Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 6.

Jodoh Rajawali Jilid 6.
Jodoh Rajawali Jilid - 6 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 6 “Engkau tehu sendiri, ha-ha-ha! Ka¬barnya dia masih perawan!” Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka le¬nyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, ke¬dua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat. “Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak tahu jalan....” kata Si Gubernur tua dengan khawatir. “Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho¬-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan....” “Aihhh, mengapa demikian, Taijin? tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya....“ “Engkau seorang wanita....“ “Hanya seorang pelayan....“ “Bagiku engkau bukan sekedar pela¬yan, melainkan seorang penolong, se¬orang wanita muda yang berani dan ber¬budi. Nona, siapa namamu?” “Phang Cui Lan....“ “Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mere¬ka tangkap dan bawa ke Ho-nan. Kemu¬dian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh me¬lapor kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling ber¬temu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu.” Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan me¬langkah dengan tabahnya menuju ke se¬latan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pem¬besar yang demikian manis budi, seolah-¬olah sikapnya seperti seorang ayah saja baginya. “Taijin....!” Tiba-tiba gadis itu me¬manggil dan dia bangkit berdiri. Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat per¬sembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya. “Eh, Cui Lan, jangan keluar!” “Cepat, Taijin, saya mendapat akal “mari!” Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-¬semak belukar yang cukup lebat sehingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu. Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata, “Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja¬-puja, yaitu apabila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu.” Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya. “Cui Lan, engkau hendak melIakukan perbuatan berbahaya demi me¬nyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wa¬nita muda yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apa¬kah dapat dipercaya?” “Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, akan tetapi dia boleh diperca¬ya sepenuhnya, untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!” “Ah.... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau“ Kedua pipi gadis itu menjadi merah, akan tetapi matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini. “Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!” Dia lalu bangkit, me¬megang tangan orang tua itu dan kem¬bali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yanp mereka terjang, me¬lalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ. Yang seorang biarpun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tidak pernah melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biarpun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka dan leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking, lelahnya. “Wah, aku tidak kuat lagi....“ Gubernur Hok Thian Ki mengeluh. “Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tem¬patnya, lihat ada genteng rumah di sana.” Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah dan ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung. “Celaka, mereka adalah para penga¬wal yang mengejar kita!” Cui Lan ber¬seru kaget dan mukanya menjadi pucat sekali. “Mari, Taijin....!” Gadis itu se¬olah-olah memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan. “Heiiiii! Berhenti....!” Teriakan-teri¬akan para pengejar mulai terdengar dan dua orang pelarian ini makin memper¬cepat larinya. “Auhhhhh....!” Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung tidak sampai terjerumus ke dalam jurang di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri. “Auhhh.... kakiku....“ Pembesar itu ter¬pincang-pincang akan tetapi terus di¬gandeng Cui Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mere¬ka. “Mari, Taijin....!” Cui Lan menarik¬nya dan mereka berdua lari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu. Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa ber¬beda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat dari¬pada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir hutan! Akan tetapi karena para pengejar sudah dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja tidak mem¬perhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat daripada besi itu dan meng¬gedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apalagi membuka daun pintunya. “Bukalah.... bukalah....!” Tolonglah kami....!” Berulang kali Cui Lan meng¬gedor daun pintu dengan kepalan tangan¬nya sampai punggung tangannya berdarah! “Cukup, Nona. Agaknya kosong rumah ini....“ Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu lalu mencium punggung tangan yang berdarah itu. “Tenanglah, kita ma¬sih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama....“ bisiknya. Empat belas orang pengawal itu telah mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi menggedor-¬gedor pintu dan tidak ada yang men¬jawab. Juga mereka mentertawakan gu¬bernur itu ketika dia mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan ke¬pada Cui Lan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus, “Heiiiii, ja¬ngan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!” Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka. Anak ini menghampiri pintu memandang ke¬pada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemu¬dian berkata lirih, “Mari ikut dengan aku!” Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret ke¬ras, daun pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berdetak! Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka mendorong-¬dorong, menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biarpun empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu. Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-¬celah yang ada memasuki rumah itu, “Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!” Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut kalau-¬kalau anak itu akan membuka pintu, se¬gera berkata, “Anak baik, tolonglah ka¬mi.... jangan buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua....!” Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil sambil berkata dan menepuk dada, “Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!” Mereka yang berada di dalam men¬dengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di luar teanbok rumah. Cui Lan dan Gubernur Hok mem¬bantunya, akan tetapi usaha mereka itu tidak ada gunanya. Air ita tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di luar rumah tembok tebal itu dan me¬mang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai menyerang ma¬kin hebat ke dalam! Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanya lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang. Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tak tertahankan lagi. “Bukalah.... bukalah.... kalian berdua tidak layak mati untukku...., bukalah....“ “Jangan, Taijin.... Paduka akan cela¬ka....“ “Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku “ Akan tetapi anak itu yang tadi ke¬lihatan berkeliaran dan tidak mendengar¬kan pembicaraan mereka, kini datang mendekat. “Harap kalian jangan gugup,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. “Ini kamarku dan Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar.... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!” Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok. Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Anak ini teringat akan cerita seorang di an¬tara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya. Menurut ceri¬ta pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang amat besar cemburunya. Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara. Akhirnya ibu¬nya tidak tahan dan setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali tero¬wongan sedikit demi sedikit, sampai ber¬tahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke dinding te¬bing sungai! Maka, pada suatu hari ka¬burlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil. Teringat oleh cerita inilah maka bo¬cah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun pintu kamar ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua, gembok itu dapat dipatah¬kan. Cui Lan girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata ter¬belalak karena terkejut melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri di belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah! “Ayah....! Paman....!” Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur berlindung di bela¬kang Cui Lan! Ayah bocah itu adalah seorang laki¬-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam dan dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin serem kelihatannya. Tangan kiri¬nya memegang sebatang kapak dan ta¬ngan kanannya memegang gendewa besar. “Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau.... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumah¬ku!” Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak menge¬jar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya di¬kepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, akan tetapi kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semen¬jak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini se¬perti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik! “Sabar dulu, Saudara!” Cui Lan me¬lindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong! ”Anak ini tidak ber¬salah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku da¬tang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil.” Mendengar ini, kapak di tangan pem¬buru itu terlepas ke atas lantai dan mu¬kanya berubah pucat sekali, juga dua, orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju. “Kau.... kau bilang.... Siluman Ke¬cil....?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar. Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu mem¬buat tiga orang itu terkejut dan ketakut¬an. “Benar!” katanya lantang. “Dahulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah ini!” “Ah, maaf.... maaf.... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)....“ “Sudahlah, aku hampir tidak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari malapetaka ini.” “Mari....!” Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu. Ternyata ter¬dapat sebuah lubang seperti sumur, se¬buah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya ini¬lah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono. Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui tero¬wongan buatan isterinya dahulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil! Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan me¬reka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tem¬pat itu tidak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih ter¬tawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya da¬pat menyelamatkan diri. Dengan meng¬gunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari ke¬luar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di ma¬na terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang. Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun¬daun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas! Setelah membuat api unggun, me¬masak air dan nasi yang memang ter¬sedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanya¬lah ayah bocah itu kepada Cui Lan. “Ka¬mi tidak hendak mencampuri urusan Sio¬cia dan Lopek ini, dan karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan me¬nolong sampai sekuat tenaga kami, kami ingin kalau Siocia tidak keberatan, kami ingin mengetahui mengapa Siocia dan Lo¬pek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pe¬ngawal-pengawal dari gubernuran?” Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa melainkan puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga. Oleh karena itu ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguhpun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Pembesar ini harus disem¬bunyikan keadaan dirinya, maka dia su¬dah cepat mengarang cerita sambil men¬jawab pertanyaan itu. “Benar seperti yang kalian duga. Me¬reka itu adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernanna Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gu¬bernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dika¬winkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu ming¬gat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana.” Dia ber¬henti sebentar karena pada saat itu, Gu¬bernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu. “Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami me¬lihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui.” Tiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum. “Ahhh, sungguh hebat eng¬kau, Nona. Engkau adalah seorang wa¬nita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah da¬pat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu...., bolehkah kami mendengarnya?” Cui Lan merasa ragu-ragu untuk men¬ceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apalagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu¬-ragu, akan tetapi kecerdikannya meno¬longnya, “Siluman Kecil.... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami di¬ganggu perampok....“ “Nona adalah seorang pelayan di gu¬bernuran, bagaimana bisa diganggu pe¬rampok?” seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran. Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan per¬cakapan itu, bangkit duduk dan berkata, “Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bah¬kan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Adapun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.” Dia ter¬batuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan, “Ketika itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan pe¬rampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau.” Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang “beliau” itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai “Siluman Kecil” dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai “beliau” itu tentulah seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat di¬takuti oleh tiga orang kasar itu. “Demikianlah,” Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah “pa¬mannya” sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu, “Dalam ke¬sempatan itulah pendekar itu memper¬kenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apabila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.” Tiga orang pemburu itu tersenyum gi¬rang dan bangga bukan main karena me¬reka disebut “pemburu gagah” oleh Si¬luman Kecil! Tentu saja sebutan itu ada¬lah tambahan Cui Lan sendiri! “Kami girang sekali telah dapat mem¬bantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,” kata si ayah bocah itu. “Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini....“ “Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur. “Maka kami harap kalian suka men¬ceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian da¬pat berhubungan dengan beliau.” Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Silu¬man Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu. “Maaf, aku dan adikku ini tidak pan¬dai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau ber¬ceritalah!” Pemburu berewok itu menyu¬ruh adiknya yang termuda, dan bercerita¬lah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguh¬pun tidak sebesar kakaknya yang tertua. Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suami¬nya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Adapun orang ke dua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh dela¬pan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu. Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. “Memang munculnya nama beliau sekitar dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan cerita¬nya. “Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, ter¬jadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di se¬kitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pem¬buru terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, sehingga sering kali terjadi pertumpahan darah untuk mem¬perebutkan wilayah perburuan itu. Ke¬mudian, pada suatu hari, munculiah be¬liau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan kami bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!” Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dia sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu. “Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,” kata Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sa¬ngat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikero¬yok di taman istana gubernuran.” “Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!” kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap noha cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali! “Begini, Sim-twako,” Cui Lan yang pandai itu segera menyebut twako se¬hingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman gu¬bernuran ada seorang pemuda yang ter¬libat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Sam¬wi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.” “Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat. “Namanya Suma Kian Lee.” “Suma....?” Tiga orang kasar itu sa¬ling pandang. “Mengapa?” Cui Lan bertanya heran. “Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apa¬kah kami bertemu atau mendengar ada¬nya seorang she Suma. Ah, mungkin ha¬nya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi.” Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka te¬lah kembali membawa berita yang mem¬buat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu mem¬bantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal. “Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun.” Sim Hoat melanjutkan ceritanya. “Aihhhhh....!” Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikero¬yok ular-ular beracun! “Apakah kalian tidak dapat menolong¬nya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat memban¬tunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!” “Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?” Sim Hoat bertanya dan gubernur itu ter¬kejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang ce¬katan dan cerdik itu sudah cepat me¬nolongnya. “Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan mencerita¬kan kepada beliau betapa hebatnya kali¬an, betapa gagahnya kalian dan mati¬-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran....“ “Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman¬-teman kami!” Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu. “Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kaulepas¬kan tanda rahasia!” Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia lalu keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-¬turut dari empat penjuru nampak sinar-¬sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi. Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap, kasar¬-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata ber¬perawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga. Akan tetapi, biarpun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memper¬lihatkan gigi seperti seekor harimau ber¬temu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sa¬habat “beliau”, otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biarpun sikap hormat ini kasar pula! Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak ter¬jang Cui Lan. Gadis ini memang mem¬punyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa. Seorang pelayan saja kini ter¬nyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, akan tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee. Mulai ter¬bukalah mata pembesar ini betapa se¬lama usianya yang enam puluh lima ta¬hun ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pela¬yan dan lain-lain, yang dianggapnya ada¬lah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpri¬budi tipis dan lebih mendekati binatang daripada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya! Sekarang, terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bo¬doh, yang ternyata bahkan lebih manu¬siawi daripada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran daripada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandai¬an! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia me¬nemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung daripada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasanya menjilat ke atas dan menginjak atau me¬rendahkan ke bawah! Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemim¬pin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Si¬luman Keicl, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang “sahabat” Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum per¬nah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semua merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap se¬bagai manusia dewa itu! Cui Lan tentu saja serem melihat muka-muka liar dan kasar itu mengeli¬linginya. Di antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan niatnya untuk menyelamat¬kan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sung¬guhpun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil per¬nah menanyakan she Suma, seperti juga seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka ter¬hadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andaikata seorang di antara mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman¬teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini. “Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gu¬bernur Ho-nan,” Sim Hoat menyatakan pendapatnya. “Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik kalau golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata seorang yang matanya lebar sekali. “Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Guber¬nur Ho-nan tiada bedanya dengan mem¬berontak terhadap pemerintah!” sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu! Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ter¬nyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadi¬nya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pe¬mimpin! “Saya tidak mengharapkan saudara-¬saudara untuk membunuh diri, apalagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyela¬matkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol te¬rowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ.” “Bagus! Nona cerdik bukan main!” “Akal yang baik sekali!” “Aku setuju!” Mereka bicara lagi tidak karuan se¬perti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu. “Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.” Pertanyaan dari seorang diantara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biarpun dia seorang gubernur, jadi seorang besar yang memiliki kepandaian dan ke¬cerdikan tentunya, kini sama sekali me¬rasa tidak berdaya! “Saya sudah mengenal jalan terowong¬an itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil.Tempat itu tertutup dan mana ada pe¬ngawal akan memeriksa sebuah kuil? Ha¬nya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!” “Kita paksa kepala gundul itu!” “Kita serbu saja kuil ltu!” Kembali Cui Lan mengangkat tangan¬nya. “Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong ini di dalam ibu kota amatlah berbahaya dan harus menggunakan ke¬cerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-¬sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, biarpun lebih pandai daripada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan pe¬tunjuknya.” Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak be¬gitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini. “Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,” kata pula Cui Lan. “Kita serbu!” “Kita bunuh hwesio-hwesionya!” Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pe¬mimpin seterusnya! “Harap kalian jangan mempunyai pen¬dapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak nga¬wur,” kata Sim Kun. “Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?” Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut “twako” pula sehingga wajah pe¬muda itu berseri gembira. “Begini,” katanya. “Kita harus me¬nyelundup ke dalam ibu kota dan kita menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak ber¬daya, lalu....” Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya. Sampai lama semua orang mendengarkan dengan se¬rius, kemudian meledaklah suara ke¬tawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-per¬wira perang yang mengatur siasat! “Aku percaya kalian tidak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apalagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui Lan akhirnya. Siang hari itu juga, berangkatlah se¬rombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa di¬curigai karena mereka itu adalah petani¬-petani biasa. Seperti yang telah direnca¬nakan, petani-petani yang masuknya ber¬pencar secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja mema¬suki kuil untuk bersembahyang. Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala se¬hingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk me¬layani orang-orang dusun ini yang ber¬tanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah¬-pisah. Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini me¬nanggalkan ikat kepala dan ternyata bah¬wa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat me¬reka lalu menanggalkan jubah hwesio-¬hwesio itu dan munculiah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan di¬sumpel mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar! Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu da¬tang bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bah¬wa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara “hwesio-¬hwesio” baru itu! Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba¬-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus me¬mapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu. Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh sen¬jata peledak tadi, di taman istana gu¬bernuran. Akan tetapi betapa kaget hati¬nya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus ter¬jebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu makin lama makin tinggi! Biarpun air dari ko¬lam sudah habis, namun karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang ber¬tambah jauh lebih banyak daripada yang dapat mengalir keluar melalui celah¬-celah batu yang menutup mulut tero¬wongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi! Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk men¬cari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut tero¬wongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu. Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan ca¬bang terowongan dari mana mengalir air dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang, sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau me¬nyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar. Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu ber¬kata lemah, “Taihiap.... tidak ada guna¬nya lagi.... daripada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu.... lebih baik.... mari kita hadapi maut dengan, tenang....“ “Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!” Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam. “Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.” “Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga memper¬tahankan hidup dan itu harus kita per¬gunakan, apalagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini.” Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuh¬nya yang hampir tidak kuat lagi meng¬ikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ke tiga! “Taihiap.... sebelum kita mati.... aku ingin mati sebagai seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An.... dan siapakah nama Taihiap?” Pang¬lima Pasukan Kuku Garuda yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasu¬kan pengawal di istana itu, bahkan dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali. Tentu saja Suma Kian Lee tidak me¬rasa keberatan, maka dengan sejujurnya dia menjawab, “Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.” Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguhpun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat. “Suma....? Suma Kian Lee....? Ahhh.... Keluarga Suma dari Pulau Es ?” Kian Lee menghela napas. Tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apalagi ter¬hadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu? “Kau benar, Ciangkun.” “Ahhh....! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ah, Suma-taihiap, kaumaafkan saya....“ “Sudahlah, Ciangkun. Dengar.... aku seperti mendengar sesuatu....!” Tiba¬-tiba Kian Lee tidak bergerak dan me¬ngerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan me¬masang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian. “Dukkk! Dukkk! Dukkk!” Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan te¬tapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw¬-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali. Tiba-tiba tangan Panglima Souw men¬cengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu. “Suara orang menggali di atas kita!” te¬riaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan. “Kita lihat saja apa yang akan ter¬jadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu meng¬harap karena yang mengharapkan mung¬kin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti sudah terbuka lubang dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka.” “Baik, Suma-taihiap.” Suara itu makin keras saja dan akhir¬nya nampaklah sebuah lubang! Dan ter¬dengarlah suara orang-orang di atas, lalu lubang itu makin lebar. Hawa segar me¬masuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang¬-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelip¬nya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguhpun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada ke¬sempatan harus dia pergunakan sebaik¬nya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu fihak musuh, dia harus menyer¬gap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian! Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?” Suara ini bergema dengan aneh, se¬perti suara iblis dari neraka saja layak¬nya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan men¬dengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang! Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjut¬anya, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Silu¬man Kecil, untuk menolongmu!” “Suma Kian Lee berada di sini!” Kian Lee menjawab, suaranya nyaring sehing¬ga terdengar oleh semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan gi¬rang karena ada suara-suara tertawa lega. “Kalau begitu naiklah melalui tali ini!” terdengar suara yang kasar parau itu lagi, kemudian nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular. “Taihiap, biarkan saya naik dulu. Ka¬lau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu....“ “Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun.” “Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap da¬pat mengetahui dan menghindarkan je¬bakan itu. Biarkan aku naik dulu!” “Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang¬-orang yang hendak menolong, apalagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andaikata mereka itu musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri.” Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-¬benar hendak menolong karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak me¬nyerangnya. Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah. “Souw-ciangkun, sekarang naik¬lah!” Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Suma Kian Lee. Setelah kedua¬nya berada di atas, Kian Lee dan Souw¬ciangkun menjura kepada belasan orang itu dan Kian Lee berkata, “Banyak te¬rima kasih atas pertolongan Cu-wi se¬kalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?” Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, “Mari kita pergi!” dan Kian Lee berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang! Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah jalan mereka meninggalkan pakaian hwe¬sio dan di bawah jubah ini ternyata me¬reka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pa¬kaian petani itu, dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat berjalan, berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti. Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu. “Terima kasih.... terima kasih.... Cui Lan,” katanya berulang¬ulang. “Jangan kepada saya, Kongcu, melain¬kan kepada dia....” “Siluman Kecil?” Cui Lan mengangguk dan kedua pipi¬nya merah. “Sekali waktu aku pasti akan ber¬temu dengan dia dan menghaturkan te¬rima kasihku.” Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura dengan penuh hormat sambil berkata, “Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi Pangeran....“ Dan komandan pe¬ngawal ini mengeluh karena begitu di¬pakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-¬sakit dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan. “Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!”. Kian Lee lalu membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil mem¬bersihkan hawa beracun dari tubuh Souw-¬ciangkun, dan biarpun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun su¬dah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahap¬nya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa. “Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?” tanya Kian Lee ketika melihat keadaan yang sunyi di pondok itu. Cui Lan menggeleng kepala. “Mereka telah pergi semua, tidak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka berkumpul dan me¬nolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tu¬gas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena mengingat pendekar itu.” Lalu Cui Lan menceritakan pengalaman¬nya sejak dia melarikan Gubernur Ho¬pei sampai bertemu dengan para pem¬buru dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup. “Bukan main Siluman Kecil itu!” Kian Lee memuji penuh kagum. “Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,” kata Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu fi¬hak istana menentang para jagoan Ho¬-nan. “Dia hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pen¬dekar yang perkasa!” “Ah, Taijin bisa saja memuji orang....“ Cui Lan menunduk dengan muka merah. “Memang, saya pun mengerti, Taijin,” kata Kian Lee. “Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman Kecil, Cui Lan.” “Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebalik¬nya sekarang dipikirkan bagaimana de¬ngan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau.” “Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri yang menye¬lidiki ke sana malam ini.” “Aihhh...., itu berbahaya sekali, Kong¬cu!” Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh kekhawatiran. “Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan se¬karang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu! Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang me¬miliki watak halus dan berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam¬-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan ber¬hadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan! “Ah, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!” kata Gu¬bernur Hok. “Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma¬ taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk Siluman Kecil itu!” kata pula Souw Kee An. “Ahhh....!” Sepasang mata itu me¬mandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil. “Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya berkelakar. Nah, aku harus berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kaulindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Se¬telah aku kembali, baru kita berunding lagi bagaimana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan mem¬bawa Pangeran Yung Hwa ke sini.” Maka berangkatlah Kian Lee, diiring¬kan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh ke¬khawatiran. *** Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-¬yang di Ho-nan. Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan. Malam itu sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkangnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam. Dengan sigapnya dia telah me¬notok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di dekat taman, menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, “Ku¬bunuh kau kalau kau berani berteriak!” Di dalam keadaan yang remang¬-remang itu, penjaga ini tidak dapat me¬lihat muka Kian Lee dengan jelas, dan andaikata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasu¬kan yang dulu menghadangnya. “Ampun, Hohan....!” penjaga itu me¬mohon. “Aku tidak akan membunuhmu asal eng¬kau suka menceritakan di mana adanya Pa¬ngeran Yung Hwa!” Kian Lee mengancam “Ampun.... siapa Pangeran Yung Hwa....? Saya tidak tahu, Hohan....“ Kian Lee mengerutkan alisnya. “Tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari....” “Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di taman?” “Ya, benar. Di mana dia ditahan?” “Ditahan? Saya sungguh tidak me¬ngerti apa maksudmu, Hohan.” “Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, kemudian diserang dan ditang¬kap?” “Ah, sama sekali tidak, Hohan. Me¬mang terjadi keributan antara jagoan¬-jagoan Ho-nan melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang ber¬niat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat.” “Bohong! Kubunuh kau kalau mem¬bohong!” “Saya.... saya tidak berani membohong Hohan!” Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mam¬pu bergerak atau mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia ber¬hasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukan¬nya kepada perajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang didengarnya dari si perajurit. Sungguh mengherankan! Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para perajurit dan perwira, itu tentu saja sudah diperintahkan untuk membuat peng¬akuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-¬satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanya¬lah si gubernur sendiri. Dia harus me¬nangkap Gubernur Kui Cu Kam dan me¬maksanya membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahaya¬nya. Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya be¬berapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-¬li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang ltulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat mengatasi mereka berdua. Yang dikhawatirkan ha¬nya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin dia dapat meng¬hadapi pengeroyokan ratusan orang pasu¬kan, apalagi di dalam istana yang asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah me¬nyelundup dan diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang memberon¬tak itu sebagai tawanan ke kota raja! Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam karena kha¬watir kalau-kalau di atas genteng ter¬dapat penjaga-penjaga pula. Ternyata dugaannya betul. Akan tetapi hanya ter¬dapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas gen¬teng-genteng. “Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa men¬cari kamar gubernur,” pikir Kian Lee. Bagaikan seekor kucing saja, dia ber¬gerak-gerak di atas genteng tanpa me¬ngeluarkan suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun ti¬dak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap. “Ahhh, kenapa kita masih harus me¬lakukan penjagaan yang begini ketat? sampai-sampai semua atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan ter¬bang ke sini,” seorang di antara mereka mengeluh. “Ah, siapa tahu!” bantah orang ke dua. “Semenjak utusan Kaisar itu datahg dan pulang, kita harus berjaga-jaga kare¬na sudah paati fihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira.” Kian Lee yang sudah siap untuk me¬nerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang ini se¬dang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, akan tetapi toh mereka menyatakan bah¬wa utusan kaisar sudah pulang. Bagai¬mana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan? Dua orang itu kini membalikkan tu¬buh untuk memeriksa keadaan di sekeli¬ling mereka dan pada saat itu Kian Lee meloncat dan dua kali tangannya ber¬gerak, dua orang penjaga itu roboh ping¬san karena tengkuk mereka kena disam¬bar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut me¬reka dengan robekan baju mereka sendiri kemudian dia berloncatan di atas gen¬teng mencari-cari kamar gubernur. Selagi dia mencari-cari dan meng¬intai, tiba-tiba dia mendengar suara ke¬tawa yang mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat! Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, kemudian dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah datangnya su¬ara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng lalu meng¬intai ke bawah. Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah genteng itu terdapat langit-langit sehing¬ga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring. “Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!” kemudian men¬dengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi, “Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita.” Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik din¬ding dan mengintai. Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya amat besar, se¬perti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad, sungguhpun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaian¬nya mewah dengan memakai sehelai ju¬bah mantel berwarna merah dan sepatu¬nya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang menge¬luarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti seekor harimau melangkah. Se¬bentar saja kakek ini lenyap dan diam-¬diam Kian Lee menarik napas panjang. Orang itu jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya. Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang pan¬jang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada penga¬wal datang. Dengan gerakan kilat, Kian Lee me¬nerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan tiba-¬tiba kursi yang diduduki gubernur itu berikut. mejanya amblas ke dalam lantai! “Heiiiii!” Kian Lee terkejut dan me¬loncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali! “Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu ter¬dengar dan ketika Kian Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan pe¬rutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa. Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, “Pergilah!” Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja. Dia tidak mengenal kakek ini, sungguhpun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan me¬ngatur siasat untuk menjebaknya di ru¬angan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya meng¬gunakan setengah tenaga sinkangnya ka¬rena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang yang membahayakan keselamatan orang itu. Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan pemuda itu. Buktinya, dia sama sekali tidak me¬ngelak dari pukulan itu, juga tidak me¬nangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pu¬kulan telapak tangan yang didorongkan. Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang di¬lakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari, ayahnya, yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu. “Desssss....!” Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee terjengkang dan terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu! “Ha-ha-ha-ha-ha!” Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya meng¬getarkan ruangan dan tadi ketika ber¬temu tenaga sakti, tubuhnya hanya ber¬goyang sedikit saja! Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga sudah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka kini menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Ho¬nan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya! Akan tetapi biarpun tubuhnya ter¬lempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi mengerahkan seluruh te¬naganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa bodohnya! Dengan ginkangnya yang amat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayah¬nya yang disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya se¬bagai seorang pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee meng¬gerakkan tubuhnya melesat dari bawah sehingga hanya nampak bayangan berke¬lebat dan dua serangan maut itu hanya mengenai tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup. “Brakkk!” Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pe¬ngawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee sehingga mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Se¬belum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri. Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tidak ada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mung¬kin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejar¬nya. Di antara mereka, yang ginkangnya paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu. Sambil melarikan diri, Kian Lee me¬rasa heran dan menduga-duga siapa ada¬nya kakek yang lihai itu. Ketika terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andaikata pada waktu itu terdapat kakek itu di pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho¬-pei dan Cui Lan tidak akan dapat lolos demikian mudahnya. Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat, karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu. Ketika mendengar betapa pemberon¬takan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), lalu berusaha mendekati daerah¬-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pe¬merintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya. Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-¬jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Ti¬bet sampai ke wilayah Secuan. Dan baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu. Tetapi Ban-hwa Seng-jin sedang me¬ngadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dia yang berilmu tinggi dapat me¬ngetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Kemudian diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri. Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa. “Bagaimana dengan Sang Pangeran?” Gubernur Hok bertanya gelisah. Kian Lee lalu menceritakan penga¬lamannya ketika dia mendengar pengaku¬an para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang pen¬jaga yang semua menyatakan bahwa Pa¬ngeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah ter¬jadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran akan tetapi juga ragu-ragu un¬tuk percaya berita itu. “Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat¬-cepat kembali ke kota raja,” kata guber¬nur itu, “Kalau benar Pangeran telah kem¬bali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindak¬an terhadap Gubernur Ho-nan yang khi¬anat itu!” “Sebaiknya begitu,” kata Kian Lee. “Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur.” Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak meng¬apa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Akan tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatan¬ku untuk menggempurnya!” “Lalu bagaimana dengan Nona Phang?” tanya Souw-ciangkun yang bagaimanapun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tidak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini. “Jangan Sam-wi memikirkan saya....“ kata Cui Lan. “Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau kau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau.... kalau kau.... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!” Ucapan ini ke¬luar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata. Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhir¬nya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya. “Saya.... hanya seorang pelayan.... bagaimana mnungkin menerima penghor¬matan demikian besar? Menjadi puteri.... seorang gubernur....?” “Nona Cui Lan! Cepat kau mengha¬turkan terima kasih kepada Gi-humu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri guber¬nur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!” kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu. “Dan lagi, bukanlah engkau sendiri yang mengaku saya sebagai paman?” Gubernur itu menggoda. Dengan air mata berlinang, Cui Lan tersenyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata, “Gi-hu....“ “Anakku! Cui Lan, kau anakku!” Gu¬bernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang. Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Biarpun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula. akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan pe¬nyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan. Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa tentu Gu¬bernur Ho-nan tidak akan berhenti demi¬kian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ke¬tika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri me¬nyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan de¬ngan hati-hati sekali, melewati hutan¬-hutan dan gunung-gunung sehingga per¬jalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama daripada kalau menggunakan perjalanan biasa. Biarpun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Su¬ma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat. Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk mem¬perdalam ilmu kepandaiannya (baca ceri¬ta Kisah Sepasang Rajawali). Dan kini dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air! Maka kini dia dapat melakukan pe¬ngawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biar¬pun lemah tak berkepandaian silat, na¬mun sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu. Mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman, ketika mereka tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur. “Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,” usul Gubernur Hok. “Apalagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat me¬masuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan" NEXT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar