Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 26.

Kisah si Bangau Putih Jilid 26

“Ibu, kata ayah, Ibu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ibu, selamatkan ayah dari tangan mereka yang jahat ini!” kata Yo Han.
“Tenanglah, anakku. Han-ji, sekarang engkau harus dengarkan kata-kata Ibu dan mentaatinya, mengerti? Nah mulai sekarang, engkau ikutlah pergi dengan enci Suma Lian itu.”
“Tapi, ibu dan ayah....”
“Jangan membantah lagi. Pergilah bersama enci Suma Lian. Ia seorang pendekar wanita perkasa yang tentu akan mau mengatur dirimu, dan engkau taatilah ia, turut saja ke mana engkau dibawa pergi dan apa yang selanjutnya ia atur tentang dirimu. Nona Suma, sudikah Nona menolong anak kami Yo Han ini, mengajaknya pergi dari sini?”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Ia maklum akan maksud Ciong Siu Kwi. Agaknya wanita itu hendak mengorbankan dirinya dan suaminya demi keselamatan anak mereka.
“Bibi, tidakkah lebih baik kalau kita hancurkan saja iblis betina ini dan kawan-kawannya.”
“Tidak! Harap jangan lakukan ini. Mereka akan membunuh suamiku, dan dan aku sudah mengeluarkan janji. Kalau kalian berdua melakukan itu, terpaksa aku akan membelanya dan akan melawanmu sampai mati! Tidak, aku mohon kepadamu, nona Suma Lian, bawalah anakku Yo Han dan terserah kepadamu akan kauberikan kepada siapa anak kami itu. Budimu takkan kami lupakan, Nona, dan kalau Tuhan menghendaki, kelak tentu kami akan dapat bertemu kembali dengan dia. Nah, bawalah dia pergi, Nona.”
Suma Lian menarik napas panjang. Ia merasa menyesal sekali bahwa ia harus melepaskan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi, demi keselamatan keluarga Yo, ia tidak mempunyai pilihan.
“Marilah, Yo Han, mari ikut dengan aku!” katanya sambil mengulurkan tangan. Akan tetapi Yo Han menarik diri dan memegang tangan ibunya.
“Tidak, aku tidak mau meninggalkan ibu dan ayah!” katanya.
“Yo Han, jangan engkau membantah lagi. Kalau engkau tidak mau, maka ayah, ibu, dan engkau akan mati semua, dibunuh oleh orang-orang ini!” kata Ciong Siu Kwi.
“Aku tidak peduli! Biar mereka membunuh kita, aku tidak takut Ibu, asal bersama dengan ayah dan ibu!” bantah pula Yo Han.
“Yo Han, anakku. Kalau engkau pergi ikut dengan enci Suma Lian ini maka ayah dan ibumu tidak akan dibunuh dan kelak kita akan berjumpa lagi,” bujuk Ciong Siu Kwi.
“Tapi, Ibu. Tadi ayah menceritakan semua. Katanya Ibu lihai dan dia menyesal mengapa tidak membolehkan aku belajar silat dari Ibu, agar aku dapat menentang dan melawan orang-orang jahat.”
“Han-ji, anakku. Kepandaian enci Suma dan Paman itu jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian ibumu. Kalau engkau ikut dengan enci Suma Lian, maka ia tentu akan mampu mencarikan guru yang jauh lebih lihai daripada ibumu. Pergilah dan jangan membantah lagi, anakku.”
Sejak tadi Sin Hong mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada anak laki-laki itu. Kini, setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, dia mulai mengerti. Kiranya wanita yang cantik dan berpakaian seperti seorang petani wanita itu telah dibikin tidak berdaya oleh Sin-kiam Mo-li karena suaminya dan puteranya disandera oleh iblis betina itu. Memang, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan suami isteri itu hanyalah membiarkan anak itu dibawa pergi. Ketika dia mendengar disebutnya nama gadis itu oleh ibu anak itu, dia pun terkejut setengah mati.
Dia memang belum mengenal nama itu, akan tetapi nama keluarga itu! Suma! Siapa lagi yang memakai nama keluarga itu kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es yang nama keluarganya juga Suma? Dia sudah banyak mendengar kehebatan ilmu kehebatan keluarga Pulau Es seperti yang sering diceritakan oleh tiga orang gurunya! Kini, melihat kebandelan Yo Han yang ingin hidup atau mati bersama ayah ibunya, dia pun lalu ikut bicara.
“Seorang anak yang ingin menjadi seorang calon pendekar, lebih dulu harus menjadi seorang anak berbakti yang mentaati semua perintah orang tuanya, terutama ibunya!”
Mendengar ucapan laki-laki itu, Yo Han menoleh dan menghadapi Sin Hong, sepasang matanya yang kecil namun amat tajam itu mengamati Sin Hong dari kepala sampai ke kaki, kemudian terdengar suaranya lantang.
“Paman, kata ibu Paman memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari ibu, dan Paman tadi menasihati aku bagaimana sikap seorang calon pendekar! Kalau sudah dapat menasihati orang, tentu seorang pendekar. Apakah Paman seorang pendekar?”
Ditanya demikian oleh seorang anak kecil, Sin Hong agak tersipu, akan tetapi dia mengangguk sambil tersenyum.
“Hemmm, begitulah....“
“Kalau Paman seorang pendekar, tentu berani menentang iblis betina ini! Lawanlah dia, Paman agar aku percaya akan semua omonganmu!” kata Yo Han sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin-kiam Mo-li. Sin Hong menoleh ke arah iblis betina itu, dan wajah Sin-kiam Mo-li menjadi agak pucat. Ia sudah merasakan kelihaian pemuda itu. Ia dibantu oleh Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek saja masih belum mampu mengalahkan Tan Sin Hong, apalagi ia harus maju seorang diri.
Sin Hong berkata kepada anak itu sambil tersenyum,
“Kalau ia berani, boleh saja.”
Suma Lian yang sejak tadi melihat dan mendengar, merasa mendongkol juga.
Dianggapnya pemuda yang berpakaian serba putih dan sikapnya lembut sederhana itu terlalu sombong dan bicara besar. Ia sendiri tahu bahwa Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang sakti dan tidak boleh dipandang ringan, akan tetapi pemuda ini berani mengejek, mengatakan apakah wanita itu berani kepadanya!
Bukan hanya Suma Lian yang merasa penasaran, akan tetapi terutama sekali Liok Cit, Si Iblis Terbang Tangan Beracun itu. Sikap dan ucapan pemuda itu dianggapnya terlalu menghina wanita yang amat dikaguminya, dan dengan adanya Sin-kiam Mo-li, juga anak buah Angi Mo-pang, bahkan kini dibantu Bi-kwi yang sudah dapat ditundukkan dengan disanderanya suami wanita itu, hatinya menjadi besar dan dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya yang kurus itu sudah melayang ke depan Sin Hong. Pria berusia tiga puluh tahun yang pakaiannya serba hijau ini, dengan tubuh kurus pemadatan, wajahnya tampan akan tetapi semua giginya menghitam, mendorong capingnya yang lebar ke belakang sehingga wajahnya nampak semua. Dengan hati penasaran, dia ingin mempermainkan pemuda yang sederhana itu. Biarpun dia tadi melihat betapa pemuda ini mendorong batu besar yang nyaris menggelinding ke dalam sumur, dia tidak merasa gentar. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sebagai murid pertama dari Pek-lian-kauw, tentu saja dia sudah memiliki ilmu sihir yang lumayan. Kalau hanya untuk menyihir dan menundukkan wanita cantik untuk dikuasainya saja, dia sudah mahir!
“Hei, orang muda, lihat aku adalah ayahmu. Engkau harus tunduk dan taat kepadaku. Berlututlah engkau!” Dia membuat gerakan dengan kedua tangannya dengan gaya orang menyihir. Akan tetapi, Sin Hong adalah murid tiga orang sakti yang telah memiliki tenaga gabungan ketiga orang itu. Hawa sakti di tubuhnya sudah amat kuat. Apalagi hanya kekuatan sihir yang dimiliki seorang seperti Liok Cit, bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu menguasai pemuda ini dengan sihirnya pada waktu Sin Hong belum menguasai sepenuhnya Ilmu Pek-ho Sinkun. Maka, menghadapi serangan ilmu sihir yang masih amat lemah ini, dia hanya berdiri saja sambil tersenyum, lalu berkata,
“Apakah engkau sudah menjadi gila?”
Liok Cit terbelalak. Dia mencoba untuk memperkuat ilmu sihirnya sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh-uh dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, namun tetap saja Sin Hong hanya memandang sambil tersenyum geli.
Kini marahlah Liok Cit. Dia adalah murid kepala Pek-lian-kauw, ilmu sihirnya sudah amat kuat menurut anggapannya sendiri, dan kini dia dibikin malu di depan para anggauta Ang-i Mo-pang oleh seorang pemuda tak terkenal. Dalam kemarahannya, dia mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya menusuk ke arah dada Sin Hong! Gerakan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini cepat dan kuat, karena memang tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi. Namun, tidak terlalu tinggi bagi Sin Hong. Melihat tusukan pedang itu sekilas saja, Sin Hong tahu apa yang harus dia lakukan. Tubuhnya miring kekanan sehingga pedang lewat depan dadanya, tangan kanan mengetuk sambungan siku, tangan kiri menampar pundak dan kaki kirinya menyapu belakang lutut lawan. Gerakan yang dilakukan Sin Hong itu demikian cepatnya, hampir berbareng dengan datangnya serangan Liok Cit, atau sedetik berikutnya, secara otomatis sehingga tidak ada kesempatan sama sekali bagi Liok Cit untuk menghindarkan diri.
Pedang yang dipegangnya terlepas karena lengan kanan yang ditekuk bagian sikunya itu seperti lumpuh, kakinya tertekuk dan tamparan pada pundak membuat dia terjungkal!
Masih untung baginya bahwa Sin Hong membatasi tenaganya. Kalau pemuda ini menyerang sungguh-sungguh, tentu dia tewas seketika. Dengan penasaran, Liok Cit mengambil pedangnya dan meloncat berdiri, siap untuk menyerang lagi, akan tetapi terdengar bentakan Sin-kiam Mo-li.
“Liok Cit, mundur kau!” Wanita iblis ini maklum bahwa jangankan Liok Cit, bahkan ia sendiri pun dibantu oleh semua anak buahnya yang berada di situ, takkan mampu menandingi Sin Hong yang tentu akan dibantu oleh Suma Lian pula.
Sementara itu, Yo Han bersorak gembira melihat kehebatan Sin Hong dan dia pun berkata,
“Paman, aku akan ikut bersama Paman dan ingin menjadi murid Paman” Setelah berkata demikian, dia lari mendekat dan memegang tangan Sin Hong. Melihat ini, legalah hati Bi-kwi yang tadinya khawatir kalau-kalau puteranya itu tetap tidak mau pergi.
“Taihiap, tolonglah, harap Taihiap sudi membawa puteraku. Kami suami isteri akan berterima kasih sekali,” kata Bi-kwi dengan suara memohon. Ia mengenal kekerasan hati puteranya, sekali pilihan puteranya dijatuhkan kepada pemuda itu, tentu dia tidak mau disuruh ikut orang lain.
Sin Hong memandang kepada Yo Han yang memegang tangannya dan tersenyum. Sejak tadi dia memang sudah merasa suka sekali kepada Yo Han. Akan tetapi mempunyai murid? Dia masih terlalu muda, hidupnya sendiri masih berkelana dan dia masih memiliki banyak tugas, menyelidiki pembunuh ayahnya dan lain-lain. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini, ibu dari anak itu tidak berdaya dan dia harus menolongnya, maka dia pun mengangguk.
“Baiklah, harap jangan khawatir, Enci,” katanya.
Bi-kwi hampir bersorak saking girang dan lega hatinya.
“Terima kasih, Taihiap, dan harap suka memperkenalkan nama agar kami tidak akan melupakan Taihiap.”
Jarang Sin Hong memperkenalkan namanya, apalagi nama tiga orang gurunya. Akan tetapi karena dia hendak membawa pergi anak orang, terpaksa dia berterus terang,
“Namaku Tan Sin Hong, Enci. Mari Yo Han, mari kita pergi dari sini.” Dia lalu menggandeng tangan anak itu dan pergi sambil melirik ke arah Suma Lian dan mengangguk sebagai tanda hormat.
“Ibu, selamat tinggal, sampaikan hormatku kepada ayah!” Yo Han berteriak kepada ibunya sambil menoleh, kemudian dia pun melanjutkan langkahnya di samping penolong yang kini menjadi gurunya. Bi-kwi memandang dengan kedua mata basah.
Suma Lian merasa serba salah, Ingin ia menerjang Sin-kiam Mo-li yang tadi hampir mencelakainya dengan jebakan, akan tetapi bukan ia takut melakukan ini, melainkan karena ia tahu bahwa Bi-kwi tentu akan membantu iblis betina itu demi keselamatan suaminya yang menjadi sandera. Tidak, ia harus mencari jalan lain, tidak ingin, mengorbankan keselamatan wanita itu dan suami wanita itu yang tidak berdosa.
Sejak tadi ia menonton dan diam-diam ia pun terkejut melihat betapa lihainya Sin Hong.
Akan tetapi setelah Yo Han memilih pemuda itu untuk diikutinya, ia merasa mendongkol bukan main. Bukan karena ia terlalu senang kalau dititipi seorang anak laki-laki, akan tetapi ibu anak itu tadinya minta tolong kepadanya, ibu anak itu hendak menitipkan Yo Han kepadanya. Akan tetapi pemuda bernama Tan Sin Hong itu seolah-olah menyainginya dan merebut Yo Han dari tangannya. Hal ini membuat hatinya penasaran bukan main. Seolah-olah pemuda itu membuat ia malu dan menurunkan harga dirinya di depan banyak orang! Kini, Sin-kiam Mo-li, Liok Cit, juga Bi-kwi dan semua anak buah yang berpakaian serba merah itu menunggu apa yang akan dilakukannya dan mereka agaknya sudah siap siaga. Juga Bi-kwi memandang kepadanya dengan sinar mata memohon, sinar mata yang jelas mengharapkan agar ia pergi saja dan tidak melanjutkan perkelahiannya melawan Sin-kiam Mo-li dan anak buahnya.
“Huhhh!” Suma Lian mengeluarkan dengus marah dan tanpa berkata sesuatu, ia pun membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa loncatan saja bayangannya lenyap di antara pohon-pohon.
“Bukan main....!” Bi-kwi menarik napas panjang memuji. “Orang-orang muda sekarang hebat, demikian muda telah memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Ahhh, kita seperti katak dalam tempurung...., ketinggalan jauh....“
Sin-kiam Mo-li merasa diejek dan diremehkan. Ia cemberut dan menjawab seperti orang bersungut, “Tentu saja, gadis itu cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan pemuda itu murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya....“
“Ohhh....!” Wajah Bi-kwi berseri dan matanya bersinar-sinar. Ia sudah dapat menduga bahwa gadis yang bernama Suma Lian itu tentu keturunan Pendekar Pulau Es, akan tetapi yang membuat ia merasa gembira adalah ketika mendengar tentang pemuda yang kini menjadi guru puteranya itu. Murid suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir! Bukan main! Tentu saja hatinya girang mendengar bahwa puteranya menjadi murid seorang muda yang sakti. Pantas pemuda itu sedemikian lihainya!
Melihat kegembiraan di wajah Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li merasa semakin mendongkol. Ia sendiri amat membenci pemuda murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu. Teringat ia betapa kurang lebih dua tahun yang lalu, ia dan enam belas orang lainnya, sebagian dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Mereka berhasil menewaskan tiga orang tua penghuni istana itu, akan tetapi di pihaknya sendiri, empat belas orang tewas sedangkan sisanya, ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, terluka cukup parah!
Dan kini muncul murid mereka yang amat lihai! Ia merasa menyesal sekali mengapa dahulu ia tidak membunuh saja pemuda itu, bahkan usahanya untuk “memperkosa” pemuda itu pun gagal!
“Sudahlah, Bi-kwi. Mari kita pergi. Yang penting, mulai sekarang engkau harus mentaati semua perintah pimpinan kami, membantu gerakan kami berjuang dan berusaha menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu.”
Bi-kwi mengangguk dan sambil tersenyum ia mengikuti rombongan Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu. Ia melihat betapa suaminya terdapat pula dalam rombongan itu, bahkan tidak dibelenggu dan ia pun diperbolehkan berjalan dekat suaminya. Tanpa berkata-kata, mereka saling berpegang tangan dan berjalan. Sin-kiam Mo-li berjalan di belakang mereka siap dengan senjatanya untuk mencegah kalau-kalau Bi-kwi berusaha melarikan suaminya. Namun, Bi-kwi tidaklah sebodoh itu. Ia tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li, apalagi ditambah dengan banyak anak uuahnya. Ia takkan mampu melarikan suaminya dengan jalan kekerasan. Kalau hal itu dicobanya, berarti ia hanya akan bunuh diri bersama suaminya. Biarpun hatinya sudah merasa lega dan tenang karena putera mereka telah ikut pergi bersama Tan Sin Hong yang sakti, namun ia harus dapat mempertahankan dirinya dan suaminya dari kebinasaan dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri mereka berdua hanyalah mentaati perintah Sin-kiam Mo-li untuk sementara waktu ini. Tentu saja ia tidak mau percaya begitu saja bahwa seorang jahat dan keji macam Sin-kiam Mo-li, mendadak dapat berubah menjadi seorang patriot! Tentu ada apa-apanya dalam pergerakan yang dimaksudkan Sin-kiam Mo-li itu. Maka, ia pun
menjadi penurut dan wajahnya selalu cerah, apalagi karena ia diberi kebebasan untuk berkumpul dengan suaminya, walaupun siang malam mereka berdua selalu dibawah pengawasan ketat.
***
Suma Lian merasa penasaran sekali. Ketika ia meninggalkan rombongan Sin-kiam Mo-li yang menawan Yo Jin dan memaksa Bi-kwi menjadi pembantunya, ia masih merasa penasaran bukan main. Ia memang tidak begitu peduli akan keadaan Bi-kwi. Bukankah menurut cerita yang ia pernah dengar dari ayah ibunya, Bi-kwi memang dahulunya seorang tokoh sesat dan mungkin sejalan dengan Sin-kiam Mo-li? Kalau sekarang ia “kembali” kepada golongan hitam, hal itu tidak aneh walaupun hal itu masih meragukan melihat bahwa Bi-kwi memang dalam keadaan terjepit. Suaminya masih ditawan dan dijadikan sandera, maka terpaksalah wanita itu menyerah. Betapapun juga, ia percaya bahwa seorang wanita yang demikian cerdik dan banyak pengalaman seperti Bi-kwi, tentu akan menjaga diri sendiri dan suaminya dan tidaklah perlu dikhawatirkan benar.
Akan tetapi, yang membuat hatinya mendongkol adalah karena Yo Han oleh Bi-kwi diserahkan kepada pemuda yang mengaku bernama Tan Sin Hong itu!
Huh, tak tahu diri, pikirnya dengan hati dan perut panas ketika ia berlari cepat meninggalkan hutan itu. Bukankah ia sendiri hampir saja tewas karena membela anak itu? Hampir saja ia mengorbankan nyawanya demi menolong Yo Han. Dan apa balasnya?
Anak itu diserahkan orang lain yang datang belakangan, seolah-olah anak itu dan ibunya lebih percaya kepada Tan Sin Hong daripada kepadanya! Bahkan anak itu sendiri pun memilih Sin Hong! Memang itu hak mereka. Hanya ia mendongkol kepada pemuda itu yang dianggapnya menonjolkan diri dan menyainginya! Seolah-olah pemuda itu lebih lihai darinya, maka Yo Han memilih pemuda itu daripada ia untuk menjadi gurunya!
Bukan karena ia ingin sekali menjadi guru Yo Han! Ia pun tidak mau menjadi guru, karena kalau anak itu ikut dengannya, maka hanya akan menjadi beban. Ia seorang gadis muda, untuk apa mengambil murid? Andaikata Yo Han jadi dibawanya, paling-paling akan dititipkannya kepada keluarga lain, atau juga kepada ayah ibunya.
Makin panas rasa perutnya kalau ia teringat kepada Tan Sin Hong. Pemuda itu agaknya sengaja memamerkan kepandaiannya ketika melawan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit!
Huh, ia pun mampu merobohkan Liok Cit dalam sejurus saja! Apa anehnya mengalahkan si baju hijau itu? Pemuda sombong!
Dengan pikiran yang makin menggerogoti hatinya dan membuat hati itu menjadi semakin panas, Suma Lian mempercepat larinya untuk mengejar dan mencari Sin Hong yang tadi membawa pergi Yo Han! Segala macam emosi datang dari pikiran! Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah pengalaman lampau, menonjolkan kepentingan diri sendiri, menciptakan gambaran si aku yang demikian agung dan tingginya sehingga diganggu sedikit saja akan menimbulkan emosi dan perasaan marah, duka, takut dan sebagainya. Pikiran yang hening dan kosong dari beban ingatan masa lampau dan bebas dari bayangan khayal masa depan, akan membuat kita menjadi waspada akan diri sendiri lahir batin sekarang saat demi saat, waspada akan keadaan sekeliling kita, sehingga kita akan mampu menghayati hidup yang sesungguhnya, hidup yang seutuhnya.
Karena Sin Hong yang pergi sambil menggandeng tangan Yo Han berjalan biasa, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat, tentu saja dia segera dapat disusul oleh Suma Lian.
Pemuda itu berjalan seenaknya sambil mengobrol dengan Yo Han. Dia minta kepada anak itu untuk menceritakan keadaan keluarganya. Tidak banyak yang dapat diceritakan Yo Han. Anak itu hanya tahu bahwa ayah dan ibunya hidup sebagai petani-petani yang hidup penuh damai dan tenteram, cukup makan dan pakaian, dan dia sendiri sejak kecil hidup di dusun itu, bermain dengan anak-anak dusun lainnya. Hanya bedanya dengan anak-anak dusun, dia sejak kecil diberi pelajaran baca tulis oleh ibunya sehingga kini dia sudah pandai membaca dan menulis, bahkan membuat sajak.
“Engkau tidak pernah dilatih ilmu silat?” tanya Sin Hong yang merasa heran sekali.
Yo Han menggeleng kepala.
“Jangankan dilatih ilmu silat, bahkan mengetahui bahwa ibu pandai ilmu silat pun baru saja tadi ketika ayah ditawan. Sebelum ini ayah dan ibu tidak pernah bicara tentang ilmu silat dan aku pun tidak pernah mimpi bahwa ibuku pandai ilmu silat.”
Diam-diam Sin Hong merasa heran akan tetapi juga kagum. Dia dapat menduga bahwa agaknya ayah ibu dari anak ini ingin menjauhkan anak mereka dari kehidupan kang-ouw yang serba keras dan penuh dengan permusuhan.
“Ibumu memang memiliki ilmu silat yang cukup hebat, akan tetapi apakah ayahmu tidak memiliki ilmu kepandaian silat pula yang tinggi?”
“Tidak, tidak. Ayah seorang petani biasa. Di dalam tawanan itu, ayah menceritakan semua padaku, Paman. Katanya bahwa ibu dahulu adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga di juluki Bi-kwi (Setan Cantik), sedangkan ayah hanyalah seorang petani biasa saja. Ketika ayah dan ibu menjadi suami isteri, ibu berjanji akan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat. Bahkan ayah pula yang melarang agar ibu tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku. Akan tetapi setelah terjadi penculikan atas diriku, ayah merasa menyesal bahwa aku tidak diajar ilmu silat sehingga tidak mampu membela dan melindungi diri sendiri.”
Atas permintaan Sin Hong, Yo Han lalu menceritakan bagaimana dia diculik dan dilarikan oleh Liok Cit, betapa kemudian di tengah jalan dia dilarikan karena Liok Cit dikejar oleh Suma Lian.
“Enci Suma Lian yang gagah perkasa itu hampir saja celaka karena membelaku. Betapa gagahnya enci Suma Lian. Untung kemudian muncul engkau, Paman. Dan aku merasa girang sekali bahwa Paman suka membawa aku pergi. Paman tentu akan melatih ilmu silat kepadaku, bukan? Aku suka sekali menjadi muridmu, Paman. Sebaiknya sekarang juga aku mengangkat Paman menjadi guruku.” Setelah berkata demikian, Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong sambil menyebut, “Suhu....!”
Sin Hong cepat memegang pundak Yo Han dan menariknya bangun. Wajahnya merah karena dia merasa rikuh sendiri menerima penghormatan sebagai seorang guru. Baru saja dia meninggalkan perguruan dan kini sudah hendak diangkat menjadi guru. Dia merasa canggung dan belum waktunya menerima seseorang menjadi muridnya. Hidupnya sendiri masih tidak menentu, bagaimana mungkin dia menerima beban baru berupa seorang murid?
“Nanti dulu, Yo Han. Jangan tergesa-gesa mengangkatku sebagai guru....“
“Akan tetapi, Suhu! Bukankah Suhu sudah menerima permintaan ibu? Dan teecu sudah mengambil keputusan meninggalkan ayah dan ibu, hanya karena teecu (murid) suka untuk menjadi murid Suhu!”
“Tadinya aku hanya ingin menyelamatkanmu dan orang tuamu, maka aku mau menerimamu dan mengajakmu pergi, Yo Han, akan tetapi ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda pengembara yang hidupnya pun belum menentu. Aku tidak memiliki tempat tinggal, tidak berkeluarga....”
“Teecu akan ikut Suhu, ke manapun Suhu pergi, dan teecu tidak takut menghadapi hidup serba kurang dan sederhana, teecu akan bekerja dan melakukan apa saja yang Suhu kehendaki....“
Yo Han berkata, nada suaranya khawatir kalau-kalau pemuda yang sakti itu tidak akan suka menjadi gurunya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disusul suara Suma Lian.
“Bagus! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, ya?”
Sin Hong mengangkat mukanya dan gadis itu sudah berada di situ, berdiri tegak, kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan di pinggang, sepasang matanya memandang tajam.
“Orang she Tan! Kalau engkau tidak suka menerima Yo Han ini menjadi muridmu, mengapa engkau tadi menjual lagak dan memamerkan kepandaian, lalu menerima permintaan ibu anak ini?”
Sin Hong tertegun.
“Nona Suma Lian, harap jangan salah sangka. Bukan maksudku untuk melepas tanggung jawab dan menolaknya, aku hanya menjelaskan kepadanya bahwa tidak mungkin dia hidup bersama aku yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak berkeluarga. Hidupku sendiri tidak menentu, sebagai petualang dan pengelana, bagaimana mungkin ditambah seorang lagi? Dan juga aku mempunyai tugas yang belum kuselesaikan, dan tugas itu akan membawaku ke tempat-tempat berbahaya, berhadapan dengan lawan-lawan berbahaya. Kalau dia ikut denganku, bukankah hal itu berarti membawa dia ke dalam ancaman bahaya pula?
Suma Lian tersenyum mengejek, diam-diam ia tertawa dan hatinya senang. Rasakan kamu, pikirnya. Untung bukan ia yang tadi menerima beban itu!
“Lalu apa maksudmu tadi memamerkan kepandaian dan menerimanya dari ibunya?”
“Aku tadi hanya bermaksud menolong dan menyelamatkan....“
“Huh, engkau hanya ingin berlagak dan memamerkan ilmu kepandaian silatmu, dan memandang rendah kepada orang lain ya? Hemmm, ingin aku melihat sampai di mana kepandaianmu maka engkau menjadi sombong dan besar kepala! Nah, bersiaplah dan majulah melawanku, manusia sombong!”
Sin Hong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa dia akan disusul oleh gadis yang galak ini. Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding tanpa sebab dengan gadis itu, apalagi gadis itu she Suma yang membuktikan bahwa gadis ini adalah keturunan pendekar Pulau Es!
“Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Nona. Untuk apa aku harus melayanimu bertanding?” bantahnya.
“Hemmm, engkau agaknya hanya berani berlagak karena mengetahui betapa lawanmu memang tolol dan rendah ilmu silatnya, macam Tok-ciang Hui-moko tadi. Dan engkau menjadi jerih ketika kutantang untuk mengadu ilmu. Apakah engkau selain sombong juga seorang pengecut?” Suma Lian sengaja mengeluarkan makin ini dengan maksud untuk memaksa pemuda itu bertanding dengannya. Ia ingin sekali menguji kepandaian pemuda itu, juga kepandaiannya sendiri.
Wajah Sin Hong berubah merah. Panas juga perutnya ketika mendengar ucapan terakhir itu. Dia dianggap sombong dan pengecut! Sungguh keterlaluan sekali nona ini, pikirnya.
Dari ucapannya itu saja jelas menunjukkan bahwa yang sombong adalah nona ini!
Timbul pula keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu gadis keturunan para pendekar Pulau Es ini. Sudah banyak dia mendengar dari ketiga orang guruna akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es, dan kini kebetulan sekali dia ditantang dan dipaksa untuk bertanding melawan seorang di antara mereka. Kesempatan yang amat baik! Dan pertandingan itu dipaksakan oleh gadis itu, bukan atas kehendaknya.
“Baiklah, nona Suma. Kalau memang engkau menghendaki kita mengadu ilmu, terpaksa aku melayanimu untuk membuktikan bahwa aku tidak takut dan bukanlah pengecut, juga bukan orang sombong seperti yang kausangka tadi.” Berkata demikian, Sin Hong lalu melangkah maju menghadapi nona itu. Yo Han berdiri dengan mata terbelalak lebar dan jantung berdebar tegang. Enci Suma Lian ini tidak tahu bahwa tadi ia diselamatkan oleh gurunya, ketika gurunya itu mencegah batu besar menggelinding masuk ke dalam sumur.
Kalau enci Suma Lian mengetahui, tentu ia tidak akan bersikap seperti ini, pikirnya.
Mulutnya sudah bergerak hendak memberitahu, akan tetapi ditahannya karena dia pun ingin sekali melihat pertandingan adu ilmu antara dua orang yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ibunya itu. Tentu saja diam-diam dia berpihak kepada suhunya!
Sementara itu, melihat betapa Sin Hong telah menghadapinya, Suma Lian memandang dengan penuh perhatian. Ia memang sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dan pengecut, untuk memaksa pemuda itu mau melayaninya bertanding. Kini ia mengamati pemuda itu. Seorang pemuda yang wajahnya biasa saja, seperti seorang pemuda petani biasa yang sederhana. Pakaiannya serba putih, dari kain kasar pula. Akan tetapi, pada wajah yang biasa itu terdapat sepasang mata yang sinarnya lembut sekali, dan mulut yang mengandung keramahan, dengan senyum lembut pula. Mata dan mulut itulah yang mengandung daya tarik yang amat kuat.
Di lain pihak, Sin Hong juga mengamati gadis yang dikaguminya itu. Gadis keturunan keluarga Suma dari Pulau Es! Tadi ketika tersenyum mengejek, dia melihat betapa di tepi kedua ujung mulut gadis itu tiba-tiba muncul dua lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Sepasang mata yang tajam dan jeli, juga lincah. Sikap yang gagah dan berani, agak ugal-ugalan. Seorang gadis yang jelas menunjukkan bahwa ia biasa hidup di dunia persilatan, berani menghadapi kehidupan yang keras dan penuh tantangan. Kedua orang muda itu saling pandang seperti dua ayam jago yang saling menilai sebelum bertarung.
Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini lihai, Suma Lian tidak mengeluarkan sulingnya karena pemuda itu pun bertangan kosong. Ia ingin menguji kepandaian pemuda itu dalam ilmu silat tangan kosong. Melihat pemuda itu sudah berdiri dengan sikap tenang di depannya, ia pun mulai memasang kuda-kuda dan membentak nyaring,
“Orang she Tan, lihat seranganku!” Teriakan ini disusul serangan yang amat cepat dan kuat, karena ia sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dalam jurus serangan Ilmu Silat Lothian Sin-kun.
Hebat bukan main serangannya, karena memang Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang dipelajarinya dari mendiang Bu Beng Lokai itu merupakan ilmu silat tingkat tinggi yang ampuh. Juga tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) merupakan ilmu keturunan keluarga Pulau Es yang hebat.
Sin Hong kagum melihat gerakan serangan yang amat cepat dan dahsyat itu, dan dia sudah merasakan sambaran hawa dingin ke arah dadanya sebelum tangan gadis itu sendiri tiba, dan tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung hawa pukulan sin-kang dari keluarga Pulau Es. Karena dia memang tidak mempunyai maksud untuk bermusuhan dengan gadis itu, maka dia pun tidak mau melawan keras dengan keras. Dia menggerakkan kedua kakinya dan menggeser kaki depan ke belakang menghindarkan diri dari serangan pertama itu dengan elakan. Melihat betapa serangannya dapat dielakkan dengan mudahnya. Suma Lian mendesak lagi dengan serangan berikutnya yang lebih hebat. Kini, tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-kang, sedangkan pada detik berikutnya, tangan kanannya sudah menjotos ke arah dada dengan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api)! Gadis ini menerima gemblengan penggunaan kedua sin-kang yang berlawanan dari keluarga Pulau Es, digembleng oleh ayahnya sendiri setelah ia pulang dari berguru kepada mendiang Bu Beng Lokai. Karena ia sudah memperoleh dasar yang amat kuat, maka tidak sukar baginya menerima penggabungan kedua inti tenaga sakti itu yang merupakan kebanggaan dari keluarga Pulau Es.
Ketika ada dua macam tenaga yang berlawanan, dingin sekali kemudian disusul panas sekali, Sin Hong terkejut bukan main. Kedua hawa sakti yang menyambar itu seperti mengepungnya dan agaknya sukar baginya untuk hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Gadis itu ternyata mampu bergerak dengan amat cepat, dan gerakan kaki gadis itu pun aneh, mengepung dan memotong jalan keluarnya, maka, kini terpaksa dia harus membela diri dengan tangkisan. Hal ini memang disengaja oleh Suma Lian yang hendak memaksa pemuda itu mengadu tenaga sakti, karena gadis ini merasa yakin bahwa penggabungan kedua sin-kang yang berlawanan itu tentu takkan dapat ditahan oleh lawan. Sin Hong tidak berani mempergunakan tenaga sin-kang gabungan dari tiga orang gurunya dalam Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun, melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang pernah dipelajarinya dari Tiong Khi Hwesio, seorang di antara tiga orang gurunya itu. Ketika kedua tangan gadis itu menyambar hampir berbareng dengan kedua sin-kang yang berlawanan, dia pun menangkisnya dengan pengerahan tenaga Inti Bumi.
Tak dapat dicegah lagi, dua pasang lengan itu saling bertemu di udara.
“Plakkk! Plakkkkk!”
Melihat betapa pemuda itu merendahkan badan seperti mendekam, kemudian meloncat dan menangkis serangannya, dan hawa pukulan yang amat kuat menahan kedua pukulannya, membuat tubuhnya terdorong ke belakang seperti dilanda angin badai, Suma Lian mengeluarkan seruan kaget dan cepat ia berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga yang mendorongnya. Dengan gerakan indah, ia sudah dapat meluncur turun kembali setelah membuat salto tiga kali sehingga ia dapat melihat betapa pemuda itu juga terdorong mundur dan nampak sedikit menggigil. Suma Lian tersenyum.
Tadinya ia terkejut dan juga takut kalau-kalau ia kalah kuat, akan tetapi kini ternyata bahwa lawannya juga terdorong ke belakang, bahkan bekas kehebatan Swat-im Sin-kang masih nampak mempengaruhinya, membuatnya agak menggigil. Akan tetapi yang membuat ia tadi kaget setengah mati adalah ketika mengenal gerakan Sin Hong. Tidak salah lagi, pemuda itu tadi mengeluarkan tenaga sakti Inti Bumi, melihat dari caranya mendekam lalu meloncat ketika menangkis.
Sin Hong juga terkejut bukan main. Dia kagum sekali. Sekarang barulah dia tahu mengapa tiga orang gurunya memuji-muji ilmu dari keluarga Pulau Es. Ketika tadi dia menangkis, memang dia tidak berani mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi akibatnya, dia terdorong mundur sampai terhuyung-huyung, dan tubuhnya diserang hawa panas sekali, kemudian dingin sekali sampai membuat dia menggigil. Memang dia dapat segera mengatasi hawa dingin ini dengan tenaga sin-kangnya, akan tetapi hal itu membuatnya terkejut sekali. Juga dia kagum melihat betapa gadis itu dengan indahnya dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik sampai tiga kali dengan gaya dan gerakan indah.
Akan tetapi, sebelum hilang kaget dan kagumnya, kini dia menjadi semakin kaget melihat betapa gadis itu merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba saja gadis itu menyerangnya lagi.
Dari jarak yang agak jauh, karena gadis itu tadi berjungkir balik ke belakang sejauh tiga meter lebih, tiba-tiba gadis itu meluncur, bagaikan seekor naga menyerangnya dengan serangan dahsyat dan aneh sekali, dengan kedua tangan dibentangkan dan jari telunjuk ditudingkan, kemudian secara bertubi-tubi kedua jari telunjuk itu melakukan totokan-totokan dengan tenaga yang amat dikenalnya, karena cara gadis itu tadi mengumpulkan tenaga, jelas bahwa gadis itu menggunakan tenaga Inti Bumi! Dan serangan totokan bertubi itu mengeluarkan suara mencicit-cicit seperti benda tajam yang menyambar-nyambar! Dia tidak tahu bahwa gadis itu kini mengguhakan Ilmu Totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari ayahnya, sebuah ilmu totokan yang amat ganas dan berbahaya, juga amat aneh dan sukar dihindarkan lawan.
Sin Hong merasa betapa dirinya diserang oleh banyak jari tangan yang lebih berbahaya daripada dua batang tombak, yang seolah-olah bermata dan menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuhnya yang berbahaya. Dia sudah menangkis dengan kedua lengannya juga mengelak ke sana-sini, namun akhirnya dia menjadi sibuk karena sukar sekali mematahkan serangkaian serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi itu. Dia tidak mengenal ilmu totokan yang aneh sekali gerakannya itu, yang biarpun dilakukan dengan sebuah saja jari tangan, namun amat berbahaya karena jari telunjuk itu menjadi keras bagaikan baja. Dia pernah mempelajari ilmu Toat-bengci (Jari Maut), sebuah ilmu totokan yang istimewa dari seorang di antara tiga gurunya. Gurunya itu, Tiong Khi Hwesio, dahulunya ketika masih bernama Wan Tek Hoat pernah mendapat julukan Si Jari Maut karena ilmu totoknya itu. Dibandingkan dengan Toat-beng-ci, kedua jari tangan gadis itu tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi, teringat akan Toatbeng-ci, dia pun lalu cepat mengubah gerakannya dan kini dia pun menghadapi totokan-totokan itu dengan totokan pula!
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar