kaum sesat. Pada waktu itu, masih banyak lagi para pendekar yang berpencaran di sekitar daerah yang dijadikan sarang Tiat-liong-pang, siap untuk menggempur kaum sesat yang berkumpul di atas apabila saatnya tiba.
Mendengar betapa gadis itu menyebut susiok (paman guru) kepada Sin Hong, tentu saja para pendekar itu terkejut dan melongo. Sin Hong lalu menoleh kepada mereka.
“Aih, sobat-sobat sungguh kurang cermat. Nona ini adalah nona Kao Hong Li, seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bagaimana kalian sangka ia seorang mata-mata pemberontak?"
Kao Hong Li mengerling ke arah si kumis tebal dan kawan-kawannya sambil tersenyum.
"Habis. Kalian tidak memberi kesempatan kepadaku, datang-datang kalian menuduh aku mata-mata musuh sih, jadi aku menjadi marah dan ingin menguji kalian!"
Si kumis tebal dan teman-temannya menjadi malu, dan dengan muka merah mereka memberi hormat, dipimpin oleh si kumis tebal yang berkata.
"Maaf, maaf, karena tidak mengenal Lihiap (PendeKar Wanita) maka kami berlaku kurang hormat. Maklumlah, baru kemarin kami diserang oleh gerombolan pemberontak, maka tadi kami menyangka Lihiap seorang di antara mereka. Maaf!"
"Sudahlah," kata Hong Li. "Aku yang minta maaf. Susiok, bagaimara engkau bisa berada di sini?"
Sin Hong memandang kepada lima orang itu dan berkata.
"Harap kalian memberi kesempatan kepada kami untuk bicara berdua."
Lima orang itu mengangguk maklum dan mereka pun berloncatan masuk ke dalam hutan dan menghilang di balik batang-batang pohon, Sin Hong lalu menghampiri Hong Li.
"Bagaimana, Nona, apakah selama ini engkau baik-baik saja? Dan kuharap kedua orang tuamu juga berada dalam keadaan selamat dan sehat." katanya dengan sikap sopan.
Hong Li cemberut. "Susiok, bagaimana sih engkau ini? Bukankah engkau ini murid kong-kong, jadi engkau adalah sute dari ayahku dan karena itu, engkau ini susiokku dan aku masih terhitung keponakanmu sendiri, murid keponakan! Kenapa engkau masih menyebut aku nona-nona segala? Lupakah engkau bahwa namaku Hong Li? Kao Hong Li?"
Menghadapi berondongan serangan ini, Sin Hong tersipu. Bagaimanapun juga, dia seorang pemuda yang tidak biasa berhadapan dengan wanita, apalagi yang galak dan lincah seperti Hong Li ini. Dalam hal kelincahan, kejenakaan dan kegalakan, gadis ini rupanya menjadi saingan berat dari Suma Lian!
"Habis, aku harus menyebut apa kalau bukan nona?"
"Memangnya seorang susiok hendak dijadikan bujang maka menyebut nona kepadaku? Sebut saja namaku!"
"Mana aku berani?"
"Kalau tidak berani, sudahlah. Kita tidak usah bicara. Aku tidak sudi kausebut nona!" Gadis itu membalikkan tubuhnya dan cemberut. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat ke depan gadis itu. "Baiklah, Hong Li. Sebenarnya, aku sendiri pun merasa tidak enak kalau kausebut susiok. Usia kita sebaya, paling banyak aku lebih tua satu dua tahun darimu, akan tetapi kausebut paman guru!"
"Itu kan keharusan! Kalau aku tidak menyebut susiok padamu, tentu ayah akan marah. Sudahlah. Susiok, engkau belum menjawab. Bagaimana engkau bisa berada di sini?"
"Aku pun heran menjumpaimu di sini, Hong Li. Bukankah engkau berada di rumah orang tuamu ketika aku pergi dari sana?"
"Kau dulu bercerita, baru aku akan menceritakan pengalamanku," kata Hong Li sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah. Sin Hong lalu mengambil tempat duduk di atas batu besar. Keduanya berhadapan dan saling pandang.
Sin Hong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan pertemuannya yang terakhir dengan Suma Lian, betapa dia dan gadis itu pernah memasuki sarang Tiat-liong-pang dan berhasil menolong Kwee Ci Hwa akan tetapi gadis itu tewas oleh luka-lukanya.
Dan dia pun menceritakan tentang kemunculan Gu Hong Beng yang kemudian dibantu oleh Suma Lian untuk menyampaikan tugas dari pimpinan pemberontakan yang terpaksa harus dilakukan demi menyelamatkan dua orang kawan yang menjadi sandera.
"Aku sendiri ingin menyelundup kedalam sarang gerombolan itu, untuk mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu. Di tengah hutan ini, kemarin, aku melihat para pendekar diserbu para anggauta gerombolan yang dibantu oleh banyak tokoh sesat yang pandai. Kami berhasil mengusir mereka dan aku lalu bergabung dengan para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Nah, demikianlah pengalamanku sampai aku melihat engkau mempermainkan beberapa orang teman pendekar itu."
Hong Li menarik napas panjang.
"Ah, kiranya semua telah berada di sini! Gu Hong Beng masih suhengku sendiri karena gurunya, paman Suma Ciang Bun adalah adik ibuku, Suma Lian adalah adik misanku sendiri. Akan ramai nanti di sini kalau begitu dan aku gembira sekali mendengar mereka semua turun tangan hendak menentang kaum sesat yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sendiri, setelah engkau pergi, Susiok, merasa penasaran. Aku lalu pergi dari rumah dengan maksud mencari para penyerbu Istana Gurun Pasir seperti yang Paman ceritakan itu, terutama Sin-kiam Mo-li. Jejaknya menuju ke sarang Tiat-liong-pang maka aku sampai di tempat ini."
“Memang ia merupakan seorang di antara tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang." Sin Hong lalu menceritakan keadaan Tiat-liong-pang yang amat kuat, terutama sekali karena ternyata gerombolan pemberontak itu bersekutu dengan panglima pasukan pemerintah yang bertugas jaga di benteng utara tak jauh dari situ.
"Ah, kalau begitu kebetulan sekali. Aku dapat membantu para pendekar menentang kaum sesat yang membantu pemberontakan, juga sekalian dapat menuntut balas atas kematian kakek dan nenekku dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya!" kata Hong Li penuh semangat sambil mengepal tinju.
Sin Hong menarik napas panjang.
"Hong Li, jangan engkau mengira bahwa aku tidak berduka karena kematian tiga orang guruku, akan tetapi justeru dari merekalah aku menerima pelajaran, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi gemblengan batin sehingga aku berhasil melenyapkan dendam dari hatiku. Kalau sekarang aku menentang Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, bukan karena aku mendendam kepada mereka, melainkan karena mereka adalah orang-orang jahat yang sudah selayaknya ditentang agar tidak banyak jatuh korban keganasan mereka. Juga aku harus dapat merampas kembali Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam, dua buah pedang pusaka milik Istana Gurun Pasir yang dirampas mereka, karena selama pedang-pedang itu berada di tangan mereka, maka kejahatan mereka akan meningkat dan dua buah pusaka itu tentu hanya akan dipergunakan untuk kejahatan."
Hong Li mengangguk.
"Tadinya aku memang merasa penasaran sekali, Susiok. Kedua orang kakek dan nenekku, juga kakek Wan Tek Hoat tewas di Gurun Pasir, akan tetapi Susiok sebagai murid tunggal dan terakhir mereka, tetap hidup dan agaknya tidak hendak membalas dendam. Akan tetapi sekarang aku mengerti, dan aku setuju dengan pendirianmu. Memang aku pun sudah seringkali mendengar dari ayah dan ibu betapa buruknya membiarkan dendam meracuni batin sendiri. Akan tetapi bagi aku, kalau mengingat betapa jahatnya mereka dan betapa kakek dan nenek yang sudah tua itu mereka serbu dan mereka bunuh, betapa sukarnya untuk tidak menjadi sakit hati dan mendendam."
Sin Hong mengangguk pula.
"Aku tidak menyalahkanmu, Hong Li. Memang kelemahan seperti itu adalah manusiawi, akan tetapi kalau kita sudah tahu bahwa hal itu merupakan suatu kelemahan dan kekeliruan, sudah selayaknya kalau kita menghilangkannya, bukan? Aku sendiri kehilangan orang tuaku yang menjadi korban kejahatan orang lain, dan ternyata pembunuh ayahku juga berada di sini karena pembunuhan itu dilakukan sebagai akibat dari usaha pemberontakan Tiat-liong-pang pula." Sin Hong lalu menceritakan tentang keterangan terakhir Kwee Ci Hwa yang sudah dapat membongkar rahasia pembunuhan Tan-piauwsu itu.
Dua orang muda itu bercakap-cakap dengan asyik sekali, seperti dua orang sahabat lama yang baru saja saling bertemu setelah lama berpisah. Barulah mereka terkejut ketika ada dua orang gagah berlari-lari dari dalam hutan wajah mereka agak pucat dan napas mereka memburu.
"Celaka, Tan-taihiap! Kami diserbu dari arah selatan. Musuh kami lihai bukan main seningga ada beberapa orang saudara kita yang sudah roboh! Cepat, harap bantu kami, Tan-taihiap dan Lihiap, kalau tidak, kami semua akan celaka!"
Tanpa menanti keterangan lain lagi, tubuh Sin Hong berkelebat diikuti oleh Hong Li.
Keduanya berlari cepat sekali memasuki hutan dan Hong Li hanya mengikuti Sin Hong karena ia tidak mengenal jalan. Sin Hong berlari cepat menuju ke perkampungan darurat yang dibuat oleh para pendekar di dalam hutan itu. Banyak para pendekar dari berbagai kalangan yang berdatangan ke arah daerah utara, tempat pemberontakan Tiat-liong-pang terjadi. Mereka tertarik bukan untuk mencampuri pemberontakan itu, karena bagaimanapun juga, tidak ada pendekar yang dalam hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan bukan untuk mencampuri pemberontakan itu, karena bagaimanapun juga, tidak ada pendekar yang dalam hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan untuk menentang kaum sesat yang kabarnya memimpin pemberontakan, karena mereka semua maklum bahwa jika kaum sesat yang memberontak dan berhasil berkuasa, maka rakyat akan lebih celaka lagi, lebih sengsara daripada kalau kekuasaan dipegang penjajah Mancu. Bukan hanya di hutan itu saja terdapat para pendekar yang membuka perkampungan darurat. Di situ hanya berkumpul belasan orang pendekar. Di tempat-tempat lain terdapat banyak pula persembunyian para Pendekar yang juga saling menggabung dan siap menghadapi para tokoh sesat.
Ketika Sin Hong dan Hong Li yang jauh mendahului dua orang pendekar itu tiba di perkampungan dalam hutan, mereka melihat bahwa belasan orang pendekar sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih orang yang melihat pakaian mereka adalah orang-orang Mongol yang tinggi besar, dan mereka di pimpin oleh seorang tosu dan seorang nenek bongkok. Kedua orang inilah yang amat lihai. Tosu itu bertubuh pendek berkepala botak, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dia memainkan sehelai sabuk yang ujungnya dipasangi pisau. Adapun nenek itu, bertubuh bongkok kurus, kulitnya hitam dengan muka buruk berkeriputan, usianya juga enam puluh tahun lebih, tangannya memegang sebuah tongkat hitam butut. Nenek ini takkalah lihainya dibandingkan tosu itu, dan sepak terjangnya ganas sekali, membuat para pendekar kocar-kacir dan terdesak hebat.
Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi maklum bahwa kedua orang itu memang lihai sekali, dan agaknya, melihat bahwa mereka memimpin orang-orang Mongol yang ganas dan kasar menyerang para pendekar, mudah diduga bahwa mereka tentulah kaki tangan pemberontak. Memang dugaan mereka betul karena mereka adalah orang-orang yang menjadi pembantu Tiat-liong-pang, sedangkan pasukan kecil Mongol itu adalah sebagian dari lima ratus lebih orang pasukan Mongol yang dipimpin oleh Agakai dan sudah berkumpul di sarang Tiat-liong-pang. Kakek itu bernama Hok Yang Cu, seorang tokoh Pat-kwa-pai yang banyak melakukan kejahatan, satu di antara para tokoh Pat-kwa-pai yang membantu pemberontakan itu. Adapun nenek itu adalah Hek-sim Kui-bo, seorang datuk sesat yang lihai pula. Dua orang ini memang bersahabat dan pernah kita jumpai mereka ketika mereka melakukan serangan terhadap keluarga Beng-san Siang-eng di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san. Untung pada waktu itu muncul Suma Lian yang membantu keluarga pendekar itu mengusir dua orang kakek dan nenek ini. Mereka berdua menyerang keluarga Beng-san Siang-eng bukan saja untuk mengganggu keturunan keluarga Pulau Es itu, juga karena Hek-sim Kui-bo ingin menculik Gak Ciang Hun, putera Beng-san Siang-eng yang baru berusia sepuluh tahun.
Melihat kelihaian kakek dan nenek ini, tanpa berunding Sin Hong dan Kao Hong Li maklum apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat sudah ada empat orang pendekar roboh, maka Sin Hong lalu meloncat ke tengah medan pertempuran, langsung saja dia menghadapi tosu yang amat lihai itu. Pada saat itu, Hok Yang Cu sedang menggunakan sabuknya untuk mendesak seorang pendekar yang bersenjata pedang. Sabuk itu berhasil melibat pedang sehingga tidak dapat digerakkan lagi, mereka saling betot dan saat itu dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menggunakan tangan kirinya menghantam. Hantaman ini amat dahsyat karena dia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan kepala lawannya terancam.
"Dukkk!" Tangan terbuka yang dihantamkan ke arah kepala lawan itu bertemu dengan tangan lain dari samping yang menangkisnya, dan akibatnya, tubuh Hok Yang Cu terhuyung dan sabuknya melepaskan pedang. Pendekar itu pun terhuyung ke belakang, girang melihat munculnya Sin Hong yang menyelamatkannya dari ancaman bahaya maut tadi. Sebaliknya, Hok Yang Cu terkejut sekali, cepat memandang dan ternyata orang yang menangkisnya dan membuat dia terhuyung tadi hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, berpakaian putih sederhana! Dia merasa penasaran bukan main dan cepat dia memutar sabuknya. Terdengar suara mendesir ketika ujung sabuk yang ada pisaunya itu terbang menyambar ke arah kepala Sin Hong. Akan tetapi dengan mudahnya, Sin Hong mengelak dan dia mencium bau amis keluar dari pisau di ujung sabuk, maka tahulah dia bahwa pisau itu beracun! Seorang tosu yang keji, pikirnya dan dia pun membalas dengan desakan pukulan jarak jauh, dengan kedua telapak tangan terbuka yang membuat kakek itu gelagapan dan terus menerus mundur karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang telapak tangan pemuda itu bukan main kuatnya!
Sementara itu, Kao Hong Li juga sudan terjun ke dalam lapangan pertempuran dan langsung saja gadis itu menerjang nenek, yang buruk rupa dan yang lihai sekali permainan tongkatnya itu. Nenek Hek-sim Kui-bo kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan ada hawa pukulan yang amat dahsyat dan mengandung tenaga sakti yang panas menyambar ke arahnya dari kiri. Ia cepat membalikkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya sengaja menangkis, karena nenek ini memandang ringan semua lawannya.
"Desss....!" Lengan kiri nenek itu yang hanya tulang terbungkus kulit bertemu dengan lengan kanan Hong Li yang padat lembut dan berkulit halus. Akibatnya, nenek itu mengeluarkan pekik melengking karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya terasa nyeri. Juga Hong Li terhuyung, maka tahulah gadis ini bahwa lawannya sungguh tak boleh dipandang ringan. Ketika Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam) melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis muda yang cantik, ia marah dan penasaran sekali. Tongkatnya diputar dan nampaklah sinar hitam yang mengerikan, bergulung-gulung dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar hitam itu menyambar ujung tongkat, menotok ke arah dada Hong Li, merupakan serangan maut!
Namun, Hong Li sudah siap siaga karena ia pun dapat menduga akan kelihaian lawan.
Begitu melihat ada sinar hitam mencuat dan menotok ke arah dadanya, dengan sikap tenang namun cepat sekali, tubuhnya miring mengelak, kakinya membuat gerakan melangkah maju dari samping dan tangan kiri menjaga kemungkinan serangan selanjutnya, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka membalas dengan tamparan ke arah kepala nenek itu, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang dipelajarinya dari ibunya. Hwi-yang Sin-kang adalah tenaga sakti milik keluarga Pulau Es, dan baru hawa pukulannya saja sudah mengandung panas yang luar biasa. Nenek itu merasa adanya hawa panas ini, maka ia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkat bututnya untuk melindungi dirinya. Diam-diam ia kaget dan dapat menduga bahwa lawannya tentulah seorang murid atau keturunan keluarga Pulau Es. Selain kaget dan penasaran, ia pun girang karena keluarga Pulau Es dianggap musuh besarnya, maka kalau ia dapat merobohkan gadis ini, berarti ia melenyapkan seorang di antara musuh-musuhnya yang dibencinya. Maka ia pun mengeluarkan suara melengking lagi dan tongkatnya menyambar-nyambar ganas, namun dengan sikap tenang, Hong Li dapat mengatasi desakan tongkat itu dengan kecepatan gerakan badannyn dan dapat pula membalas dengan tak kalah dahsyatnya sehingga membuat nenek itu tak mampu mengembangkan permainan tongkatnya.
Para pendekar juga berkelahi dengan serunya melawan pasukan Mongol. Orang-orang Mongol itu bertenaga besar dan berkelahi dengan nekat, juga jumlah mereka lebih banyak sehingga para pendekar yang tiga belas orang itu harus melawan mati-matian.
Sin Hong mulai mendesak lawannya. Ketika pisau di ujung sabuk Hok Yang Cu untuk ke sekian kalinya menyambar, Sin Hong meloncat ke atas, tinggi dan dari atas, bagaikan seekor burung bangau, tubuhnya meluncur turun. Kembali sabuk itu berkelebat menyambar. Tangan kiri Sin Hong, seperti paruh seekor burung bangau, meluncur ke bawah dan menangkap sabuk di belakang pisau, demikian cepatnya gerakan jari tangannya, seperti gerakan leher burung bangau mematuk leher ular. Sabuk itu tidak dapat dipergunakan lagi, dan tangan kanan Sin Hong menampar ke bawah, ke arah tengkuk lawan. Karena sabuk itu tidak dapat ditariknya, dan tamparan orang muda itu amat dahsyatnya mengarah tengkuk, Hok Yang Cu terkejut dan dia menangkis dengan lengannya.
"Dukkk!" Pertemuan antara kedua lengan itu demikian hebatnya dan akibatnya, Hok Yang Cu terpelanting ke tanah, sabuk yang dipegangnya itu pun putus, bagian yang ada pisaunya tertinggal di tangan Sin Hong! Dia terbanting keras dan cepat menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan.
Pada saat itu, Kao Hong Li juga berhasil menendang paha Hek-sim Kui-bo sehingga nenek ini terjengkang. Namun, dengan bantuan tongkatnya, nenek itu dapat meloncat bangun lagi dan agak terpincang karena pahanya terasa nyeri walaupun tidak patuh tulangnya dun tidak terluka parah daging dan kulitnya.
Pada saat itu, muncullah dua orang tosu. Yang seorang adalah Thian Kong Cinjin, kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bertubuh tinggi kurus, dan sebuah tongkat setinggi badan berada di tangan kanannya. Thian Kong Cinjin adalah wakil ketua Yat-kwa-pai, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang ke dua juga seorang kakek yang usianya sebaya dengan Thian Kong Cinjin mendekati delapan puluh tahun.
Dia adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-pai, kakek kurus kering dengan muka merah darah. Dia pun membawa sebatang tongkat naga hitam, dan kakek yang pandai sihir ini memiliki sepasang mata mencorong seperti mata kucing!
Dengan sudut matanya Sin Hong melihat munculnya dua orang kakek ini.
Tentu saja dia mengenal mereka dengan baik karena kedua orang kakek itu adalan dua diantara tiga orang yang berhasil keluar dengan selamat dari penyerbuan di Istana Gurun Pasir, yaitu bersama Sin-kiam Mo-li, sedangkan belasan orang lain tewas ketika mereka itu mengeroyok tiga orang gurunya. Karena itu, Sin Hong maklum bahwa di pihak musuh datang dua orang lawan tangguh, maka dia pun cepat meloncat, meninggalkan Hok Yang Cu dan langsung menerjang dan orang kakek yang baru datang itu tanpa banyak cakap lagi!
Melihat seorang pemuda tahu-tahu berada di depan mereka dan menyerang dengan totokan jari tangan yang amat dansyat ke arah leher mereka secara bertubi-tubi, kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan dan cepat berloncatan ke belakang. Mereka telah lupa kepada Sin Hong dan biarpun tadi mereka melihat betapa berbahayanya serangan pemuda itu, mereka masih memandang rendah kepada Sin Hong. Thian Kek Seng-jin yang melihat betapa Hek-sim Kui-bo didesak seorang gadis yang amat cantik, segera meloncat ke sana dan menghadapi Hong Li. Begitu Thian Kek Sengjin memutar tongkat naga hitam menyerang, Hong Li cepat berloncatan ke belakang untuk mengelak. Akan tetapi tongkat itu mendesak terus, dan terdengar suara ketawa kakek itu.
"Heh-heh-heh, nona cantik, lebih baik kau menyerah dan menjadi muridku, tanggung engkau akan mengalami kesenangan, heh-heh-heh!"
Hong Li mendengus marah, lalu menerjang maju dengan nekat. Karena ia tahu bahwa kakek itu lihai, maka ia pun memainkan Sin-liong Ciang-hoat yang dahsyat dari Gurun Pasir. Begitu gadis itu mendesak, kakek itu terbelalak heran karena dia mengenal ilmu silat yang aneh dengan tubuh kadang-kadang direndahkan dan jurus seperti mau bertiarap ini adalah ciri khas ilmu silat dari Istana Gurun Pasir. Nyaris dia celaka ketika tiba-tiba tubuh gadis itu meluncur dari bawah, tangan kiri menangkis tongkat dan tangan kanannya menusuk ke arah ulu hatinya. Untung bahwa dia masih sempat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik dibantu tongkatnya, cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kalau tidak, tentu gadis itu akan terus mendesak dan melukainya dengan serangan-serangan dahsyat itu. Kini dia tidak berani main-main lagi, dengan sekuat tenaga dia memainkan tongkatnya sehingga gadis itu pun tidak dapat mendesaknya lagi.
Sebaliknya, perlahan-lahan Thian Kek Sengjin mulai membuat Hong Li terpaksa harus main mundur, karena tongkat hitam yang berbentuk naga itu sungguh berbahaya.
Di lain pihak, Sin Hong yang tadi mulai mendesak Hok Yang Cu, kini mendapatkan lawan tangguh, yaitu Thian Kong Cinjin. Wakil ketua Pat-kwa-pai ini memang lihai, lebih lihai daripada Thian Kek Sengjin, dan jauh lebih lihai dari Hok Yang Cu. Dan sekarang, kakek lihai dengan tongkatnya yang ampuh ini masih dibantu oleh Hok Yang Cu! Namun, Sin Hong tidak gentar. Dengan ilmu silatnya yang hebat, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih), dan dengan landasan tenaga saktinya yang amat kuat, dia mampu menandingi pengeroyokan kedua orang ini, bahkan membalas setiap serangan mereka dengan tamparan atau tendangan, juga totokan-totokan yang tak kalah dahsyatnya, membuat kedua orang pengeroyoknya sama sekali tidak mampu mendesaknya.
Akan tetapi, dengan munculnya dua orang kakek itu, keadaan pertempuran berubah. Kini nenek Hek-sim Kui-bo berani meninggalkan Hong Li untuk dilayani oleh Thian Kek Sengjin sendiri, dan ia pun membantu para anggauta pasukan Mongol untuk mengeroyok para pendekar yang sudah kewalahan. Kini, pihak para pendekar yang terdesak dan kembali ada dua orang roboh.
Pada saat yang amat berbahaya bagi para pendekar itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Hong Li, jangan takut, aku membantumu!"
Terdengar bunyi melengking nyaring seperti suling ditiup ketika sinar kuning emas itu menyambar dan menyambut tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin yang mendesak Hong Li.
"Takkkkk!" Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan kaget karena kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat ketika bertemu dengan suling emas di tangan wanita cantik dan gagah itu. Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong segera turun tangan membantu Hong Li dan Sin Hong. Tentu saja Hong Li girang bukan main melihat betapa bibinya membantunya. Ia dan bibinya lalu mendesak Thian Kek Sengjin yang menjadi sibuk setengah mati.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar