Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 43.

Jodoh Rajawali Jilid 43:
Jodoh Rajawali Jilid - 43 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 43 “Im-kan Ngo-ok, jangan mengukur baju orang dengan bentuk tubuh sendiri!” Dewa Bongkok berkata penuh wibawa. “Aku datang bukan atas ajakan atau undangan Suma-taihiap, melainkan secara suka rela karena aku ingin menonton pertemuan ini dan akan menjadi saksi agar jangan ada perbuatan pengecut dan curang dilakukan di sini!” “Hi-hi-hik, Twa-ko, perlu apa bicara dengan dia? Tidak peduli siapa dia itu, kulihat dia tiada lain hanyalah seorang kakek tua renta yang sudah menderita luka hebat dan hampir mampus, tapi sombongnya bukan main!” tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata sambil me¬ludah melalui lubang di antara gigi-gigi tengkorak yang mengerikan itu. Ji-ok bukanlah seorang perempuan muda yang lancang dan sombong, sama sekali bukan. Dia adalah seorang wanita yang cerdik sekali, dan kalau dia tidak melihat be¬tapa kakek tua renta itu memang sudah terluka parah, tentu saja dia akan bersikap lain dan sama sekali tidak berani main-main seperti itu. Mendengar ucapan wanita bermuka tengkorak itu, Dewa Bongkok hanya menarik napas panjang karena memang apa yang dikatakan wa¬nita itu bahwa dia terluka parah merupa¬kan kenyataan. Tentu saja kalau dia mau, sekali dia menggerakkan tubuh dan menyerang dengan ilmunya yang hebat, wanita muka tengkorak itu akan dapat ditewaskannya seketika, akan tetapi pe¬ngerahan tenaga itu pun akan mencabut nyawa sendiri. Hal ini dia sadari benar, maka dia pun hanya menarik napas pan¬jang. Pendekar Siluman atau Pendekar Su¬per Sakti maklum akan keadaan Dewa Bongkok, maka dia menggerakkan tangan¬nya, berkata dengan suara lantang, “Kita bukan anak-anak kecil yang datang untuk mengadu mulut. Mari, silakan duduk dan bicara sepatutnya!” Dia lalu duduk ber¬sila dengan sebelah kakinya didahului oleh Dewa Bongkok yang memang perlu banyak beristirahat sambil duduk bersila. Melihat kedua orang itu sudah duduk berdampingan, empat orang di antara Im-kan Ngo-ok itu lalu mengambil tem¬pat duduk pula, duduk di atas tanah berpasir. Twa-ok dan Su-ok di depan mereka, Ji-ok dan Ngo-ok di kanan kiri. Dewa Bongkok sudah duduk diam, me¬mejamkan mata dan melintangkan lengan tunggalnya di depan dada. Keadaan menjadi sunyi menegangkan. Enam orang itu duduk saling berhadapan membentuk lingkaran dan Pendekar Super Sakti menatap wajah empat orang lawan itu satu demi satu. Kemudian, terdengar suaranya lantang dan suara ini mengan¬dung getaran amat kuat. “Im-kan Ngo-ok, kalian mengundangku untuk mengadakan pertemuan di tempat ini. Nah, aku sudah datang, kalau ada persoalan lekas kemukakan, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani kalian!” Diam-diam Dewa Bongkok kagum. Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh yang jauh lebih muda dibandingkan dengan dia, namun pendekar ini telah membuat nama besar sehingga namanya menggetarkan dunia persilatan dan menjadi semacam nama dalam dongeng. Dan ternyata sikap pendekar ini memang amat berwibawa, sungguhpun tadi dia merasa kecewa akan wawasan Pendekar Super Sakti tentang hubungan puteranya dengan seorang gadis. Getaran suara penuh wibawa itu juga mempengaruhi empat orang datuk kaum sesat itu, kare¬na sejenak mereka duduk diam dan tiga orang di antara mereka memandang ke¬pada Twa-ok karena orang tertua atau pertama inilah yang diharapkan untuk menjadi wakil pembicara. Twa-ok dapat merasakan tuntutan saudara-saudaranya ini, dan dia sendiri pun agak gugup. Menghadapi pendekar yang demikian tenang dan penuh wibawa sikapnya, sungguh mendatangkan kegugup¬an dan biarpun dia mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan diri, tetap saja suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menjawab, “Kami telah lama mendengar bahwa Majikan Pulau Es ada¬lah seorang datuk yang telah mengundur¬kan diri dari dunia ramai, selalu tinggal dengan aman tenteram di Pulau Es. Akan ¬tetapi secara tiba-tiba saja Pendekar Super Sakti muncul di dunia kang-ouw. Hal ini amat mengherankan dan mem¬buat kami merasa penasaran.” Suma Han mengerutkan alisnya yang sudah bercampur uban. “Im-kan Ngo-ok, sesungguhnya bukan berita kosong yang mengabarkan bahwa kami sudah bertahun-tahun berada di Pulau Es dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia yang penuh dengan permusuhan. Akan tetapi kami keluar dari Pulau Es bukanlah untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mencari kedua orang putera kami. Sebaliknya Im-kan Ngo-ok yang juga ter¬kenal sebagai tokoh-tokoh yang sudah mengundurkan diri dan bertapa, tiba-tiba muncul dan bahkan mengacau dunia dengan perbuatan-perbuatan jahat mereka, bahkan membantu pemberontakan. Andai¬kata kami mendengar dari Pulau Es, agaknya sudah wajar pula kalau kami sengaja keluar dari sana untuk meng¬hadapi kalian! Sekarang, kulihat pemberontakan telah dipadamkan, dan aku pun tidak mempunyai niat untuk ber¬musuhan dengan kalian, dan ini bukan berarti bahwa aku takut kepada kalian. Nah, cukuplah, aku harus pergi mencari anak-anakku.” “Nanti dulu!” Twa-ok membentak dan sekarang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini sudah mendapatkan kembali keberaniannya. “Pendekar Super Sakti, sudah semenjak dahulu kami ingin sekali berkenalan dengan kelihaianmu, bahkan kami pernah merencanakan untuk mengunjungi Pulau Es, hanya untuk menguji kepandaianmu. Sekarang setelah kita dapat bertemu di sini, dan memang jalan hidup kita selalu bersimpangan, maka kami menantangmu untuk melanjutkan pertempuran antara kita beberapa bulan yang lalu, dan sekali ini kami tidak akan berhenti sebelum satu di antara kita roboh!” Setelah berkata demikian, Twa-ok meloncat bangun diikuti oleh tiga orang temannya. Mereka berempat sudah memasang kuda-kuda dan siap maju me¬nerjang. Agaknya masa untuk menyukai pertempuran bagi Suma Han sudah lewat. Kalau dulu, tentu dia akan menyambut tantangan ini dengan gembira. Akan te¬tapi sekarang dia bangkit dengan segan, menarik napas panjang dan merasa malas untuk berkelahi. “Tanpa alasan kalian menantang orang berkelahi, sungguh kalian ini orang-orang tua sudah kembali seperti kanak-kanak.” “Ha-ha-ha, Pendekar Siluman, bilang saja engkau tidak berani, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu atau Su-ok yang pendek cebol itu mentertawakan dengan lagak mengejek dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan berjongkok, siap untuk me¬lancarkan pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu. “Majulah, siapa takut kepada kalian?” kata Suma Han, suaranya sama sekali tidak mengandung kemarahan. Dia tidak mudah terpancing lagi untuk terjerumus ke dalam kemarahan yang hanya akan melemahkannya. “Siancai....! Sungguh inilah yang ku¬khawatirkan!” Tiba-tiba terdengar Dewa Bongkok berkata halus. “Im-kan Ngo-ok, kalian termasuk datuk-datuk yang sudah memiliki kedudukan dan ilmu ke¬pandaian tinggi, kenapa bersikap seperti tukang-tukang pukul bayaran yang muda saja? Dunia kang-ouw selama puluhan tahun tentu mengetahui hal ini. Sekarang kalian hendak maju melakukan pengeroyokan, apakah itu dapat dinamakan gagah perkasa? Apakah kalian ingin merendah¬kan diri sebagai jagoan-jagoan pasar saja?” “Ha-ha-ha!” Su-ok tertawa. “Kalau kau merasa penasaran, majulah, Dewa Bongkok!” “Su-te, serahkan Si Bongkok itu ke¬padaku!” Ji-ok menyambung. Akan tetapi Twa-ok dengan sikap ramah-tamah dan suara halus menjawab, “Locianpwe agaknya tidak tahu bahwa julukan kami adalah Im-kan Ngo-ok dan kami sudah biasa maju bersama, baik menghadapi seorang lawan atau seratus orang lawan! Jumlah sudah tidak masuk hitungan lagi. Kalau Pendekar Super Sakti maju ditemani orang-orang lain, kami pun tidak akan menolak. Nah, Pen¬dekar Super Sakti, apakah engkau berani melawan kami?” Suma Han berkata kepada Dewa Bong¬kok, “Harap Locianpwe suka menonton saja di pinggir, saya masih sanggup meng¬hadapi mereka ini.” Dewa Bongkok menarik napas panjang. Kalau saja dia tidak terluka, tentu akan mudah saja menanggulangi golongan sesat ini. Karena dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu, maka dia lalu melang¬kah ke pinggir dan memandang penuh perhatian karena dia tahu bahwa pertandingan yang akan terjadi ini adalah pertandingan tingkat tinggi yang tentu amat hebat. Dan memang sesungguhnya demikian¬lah. Empat orang Im-kan Ngo-ok itu merupakan tokoh-tokoh tingkat atas yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dalam perkelahian mereka itu tidak lagi mengandalkan ke¬tajaman dan kekuatan senjata. Kaki tangan mereka telah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya orang-orang yang benar-benar sudah mencapai tingkat ting¬gi saja yang tidak lagi membutuhkan bantuan senjata. Twa-ok Su Lo Ti berdiri dengan ke¬dua lengan terpentang lebar, dan sikunya ditekuk dan tangannya membentuk cakar-cakar, seperti sikap seekor gorilla, yang hendak menyerang. Dan memang kakek bermuka gorilla ini mendasarkan ilmunya kepada gerakan gorilla, hanya bedanya, kalau binatang gorilla atau kera raksasa itu mengandalkan kekuatan otot dan tu¬lang, kakek ini mengisi gerakannya de¬ngan tenaga sinkang yang amat kuatnya, dan bahkan sambaran angin pukulannya saja sudah amat berbahaya bagi lawan, di samping kekebalan kedua tangannya yang mampu menangkis senjata-senjata tajam. Ji-ok Kui-bin Nio-nio amat ber¬bahaya dengan ilmunya yang luar biasa, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Apalagi tersentuh atau tertusuk oleh jari-jari tangannya, baru terkena hawanya saja sudah dapat melukai lawan. Su-ok Siauw-siang-cu amat hebat dengan ilmu pukulan Katak Buduk yang berbisa, sedangkan Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang tubuhnya jangkung tidak lumrah manusia itu ber¬silat dengan jungkir balik, dan memiliki ginkang yang amat tinggi di samping pukulan-pukulan beracun pula. Empat orang itu masing-masing sudah merupa¬kan lawan yang cukup berat, apalagi kalau mereka maju berbareng. Namun, Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri tegak dengan sebelah kakinya dengan sikap tenang sekali, tangan kanan me¬megang tongkat bututnya, tangan kiri disilangkan di depan dada, sikapnya me¬nanti gerakan lawan, menanti saat pe¬nyerangan lawan. Dan saat yang dinantinya itu pun tibalah. Cepat bukan main gerakan per¬tama yang dilakukan oleh Ngo-ok itu. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba sekali ada dua batang kaki yang panjang dan besar, seperti dua buah cang¬kul menyerang Suma Han, mencangkul ke arah kepala dan dada pendekar itu. Kecepatannya sukar diikuti dengan pandang mata. “Plak-plak, wuuuttttt!” Dua batang kaki itu tertangkis oleh tongkat dan cengkeraman tangan Ngo-ok, dari bawah mengarah bawah pusar itu dihindarkan oleh Suma Han dengan meloncat ke kiri. Akan tetapi, dengan gerakan otomatis, dia disambut oleh Twa-ok yang menceng¬keram dari kanan kiri, akan tetapi se¬belum lawan sempat menangkis, gerakan mencengkeram itu sudah berubah, yang kanan menampar dan yang kiri menotok ke arah lambung. Sungguh merupakan dua serangan yang amat berbahaya dan satu di antaranya saja mengenai sasaran akan cukup merenggut nyawa dari tubuh! Na¬mun, Pendekar Super Sakti tidak men¬jadi gugup, dia memutar tongkatnya yang berubah menjadi segulung sinar terang, kemudian dia meloncat ke depan sehingga dia terhindar dari serangan itu untuk menghadapi serangan langsung lagi dari Ji-ok. Terdengar suara bercuitan ketika jari-jari tangan yang kecil runcing itu ber¬gerak menyambar, seperti ujung-ujung pedang yang menyerang secara bertubi-tubi. Namun, semua tusukan jari tangan¬nya yang menjadi Kiam-ci ini dapat di tolak oleh kibasan tangan kiri Suma Han. Belum juga jari-jari tangan itu tertangkis, sudah ada hawa dingin sekali, lebih di¬ngin daripada hawa Kiam-ci, menolak sehingga tangan Ji-ok terpental. Kini Su-ok menyerang dari bawah dengan pukulan Katak Buduk. Suma Han mengenal pukul¬an beracun, maka dia pun cepat meng¬gunakan kelincahannya untuk meloncat dan menghindar dengan loncatan tinggi. Kini, empat orang itu mulai menyerang secara bertubi-tubi, kadang-kadang ber¬bareng dan saling membantu dan ter¬jadilah pertandingan yang amat luar biasa. Suma Han yang mengenal kelihaian la¬wan, kini sudah mempergunakan ilmunya yang membuat dia amat terkenal, yaitu Ilmu Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi bayang¬an yang menyambar-nyambar, ke kanan ke kiri, kadang-kadang melesat jauh ke atas, sukar sekali diikuti dan dengan Soan-hong-lui-kun, maka pendekar ini berhasil menghindarkan diri dari semua serangan lawan. Dia pun membalas de¬ngan tamparan dan tusukan tongkatnya, namun empat orang lawannya itu pun mampu membela diri, apalagi karena mereka saling bantu sehingga kedudukan mereka amat kuat. Agaknya, pengalaman bertempur melawan Suma Han tiga bulan yang lalu membuat mereka berhati-hati dan sudah mengatur siasat untuk menandingi pendekar itu, yaitu dengan jalan saling bantu dan tidak melakukan pe¬nyerangan sendiri-sendiri, melainkan de¬ngan teratur dan saling terlindung oleh kawan. Sambil duduk bersila di pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu de¬ngan hati tertarik sekali. Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia amat kagum melihat Soan-hong-lui-kun yang hanya didengarnya saja akan tetapi baru sekarang ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan itu, maklumlah dia bahwa Suma Han telah menemukan suatu ilmu yang hanya mung¬kin dapat dimainkan secara sempurna oleh orang yang berkaki tunggal. Orang yang berkaki dua jangan harap akan da¬pat menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es itu. Diam-diam dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama dengan Suma Han. Dia pun telah menemukan suatu ilmu yang khas untuk seorang yang hanya berlengan satu seperti dia atau seperti Kao Kok Cu, muridnya, yaitu Ilmu Sin-liong-liok-te dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan harap akan dapat mainkan ilmu ini se¬baik orang yang berlengan satu! Dia menonton dengan kagum dan beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang amat indah dari Suma Han ketika pendekar ini menghindarkan diri secara cepat dan tepat sekali menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat ke sana-sini seperti ada per-nya itu. Akan tetapi, setelah menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok dapat melihat per¬bedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai ilmu membela diri atau menghindarkan diri dari serangan lawan, kurang sekali daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan lain-lain yang tidak se¬hebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebalik¬nya, ilmunya itu lebih banyak menyerang dan lebih kuat daya serangnya daripada daya tahannya. Dengan Soan-hong-lui-kun, biarpun Su¬ma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar pula bagi pendekar itu un¬tuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini dapat bekerja sama de¬ngan amat baiknya itu. Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai berkemak-kemik, menggunakan Imu Coan-im-jip-bit untuk memberi petunjuk kepada Suma Han seperti yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia memberi petun¬juk mempergunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih memper¬kuat daya serangan dari pendekar itu. Diam-diam Suma Han mendengar bisikan-bisikan ini yang memang hanya ditujukan kepadanya. Dia maklum bahwa kakek itu memiliki ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu-malu untuk menerima petunjuk ini, Dan tiba-tiba dia berhenti meloncat, melainkan menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian ke kiri tiga kali dan tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok dan cepat dia memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang. “Wusssss....!” Hawa dingin yang tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat. Biarpun tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri sehingga pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan karena pendekar itu harus menghindarkan tiga orang penyerangnya, namun hawa pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil! Kembali Suma Han bergerak aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian mem¬balik dan tahu-tahu dia telah menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang amat panas. Kakek itu terkejut dan mengerahkan kedua ta¬ngannya ke depan dengan tenaga sinkang sepenuhnya. Tidak urung dia merasa ke¬dua telapak tangannya seperti dibakar dan untung baginya, pada saat yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi sehingga terpaksa Suma Han kembali menghindar dan tidak men¬desaknya. Demikianlah, dengan petunjuk-petunjuk dari Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang dan beberapa kali mendesak empat orang lawannya, sung¬guhpun selalu dapat digagalkan oleh kerja sama empat orang itu yang saling mem¬bantu. “Mana Sam-te, mengapa terlambat benar?” Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring. “Aku datang.... aku datang....!” Dan bersama dengan suara itu mun¬cullah Sam-ok Ban Hwa Seng-jin, koksu atau lebih tepat lagi bekas koksu dari Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apalagi setelah tewasnya Pangeran Liong Bian Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal, bahkan dia dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana Nepal. Dalam keadaan seperti itu, ketika datang Su-ok menyusulnya dan minta kepadanya untuk membantu teman-temannya meng¬hadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu meninggalkan Nepal tanpa pamit 1agi, melepaskan jabatan koksu yang di¬rasakan makin panas dan tidak enak itu. Kedatangannya agak terlambat, akan tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada yang roboh, bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau saudara segolongannya itu terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang dibantu oleh Dewa Bongkok yang memberi pe¬tunjuk. Begitu datang dan melihat Dewa Bongkok di situ, Sam-ok terkejut se¬tengah mati, akan tetapi dia pun lega ketika mendapat kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat dan tidak mungkin ikut bertanding. Sejenak Sam-ok melihat kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ter¬nyata empat orang teman itu dapat me¬nandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti beruang marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti gasing! Itulah Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang dilaku¬kan dengan tubuh berpusing seperti ga¬sing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat pukulan seperti kilat cepatnya yang amat kuat meng¬hantam ke arah Pendekar Super Sakti! Melawan empat orang itu saja ke¬adaannya sudah seimbang, apalagi kini dibantu oleh orang seperti Ban Hwa Seng-jin. Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya dibandingkan dengan kepandai¬an Twa-ok atau Ji-ok dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Memang sebenarnya lima orang itu sama sekali tidak mempunyai pertalian per¬saudaraan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka ilmu mereka masing-masing jauh berbeda dan memiliki ke¬istimewaan masing-masing. Kalau mereka bergabung, adalah karena watak dan kesukaan mereka sama, dan tingkat me¬reka itu ditentukan oleh pertandingan yang mereka adakan untuk mengukur tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah amat banyak. Kini Suma Han mulai terdesak lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak. Dengan Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima orang lagi seperti mereka, kiranya tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han yang memper¬gunakan Soan-hong-lui-kun, yang mem¬buat tubuhnya seperti bersayap dan sukar sekali dipukul itu. Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia tidak sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan diri dari semua serangan. Tentu saja pertandingan seperti ini berat sebelah dan Suma Han terus didesak dan dikejar-kejar oleh lima orang Im-kan Ngo-ok yang lihai-lihai itu. Dewa Bongkok tidak sempat lagi mem¬beri petunjuk saking cepatnya serangan lima orang yang bertubi-tubi datangnya dan dilakukan dengan gaya ilmu silat yang jauh berlainan itu. Kalau saja dia tidak terluka, tentu dia dapat membantu dan bersama dengan Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan mampu merobohkan lima orang itu. Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian me¬nyerang! Akan tetapi, apa mau dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak mengerahkan sinkang karena hal itu akan berarti kematiannya. Suma Han juga harus mengakui bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini benar-benar terlalu berat baginya. Ilmu-ilmu mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelima¬nya mempergunakan ilmu yang berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal dasar atau sifat ilmu mereka, dan hal ini membuat dia tidak mungkin melakukan serangan balasan. Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti sehingga dia tidak sempat membalas, dan terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Akan tetapi, tidak mungkin berkelahi hanya dengan mengelak dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu kali pun! Tiba-tiba Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suara¬nya yang terdengar seolah-olah dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru, “Haiii! Aku di sini!” disusul gemanya, “Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!” Lima orang Im-kan Ngo-ok menge¬luarkan seruan kaget dan mereka ber¬gerak dengan kacau-balau karena mereka melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi iima orang! Lima Pendekar Siluman, semua memegang tongkat, dan masing-masing kini meng¬hadapi seorang Pendekar Siluman! Seketika keadaan menjadi berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat bekerja sama karena masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya! Dan kini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu mulai menyerang! Repotlah lima orang itu dan segera mereka terdesak mundur! Dewa Bongkok memandang dan meng¬angguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh kekuatan sihir itu, akan tetapi dia dapat menduga bah¬wa tentu Pendekar Super Sakti yang dia dengar juga dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain sihir itu kini telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga lima orang lawan itu menjadi kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar Super Sakti yang berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu kehilangan kerja sama mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa tentu Ma¬jikan Pulau Es itu akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran satu lawan lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Dan muncullah seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian tuanya sehingga tubuhnya seperti telah mengerut menjadi kecil! Nenek itu adalah nenek bangsa India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya berkeriput terkekeh-kekeh seperti orang gila. “Heh-heh-heh, permainan kanak-kanak! Hanya satu orang mana bisa berubah lima?” Nenek itu berkata sambil mengacungkan tongkat hitamnya ke atas. Terjadi perubahan pada pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok itu! Kini lima orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han yang lain, dan yang ada hanya seorang saja. Tentu saja mereka menjadi girang dan cepat menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi! Keadaan menjadi berbalik kembali. Suma Han terkejut sekali. Tahulah dia bahwa nenek itu amat kuat dalam ilmu sihir dan kalau dia belum dapat menun¬dukkan nenek itu, tentu akan sukar bagi¬nya untuk mencapai kemenangan. Tak disangkanya bahwa Im-kan Ngo-ok telah bersiap-siap, dibantu oleh seorang nenek ahli sihir. Padahal Durganini, yaitu nenek India yang pandai ilmu sihir itu, sama sekali tidak datang karena diundang oleh Im-kan Ngo-ok, melainkan karena ke¬betulan belaka. Durganini kebetulan le¬wat di tempat itu dan nenek ini yang sudah tua dan pikun, begitu melihat orang main sihir terus saja terjun dan menen¬tang karena gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat disukanya, maka tanpa peduli siapa orangnya dan apa urusannya, tanpa diminta dia terus saja menentang dan melawan Suma Han de¬ngan ilmu sihirnya, membuyarkan kekuatan sihir Suma Han yang membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima orang itu! “Heh-he-he-he-he, orang kaki buntung, hayo kau main-main dengan aku seben¬tar!” kata nenek itu terkekeh-kekeh dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. “Hadapilah naga api hitamku ini!” Im-kan Ngo-ok terkejut setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tong¬kat hitam itu sudah berubah menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari mulutnya! Karena naga hitam itu menubruk dari atas ke arah Suma Han, tentu saja mereka berlima takut kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis mereka berloncatan ke belakang sambil menonton dengan mata terbelalak. Sebagai orang-orang sakti mereka dapat menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu hanyalah hasil kekuatan sihir, akan tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh sihir itu dan mata mereka melihat betapa naga itu seperti benar-benar naga hidup yang amat menyeramkan! “Hemmm.... lihatlah naga putih ini!” Suma Han membentak dengan suara yang mengandung tenaga hebat sekali sambil melontarkan tongkatnya dan.... Im-kan Ngo-ok melihat tongkat Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi seekor naga putih yang terbang melayang dan menyambut ter¬kaman naga hitam. Terjadilah pertempur¬an yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu, ditonton dengan mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak mengenal nenek ini, akan tetapi kedatangan nenek itu sungguh menguntungkan mereka kare¬na mereka tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh lima orang Pendekar Siluman. Hanya Dewa Bongkok yang duduk bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh oleh sihir kedua orang itu karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat tinggi, akan tetapi dia dapat merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari dua orang yang berdiri ber¬hadapan dalam jarak kurang lebih lima meter itu. Suma Han berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri membungkuk sambil mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda. Suma Han merasa terkejut sekali ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu dalam ilmu sihir. Be¬berapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptanya menjadi lemah dan dalam pan¬dangan lima orang Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus mundur. Suma Han harus mengerahkan seluruh tenaga¬nya dan barulah dia sedikit demi sedikit mendesak mundur kekuatan nenek itu. Sebetulnya, kekuatan sihir yang dimiliki oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan kebetulan saja, melaiui proses kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia masih kecil (baca cerita Pendekar Super Sakti), se¬dangkan Durganini semenjak muda sampai tua mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu hitam dari India, maka tentu saja nenek ini jauh lebih kuat kalau di¬bandingkan dengan Suma Han. Akan tetapi, nenek ini sudah tua sekali dan su¬dah pikun, lahir batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja kekuatan sihirnya juga banyak menurun dan karena ini Suma Han dapat mengimbanginya, bahkan kalau Suma Han hanya harus mengerah¬kan seluruh kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja, karena biarpun seenaknya dia melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya. “Kau.... kau bandel, ya....?” Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah menjadi dua tongkat yang kem¬bali ke tangan masing-masing. “Lihat ini, aku akan membikin kau beku dengan angin dingin!” Nenek itu mendorongkan kedua tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan te¬riakan panjang melengking seperti orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri karena bertiup angin yang amat dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah Suma Han karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir itu langsung menyerangnya. “Api panas tidak takut menghadapi dingin, nenek tua!” Suma Han berkata dan dia bersedakap. Im-kan Ngo-ok ter¬belalak kagum dan serem melihat betapa kini tubuh Pendekar Siluman itu seperti terbakar, bernyala dan bercahaya, me¬ngandung api panas dan angin dingin itu tidak mempengaruhinya! Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan sinkang me¬reka untuk menahan hawa dingin yang menyusup tulang-tulang mereka itu. Nenek itu kembali mengeluarkan teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di antara mereka, akan tetapi baik nenek itu maupun Suma Han berdiri dengan kedua lengan diluruskan ke depan seperti sedang mendorong dan mereka itu seperti patung-patung saja, hanya kedua tangan mereka saja yang nampak agak tergetar. Sampai beberapa puluh menit lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan seperti itu, dan diam-diam Suma Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras kepala bukan main dan agaknya hendak mengadu nyawa! Dia sudah me¬rasa lelah sekali, dan dia maklum bahwa setelah melakukan pertandingan mengadu kekuatan sihir seperti ini, dia bisa ke¬habisan tenaga dan semangat, padahal dia masih menghadapi lima orang lawan tangguh itu! “Apa-apaan sih mereka itu?” Ji-ok Kui-bin Nio-nio berseru tak sabar. “Ke¬sempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja!” Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap untuk menyerang Suma Han dengan pukulan Kiam-ci. “Ji-moi, jangan....!” Twa-ok Su Lo Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka dia lalu mendorongkan kedua tangannya un¬tuk mendorong wanita itu ke samping. Masih untung dorongan Twa-ok ini amat kuat karena pada saat itu, terdengar Ji-ok menjerit dan berbareng dengan do¬rongan Twa-ok, dia terpelanting keras dan bergulingan lalu bangkit berdiri de¬ngan muka pucat, tangan kirinya hitam seperti terkena api! Cepat Twa-ok menghampirinya dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok menyerang tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri dengan kedua lengan diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar biasa panasnya akan tetapi yang seperti ada besi semberaninya membetot¬nya masuk. Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia sampai terbetot masuk di antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya lengannya yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia bergidik ngeri. Wanita bermuka teng¬korak yang biasanya ditakuti orang se¬perti iblis itu kini bergidik penuh rasa ngeri. Sementara itu, adu tenaga sihir an¬tara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus. Wajah nenek yang berkulit hitam itu kini nampak pucat, sedangkan wajah Pendekar Super Sakti penuh keringat dan dari kepalanya me¬ngepul uap putih, seperti juga kepala Durganini. Celaka, pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main dan hatinya keras seperti baja, tidak mau mengalah sedikit pun juga. Apakah nenek ini hendak mengadu nyawa? Sung¬guh terlalu, karena dia merasa belum pernah bentrok dengan nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena ge¬taran yang terasa olehnya amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan sihirnya dengan sinkangnya yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan Durganini. Memang Durganini semenjak mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan mempunyai watak yang enggan mun¬dur dan pantang mengaku kalah! Apalagi setelah dia berubah menjadi nenek tua yang pikun, kekerasan kepala itu agaknya makin menjadi-jadi. Kini dia merasa penasaran bukan main mengapa dia be¬lum juga berhasil menundukkan “orang muda” itu. Tiba-tiba keluar suara gereng¬an dari dalam dadanya dan dengan be¬ngong Im-kan Ngo-ok melihat betapa dari uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-lumpai ke atas, mem¬bentuk bayangan dan ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil terbungkus uap atau kabut, meluncur ke atas me¬nuju ke arah Pendekar Super Sakti! Ini¬lah puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan se¬mangat dari tubuhnya dan “semangat” itu kini hendak langsung menyerang Suma Han! Suma Han mengenal ilmu ini dan dia pun sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan tetapi sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu, tubuhnya menjadi tidak terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka. Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek yang sudah nekat itu! “Nini....! Jangan....!” Tiba-tiba di tempat itu muncul se¬orang kakek tua renta berpakaian seder¬hana. Begitu tiba di situ dan melihat keadaan Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma Han dan tak lama kemudian dari kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang membentuk bayangan seperti dirinya yang terbungkus uap dan bayangan kecil ini meluncur naik menyambut bayangan nenek itu. Bayang¬an kakek itu seperti membuat gerakan membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu malah me¬nyerangnya dengan hebat! Siapakah kakek itu? Dia adalah See-thian Hoat-su, suami dari Durganini! Seperti telah diceritakan di bagian depan, antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan suami isteri yang saling mencinta dan mesra, akan tetapi, karena watak Durganini yang ku-koai (aneh) mereka itu sering cekcok, sering berpisah, bahkan sering pula ber¬kelahi! Dalam hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng Siang In itu masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini menang setingkat. Seperti biasa, begitu bertemu dengan bekas suaminya ini, Dur¬ganini tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang mati-matian! Tentu saja See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri, dia berusaha membujuk. Suma Han duduk bersila dengan be¬ngong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang mencampuri, apalagi me¬lihat betapa kakek itu selalu mengalah biarpun terdesak hebat dan menerima beberapa kali pukulan yang amat berat. Akan tetapi, tak lama kemudian, dua bayangan itu sama-sama meluncur kem¬bali kepada “raga” masing-masing. Ke¬duanya mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut karena nenek itu terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu muntah darah, lalu bangkit terhuyung dan menghampiri nenek itu. “Durganini.... kau.... kau kenapa....?” Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh cinta kasih. Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan me¬rangkul nenek itu, diangkatnya kepala nenek itu dan disandarkan ke dadanya. “Ah, kau.... kau terluka hebat oleh kekuatanmu sendiri.... kenapa engkau selalu keras kepala....?” Nenek itu masih terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa. “Hiiiii.... kau.... kau pun terluka parah.... ah, suamiku.... sakitkah....? Maafkan aku....“ Sungguh aneh, menggelikan dan juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu berangkulan dan saling bersikap me¬sra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa Bongkok mengeluh, “Sian¬cai.... siancai, siancai....!” Suma Han pun tahu bahwa kakek dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita kakek oleh pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek itu agaknya telah menggunakan tenaga terlalu banyak se¬hingga terpukul sendiri dan keduanya menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi juga karena usia mereka yang sudah terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal dunia. Dia me¬narik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas, tenaga sinkangnya banyak terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk sementara dia tidak akan dapat menggunakan kekuatan sihirnya yang seperti dikuras habis tadi. “Im-kan Ngo-ok, lihat akibat dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada dua orang luar yang menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja per¬kelahian tiada guna ini,” kata Pendekar Super Sakti. “Apa? Mereka ini datang tanpa kita undang, dan mati karena perbuatan sen¬diri, apa sangkut-pautnya dengan kami? Kami masih belum kalah!” bentak Sam-ok Ban Hwa Seng-jin dan dia Sudah ber¬gerak lagi membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang, diikuti oleh empat orang saudaranya. Terpaksa Suma Han meng¬gerakkan tongkat menjaga diri dan me¬lawan. Sekali ini Suma Han benar-benar ter¬desak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar sudah dibantu dengan petunjuk Dewa Bongkok, masih sukar baginya untuk menandingi lima orang Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak ketika dia mempergunakan sihir. Kini, dia tidak lagi mampu meng¬gunakan sihir seperti tadi dan sinkangnya sudah banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu mengandalkan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Napasnya mulai memburu kare¬na dia merasa lelah sekali. Melihat keadaan lawan, Twa-ok girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya, “Adu tenaga....!” Lima orang itu kini menyerang sekali¬gus, dengan pengerahan tenaga sekuat¬nya! Suma Han tidak melihat jalan lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya pula. Terjadilah adu tenaga sinkang tanpa telapak tangan mereka bertemu, akan tetapi dalam jarak yang kurang dari satu meter. Lima orang itu mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga satu lawan lima! Andaikata Suma Han tidak berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan Durganini, kiranya dia dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan diri dan meloncat untuk meng¬hindar. Akan tetapi tenaganya sudah berkurang dan dia tidak dapat mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka bertemu dan melekat, tidak ada lain jalan kecuali melawan keras sama keras. Dengan menancapkan tongkatnya di atas tanah, Suma Han menggunakan kedua tangannya untuk menolak serangan lawan. Dia menggunakan tenaga gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi lawannya adalah orang-orang yang amat kuat, dan kini mereka menggabung¬kan tenaga, maka terasalah oleh Suma Han betapa pertahan-lahan dia mulai kalah tenaga dan keadaannya amat ber¬bahaya! Tiba-tiba dia merasa ada sebuah ta¬ngan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan tenaga sinkang yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam keadaan berbahaya sekali bagi nyawanya dan dia tahu bahwa tangan ini menyalurkan tenaga untuk membantunya, akan tetapi karena dia tahu bahwa penolong itu adalah Dewa Bongkok padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia berseru, “Locianpwe, jangan....!” Akan tetapi terlambat sudah. Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan itu terjengkang ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han terlepas dari bahaya, akan tetapi dia melihat kakek berlengan buntung itu terhuyung, lalu duduk bersila dan tak bergerak lagi. “Locianpwe....!” Suma Han berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah menjadi mayat itu! Lima orang lawannya sudah bangkit ber¬diri lagi. Mereka tidak mengalami luka, akan tetapi hanya terkejut dan terdorong saja ke belakang sampai terjengkang. Kini mereka memandang kepada Suma Han yang perlahan-lahan sudah bangkit berdiri menghadapi mereka dengan sinar mata seperti mata naga berapi-api. “Im-kan Ngo-ok, lihatlah apa yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini adalah Dewa Bongkok, Peng¬huni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka. Kini, akibat dari perbuatan kalian yang memaksaku bertanding, be¬liau sampai menjadi korban! Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau melepas¬kan kalian lagi!” Dan dengan kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat kepada lima orang itu. Pada saat itu, begitu Suma Han me¬nyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, terdengat jerit seorang wanita dan nampak tubuh ber¬kelebat cepat, lalu wanita itu berlutut dan menangisi mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee Li. Tadinya, ka¬rena merasa sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki dia sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin, Hwee Li melarikan diri sambil me¬nangis. Akan tetapi dia segera teringat kepada kakek berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh meninggalkan kakek yang amat baik kepadanya itu. Dia akan kem¬bali dan mengajak kakek itu pergi meninggalkan Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya. Ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti me¬lawan Im-kan Ngo-ok, kemudian dia me¬lihat betapa gurunya, atau kakek ber¬lengan satu itu membantu Suma Han, kemudian terhuyung dan duduk bersila kembali. Ketika dia mendengar kata-kata Pendekar Super Sakti bahwa kakek itu telah tewas dan bahwa kakek itu adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan main, terkejut dan juga berduka karena kakek yang ternyata adalah masih terhitung kakek gurunya sendiri itu, atau mertua guru dari subonya, telah mening¬gal dunia. Maka dia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan tersedu-¬sedan. Kini, Suma Han yang sudah terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot karena berturut-turut mun¬cul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw Siauw Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu datang-datang terus mengeroyok! Tentu saja Suma Han makin terdesak hebat. Kalau dia mau mem¬pergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar sakti itu masih akan mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara lawan-lawan¬nya yang akan mampu mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi seorang pendekar besar seperti Pendekar Super Sakti untuk lari meninggalkan gelanggang pertempur¬an. Dia mempertahankan diri sedapatnya, biarpun dia sudah menerima beberapa kali pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya terguncang dan ter¬getar. Namun dia masih mengamuk terus dan ketika melihat dara remaja itu me¬nangisi jenazah Dewa Bongkok, pendekar sakti ini masih sempat berkata. “Nona, lekas kau menyingkir dari sini selagi ada kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku menahan mereka!” Tadinya, hati Hwee Li penuh kemarah¬an terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan ucapannya yang menyakitkan hati, biarpun dia tahu bahwa pendekar itu tidak mengenalnya sehingga kata-katanya di depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan untuk ditujukan kepadanya. Marah karena mengingat akan sikap Kian Lee dan kini sikap ayahnya yang sama pula. Akan tetapi, begitu mendengar bujukan halus pendekar itu agar dia me¬larikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa kagum dan terharu juga. Dia dapat melihat dengan jelas betapa pen¬dekar itu dikurung hebat dan didesak oleh para musuhnya, namun pendekar itu tidak memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatan¬nya dan membujuk agar dia yang me¬nyelamatkan diri! Betapa mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan watak Kian Lee yang juga demikian gagah per¬kasa dan bijaksana. Hanya terhadap dia dan riwayat keturunannya mereka itu amat tidak bijaksana! Kini, dara itu bang¬kit berdiri, sama sekali bukan untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini menjadi penyebab kematian kakek gurunya, atau juga gurunya karena dia telah diwarisi bermacam ilmu silat yang hebat. Mana mungkin dia melarikan diri? Tidak, sebaliknya malah. Dia harus membasmi orang-orang ini untuk membalas kemati¬an Dewa Bongkok! Tiba-tiba terdengar pekik nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan terban¬ting mati seketika! Dara itu dalam ke¬marahannya telah mempergunakan satu di antara delapan jurus Cui-beng Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok. Biarpun latihannya belum ma¬tang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang sute Su-ok terlempar dan tewas, maka dapat¬lah dibayangkan betapa hebatnya ilmu pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang yang berada dalam diri Hwee Li setelah Dewa Bongkok “mengoperkan” tenaganya kepada dara jelita itu! Tentu saja tiga orang cebol yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw Mo-li. Terutama sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik karena bukankah dara itu masih keponakan muridnya sendiri? Me¬lihat dara itu membantu Pendekar Super Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang cebol yang lain dia sudah mener¬jang maju, bukan hanya dengan tangan kosong, melainkan menggunakan pedangnya yang bersinar hijau! Akan tetapi, Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya mencorong dan hal ini adalah berkat tenaga sinkang yang diterimanya dari Dewa Bongkok. Begitu melihat sinar pedang hijau menusuk, dia miringkan tubuhnya dan sekali tangan kirinya me¬nekan ke bawah, terdengar bunyi ”krekkk” dan pedang di tangan Mauw Siauw Mo¬li telah patah! Sebelum wanita cabul itu hilang kagetnya, tangan kiri Hwee Li yang mematahkan pedang itu kini me¬nyampok ke atas, dan kembali terdengar suara “krekkk” disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang telah patah tu¬lang lehernya dan tewas seketika! Bukan main hebatnya gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan keganasan pukulan-pukulan itu saking marahnya. Dia terus menghadapi tiga orang cebol yang lain, kemudian dia menggerakkan jurus ke empat, tubuhnya merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri ditarik ke belakang, tubuhnya seperti hampir bertiarap, akan tetapi kedua ta¬ngannya menyambar ke depan. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol itu terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali karena ada yang kepalanya retak, ada yang tu¬lang-tulang dadanya remuk terkena sam¬baran hawa pukulan jurus mujijat itu! Sungguh sukar untuk dipercaya! Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu membunuh lima orang cebol yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw Mo-li yang merupakan se¬orang tokoh besar dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan Ngo-ok yang ter¬kejut setengah mati, juga Suma Han sendiri memandang dengan penuh ke¬heranan, kekaguman, akan tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang luar biasa itu. Kini Hwee Li menerjang maju ke arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan mendesak Suma Han yang sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti. Melihat ini, Sam-ok alias bekas Koksu Nepal yang merasa¬ sudah mengenal betul tingkat kepandaian nona muda itu, cepat meloncat maju. “Eh, Nona, mengapa engkau membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermain¬kan habis-habisan!” Ternyata Sam-ok memandang rendah kepada nona ini. Me¬mang betul bahwa nona ini telah me¬robohkan enam orang itu, akan tetapi Sam-ok pun memandang rendah kepada enam orang itu. Sambil menyeringai dia mementang kedua lengannya dan me¬langkah maju, sikapnya menakutkan. Kemarahan Hwee Li makin memuncak. “Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana-mana mendatangkan kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locian¬pwe itu dengan nyawamu yang tak ber¬harga!” “Huh, bocah tak tahu diri!” Sam-ok Ban Hwa Seng-jin marah sekali dan me¬nubruk ke depan. Gerakannya cepat bu¬kan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li sehingga dara itu sukar mencari jalan keluar dari se¬rangan ini. Kedua tangannya yang besar itu mencengkeram dari kanan kiri. Hwee Li memang tidak berniat untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu me¬nyambar, dia pun lalu menyambut dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga dari pusarnya. “Dukkk! Desss....!” Hebat sekali ben¬turan antara sepasang lengan yang be¬sarnya melebihi betis Hwee Li sendiri dengan dua lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Seng-jin terpental sampai empat meter dan dia terbanting jatuh, debu mengepul dan dia bangkit sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah! Melihat ini, Twa-ok terkejut dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, me¬nubruk ke arah Hwee Li dengan menge¬rahankan tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak, melainkan tiba-tiba dia berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah dan tangan kanan dipukulkan atau didorongkan ke depan dengan tangan terbuka. Inilah pu¬kulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, de¬ngan mengandalkan tenaga yang memin¬jam tekanan pada bumi. “Desssss....!” Tubuh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur tubuhnya. Dia tidak terluka, akan tetapi merasa dadanya sesak dan dia memandang de¬ngan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian, dia membalikkan tubuh dan berseru kepada empat orang saudaranya, “Pergi.... angin keras!” Itulah tanda bah¬wa fihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun berlari-larian secepatnya dengan hati jerih. Suma Han yang menderita luka berdiri sambil memandang dara itu penuh kagum. “Ahh.... sungguh hebat, engkau agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini, Nona....” Hwee Li hanya mengangguk, sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han menjadi pucat dan orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri, kemudian tubuhnya bergoyang-goyang. Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah dia kepada Kian Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah kekasihnya. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya. “Kau.... kau terluka, Locianpwe....? Suma Han menarik napas panjang. “Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat, Nona. Siapa namamu?” “Nama saya Kim Hwee Li, Locianpwe” Hwee Li menanti dengan jantung berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan pengaruh apa-apa terhadap pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini belum pernah mendengar namanya dan tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi dicelanya sebagai puteri penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak kan¬dung pemberontak Kim Bouw Sin! “Sebut saja aku paman, Hwee Li. De¬ngan kepandaian yang kaumiliki, lewat beberapa tahun lagi saja belum tentu aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku locianpwe. Kalau tidak ada engkau yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari Dewa Bongkok, kiranya sekarang aku sudah mati pula seperti dia. Ahhh, kasihan, seorang tokoh besar harus tewas dalam kesunyian. Kita harus menyempumakan semua jenazah itu dan memperabukan mereka.” “Semua?” Hwee Li bertanya, heran. “Juga jenazah delapan orang itu?” Suma Han mengangguk, berbalik dia bertanya, “Ya, mengapa tidak?” “Tentu saja aku hanya ingin menyem¬pumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo.... eh, Paman. Delapan jenazah yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.” “Ah, Hwee Li, jangan kau berpen¬dapat demikian. Betapapun jahatnya me¬reka, kini mereka telah mati, telah men¬jadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?” Hwee Li mernandang tajam dan Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang demikian tajamnya itu. Me¬mang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok, sepasang mata dara itu mencorong seperti sepasang mata se¬ekor naga sakti! “Jadi kalau begitu kita tidak boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?” “Ya, begitulah. Yang jahat itu per¬buatannya, bukan orangnya.” “Biarpun pada waktu hidupnya mereka itu amat jahat sekali?” “Ya, kita tidak boleh membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kaubantu aku mempersiapkan pembakaran besar untuk mereka.” Mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun kering, menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma Han menumpuk je¬nazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang kakek cebol ke atas tumpukan kayu, sedangkan jena¬zah Dewa Bongkok diletakkan di atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang berkeras untuk memisahkan jenazah kakek bongkok itu. “Aku hendak menyimpan abu jenazah beliau, Paman,” katanya sebagai alasan ketika dia hendak memisahkan pembakar¬an jenazah itu. “Eh, untuk apa?” “Untuk kuserahkan kepada yang ber¬hak menerima. Menurut.... cerita beliau sebelum meninggal dunia, beliau mem¬punyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin mencarinya un¬tuk menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.” Suma Han mengangguk. “Memang benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu. Engkau sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.” Mereka lalu membakar tumpukan kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti jenazah-jenazah itu ter¬bakar menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li bercakap-cakap. Dia amat ter¬tarik kepada gadis ini, seorang gadis yang selain cantik jelita penuh kelembut¬an juga mengandung kekuatan hebat, kelincahan, kejujuran dan keberanian dengan hati yang keras, mengingatkan dia kepada Lulu isterinya yang ke dua ketika masih muda. “Engkau berbakti sekali kepada orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Me¬lihat bahwa engkau telah mewarisi ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.” “Tidak, Lo.... eh, Paman. Kami ke¬betulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka dan akan dibunuh oleh Mauw.... eh, wanita yang telah tewas itu.” Dia menuding ke arah tumpukan jenazah yang terbakar. “Melihat seorang kakek terluka tak berdaya hendak dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh wanita itu kalau tidak diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan bersama dan beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepada¬ku.” “Berapa lama engkau dilatihnya?” “Kurang lebih tiga bulan.” “Ahhh! Tiga bulan dan engkau sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah memiliki kepandaian lumayan. Dan engkau mengenal wanita yang kaubunuh itu agaknya?” Hwee Li mengangguk. “Aku pernah melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang penjahat wanita yang amat kejam.” “Bukan main...., Hwee Li, melihat usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas tahun....“ “Baru delapan belas, Paman.” “Nah, masih amat muda remaja, akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat luas dan engkau memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat tinggalmu dan siapakah orang tuamu?” Ditanya demikian, tiba-tiba saja, Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Ter¬ingat dia betapa dia hidup sebatangkara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama sekali, bahkan Mauw Siauw Mo-li yang dulu dianggap sebagai bibi guru¬nya baru saja mati olehnya. Dan kekasih¬nya meninggalkannya, juga subonya agak¬nya membencinya karena dia keturunan pemberontak. Dan orang yang amat baik kepadanya, kakek berlengan buntung yang ternyata kakek gurunya juga, itu baru saja meninggal dan kini, jenazahnya masih dimakan api. Siapa tidak akan menjadi sedih mendengar pertanyaan itu? Apalagi yang mengajukan pertanyaan adalah orang yang diharapkannya menjadi ayah mer¬tuanya akan tetapi yang tadi mengeluar¬kan caci maki kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya, dan dia menangis sampai mengguguk. Suma Han memandang dengan wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan wajahnya yang mirip, melainkan wataknya, begitu mudah me¬nangis! Dia merasa kasihan sekali karena dia dapat menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat atas diri gadis ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa sengsara dan berduka. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau seorang wanita me¬nangis karena duka, biarkanlah dia me¬nangis, jangan ganggu, jangan hibur ka¬rena selama air matanya belum habis ditumpahkan, hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang kesedihannya. Setelah tangisnya reda, dan menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi berair karena tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa malu-malu sebagai seorang gadis yang terbuka dan polos sehingga malah jauh daripada menimbulkan jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih terisak, “Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai sanak ke¬luarga, tidak mempunyai tempat tinggal lagi, Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena hal itu hanya membikin hatiku makin sengsara saja.” Suma Han mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li. Katakanlah siapa yang membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan membantumu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi penerangan dalam kegelapan hatimu.” “Ah, benarkah, Paman?” Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya meman¬dang dan ada senyum di bibirnya, dan mata berseri, biarpun masih ada dua titik air mata yang baru saja turun ke atas pipinya! Sungguh tiada bedanya de¬ngan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika masih muda, persis seperti dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa! “Mengapa Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?” “Tidak, Hwee Li. Andaikata engkau tidak pernah membantuku sekalipun, aku akan tetap membantumu dengan sungguh hati.” “Mengapa, Paman? Mengapa Paman demikian baik kepadaku?” Sepasang mata itu seperti hendak menembus ke dalam dada dan suaranya penuh desakan. “Karena aku suka kepadamu, Hwee Li. Engkau mengingatkan aku akan isteri¬ku Lulu di waktu dia masih semuda eng¬kau.” “Ahhh....!” Tiba-tiba kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi gugup, dan untuk menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat pembakaran jenazah Dewa Bong¬kok dan menambah kayu kering pada api yang masih berkobar itu. Setelah mereka duduk kembali di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tem¬pat pembakaran itu agar jangan terlalu terserang oleh bau yang keras dari jena¬zah yang terbakar itu, Hwee Li berkata, “Tidak ada sesuatu yang perlu bantuan¬mu, Paman. Aku hanya bingung ke mana aku harus mencari murid Dewa Bongkok untuk menyerahkan abu jenazahnya.” “Aku akan menemanimu dan mem¬bantu mencari, Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi tadi, dan se¬lama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat, akan tetapi mereka berlima itu merupakan lawan yang amat tangguh. Dengan kepandaian kita berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu pergi ke selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.” “Jadi Paman tidak kembali ke Pulau Es?” Suma Han menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pulang tanpa disertai putera-puteraku, aku tentu akan menghadapi dua orang wanita yang ma¬rah persis engkau.” Jantung di dalam dada Hwee Li ber¬debar tegang. Hampir dia bertanya si¬apakah Lulu itu? Ibu kandung Kian Bu atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani bertanya, karena dengan demikian berarti dia akan membuka ra¬hasia dirinya. Mereka harus menanti sampai sehari penuh dan menjelang ma¬lam, barulah pembakaran jenazah itu selesai. Abu jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han, sedangkan abu jenazah Dewa Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian digendongnya di punggung. Malam itu juga Suma Han dan Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke sela¬tan, melintasi gurun pasir dalam cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam hutan di seberang gu¬run pasir itu, membuat api unggun dan beristirahat. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li telah menghidangkan panggang ayam hutan untuk Suma Han. Suma Han tersenyum dan mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata penuh kasih sayang. “Terima kasih, anak yang baik, kaumakan¬lah daging ayam itu.” “Eh, kenapa, Paman? Aku sengaja menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak kemarin Paman tidak per¬nah makan, tentu lapar. Nah, silakan, lumayan untuk sarapan pagi, Paman.” “Terima kasih, engkau memang baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak pernah makan daging lagi selama be¬berapa tahun ini, Hwee Li. Kaumakanlah sendiri, aku tidak biasa makan daging....“ “Ahhh....! Kalau begitu, biar kucari¬kan sayur-sayur untuk Paman” Dan se¬belum pendekar itu sempat mencegah, dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki hutan. Sampai lama dia pergi dan akhirnya dia datang kembali mem¬bawa banyak sekali buah-buahan dan sayur-sayuran yang dapat dimasak. “Nah, ini buah-buah segar, Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur-sayuran ini....!” “Tidak apa, buah-buahan ini cukup¬lah.” Mereka lalu makan. Suma Han makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang daging ayam. Mereka makan sambil bercakap-cakap. “Paman, mengapa Paman tidak makan daging? Apakah ka¬rena agama yang Paman anut melarang Paman makan daging?” “Tidak, Hwee Li.” “Lalu mengapa? Apakah Paman menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang berjiwa?” Suma Han tersenyum lebar. “Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi suci? Tidak, Hwee Li, bukan untuk menjalani kehidupan suci.” “Lalu untuk apa, Paman?” Gadis ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum dijawab pertanyaannya. Per¬sis Lulu! “Bukan untuk apa-apa, anak baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih baik untuk diriku lahir batin, karena itulah aku tidak ma¬kan daging! Dan sekarang aku telah ter¬lanjur tidak suka, jadi, aku tidak me¬maksa diri yang tidak suka. Nah, puas sudah?” Hwee Li terbelalak, akan tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru dia merasa bahwa dia ter¬lalu mendesak. “Ah, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman jujur, tidak seperti orang-orang yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak mau makan daging, pada¬hal kalau melihat orang makan daging dia mengilar!” Suma Han tertawa mendengar ucapan ini. Makin lama mereka melakukan per¬jalanan bersama, makin suka dia kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia me¬rasa menyesal mengapa putera-puteranya tidak mencari jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila kepada anak seorang pemberontak? Gila benar! Diam-diam dia mengambil keputus¬an untuk mengambil dara ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan tetapi se¬baiknya dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang, cocok kalau mendapatkan seorang isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia dengan Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama kerasnya, kelak bisa me¬nimbulkan keributan. Ah, bagaimanapun juga, dia harus mengambil dara ini se¬bagai mantunya! Beberapa pekan kemudian, mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat tertarik dan suka kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada pendekar ini. Demi¬kian tenang, demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian gagah perkasa, penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya masih terasa sakit kalau dia teringat akan pandangan Kian Lee dan juga pen¬dekar sakti ini terhadap dirinya dengan mengingat keturunan orang tuanya. Hwee Li dapat menduga bahwa gurunya dan suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah suami gurunya, Kao Kok Cu, murid dari Dewa Bongkok itu berhasil menyelamatkan keluarga Jenderal Kao Liang yang tertawan dalam benteng, tentu dia akan mengatur keluarga yang telah ditinggal mati ayahnya itu. Dan karena kabarnya keluarga itu telah diusir dari kota raja secara halus, maka tidak mungkin kalau keluarga itu kembali ke kota raja, tentu ke kampung halaman dari mana keluarga Kao berasal. Dan dia akan mencari ke sana! Akan tetapi se¬mua ini tidak dia beritahukan kepada Pendekar Super Sakti yang diam-diam juga ingin lebih dulu mencari puteranya untuk.... diperkenalkan dengan dara pi¬lihannya ini! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali me¬reka tiba di persimpangan jalan. Me¬nurut pengetahuan Hwee Li yang pernah mendengar penuturan subonya tentang kampung halaman keluarga Jenderal Kao, mestinya mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke Kang-lam di mana keluarga Kao berasal. Akan tetapi Suma Han ingin mengambil jalan yang kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu jenazah itu kepada suami gurunya, maka dia membantah dan bertanya, “Mengapa Paman hendak meng¬ambil jalan itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah kita harus mencari murid Dewa Bongkok?” Suma Han menarik napas panjang. “Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh nanti saja dan aku serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih dulu menemukan putera-puteraku, baru kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti, Gurun Pasir itu.” “Ah, urusan kematian Dewa Bongkok merupakan urusan yang amat penting bagi muridnya, Paman. Kenapa Paman tergesa-gesa hendak mencari putera Pa¬man?” “Karena aku hendak memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.” Hwee Li terbelalak memandang wajah yang berseri lembut itu. “Eh? Mengapa? Apa maksudnya Paman hendak memper¬kenalkan aku kepada mereka?” Pendekar itu menarik napas panjang lalu duduk di tepi jalan itu. “Kau duduk¬lah, Hwee Li, dan dengarkan kata-kata¬ku.” Gadis itu memandang heran lalu duduk di depan pendekar itu, di atas sebuah batu bundar. “Hwee Li, semenjak berkenalan de¬nganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah perkasa melawan musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian se¬telah melakukan perjalanan bersamamu, terus terang saja timbul rasa suka yang mendalam di hatiku. Engkau makin meng¬ingatkan aku akan isteriku ketika dia masih muda. Maka, semenjak beberapa hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk.... mengambil engkau sebagai mantuku!” “Ahhhhh....!” Hwee Li terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang. “Maafkan, Nak, bukan aku ingin lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka aku bicara begini terus terang kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali untuk menjadi isteri Kian Lee, puteraku....“ Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun seperti disengat kela¬bang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya dengan muka me¬rah sekali, kemudian terdengar dia ber¬kata, “Paman, aku telah mendengar percakapan Paman dengan locianpwe Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah puteramu itu telah mempunyai seorang kekasih?” Kini Suma Han juga bangkit berdiri dan mengepal tangan kanannya. “Tidak! Aku akan memutuskan hubungan yang tidak tepat itu!” “Mengapa.... mengapa tidak tepat, Paman?” Suma Han tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar, karena dia sendiri sedang marah memikirkan keadaan puteranya. “Dia harus memutuskan hubungan itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat menyadarkan Kian Lee, bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan telah meninggalkan ga¬dis anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan pemberontak rendah itu!” Sepasang mata Majikan Pulau Es ini bersinar-sinar penuh kemarahan. Dia merasa terhina kalau harus menjadi besan orang-orang seperti penjahat dan pemberontak itu. Dan terjadilah hal yang aneh, yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak memandang gadis itu. Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah padam dan kedua matanya basah akan tetapi menge¬luarkan sinar kemarahan yang berapi¬api, yang ditujukan kepadanya! “Bagus sekali, Paman! Baru saja beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku bahwa kita tidak boleh membenci orang yang telah mati betapa¬pun jahatnya dia, dan kini Paman mem¬perlihatkan kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya yang telah terbasmi dan binasa semua sebagai keluarga pem¬berontak! Apakah Paman sendiri di waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah Mancu sekarang ini, ketika pertama kali menyerbu ke selatan, bukan¬kah mereka pun pemberontak? Dan Pa¬man juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka! Lupa¬kah Paman bahwa isteri Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari.... eh, puteramu Kian Lee itu, pernah pula men¬jadi pemberontak dan juga menjadi ketua Pulau Neraka? Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau pemberontakan atau penyelewengan orang tuanya? Meng¬apa anaknya diikutkan bertanggung jawab dan kebagian nama buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu? Layakkah itu bagi seorang pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan pikiran yang demikian picik, dangkal dan tidak adil?” Wajah Suma Han menjadi pucat, ke¬mudian merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru, “Hwee Li, kau....” Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar tempat itu terguncang! “Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman yang mulia dan setinggi langit itu! Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat, sebaliknya Paman dan keluarga Paman adalah keluarga langit! Sudahlah!” Dia terguguk menangis dan melarikan diri secepatnya pergi mening¬galkan Suma Han yang berdiri melongo. Hatinya mendorong untuk mengejar, akan tetapi dia teringat dan tidak jadi, meng¬gerakkan kakinya. Gadis seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dahulu, tidak mung¬kin ditundukkan dengan bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri yang ber¬salah! Pendekar ini tersenyum. Sudah setua, ini masih begitu tolol. Tentu saja! Tentu saja Hwee Li adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu, gadis anak angkat Hek-tiauw Lo-mo, puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin! Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah menjadi murid Dewa Bongkok dan locianpwe itu datang untuk membicarakan urusan per¬hubungan gadis itu dengan Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari sambil menangis ketika mendengar dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan pemberontak! Seperti disambar halilintar, pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah cermin besar di mana dia me¬mandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia masih dikuasai oleh watak sombong, ingin mengangkat diri dan ke¬luarga sendiri, mempunyai “gambaran” yang amat agung terhadap keluarga sen¬diri yang pada hahekatnya perluasan dari diri sendiri pula, sehingga dia meman¬dang rendah kepada golongan lain, ter¬utama yang dianggapnya hina seperti penjahat dan pemberontak! Dan gadis dengan kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang menyadarkannya! Sampai berjam-jam lamanya Suma Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah bergerak akan tetapi mata batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa malu, malu sekali! Aih, be¬tapa Lulu akan marah sekali kalau men¬dengar akan sikapnya selama ini! Dan kenapa Kian Lee juga memandang rendah kepada gadis yang menjadi kekasihnya itu setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak? Mengapa Kian Lee setolol itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan penyelewengan orang tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya kebetulan saja dihubung¬kan sebagai ayah dan anak. Akan tetapi, bukankah ayah dan anak merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri, hati sendiri, kesadaran sendiri, selera sendiri? Sadarlah kini Suma Han. Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan kewaspadaan sehingga tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan perbuatan yang tidak benar hanya dilaku¬kan oleh manusia yang pada saat itu tidak sadar! Apabila manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat memandang dirinya sendiri, setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar itu pun akan nampak olehnya dan karenanya tentu tidak akan dilakukannya! Kewaspadaan bukanlah suatu hal yang boleh dilakukan sekali waktu atau pada waktu-waktu tertentu saja. Kalau dilaku¬kan berselang-seling, maka terjadilah apa yang kita lihat dalam kehidupan manusia ini. Di waktu tidak waspada, melakukan dosa, setelah sadar dan waspada, me¬nyesal dan minta ampun, bersumpah ti¬dak akan lagi melakukan perbuatan itu. Kemudian, dalam keadaan tidak sadar lagi, diulanginya perbuatan itu, lalu sadar dan minta ampun lagi. Demikianlah kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Kewaspadaan harus selalu ada pada kita setiap saat, timbul dari pengamatan setiap saat, timbul dari perhatian sepenuhnya yang kita curahkan terhadap diri sendiri dalam saat apa pun, selagi melakukan atau mengatakan atau memikirkan apa pun. Pengamatan penuh kewaspadaan, penuh perhatian inilah ke¬sadaran! Kalau kita membiarkan diri kosong tanpa kewaspadaan, maka iblis berupa pikiran yang selalu mengejar ke¬senangan akan masuk dan menyeret kita kepada kesesatan. Waspada dengan pengamatan tanpa pamrih ingin mengubah, waspada dengan pengamatan tanpa ada¬nya si aku yang mengamati, karena si aku adalah yang diamati pula, waspada terhadap si aku, pikiranku, kedukaanku, kemarahanku, kebencianku, waspada ter¬hadap semua ini tanpa ingin mendapatkan apa pun, inilah satu-satunya yang dapat menimbulkan pengertian. Lebih dari tiga jam pendekar sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia berterima kasih, karena dara re¬maja itulah yang telah menggugahnya dari mimpi yang membawanya kepada kesesatan. Betapa dia telah memberi kuliah kepada Hwee Li, seperti dikatakan dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekalipun yang sudah mati, namun sikapnya menentang hubungan puteranya karena si gadis itu anak penjahat dan pemberontak sudah merupakan suatu ke¬bencian pula yang terselubung! Ahhh, betapa mudahnya memberi nasihat namun betapa sukarnya melaksanakannya sendiri! Ini semua takkan terjadi kalau dia selalu waspada setiap saat mengamati diri sen¬diri, sehingga dia akan waspada ketika memberi nasihat, waspada pula ketika berbuat! “Akan kucari Kian Lee, akan kuberes¬kan semua yang tidak benar selama ini!” katanya kepada diri sendiri dan di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi, mempergunakan ilmunya untuk berloncatan dan melakukan perjalanan cepat sekali. Dugaan Hwee Li memang tepat. Setelah beberapa hari lamanya dia ber¬putar-putar di daerah Kang-lam, akhirnya dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga Jenderal Kao Liang, yaitu di dusun Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang sunyi. Cepat dia menuju ke dusun itu dan dari jauh dia sudah melihat subonya sedang duduk di depan sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan juga Cin Liong. Bukan main girangnya hati Hwee Li, akan te¬tapi di samping kegirangan ini dia pun merasa terharu karena dia membawa berita duka, dan juga tegang dan gelisah melihat subonya, teringat betapa subonya sudah tidak mau mengakuinya lagi se¬bagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak! “Enci Hwee Li....!” Cin Liong yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan mengajaknya bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami isteri per¬kasa itu pun memandang. Hwee Li merangkul dan memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu, menurunkan Cin Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia selalu menganggap subonya sebagai pengganti ibu, akan te¬tapi mengingat betapa wanita di depan¬nya yang amat dihormatinya, dikagumi¬nya dan juga dicintanya itu kini tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa sedih sekali. Apalagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit. Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di de¬pan mereka. Dia tidak berani menyebut subo atau suhu kepada mereka, meng¬ingat betapa subonya telah mematahkan pedang dan menyatakan hubungan mereka sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia tidak akan mengemis minta di¬akui lagi sebagai murid, bisik hatinya yang keras, kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah! Sambil berlutut dan dengan muka menunduk dia lalu berkata. “Harap Taihiap dan Lihiap berdua sudi memaafkan aku kalau aku datang mengganggu.” Tanpa diketahui oleh Hwee Li, suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan lihiap dan taihiap itu sebaliknya, dari subo dan suhu. Kao Kok Cu ter¬senyum pahit dan pandang matanya me¬negur isterinya, sedangkan Ceng Ceng kelihatan terharu, namun ditahannya dengan hatinya yang keras. Memang dia sudah menceritakan kepada suaminya bahwa dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li karena ternyata bahwa Hwee Li adalah adik dari musuh mereka, yaitu adik dari Kim Cui Yan yang telah men¬culik Cin Liong, atau juga puteri dari mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Mendengar penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan isterinya itu terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena ssudah terlanjur maka mereka berdua tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan menyebut mereka taihiap dan lihiap! Sejenak mereka bertiga merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya pertemuan antara mereka tenntu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah seorang dara yang lincah jenaka dan yang selalu menggembirakan suami istri itu dengan sikapnya yang manja. Kini gadis itu berlutut dan me¬nitikkan air mata, menyebut mereka dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu memecahkan kesunyian yang tidak enak itu dengan berkata halus. “Hwee Li, tentu saja engkau tidak mengganggu. Kau bangkit dan duduklah dan ceritakan dengan tenang apa keper¬luanmu datang menemui kami.” Hwee Li bangkit dan duduk berhadap¬an dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke arah wajah Ceng Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tidak tahu apakah nyonya itu masih marah kepadanya ataukah tidak. Betapa¬pun juga, suasana ini amat tidak enak terasa olehnya, apalagi dia harus mem¬bawa berita yang amat tidak baik. Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut kepala Cin Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar kepadanya. “Enci Hwee Li kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita latihan silat, aku sudah mulai dilatih oleh Ayah!” Melihat sikap Hwee Li, Kok Cu dapat menduga bahwa tentu ada urusan pen¬ting, maka dia lalu menyuruh puteranya itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya. Setelah anak itu ma¬suk, Kok Cu bertanya lagi, “Nah, cerita¬kanlah keperluanmu, Hwee Li.” Sejak tadi Hwee Li sudah menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas turun, akan tetapi kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan Kok Cu dan menangis, suaranya terputus-putus ketika dia bicara sambil menurunkan buntalan dari atas punggungnya. “Su.... Taihiap...., aku.... aku datang untuk menghaturkan ini....“ Dia merasa lehernya tercekik dan hanya mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala sambil menangis. Teringat dia akan semua kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya telah menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan te¬lah mengoperkan sinkang ke dalam tu¬buhnya. “Apakah ini? Apakah isinya buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau mena¬ngis?” tanya Kok Cu dengan hati merasa tidak enak. “.... abu jenazah....“ Hwee Li berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh perhatian kepada dara itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh suaminya. Kok Cu terkejut dan makin merasa tidak enak. “Abu jenazah? Punya siapa?” “.... abu jenazah Locianpwe.... penghuni Istana Gurun Pasir....“ “Ahhhhh!” Kok Cu meloncat berdiri dan tubuhnya gemetar, buntalan itu ma¬sih dipegang tangan kanannya dan wajah¬nya agak pucat ketika dia memandang kepada buntalan itu, kemudian kepada Hwee Li. “Hwee Li, hayo ceritakan yang jelas!” bentaknya dengan suara mengandung getaran amat kuat. “Tidak salahkah engkau bahwa ini abu jenazah suhuku, Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?” Hwee Li menentang pandang mata Kok Cu dengan mata basah air mata. “Tidak mungkin salah, karena aku sendiri melihat beliau tewas, dan aku bersama dengan Pendekar Super Sakti yang me¬nyempurnakan jenazahnya menjadi abu dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu.” “Ahhh....!” Kedua kaki Kok Cu meng¬gigil dan dia lalu cepat menaruh buntal¬an itu di atas meja, kemudian dia men¬jatuhkan diri berlutut di depan buntalan abu itu. “Suhu, ampunkan teecu, karena terlalu memikirkan keluarga sendiri teecu sampai melupakan suhu dan tidak tahu bahwa suhu telah meninggal dunia, am¬punkan teecu....“ Sebuah tangan yang halus menyentuh¬nya setelah beberapa lama dia berlutut tanpa bergerak dengan hati yang amat ber¬duka. Dia menoleh dan ternyata isteri¬nya juga sudah berlutut di sampingnya, dengan mata basah air mata. “Sudahlah, suhu sudah meninggal dengan tenang, tidak baik kalau terlalu disedihkan, lebih baik kita cepat mengatur meja sembah¬yang untuk beliau,” kata Ceng Ceng. Sementara itu, Hwee Li juga sudah ber¬lutut di belakang mereka. Dengan bantuan beberapa orang ang¬gauta keluarga, diaturlah sebuah meja sembahyang dan abu itu lalu disembah¬yangi sebagaimana mestinya. Hwee Li juga ikut sembahyang di depan meja abu itu, dan ketika dia berlutut dia berkata dengan suara sayu, “Locianpwe, untuk yang terakhir kalinya aku menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu kepadaku.” Setelah dia bangkit, Kok Cu lalu mempersilakan dia duduk. “Maaf, Taihiap, aku akan terus melanjutkan perjalanan dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi,” katanya sambil mengerling ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng tahu bahwa muridnya ini masih merasa tidak enak kepadanya, se¬perti juga dia merasa tidak enak. Dia pernah menyakitkan hati muridnya ini dan memutuskan hubungan, siapa kira kini anak itu malah berjasa dengan meng¬antarkan abu jenazah guru suaminya. Maka dengan suara lirih dia berkata, “Hwee Li, kau duduklah dulu dan cerita¬kan tentang kematian suhu.” “Benar, harap kau tidak kepalang dengan pertolonganmu, Hwee Li. Engkau sudah bersusah payah mengantar abu jenazah suhu, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi, bagaimana engkau dapat bertemu dengan suhu dan bagaimana suhu sampai meninggal dunia, apa pula hu¬bungannya dengan Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu dan memang suami isteri ini amat tertarik untuk mengetahui se¬mua itu. Hwee Li menarik napas panjang. Me¬mang dia harus menceritakan itu semua. Sambil menundukkan mukanya dia mulai bercerita secara singkat, “Mula-mula aku bertemu dengan beliau ketika beliau dalam keadaan terluka parah sekali akan dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li....“ “Bagaimana beliau bisa terluka pa¬rah?” Kok Cu bertanya kaget. “Beliau kemudian menceritakan bahwa beliau terluka karena secara curang di¬pukul dari depan dan belakang oleh Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. Me¬reka berdua tewas akan tetapi, beliau sendiri terluka parah. Melihat beliau yang sudah tidak berdaya dan duduk bersila itu hendak dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, aku lalu mencegahnya dan melawan Mauw Siauw Mo-li....“ “Kau melawan bibi gurumu sendiri?” Ceng Ceng bertanya, akan tetapi pan¬dang mata suaminya membuat dia sadar bahwa dia masih dikuasai oleh kemarahan terhadap dara ini, maka dia lalu diam saja dan menundukkan muka. Hwee Li melirik ke arah subonya itu dan meng¬gigit bibir tanpa menjawab. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar