Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 45

Kisah Si Bangau Merah Jilid 45

45

Seolah menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor dinyalakan di luar pagar bambu kemudian terdengar suara hiruk pikuk ketika pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar. Perkampungan itu diserbu orang dari luar.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol, dia melihat banyak pendeta Lama diantara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!
“Celaka....!” Serunya, maklum bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya mengadakan perlawanan.
Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para penyerbu bukan hanya pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja yang menyerbu, melainkan juga puluhan orang Kang-ouw. Orang-orang kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi mengamuk. Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian, maka sambil mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini dia ketahui adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat diantara mereka.
Sementara itu, ketika melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia tidak jadi melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk dan mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian suhengnya. Gadis ini menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng, nenek yang menggemblengnya dan biarpun ia juga pandai memainkan pedang namun ia lebih suka kalau memegang suling ini sebagai senjatanya.
Akhirnya Sian Li menemukan orang yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan gagah perkasa itu, dengan senjata yang mengerikan, yaitu golok melengkung yang amat tajam, sedang bertanding malawan Gak Ciang Hun dan ibunya. Pangeran Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu bertemu dengan golok melengkung, tentu pedang mereka terpental. Hanya setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga Sin-kangnya, barulah dia berani beradu senjata, akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.
“Pangeran jahanam!” Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah leher pangeran yang tinggi besar itu.
“Ha-ha-ha, Si Bangau Merah datang. Bagus, mari kita main-main sebentar, nona manis!” kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah. Goloknya digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu terpental dan lepas. Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodohh. Ia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki tenaga yang amat besar, maka ia menarik kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan itu sudah menotok ke arah ulu hati lawan!
Pada saat yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, telah menyerang pula dengana pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang ole tiga orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Pangeran Gulam Sing mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung kekuatan sihir dan tiga orang lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat, kaki Pangeran Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tedangannya yang mengenai paha. Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri ke belakang sehingga serangan itu luput, dan tangan kiri pangeran Nepal itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li! Gadis ini terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal, dan kini tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur cepat dan tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya!
Sian Li cepat miringkan kepala mengelak, dan tangan itu terus menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku....eh....!” Dia terkejut karena tiba-tiba saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu.
Dia cepat meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka,dia melihat bahwa di situ telah berdiri seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, berpakaian sederhana. Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh wibawa. Pria itu memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang menyelamatkannya dan terdengar dia berkata,
“Nona, biarlah aku yang menghadapi orang Nepal ini.”
Pangeran Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia sudah mengeluarkan bentakan nyaring disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung untuk menyerang. Akan tetapi pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat pinggangnya. Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas, dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup orang. Dan golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling, membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu.
Sian Li, Nyonya Gak,dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang kini melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan dengan perlahan saja, akan tetapi anehnya, golok melengkung itu sama sekali tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling pria itu! Sian Li teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan biarpun ia sendiri telah digembleng nenek itu dan telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut, namun tentu saja tingkatnya masih jauh.
Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun “isinya” belum matang sehingga sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu kuat.
Akan tetapi, Sian Li tak sempat banyak melamun kaarena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, ia sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yatu orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerakkan senjata menyambut para penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat di malam itu.
Pria yang baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun tidak mampu menandinginya. Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu. Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing mengeluarkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan tendangan-tendangannya yang ampuh sekali. Kedua kaki itu bertubi-tubi melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan mendatangkan angin yang menyambar-nyambar.
Namun, lawannya agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang amat dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!
“Tukk! Tukk!” Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh. Saat itu dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu sambil menjaga diri dari serangan anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan pangeran Nepal itu pun terkulai.
“Awaaas....!” Pria itu cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untung dia bertindak cepat karena saat itu, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu sehingga andaikata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing. Anak buahnya menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.
“Gak-twako dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!” kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu sambil memberi hormat.”Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!”
Pria itu tersenyum.
“Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan disini, aku datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang kalian.”
Sian Li, Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han. Sementara itu, Yo Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu lama. Biarpun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo HaN dapat mendesak mereka dengan gerakan yang aneh. Dia menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng dan begitu empat orang lawannya menyerangnya, mereka itu bahkan terjengkang sendiri.
Makin hebat mereka menyerang, semakin kuat pula mereka tertolak dan terbanting!
Memang ilmu yang diwarisi oleh Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak luar biasa sehingga setiap orang penyerang apalagi kalau hatinya dibakar kebencian dan kemarahan, tentu akan terpukul sendiri oleh serangannya yang membalik.
Pada saat itu, para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang berkali-kali setiap menyerang Yo Han, para pendeta Lama itu lalu menubruk dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun. Tiga orang wanita ini dikeroyok dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula dua orang pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas.
Ketika Yo Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga seorang pria sederhana datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki para orang kang-ouw untuk menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka.
“Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang menangkapi para pemberontak.”
Orang-orang kang-ouw itu lalu meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah mendengar perintah dari Sin-ciang Tai-hiap yang mereka taati. Adapun Sian Li, Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri keluar dari kancah pertempuran itu dan mereka menuruni bukit itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di tempat sunyi untuk istirahat.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada pria yang telah menolongnya.
“Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing yang lihai.” Ia mengamati wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali, ”permainan senjata suling dari Paman itu sedemikian hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku. Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?”
Tiba-tiba Nyonya Gak berkata,
“Sian Li, apakah engkau tidak pernah mendengar tentang pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua kini berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw. Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?”
Mendengar itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat ke dua tangan depan dada memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak.
“Toanio mempunyai penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw. Kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda yang gagah perkasa ini?”
Mendengar bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat.
“Aihhh, kiranya Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!”
Kini Sim Houw tersenyum lebar.
“Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw-kiam-sut dari Sumoi Kam Bi Eng! Nona baju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang tuamu?” Sim Houw memandang dengan wajah berseri karena hatinya girang bukan main.
“Locianpwe, kita semua berada diantara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong....!”
“Ayahnya berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!” kata nyonya Gak gembira.
“Hebat!” Sim Houw berseru girang, “Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu. Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!”
“Locianpwe, namaku Sian Li. Tan Sian Li. Adapun ibuku bernama Kao Hong Li....”
“She Kao....? Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?”
“Dia adalah Kakekku!” Sian Li berseru gembira.
Sim Houw tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu dan terdengarlah suara suling yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang amat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh. Dan tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi, walaupun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas terdengar dari tempat itu.
Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar semakin dekat dan tak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.
“Aih, aku sudah mulai tidak sabar menunggumu dan disini ternyata terdapat banyak orang. Siapakah mereka ini?” tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu demi satu.
“Lihatlah, Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?” kata Sim Houw kepada wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan.
Can Bi Lan yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li.
“Aih, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?”
Gembira sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya pernah ia dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.
“Bibi yang gagah dan cantik. Namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!”
“Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Banagu Putih? Heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”
“Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya. Pertama-tama saya harap Toanio suka memperkenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”
“Kukira Paman dan Bibi tentu mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”
“Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?” seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.” Juga Can Bi Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.
“Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi diam saja. Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah manjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya!
Sian Li yang merasa bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han
“Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Tai-hiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”
“Tentu saja kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menalukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”
“Sin-ciang Tai-hiap, engkau masih begini muda sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.
“Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.
Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan,
“Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi....”
“Aihhh....!” Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda suci itu.
“Suci....? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo.... dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau .... ah, engkau keponakanku....!” Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Sukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”
Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan diantara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali. Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang ini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
“Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali ke kampung halaman,” kata Nyonya Gak sambil menghela mapas panjang. “Semenjak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”
Gak Ciang Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri.
Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya, namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya. Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali. Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga, tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.
“Bagaimana dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.
Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suhengnya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian ia dan suhengnya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
“Dan di mana sekarang suhengmu itu?” tanya Sim Houw.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang dilakukan suhengnya itu, apalagi mengingat bahwa dalam saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang minta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.
“Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”
Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tidak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja.
Sim Houw menghela napas panjang.
“Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanusiaan.”
“Lalu sekarang engkau hendak pergi ke mana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang kelihatan amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
“Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”
Mereka semua memandang kepada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan.
”Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suhengnya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama.”
“Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?” Sian Li bertanya kepada suami isteri itu. Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka.
Akan tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama. Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata,
“Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggauta keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, akan tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”
“Ahhh....!” Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.
Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.
“Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian? Apa yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!
Bi Lan kembali menghela napas.
“Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami telah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.” Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.
“Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.
Kini Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walaupun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya.
“Kami sampai sekarang belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Namun, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apa lagi namanya. Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada diantaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil.” Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Luar biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku? Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!”
Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran.
“Siapa yang menculikmu ketika itu?” tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.
“Yang menculik aku adalah Ang I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang I Mo-pang. Akan tetapi Ang I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang I Moli dengan menggantikan aku dengan dirinya sendiri.”
“Aih, Li-moi. Kerika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggungjawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum.
Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir.
“Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,” kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya.”
“Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih daripada kalau andaikata ia sudah terbunuh,” kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.
Yo Han yang sejak tadi mendengarkan merasa iba sekali.
“Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andaikata bertemu dengannya, apalagi kalau ia menggunakan nama baru?”
Bi Lan memandang kepada pemuda itu.
“Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunya oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami.”
Tanpa mengelurkan sepatah pun kata Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu.
lanjut--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar