Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 38.

Jodoh Rajawali Jilid 38:
Jodoh Rajawali Jilid - 38 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 38 Tek Hoat minum air teh itu, kemudi¬an dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. “Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri. “Ahhh....!” Wajah panglima itu men¬jadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak lang¬sung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.” “Nanti dulu, Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, baru kaupertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja.” “Baik, baik, lekas kauceritakan, Tai¬hiap!” “Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja ter¬ancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk meng¬ancam raja, dan selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk mem¬berontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.” Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, kare¬na cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri. Biarlah, hal itu akan ku¬hadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku sempat ber¬temu lagi dengan dia, pikirnya. Sepasang mata Panglima Jayin me¬ngeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh seli¬dik dan wajah panglima itu jelas mem¬bayangkan ketidakpercayaan, akan tetapi keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata! “Hemmm, kulihat engkau pun agakrrya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut. “Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Tai¬hiap, akan tetapi penuturanmu itu sung¬guh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah di¬rencanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengada¬kan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang per¬caya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku.” “Ah, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!” seru Tek Hoat dengan girang. “Ha¬rap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianat¬an ini, dan aku akan membantumu.” Wajah Panglima Jayin berseri. Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka bagi¬nya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ ter¬dapat pemuda perkasa, ini yang mem¬bantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir. “Pertama-tama, kita harus cepat mem¬beri laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui fihak pembe¬rontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.” Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki ta¬man melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk mem¬buka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana. Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat me¬nyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat mem¬beri hormat kepada Panglima Jayin. “Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima itu, “di mana beliau?” “Beliau sudah memasuki kamar, baru saja.” “Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.” “Mari Panglima, keputusannya ter¬serah kepada pengawal kamar.” Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-penga¬wal istana yang memandang dengan he¬ran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana. “Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan. “Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyam¬paikan berita amat penting tentang sang puteri.” “Sang Puteri Syanti Dewi....?” Ham¬pir semua mulut pengawal berseru meng¬ulang nama ini dan tahulah mereka be¬tapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah ma¬suk kamar dengan hati-hati setelah me¬nutupkan kembali daun pintu. Tak lama kemudian, daun pintu ber¬gerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata, “Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.” Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sam¬bil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum me¬nerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya. Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat. “Jayin, benarkah engkau datang mem¬bawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?” Karena te¬gang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu mem¬perhatikan Tek Hoat. Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat, “Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.” Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia se¬gera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat. “Nah, ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata. “Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu.” Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang be¬sar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu. Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, “Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?” “Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberon¬takan keji.” Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata pe¬nuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin, “Jayin, kalau engkau mem¬bawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya de¬ngan berita ini?” “Maafkan kelancangan hamba, agak¬nya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini.” Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudi¬an memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan. “Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.” Betapapun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bang¬ga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia ber¬ubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri! “Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat. Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syan¬ti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memak¬sa sang raja turun tahta, kemudian meng¬gunakan pasukan yang dibantu oleh Kera¬jaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja. Makin lama Sang Raja Bhutan men¬jadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, “Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?” “Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.” “Hemmm, bagaimana kalau bohong?” “Hamba mempertaruhkan nyawa ham¬ba!” kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya. “Dan hamba juga berani mempertaruh¬kan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.” Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian se¬hingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, “Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian ber¬dua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!” “Mohon diampunkan kelancangan ham¬ba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perin¬tah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpen¬dam, dan dikirim pasukan untuk meng¬halau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Ham¬ba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.” “Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohin¬ta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu dengan dia agar segala renca¬nanya dapat kita ketahui.” Raja tua itu menghela napas panjang. “Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki kesela¬matan puteriku!” “Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat. “Baik, nah, kaubawa pedangku ini se¬bagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.” Dua orang itu dengan hormat menerima pe¬dang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksana¬kannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindakatas nama raja! Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi! Kemudian dia membawa seorang pang¬lima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda dan yang juga ter¬masuk seorang di antara kaki tangan Sa¬ngita, membawanya ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia mem¬bebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberon¬takan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi. “Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bah¬wa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak pada¬nya ditangkap atas perintah sri baginda.” “Akan tetapi.... saya tidak tahu ¬menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan se¬panjang pengetahuan saya, Panglima Sa¬ngita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biarpun diatur oleh puteranya sendiri!” “Aku tahu, akan tetapi demi keaman¬an negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini.” “Aku bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang pe¬rajurit siap menerima perintah. Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah pang¬lima ini jelas memperlihatkan sigap setia kepada negara, Jayin lalu memperguna¬kannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini. Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak, sungguhpun. kini kekuatan utama telah di¬amankan sehingga andaikata ada pasu¬kan-pasukan yang condong untuk mem¬berontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta. Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan. Akhirnya saat yang dinanti-nanti pe¬nuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utus¬an Mohinta yang menjadi kurir menyeli¬nap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orang¬nya Panglima Jayin. Kemudian oleh pen¬jaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Pang¬lima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubung¬an dari putera panglima. Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar Bhu¬tan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini menjadi pembantu Jayin itu cepat meng¬ikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mo¬hinta dan kaki tangannya. Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasu¬kan yang boleh dipercaya dan kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya. Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar renca¬na ini dan baru dia percaya bahwa pute¬ra panglima ini merencanakan pemberon¬takan hebat, bahkan pengkhianatan de¬ngan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menya¬takan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk “melaksanakan” rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa me¬ngenal lelah panglima tua ini lalu me¬nemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta. “Bagus! Permintaannya yang pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasu¬kan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya. Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang “utusan” panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk “mengurung” istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Bi¬arpun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera me¬ngawal sang puteri, berikut para penga¬walnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah di¬kabari akan kembalinya sang puteri, ma¬ka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira. “Puteri” Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melam¬baikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu Puteri Syanti Dewi terkenal ra¬mah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut. Akan tetapi ketika sang puteri melambai¬kan tangan dari dalam kereta dan wajah¬nya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biarpun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menim¬bulkan kecurigaan sesuatu. Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan ista¬na, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para peraju¬rit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana. Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pri¬badi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pe¬ngawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya mem¬bolehkan Mohinta dan sang puteri ber¬jalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah “diberi” oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah. Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantung¬nya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguhpun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersem¬bunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melang¬kah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu akan rencana Mo¬hinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan. “Mohinta, apa yang kaulakukan itu?” ¬Suara sri baginda gemetar. Dengan wajah beringas Mohinta ber¬kata, “Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di teiapak tangan¬ku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!” Hampir raja itu tidak mampu menge¬luarkan kata-kata saking marahnya. “Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga te¬lah banyak membuat jasa yang meng¬harumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!” “Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!” bentak Mohinta. “Apa kehendakmu?” tanya raja, juga membentak. “Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan di Bhutan!” “Keparat! Jahanam! Tangkap pem¬berontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan. “Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri bagin¬da!” bentak Mohinta dan pedangnya ma¬kin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya. Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyam¬bar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ke¬tika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Sementara itu, Sri baginda lari meng¬hampiri sang puteri yang segera dipeluknya. “Syanti.... anakku.... ah, anakku....!” Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika pemuda ini ber¬kata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, “Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau merencanakan peng¬khianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!” “Ahhh.... kau.... kau....!” Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan me¬nyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan me¬ngeluarkan darah. “Syanti....! Kau gila....!” Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi menge¬luarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah ber¬gerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah. “Dewi....!” Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia. Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksi¬kan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuh¬nya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi “puteri” itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi. Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor hari¬mau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal. Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan ke¬gagalan itu maka dengan nekat dia me¬nyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pe¬ngawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyam¬butnya tadi kini malah bertanding me¬lawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mo¬hinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut-pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Mo¬hinta sendiri! Tek Hoat mengamuk dengan pedang¬nya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mo¬hinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberon¬tak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk me¬robohkan para pengawal istana. “Mohinta keparat, jangan lari!” Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerak¬kan pedangnya dengan cepat untuk me¬lindungi tubuhnya dari hujan senjata. “Kepung! Bunuh!” Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya. Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah me¬naruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mo¬hinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya me¬ngeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang me¬ngamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil ber¬usaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu. Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah me¬ninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sem¬pat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaian¬nya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manu¬sia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh! Biarpun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biarpun dia su¬dah merobohkan belasan orang pengero¬yok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di an¬taranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mo¬hinta sendiri hanya menyerang dari bela¬kang setiap kali ada kesempatan, kemudi¬an meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya. Melihat kecurang¬an orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti ke¬sempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu. Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan melon¬cat dan membalik, kaki kirinya meng¬injak tangga lantai. Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya. “Blesssss....!” Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu me¬masuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih. “Itu untuk ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tu¬buh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali. “Crakkk! Crakkk!” Kedua lengan Mo¬hinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam. “Itu untuk Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak. Mohinta kembali menjerit dan mata¬nya terbelalak memandang kedua lengan¬nya yang buntung, kini darah muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerang¬nya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu. “Crakkk!” Leher Mohinta putus di¬sambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi. “Itu untuk Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini me¬ngamuk sampai enam orang pengeroyok¬nya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam. Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan! Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pem¬berontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan me¬reka pun setengah matang, dilakukan se¬tengah hati sehingga belum sampai se¬tengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka me¬naluk. Demikian pula, di perbatasan ter¬jadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin me¬ngirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang di¬apit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan se¬hingga pasukan itu menjadi panik, akhir¬nya melarikan diri kembali ke Nepal meninggalkan banyak korban. Pemberontakan itu berhasil dihancur¬kan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka ter¬hindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar! Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya men¬derita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melain¬kan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Un¬tuk kedua kalinya, pemuda ini telah me¬nyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorban¬kan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pem¬belaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memper¬oleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana. Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Un¬tuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlam¬pau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamat¬annya. Akan tetapi yang mengkhawatir¬kan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya. Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk, diam saja tak per¬nah mau bicara. Kadang-kadang dia me¬nangis tersedu-sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memang¬gil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta. Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau-kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu me¬nasihatkan kepada sri baginda agar ke¬nyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar. Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan memerintahkan kepada semua pela¬yan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat. Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya pang¬lima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk memberon¬tak. Pasukan-pasukan yang tadinya ter¬pengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya, dipecah-pecah dan digabungkan de¬ngan pasukan pemerintah yang setia un¬tuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak. Setelah Panglima Sangita yang tua itu dipensiun dan dibebastugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin rmenjadi pang¬lima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan. Perang terjadi di seluruh dunia se¬menjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya. Baik yang dinama¬kan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan, perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh kare¬na itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pe¬mentingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing. Setiap saat, setiap hari juga terjadi per¬tentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh ke¬inginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencari¬an atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain. Demi mencapai cita-cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikian¬lah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan ke¬kerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini. Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya “perang” di dalam batin mengakhiri pe¬rang di luar diri, karena lahir dan batin tak terpisahkan, kait-mengait dan penga¬ruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung ke¬bencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin! Se¬baliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin se¬perti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seper¬ti itu tidak ada perang, tidak ada per¬musuhan, tidak ada kekerasan! Raja Bhutan dan Panglima Jayin ten¬tu saja merasa bahwa mereka telah ber¬hasil membasmi pemberontakan, akan tetapi mereka lupa bahwapemberontakan¬pemberontakan tidak akan pernah ber¬henti, baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan memen¬tingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri. Raja Bhutan dan Ja¬yin sama sekali bukan melenyapkan pem¬berontakan, melainkan hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan ke¬kerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamai¬an lagi namanya. Manusia tidak lagi me¬lakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ke¬tenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apabila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu! Ketertiban yang sungguh-sungguh ke¬tertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ke¬tertiban lagi namanya, melainkan ke¬tidaktertiban yang dipulas. Dan ketertib¬an berdasarkan cinta kasih tidak mung¬kin dapat diatur, melainkan datang de¬ngan sewajarnya apabila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh ke¬inginan menyenangkan diri sendiri, apa¬bila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang di¬gerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang di¬ajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar men¬jadi tindakan kekerasan yang menimbul¬kan permusuhan antara manusia. Ketertib¬an, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melain¬kan timbul sewajarnya kalau segala ben¬tuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin. *** Seperti juga dengan para pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu. Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksa¬nakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil ja¬lannya sendiri. Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga su¬dah pergi mencari keselamatannya sen¬diri. Bahkan tiga orang pandai yang tadi¬nya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng. Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Biarpun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk me¬ninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mere¬ka tidak mau ikut pergi ke negara Ne¬pal, maka mereka pergi sendiri memisah¬kan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama murid¬nya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengada¬kan pergerakan di Tiongkok dkn mereka mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pem¬berontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mere¬ka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil jalan sendiri, sungguhpun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara. Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pe¬maksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu. Orang-orang yang ber¬ada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nam¬pak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andaikata ada yang melihatnya, ten¬tu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas pung¬gung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa! Burung itu sendiri adalah seekor bu¬rung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih ke¬lihatan kuat ketika menggerakkan sayap¬nya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya. Manusia itu pun aneh. Kaki¬nya buntung sebelah, tinggal kaki kanan¬nya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu me¬rupakan seorang pria yang tampan. Tubuh¬nya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang se¬batang tongkat butut yang ditempelkan¬nya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang. Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan meng¬hitam yang baunya menyesakkan napas itu. “Hemmm, perang...., lagi-lagi perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!” Kakek itu meng¬gumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya yang tercinta un¬tuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada ka¬bar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia me¬ngalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau dan mulai dengan perantauan¬nya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak me¬nuju ke sebuah benteng di lembah, hati¬nya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua. Akan tetapi, ketika melihat pertem¬puran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia me¬ngenal puterinya, yaitu Puteri Milana! Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikir¬nya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang su¬dah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun ESeng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu. Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pem¬berontak, yang berarti adanya bunuh¬membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burung¬nya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hi¬tam bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur. Tiba-tiba Pendekar Super Sakti ter¬kejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat me¬ngenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini. Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat ben¬tuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah berceri¬ta kepadanya tentang Kian Bu yang kata¬nya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi. Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga¬ ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bu¬kan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang me¬ninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah mem¬buang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok! Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini ter¬kejut, agak gentar akan tetapi juga ma¬rah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk mem¬balas kekalahan mereka karena kini ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu me¬reka. Rasa penasaran karena pernah di¬kalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Su¬per Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut. “Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi me¬rupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu. “Maafkan kalau aku mengganggu kali¬an berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau-kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia ber¬henti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu ter¬libat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah....“ Baru sampai di sini pendekar itu bi¬cara, Ngo-ok Toat-beng Sian-su, si tosu yang tingginya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan kedua ta¬ngannya yang berlengan panjang. Serang¬an ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping su¬dah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, me¬lakukan penyerangan secara diam-diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktu¬nya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing¬masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat! Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serang¬an itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupa¬kan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya le¬nyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangan¬nya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke manapun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka. Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggumakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dimiliki oleh Pendekar Siluman ini. Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah ber¬kelebatan mengelak ke sana-sini mengan¬dalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil ber¬seru, “Tahan, harap kalian suka dengar¬kan bicaraku dulu!” Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang diper¬gunakan sebagai pengganti kaki kiri, si¬kapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum se¬sat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerak¬an lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia se¬olah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti “hidup” dan hendak bergerak sendiri itu. Twa-ok Su Lo Ti juga me¬masang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya mem¬bentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau men¬capit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah me¬ter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seper¬ti dua batang kayu yang menjulang ting¬gi! Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda-kuda mengepungnya dengan mem¬bentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja. “Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendak¬nya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang pu¬teraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?” Empat orang itu tidak menjawab, ha¬nya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempeduli¬kan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan ba¬gaimana baiknya menyerang dan men¬jatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini. Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba ter¬dengar pekik aneh di angkasa dan ter¬nyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang me¬lirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali. “Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Se¬mua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksas yang kelihatan me¬nakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka! “Suma Han, engkau tidak bisa men¬didik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan meng¬hajarnya sampai mampus!” Tadinya Suma Han tidak mempeduli¬kan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia ter¬tarik. “Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?” “Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bah¬wa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu me¬lihat Pendekar Super Sakti. Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan watak¬nya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu ti¬dak dihiraukannya. “Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.” “Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteri¬ku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke anak cucumu akan menanggung ke¬cemaran namamu!” Suma Han mengerutkan alisnya. Se¬gala makian dan omongan keji yang ke¬luar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya gulang-gulung dengan pu¬teri Hek-tiauw Lo-mo, dan kini Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini? Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata. “Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah kedua¬nya bohong?” “Tidak ada yang bohong! Dua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceri¬takan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang dua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!” “Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayah¬nya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata ke¬ranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil meme¬gangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah! Suma Han mengerutkan alisnya. Si¬nar matanya menjadi tajam sekali dan betapapun juga, dia mulai marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omong¬annya?” Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruan¬nya ketika melihat betapa burung raja¬wali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini ro¬boh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han ¬menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka¬-luka parah dan agaknya saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjong¬kok dan mengelus kepala bangkai raja¬walinya. Tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok me¬meriksa bangkai burungnya. Kini marahlah Suma Han. Dia me¬lengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerak¬an pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur ke¬dudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biarpun me¬reka bertanding tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyam¬bar, hebat sekali karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat meng¬hadapi gelombang hawa yang berubah¬ubah itu. Twa-ok yang memiliki tingkat kepan¬daian paling tinggi, merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan meng¬hadapi seorang lawan seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biarpun dalam urutan tingkat, Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka ber¬lima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok. Belasan tshun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama saja¬lah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biarpun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekalipun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biarpun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat itu. Kekhawatiran Twa-ok memang ber¬alasan karena setelah lewat seratus ju¬rus, mulailah lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugi¬kan mereka karena mereka itu masing¬masing sama sekali tidak mampu menan¬dingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun. Mcngerti bahwa kalau dilanjutkan ten¬tu fihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi isyarat ke¬pada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia men¬jura ke arah Suma Han yang masih ber¬diri tegak karena melihat para pengero¬yoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan. “Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang se¬hingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang ga¬gah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pen¬dekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di du¬nia kang-ouw!” “Ha-ha-ha, Twa-ko, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han. Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tan¬tangan seperti itu, apalagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai se¬orang ahli silat tinggi, tentu saja ber¬temu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati. “Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tan¬tangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku, tan¬tangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!” “Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga daripada nyawa. Jangan khawa¬tir, Suma-taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!” Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Ma¬jikan Pulau Es itu. “Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu pada¬ku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi. “Persetan!” bentak Hek-tiauw Lo-mo dan tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan tem¬pat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya! “Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han. “Keparat sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok ger¬gajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat! Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!” “Crakkk!” Golok itu benar-benar me¬ngenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu “pecah” menjadi dua dan muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdam¬pingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo! “Ehhh?” Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya de¬ngan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu. “Crakkk! Crakkk!” Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan.... dua kali dua sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Dan sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman imi sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi! “Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!” Biarpun dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!” ¬ Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu. “Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi. Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu. Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia! Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayang¬kan kematian? Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukum¬an, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian. Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayang¬kan bahwa kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan ber¬akhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenang¬an, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, ya¬itu.... mengejar kesenangan lagi, sungguhpun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut! Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu un¬tuk bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biarpun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepat¬nya. *** Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari da¬lam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia menge¬rahkan ginkangnya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayang¬an pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu. Ber¬tahun-tahun sudah dia melakukan per¬jalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini! Dan seka¬rang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu? “Ah, Kian Bu.... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia ter¬menung dan tenggelam dalam lamunan¬nya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu. Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permuka¬an, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpe¬lihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini. Dia memilih tempat di ba¬wah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli kare¬na hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Ra¬sa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar. Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandai¬an silat tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biarpun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan. Demikian pula dengan Siang In. Men¬jelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan per¬lahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi se¬gala bahaya apa pun yang mengancamnya. Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tu¬buhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini? Kalau orang lain, apalagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan ne¬rasa takut dan pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hi¬dup dalam keadaan penuh bahaya, me¬nyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehing¬ga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam gua, atau di mana saja! Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah me¬rantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup da¬lam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja. Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan ber¬temu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun me¬nyelinap dengan hati-hati sekali, menge¬jar suara langkah kaki itu. Dan biarpun ginkangnya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu ti¬dak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara. Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang-bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang. “Kresekkk....!” Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering kare¬na dia merasa tegang dan gembira, me¬ngira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya. Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan meng¬hampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita! “Suma-taihiap! Siluman Kecil.... engkaukah itu....?” Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup. “Siapa engkau?” bentaknya. Bayangan itu pun tercengang. “Ahhh.... kiranya bukan....!” Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng. “Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaan¬nya. “Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?” “Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” ba¬las Siang In. “Mau apakah engkau men¬cari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?” Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan¬ tetapi dia mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku.... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap.... dan kusangka dia yang masuk ke sini....“ “Ada keperluan apakah engkau men¬cari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?” “Ah, tidak.... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan.... eh, dari suhu...., sudahlah, aku harus cepat kembali ke¬pada suhu, Adik Siang In. Selamat ting¬gal, aku mau pergi.” Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil “Suma-taihiap” tadi, demikian penuh perasaan, penuh harapan dan me¬sra! Hatinya menjadi panas. Begitu ba¬nyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apalagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saing¬annya? “Gila kau!” Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap me¬sra kepada Siluman Kecil sebagai saing¬an? Padahal dia masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan! Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kece¬wa dan kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersendau¬gurau dengan Hwee Li. Kembali dia ter¬bangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan perjalanannya, sungguhpun dia sendiri tidak tahu ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk me¬lakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Ke dua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mo¬hinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia belaka. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar