Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 15.

Kisah si Bangau Putih Jilid 15

15

Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang.... tapi.... ah, lihat, itu.... ibu kalian datang.... Milana.... tungguuu....!”
Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Aah, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami....“
Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka. Suma Lian memandang mereka dengan mata basah.
“Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kong-kong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya kong-kong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sin-kang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semua sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, mantu pertama dari Pendekar Super Sakti (riwayat Gak Bun Beng diceritakan dengan lengkap dalam kisahSepasang Pedang Iblis ). Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana, sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia dan diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan kedua orang muridnya di tempat yang amat sunyi itu. Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh karena tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.
Tinggal dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapapun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah. Juga mereka merasa terharu dan berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh kedua orang kembar Gak yang lebih berhak. Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu, barang-barang yang dipakainya sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih ada hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersamadhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersamadhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimanapun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoinya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu.
“Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama disini.”
”Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu.... ke mana kita akan pergi, Suci?” Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Aku....? Aku.... entah akan pergi ke mana....?” kata Li Sian dan melihat wajah Sumoinya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ah, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Ah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya....!”
Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan....”
“Ah, mereka akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian yang merangkul sucinya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada sucinya.
“Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biarpun ayah bundaku sudah tiada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada diantara mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu di Hong-cun, Suci.”
Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah saling rangkul sampai lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.
***
Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, tinggal di kota Pao-teng, di sebelah selatan kota raja. Bekas panglima Kao ini berdagang rempah-rempah, dan kelihatan sebagai pedagang biasa saja bagi mereka yang tidak mengenalnya. Akan tetapi, dunia kang-ouw tahu belaka siapa sesungguhnya pria yang kini usianya sudah lima puluh delapan tahun namun masih nampak gagah perkasa itu, juga siapa kira isterinya sendiri yang sudah mendekati lima puluh tahun namun masih nampak lincah dan jauh lebih muda dari usianya, tubuhnya masih tegap dan ramping. Tidaklah mengherankan kalau suami isteri ini nampak lebih muda dan sehat, karena mereka adalah suami isteri pendekar yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan jarang dapat menemukan tandingan di masa itu! Kao Cin Liong adalah putera tunggal dari penghuni Istana Gurun Pasir, putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan dia pernah menjadi seorang panglima muda yang amat berjasa memadamkan banyak api pemberontakan di selatan dan barat. Adapun isterinya, Suma Hui, juga bukan wanita sembarangan. Dari mana keturunannya juga dapat di duga bahwa ia adalah keturunan keluarga pendekar Pulau Es, dan sesungguhnya ia masih cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, penghuni Istana Pulau Es.
Sebetulnya, dengan tingkat ilmu kepandaian silat mereka yang amat tinggi dan lihai, mereka menjadi guru-guru yang cukup baik untuk anak tunggal mereka, yang bukan lain adalah Kao Hong Li. Hanya karena Kao Hong Li merupakan anak tunggal yang manja, maka ayah ibunya tidak terlalu menekan walaupun gemblengan ilmu silat tinggi mereka berikan. Karena itu, setelah kini berusia dua puluh tahun lebih, Kao Hong Li menjadi seorang gadis dewasa yang amat tangguh, dan walaupun tidak setinggi ayahnya tingkat kepandaiannya karena kadang-kadang ia malas berlatih dan orang tuanya tidak menekannya, namun setidaknya ia sudah mampu mengimbangi tingkat kepandaian ibunya!
Kao Hong Li merupakan seorang gadis yang cantik dan cerdik. Ia manis seperti ibunya, dengan wajah bulat telur dan sepasang matanya amat menarik, mungkin memiliki daya tarik terbesar diantara semua kecantikannya, mata itu lebar dan jeli, dengan bulu mata yang panjang lentik, dan dihiasi sepasang alis yang hitam lebat, kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja. IA lincah dan galak seperti ibunya, cerdik dan pandai bicara seperti ibunya pula, dan gagah perkasa tak mengenal takut seperti ayahnya.
Ada satu hal yang membuat suami isteri itu akhir-akhir ini agak murung kalau teringat, yaitu bahwa sampai kini berusia dua puluh tahun lebih, puteri mereka itu belum juga mau dicarikan jodoh! Setiap kali mereka membicarakan urusan jodoh, gadis itu cemberut dan marah-marah, tidak mau mendengarkan dan lari ke dalam kamarnya. Kalau Suma Hui melakukan pendekatan dan menyusul ke dalam kamarnya, Kao Hong Li akan mencela ibunya.
“Kenapa sih Ibu dan Ayah selalu mendorongku untuk menikah? Apa Ayah dan Ibu sudah bosan dan tidak suka kepadaku, ingin melihat aku pergi dari rumah ini dan mengikuti suami?”
Ibunya segera merangkul dan tersenyum.
“Hushhh! Bagaimana engkau bisa berkata demikian, Hong Li? Ayah dan ibumu sayang kepadamu, mana bisa bosan dan tidak suka? Kalau kami membujukmu untuk menikah, bukankah hal itu sudah wajar? Ingat, usiamu kini sudah mendekati dua puluh satu tahun. Mau tunggu apa dan kapan lagi? Biasanya, seorang gadis akan menikah dalam usia antara enam belas sampai dua puluh tahun, dan engkau sudah hampir dua puluh satu....”
“Ibu sendiri, berapa usia Ibu ketika menikah dengan Ayah?” Inilah senjata yang dipergunakan Hong Li kalau ibunya mendesak dengan alasan usia.
Suma Hui Menarik napas panjang.
“Lain lagi dengan aku, anakku. Memang aku menikah dengan ayahmu sudah berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, akan tetapi....”
“Nah, aku pun tidak tergesa-gesa. Bagaimanapun juga, aku tidak mau menikah dengan seorang laki-laki yang asing bagiku, yang tidak kusuka!”
“Hemmm, kau maksudkan, engkau hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang kau cinta?”
Wajah Hong Li berubah merah, akan tetapi ia menjawab juga,
“Bukankah begitu sebaiknya Ibu?”
Kembali Suma Hui menghela napas dan mengangguk.
“Yah memang demikian sebaiknya. Akan tetapi kapan engkau akan bertemu dengan seorang pemuda yang kaucinta? Atau.... apakah sudah ada pemuda itu?” tanyanya penuh harap.
Wajah itu menjadi semakin merah dan cepat Hong Li menggeleng kepalanya.
“Tidak ada, Ibu! Mana ada pemuda yang seperti kuidamkan dan yang pantas kucinta di tempat ini? Yang ada hanya pemuda brengsek, jual lagak, pamer kekayaan dan pangkat ayahnya, menyebalkan!”
“Hemmm, jangan begitu anakku. Habis, pemuda macam apa yang kiranya akan dapat menundukkan hatimu?”
“Dia harus seperti ayah, memiliki ilmu silat dan ilmu surat yang tinggi, setidaknya dapat mengalahkan atau mengimbangi kepandaianku. Dia harus gagah perkasa, membela kebenaran, dan harus.... harus orang yang dapat menimbulkan kekaguman dan rasa suka di dalam hatiku!”
Diam-diam Suma Hui terharu. Betapa sama benar keinginan anaknya dengan keinginan hatinya sendiri ketika ia masih gadis! Dan bukankah setiap orang gadis juga menginginkan hal seperti itu? Bagaimana ia dapat menyalahkan puterinya?
“Akan tetapi Hong Li, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini, kiranya di dunia ini tidak ada banyak pemuda yang akan mampu menandingimu!”
“Tentu ada, Ibu. Kalau memang sudah kutemukan yang cocok dengan hatiku, aku juga dapat mengalah....“
Suma Hui tertawa dan merangkul anaknya. Mengertilah ia. Ketinggian ilmu itu bukan merupakan syarat mutlak, melainkan kalau ada perasaan cinta di dalam hati puterinya, tentu puterinya itu akan mengalah terhadap pemuda yang dicintanya!
“Aih, Hong Li, aku hanya mendoakan semoga engkau akan segera bertemu dengan jodohmu. Ingatlah, ayah ibumu sudah mulai tua dan kami sungguh mendambakan seorang cucu darimu.”
“Ih, Ibu!” kata Hong Li dan ia pun merebahkan dirinya menelungkup dan menutupi telinganya dengan bantal. Ibunya tertawa dan meninggalkan kamar puterinya untuk menghibur suaminya, menceritakan percakapannya dengan Hong Li.
Biarpun demikian, tetap saja suami isteri itu merasa kecewa karena mereka tidak melihat kemungkinan puteri mereka akan bisa bertemu dengan jodohnya dalam waktu dekat.
Kalau puterinya hanya tinggal di rumah saja, di kota Poa-teng yang tidak berapa besar, bagaimana mungkin bertemu dengan seorang pemuda yang sepadan menjadi calon jodohnya?
“Aih, kalau aku teringat kepada murid adikmu, itu rasanya aku akan suka kalau dia menjadi calon mantu kita,” kata Kao Cin Liong kepada isterinya.
“Kau maksudkan Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun itu? Hemmm, dia memang baik, dan tentang ilmu silat, tentu masih di bawah tingkat anak kita. Akan tetapi, kita tidak tahu dia berada di mana sekarang! Ciang Bun tidak pernah singgah di sini dan tidak pernah memberi kabar sekarang berada di mana. Sudahlah, jodoh sudah diatur oleh Tuhan, kita tinggal berdoa saja.”
Kao Cin Liong kembali menarik napas panjang.
“Sebaiknya kalau aku membawa ia melakukan perjalanan, berkunjung ke kakek dan neneknya.”
“Di gurun pasir?”
“Ya, ayah dan ibu sudah sangat tua, sayang bahwa mereka tidak mau kita ajak tinggal di sini. Siapa tahu dari mereka aku akan mendapatkan petunjuk tentang jodoh anak kita, dan aku pun sudah rindu kepada mereka.”
“Habis toko kita bagaimana? Kalau ditutup terlalu lama, tentu kita akan kehilangan langganan.”
“Karena itu, biar aku seorang saja yang mengajak Hong Li pergi ke utara. Engkau mengurus toko, isteriku.”
Sebetulnya Suma Hui juga ingin ikut, akan tetapi ia merasa sayang meninggalkan tokonya yang mulai maju maka ia pun akhirnya setuju.
“Asal kalian pergi jangan terlalu lama.”
Akan tetapi, sebelum mereka memberitahukan Hong Li tentang maksud Kao Cin Liong, pada sore hari muncullah seorang pemuda di rumah mereka. Pemuda yang berpakaian serba putih, berusia dua puluh dua tahun, bersinar mata lembut dan wajah cerah ramah, juga bersikap sopan santun. Begitu Kao Cin Liong dan isterinya menyambut, pemuda itu segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong.
“Suheng, saya datang menghadap....”
Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran. Dia lupa lagi kepada Tan Sin Hong, yang pernah dilihatnya ketika pemuda itu masih remaja. Akan tetapi karena satu-satunya orang di dunia ini yang menyebutnya suheng hanya seorang, yaitu pemuda remaja yang pernah dilihatnya menjadi murid ayah ibunya di gurun pasir itu, dan kedua yang menyebutnya suheng adalah seorang wanita bernama Can Bi Lan yang pernah menjadi murid ayah ibunya pula, dia pun segera dapat menduga siapa pemuda itu.
“Engkau Tan Sin Hong?”
“Benar, Suheng.”
“Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang. Masuklah, dan perkenalkan, ini isteriku.”
Sin Hong segera memberi hormat dengan sikap sopan kepada Suma Hui yang juga sudah pernah diceritakan suaminya bahwa di gurun pasir terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi murid ayah bundanya. Wanita ini menerima penghormatan sute suaminya itu sambil mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berjiwa sederhana, tercermin dari keadaan pakaiannya dan gerak-geriknya, sopan dan rendah hati, tidak menonjolkan diri walaupun dia sebagai murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tentu telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Wajah pemuda itu sedang saja, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan, mata yang bersinar lembut dan mulut yang selalu tersenyum ramah itu amat menarik, juga sepasang mata lembut itu kadang-kadang mengeluarkan sinar mencorong, tanda bahwa dalam diri pemuda ini ada suatu kekuatan yang dahsyat.
Pemuda itu dipersilakan duduk diruangan dalam dan pada saat itu, muncullah Kao Hong Li, melihat bahwa orang tuanya menerima tamu pria yang disangkanya tentulah seorang yang datang untuk urusan dagang rempah-rempah, ia hanya menjenguk keluar pintu dan hendak masuk ke belakang lagi. Akan tetapi ayahnya memanggilnya.
“Hong Li, kesinilah dan bertemu dengan Susiokmu!”
Mendengar ini, Hong Li memandang heran. Ia memang pernah mendengar dari ayahnya, ketika ayahnya itu berkunjung ke gurun pasir bahwa ayahnya mempunyai seorang adik seperguruan yang sedang belajar di gurun pasir. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa susioknya (paman guru) itu adalah seorang lakilaki yang masih demikian mudanya, kiranya tak banyak selisihnya dengan usianya sendiri. Akan tetapi ia pun segera memasuki ruangan itu, menghampiri meja di mana Sin Hong duduk berhadapan dengan Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Melihat seorang gadis yang cantik dan gagah, Sin Hong cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya. Hong Li segera memberi hormat dan berkata dengan jujur,
“Inikah Susiok dari gurun pasir? Tak kusangka masih begini muda!”
Sin Hong membalas penghormatan itu, tidak seperti seorang paman, melainkan seperti orang yang seusia, dan menjawab,
“Aku sungguh merasa terlalu tinggi untuk menjadi susiokmu, Nona.”
Kao Cin Liong tersenyum.
“Duduklah, Hong Li. Susiokmu Tan Sin Hong ini baru saja datang. Kami sedang bersepakat untuk berangkat berkunjung ke gurun pasir, yaitu aku dan engkau, Hong Li, dan ibumu berjaga di rumah. Aku telah rindu kepada kakek dan nenekmu, dan akan mengajak engkau berangkat besok pagi, eh, tiba-tiba saja muncul sute Sin Hong! Tentu dia membawa banyak kabar dari Istana Gurun Pasir.”
Sin Hong menarik napas panjang. Sungguh amat tidak menyenangkan harus membawa berita yang amat buruk kepada keluarga perkasa ini. Dia pun melihat betapa kegembiraan membayang di wajah gadis itu ketika mendengar kata-kata ayahnya yang hendak mengajaknya berkunjung ke gurun pasir. Maka cepat-cepat dia bangkit berdiri dan menjura kepada suhengnya.
“Suheng, sungguh saya merasa menyesal sekali bahwa saya datang berkunjung ini hanya membawa berita yang amat buruk dan mendatangkan duka. Dia menahan diri agar tidak memperlihatkan wajah duka, bahkan mengeraskan hati agar kedua matanya yang sudah terasa panas itu tidak sampai menjadi basah oleh air mata.
Namun, ayah ibu dan anak yang bermata tajam itu tentu saja melihat perubahan pada wajah Sin Hong dan ketiganya terkejut bukan main.
“Sute, berita buruk apakah yang kaubawa? Ada apa dengan ayah ibuku?” tanya Kao Cin Liong, hatinya merasa tidak enak sekali.
“Ketiga orang tua itu, subo dan kedua orang suhu, kini telah.... tiada lagi, Suheng.”
“Apa.... apa maksudmu!” Kao Cin Liong membentak, terkejut bukan main dan matanya terbelalak, mukanya pucat.
Dengan kepala ditundukkan, Sin Hong menjelaskan.
“Mereka telah meninggal dunia.”
“Ahhh....!” Kao Cin Liong terkulai lemas dan tak dapat berkata-kata lagi, sedangkan Kao Hong Li merangkul ibunya dan kedua orang wanita ini mulai menangis.
“Tan Sin Hong sute, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi!” kata Kao Cin Liong, suaranya parau akan tetapi tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang jelas dibayangi duka itu.
Sungguh merupakan tugas yang amat tidak enak bagi Sin Hong untuk menceritakan semua yang telah terjadi di Istana Gurun Pasir. Namun, dia mengeraskan hatinya.
“Maafkan saya, Suheng. Baru sekarang saya dapat datang untuk melapor. “Peristiwa itu telah terjadi setahun yang lalu....”
“Setahun? Mereka telah meninggal dunia, selama setahun? Sute, apa artinya keterlambatan yang amat lama ini?”
“Sekali lagi maaf, Suheng. Saya terpaksa harus menyembunyikan diri selama satu tahun, karena keadaan saya. Untuk jelasnya, baik saya ceritakan semua yang telah terjadi Suheng.”
Dengan jelas Sin Hong lalu menceritakan apa yang telah terjadi setahun yang lalu itu di gurun pasir. Betapa Istana Gurun Pasir diserbu oleh tujuh belas orang datuk sesat yang menyerang tiga orang tua itu. Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio membela diri mati-matian sehingga di antara tujuh belas orang penyerbu itu, empat belas orang tewas dan yang hidup hanya tiga orang saja, itu pun dalam keadaan terluka. Akan tetapi, tiga orang tua itu tewas semua!
“Lalu untuk apa engkau berada di sana!” bentak Suma Hui dengan marah sekali, sinar matanya seperti hendak menyerang Sin Hong.
Pemuda itu memandang wajah Suma Hui.
“Maafkan saya, pada waktu itu, saya sama sekali tidak mampu bergerak. Tiga orang guru saya telah mengajarkan Pek-ho Sin-kun dan menyalurkan sin-kang mereka kepada saya, dengan syarat bahwa selama setahun, saya tidak boleh bermain silat atau menyalurkan sin-kang dan kalau pelanggaran itu saya lakukan, saya tentu seketika akan mati terpukul tenaga sendiri dari dalam! Saya menjadi seperti seorang yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan.”
Kao Cin Liong dapat memaklumi hal itu dan dengan suara masih serak karena duka, namun halus, dia berkata,
“Lanjutkan ceritamu, Sute. Lalu bagaimana?”
“Tiga orang yang masih hidup itu adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dari Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw. Mereka lalu menangkap saya dan memaksa saya menunjukkan tempat disimpannya kitab-kitab rahasia. Akan tetapi beberapa waktu yang lalu, tiga orang guru saya telah membakari semua kitab sehingga yang terambil oleh tiga orang itu hanyalah Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam saja.”
Suma Hui mengepal tinjunya.
“Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!”
Kao Cin Liong mengangkuk-angguk.
“Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu Sin-kiam Moli dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang lanjutkan ceritamu, Sute.”
“Mereka memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan kemudian, memenuhi pula pesan ketiga orang guru saya, maka saya lalu membakar Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah itu ikut terbakar habis. Saya menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa pada malam hari, saya mendapat kesempatan melarikan diri lalu bersembunyi di sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk bersamadhi dan tidak boleh menggerakkan tenaga sin-kang.”
Kembali Suma Hui dan puterinya menangis dan Kao Cin Liong menghela napas, panjang berkali-kali. “Aih, ayah ibuku dan paman Wan Tek Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!”
“Akan tetapi, Suheng. Sudah seringkali saya mendengar dari mereka bahwa mereka memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat. Mereka tewas, walaupun dalam usia yang sudah amat tua, namun tetap sebagai pendekar-pendekar sakti yang mereka inginkan. Mereka sama sekali tidak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan. Andaikata saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat membela mereka sekalipun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya membawa berita buruk.”
“Sudahlah, Sute. Engkau tidak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?”
“Sudah rata dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru saya.”
Tiba-tiba Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah dan ia berkata,
“Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin! Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan nenekku!”
“Tenanglah, Hong Li. Mereka itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai dan mempunyai banyak sekali kawan. Apalagi kedua orang kakek itu yang merupakan tokoh-tokoh Pat-kwakauw dan Pek-liankauw! Memang kita tidak boleh tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kaulakukan sebelum engkau daang ke sini?” tanya Kao Cin Liong kepada Sin Hong.
Sin Hong lalu menceritakan riwayat dirinya, betapa ayahnya terbunuh orang dan ibunya tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka.
Diceritakannya tentang penyelidikannya, mengenai pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa akhirnya dia memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat Tiat-liong-pang.
“Saya hendak melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimanapun juga, mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan saya terhadap Tiat-liong-pang.”
Keluarga Kao itu merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula.
“Tiat-liong-pang? Sungguh aneh, menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah yang sudah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan kalau tidak salah, ketuanya, Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas pahalanya terhadap pemerintah.”
“Saya pun sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja dari Tiat-liong-pang. Pasti ada apa-apanya di sana dan saya akan menyelidiki sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.”
“Memang sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari sudah malam dan sebaiknya malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir, kiranya besok pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.”
Sin Hong tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suhengnya.
Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang gurunya itu sebelum malapetaka itu datang menimpa.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar