Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 12.

Kisah si Bangau Putih Jilid 12

“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras. Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali.
“Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun mengenalmu! Dan ketika engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauw-kok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau membatalkan pengiriman itu, lalu mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”
“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja, orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan kedua tangannya dengan bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa “hartawan” Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu padahal tubuhnya bulat dengan perutnya yang gendut.
Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata mampu menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, akan tetapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.
“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya dan ketika kedua tangannya melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangannya sendiri bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.
“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang mengatur pancingan dan jebakan itu, siapa yang telah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”
Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.
“Aku.... aku tidak tahu siapa pembunuhnya.... aku hanyalah anak buah saja....“ katanya dengan suara terputusputus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong melepaskan jarinya.
“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”
“.... Tiat.... Tiat-liong-pang....!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan. Sin Hong terkejut bukan main karena pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Dia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya dan runtuh. Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot. Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah.

Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata memiliki gerakan yang amat cepat. Terdengar jeritan-jeritan wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apalagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!
Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran karena dia merasa yakin bahwa orang itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang telah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!
Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.
“Berhenti!” Bentakan itu dibarengi munculnya Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan. Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!
“Plakkk!” Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya.
Terlambat! Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya dan Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!
“Dukkk!” Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, lalu menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sin-kang dan orang itu terjengkang! Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu.
Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.
“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.
Ci Hwa menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri dan kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang.
“Mari kita kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat dan Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.
“Sayang, dia telah pergi....!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.
Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh kagum, kemudian ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.
“Hong-ko....“
“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepalanya.
“Tidak, dan aku terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”
“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”
“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”
“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, tiba-tiba dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”
“Ahhh....!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi. “Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”
“Sudahlah, Hwa-moi, kalau tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tidak sempat bentrok dengannya dan dia sudah lebih dahulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu karena aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”
“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”
Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main.
“Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”
“Bagaimanapun juga, keterangan itu mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu dapat lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk.
“Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”
“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasihat dan bantuan Paman.”
Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran, akan tetapi belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberitahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.
Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.
“Ia sudah dewasa dan sudah memiliki bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia berkata kepada isterinya, akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu, dia mengharapkan untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!.
Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok maupun rumah tinggalnya, telah dibikin betul, kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tidak mengenal lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.
Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira.
“Tan Sin Hong, engkau baru datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilakan.
Karena Ciu-piauwsu merupakan satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa kemudian dia menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, oleh seorang berkedok.
“Sayang aku tidak dapat menangkap orang berkedok itu,” Dia mengakhiri ceritanya.
“Akan tetapi Lay-wangwe telah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”
“Ah, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.
“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Ohhh....!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak, dia nampak terkejut bukan main.
“Kenapa, Paman?”
“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”
“Kurasa tidak, Paman. Betapapun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”
“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan.... “

“Tidak, Paman. Dugaan kita telah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah....“
“Ah, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”
“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa dia tidak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”
Ciu-piauwsu mengangguk-angguk.
“Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”
Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasihat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati kalau menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.
***
Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.
Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dinginnya. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa. Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak mempunyai tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.
Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san). Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.
Biarpun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, namun tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka, isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan angk angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walaupun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.
Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai. Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat kini bahkan menikah dengan seorang wanita saja. Maka, pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna dan hidup merana bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai kemudian dia menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.
Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun dan kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun. Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka bahkan meninggalkan mereka.
Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu. Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa mereka terhadap ayah mereka karena bagaimanapun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?
Pada suatu pagi yang amat sejuk dan indah karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermain-main seorang diri di dalam taman, sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan. Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawanya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.
Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya. Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seolah-olah taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang.
Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi. Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.
Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan. Akan tetapi, tak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia mempergunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.
Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Kini kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu! Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tidak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.
“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus. Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu. Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda. Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja.
Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan akan tetapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, melainkan ringkas, dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah. Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit hitam dan nampak kuat.
Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, kini digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Sepasang mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.
“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.
Ciang Hun mengerutkan alisnya, lalu menjawab,
“Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”
Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu.
“Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”
“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun jadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”
Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.
“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”
“Namaku Ciang Hun.”
“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”
“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”
Gadis itu kelihatan girang bukan main.
“Aih, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”
Biarpun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri dan agaknya senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya dan pandang matanya ramah sekali.
“Enci, engkau siapakah?”
“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”
Anak itu terbelalak memandang kepada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.
“Suma....? Enci, shemu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”
Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu.
“Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”
Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, dekat kota Cin-an. Biarpun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini sejak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri (baca cerita SULING NAGA).
Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian! Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat ia pun mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa! Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan amat mudahnya dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.
“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.
“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya. Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.
“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!” Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu adalah murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.
“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku!” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?” Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal-ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu NEXT>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar