Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 35.

Jodoh Rajawali Jilid 35:
Jodoh Rajawali Jilid - 35 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 35 Ilmu silat dari Ban Hwa Sengjin, se¬bagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, sudah mencapai tingkat tinggi se¬kali, apalagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan. Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa Bongkok, apalagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu. Akan tetapi, pendekar ini adalah seorang yang me¬miliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak mempunyai permusuhan dengan Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesung¬guhnya bukan perbuatan Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama puteranya masih ber¬ada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dan membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan kematiannya. Ketika mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat untuk menyerang tubuh la¬wan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu meng¬angkat tangan kiri menangkis sambaran ujung lengan baju itu. “Prattt!” Ujung lengan baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin, terasa panas tangan itu dan ujung lengan baju seperti ekor naga sudah melibat per¬gelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan tubuh Kok Cu sudah turun kembali, kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh lawan di depannya itu dengan han¬taman telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu. Pendekar ini pun meng¬gerakkan tangan kanan menyambut. “Plakkkkk!” Kelihatannya perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban Hwa Sengjin terhuyung setergah melayang ke belakang seperti layangan putus talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok. “Twa-heng, harap kembalikan anak itu,” katanya lemah dan begitu menge¬luarkan kata-kata ini, beberapa titik darah menetes dari ujung mulutnya. Kok¬su Nepal itu cepat memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh yang ter¬nyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan, melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras. Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya. “Eh, mana, Lee-ko....?” Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak me¬lihat kakaknya berada di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pange¬ran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li. “Aku tadi melihat dia mengejar Pa¬ngeran Nepal,” kata Siang In. Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gita¬nanda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk meng¬gunakan sihirnya melindungi dia melari¬kan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurah¬kan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka ketika Gita¬nanda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan sinkangnya melawan dan dia da¬pat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar. Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian Lee mengejar sang pangeran. Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu merasa penasaran. “Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah ka¬mi menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini,” kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk. Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu. Melihat muncul¬nya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok me¬rasa gentar juga. Di antara para pende¬kar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pen¬dekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka fihak lawan menjadi ter¬lampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata lantang, “Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini? Mari kita pergi!” Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu. Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu berkata, “Pa¬man Gak, harap suka membiarkan me¬reka pergi karena memang kami telah menjanjikan mereka untuk pergi.” Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana ber¬kata kepada suaminya, “Biarkanlah mere¬ka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Keraja¬an Nepal, dan kami hanya perlu menang¬kap Gubernur Ho-nan yang memberontak!” Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri dur¬na sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat. Dalam keadaan lemah itu, biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya kalau menyatakan perang de¬ngan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang mem¬berontak. Rombongan Koksu Nepal tidak meng¬alami banyak hambatan karena para pe¬rajurit tidak ada yang berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu raha¬sia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasu¬kan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri. Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu, berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya. Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li. Ketika rombongan Puteri Milana ke¬luar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan me¬ngejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, “Ayaaahhh....!” Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang mengatur ledakan-ledakan dan pembakar¬an-pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang! “Ayah....!” Kao Kok Cu berseru dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlumba de¬ngan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar! “Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!” terdengar Jen¬deral Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. “Selamat tinggal semua!” Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu! Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jen¬deral dan beberapa orang keluarga wa¬nita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia me¬nundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksana¬kan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu. Menghancurkannya bersama dia kare¬na dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mem¬pertahankan benteng itu dengan nyawa¬nya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas se¬bagai seorang panglima yang gagah, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya. Hati Kian Bu yang gelisah memikir¬kan Kian Lee, menjadi berduka menyaksi¬kan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan ke¬pada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluar¬ga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, “Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko.” Milana memandang kepada adiknya ini. “Ke mana dia?” “Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.” Milana mengangguk. “Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan.” “Baik, Enci Milana.” Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia! *** Karena para tokoh dalam cerita kita ¬ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan ben¬teng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Pang¬lima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya. Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah da¬pat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri. Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta mem¬bunuh ibunya. Dia akan menangkap Mo¬hinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibu¬nya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini membayangkan dan merenca¬nakan penyiksaan yang paling hebat un¬tuk musuh besar pembunuh ibunya itu! Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekeras¬an dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tidak habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini telah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya. Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluar¬ga kita diganggu, kalau negara kita di¬ ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa maki¬an, balas menghina, memukul dan sebagai¬nya lagi. Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita men¬dendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, diang¬gap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi. Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan mem¬benci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula daripada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi! Kemudian kita melihat bahwa ke¬marahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsa¬raan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya! Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk men¬jadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu ada¬lah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi bela¬ka. Seperti api dalam sekam, kelihatan¬nya saja tidak menyala namun sesungguh¬nya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apabila be¬lajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekan¬tekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara ke¬marahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki. Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan bela¬jar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari daripada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah. Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita pendendam dan pemarah? Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin meng¬gantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah! Lalu bagaimana caranya untuk me¬lenyapkan kemarahan? Tidak ada cara¬nya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti bela¬jar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan kemarah¬an itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita! Kitalah sumber ke¬marahan, kitalah pembuat kemarahan, kitalah biang keladinya. Karena itu, ka¬lau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini? Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampias¬kan kemarahan. Bukankah demikian? Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau be¬gitu! Karena kemarahan itu pada hakekat¬nya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, de¬ngan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini. Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita bela¬jar sabar? Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada kemarah¬an, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA KASIH itu. Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia meren¬canakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mo¬hinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat. Be¬berapa hari kemudian setelah dia me¬ninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu me¬nunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidik¬annya. Maka dia lalu melakukan penge¬jaran secepatnya dan beberapa hari ke mudian dia berhasil menyusul rombongan itu! Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang me¬ngawal kereta, jantung Tek Hoat ber¬debar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pe¬muda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun ta¬ngan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang po¬hon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat. Dia lalu membayangi terus dan akhir¬nya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pe¬ngaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jerih melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, ke¬pala dusun mengalah dan membawa ke¬luarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun. Tek Hoat mengintai terus dan jantung¬nya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak se¬nang menyusup di hatinya ketika dia me¬lihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu lalu bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang me¬reka sewa untuk semalam. Tek Hoat melongo sampai lama se¬telah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, pada¬hal seingatnya, belum pernah Syanti De¬wi bersikap segenit itu baik kepadanya sekalipun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu? Dengan hati penuh dendam dan cem¬buru yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biarpun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah, akhirnya dia berhasil mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan! Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi me¬makai pakaian panglima, melainkan me¬ngenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir me¬ledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar me¬megang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang mem¬buat Tek Hoat yang nengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya. Melihat panglima itu yang mengingat¬kan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apalagi melihat betapa musuh besarnya itu kini merampas pula kekasihnya, ham¬pir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk. “Ah, Sayang.... engkau sungguh ma¬nis, aku sungguh cinta padamu....“ ter¬dengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri “Hemmmmm....” Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pang¬kuan Panglima Bhutan itu. “Aku pun cinta padamu.... Panglima.... akan te¬tapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu....?” Tek Hoat terbelalak dan merasa he¬ran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus. “Tentu saja, Manis. Akan tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu....” “Ihhh, aku takut....“ Puteri itu ber¬bisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta. Mohinta memeluknya. “Tak usah ta¬kut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tun¬duk dan menyerah kepadaku. Kemudian, kalau aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku.... hemmm.... engkau manis benar malam ini....“ Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan mem¬bunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencana¬kan pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan! Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia mem¬bebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyata¬an betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syan¬ti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan se¬orang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh kok¬su. Terdengar berdengung di dalam teli¬nganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu. “Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita....“ Tek Hoat memejamkan matanya, hati¬nya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. ¬Andaikata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk men¬jatuhkan Raja Bhutan? “Aku harus menentang mereka!” Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan menge¬pal tinjunya. “Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi ter¬buka matanya dan melihat betapa se¬orang anak haram seperti aku jauh lebih berharga daripada panglima mudanya bahkan lebih berharga daripada puterinya sendiri!” Pikiran ini membuat Tek Hoat akhir¬nya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mo¬hinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, meng¬hancurkan siasat dan rencana pemberon¬takan kotor mereka, baru dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi.... ah, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguhpun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cinta¬nya tetap mendalam dan akan terus me¬nyala di dalam hatinya. Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu men¬dahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung. Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar. “Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!” kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan. Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dia tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu. “Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?” bentaknya. “Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?” “Andaikata aku melihatnya juga, apa kaukira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!” Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut-ribut oleh penyerbu¬an tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat bu¬rung garudanya terbang berputaran ting¬gi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu, telah mencari majikan-majikannya dan ketika me¬lihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani ter¬bang berputaran di atas tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu lalu meninggalkan semua rekan¬nya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan ber¬sembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya. Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. “Jari Maut, eng¬kau sungguh manusia sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan mem¬bunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu.” “Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang sombong dan saat ini aku senang maka aku akan membunuhmu.” Sebetulnya Tek Hoat tidak mau me¬layani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, ke dua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mo¬hinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika dia melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang me¬ngeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak. “Cui-beng-kiam....!” serunya dan ma¬tanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu. “Ha-ha-ha, engkau masih mengenal¬nya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!” Terbayanglah semua peristiwa bebera¬pa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Pe¬dang Cui-beng-kiam itu adalah pedang¬nya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali dicerita¬kan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ke¬tua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu. Ketika Ang Tek Hoat men¬jadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang su¬dah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biarpun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, kini kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu me¬lihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk me¬lawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam! “Keparat, kembalikan pedangku!” ben¬taknya dan dia sudah menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh. Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tengan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakan¬nya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini. Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hi¬langnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi ten¬tu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puteri¬nya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyecang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sen¬diri. Namun, Ang Tek Hoat atau yang se¬benarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya. Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetul¬nya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, da¬lam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki pen¬ciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi! Menghadapi serangan-serangan pedang¬ dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lo¬mo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang meng¬angkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut. Betapapun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus ber¬sikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini. Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang ma¬sih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kiri¬nya yang ampuh, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Namun pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindar¬kan sambil membalas dengan totokan-totokan mautnya. “Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat. Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang meng¬elak dari sambaran pukulan tangan aciri lawan. Tak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya di¬sambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan. “Brettt!” “Brettt!” Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena se¬rangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dah¬syat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hen¬dak meloncat ke belakang untuk meng¬elak, akan tetapi kurang cepat gerakan¬nya itu karena ujung kaki Tek Hoat te¬lah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam. “Desss.... ahhh....!” Pedang itu ter¬lepas dari pegangannya tanpa dapat di¬cegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya. Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-beng¬kiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dan tersenyum mengejek amat menyeram¬kan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertam¬bah marah. “Bocah setan!” dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang se¬batang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan. Tek Hoat meng¬hadapi dengan penuh kewaspadaan, kare¬na biarpun kini Cui-beng-kiam tetah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih ber¬bahaya lagi. Mereka sudah saling ber¬hadapan dengan mata beringas, siap me¬nerjang seperti dua ekor ayam jago ber¬lagak dan hendak bertanding mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pa¬sukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor bu¬rung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas pung¬gungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan. *** Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nam¬pak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang ber¬ombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali. Anak buah kapal! yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu ber¬gerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apalagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit ta¬ngan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh. Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya. Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syan¬ti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui ialu melatih ilmu¬nya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi. Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu me¬ringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya. Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan ke¬pandaian ilmu silat, melainkan juga ke¬tularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya! Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari, pakaiannya ber¬ganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang¬-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari. Kalau dulu Syanti Dewi murah se¬nyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di de¬pan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bah¬kan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui! Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang aseli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali. Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan memper¬siapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupa¬kan seorang ratu itu telah memberi pe¬rintah bahwa menjelang tengahari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang ber¬ada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan mata¬hari pagi yang sehat itu membuat mere¬ka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi. Tiba-tiba mereka menghentikan nya¬nyian mereka, bahkan sejenak menghenti¬kan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana me¬reka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang me¬rupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu! Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi ke¬sempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka me¬nyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri. Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penam¬pung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sam¬pai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus di¬gerakkan cepat. meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air! Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang ber¬lari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut! Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebat¬nya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak ber¬gelombang, mereka itu mengenakan pa¬kaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh guru¬nya sehingga gurunya membuatkan ba¬nyak sekali pakaian untuknya. Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakai¬an puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiar¬kan teruirai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya ber¬kilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, ka¬dang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya melambal-tambal tertiup angin kencang. Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan ombak sambil mengatur kese¬imbangan tubuhnya. Kedua tengan me¬mainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka se¬tiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memper¬lengkap suara air mengalun menjadi se¬macam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu. Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, ben¬tuknya agak tinggi menutupi mata kaki¬nya dan sepatunya itu diikat pada se¬potong bambu, sehingga dua potong bam¬bu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat. Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabat¬nya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya. “Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!” Syanti Dewi berseru gembira. “Baik, kaularilah dulu, nanti kukejar!” jawab Ouw Yan Hui. Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wa¬nita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biar¬pun dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bah¬wa kecepatan moridnya itu sudah hampir menyamainya! “Bibi Maya Dewi....!” Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. “Kapan Bibi datang....?” Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari per¬mata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah “bibi Maya” yang perah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui! “Aku baru saja datang, Yan Hui, de¬ngan perahu kecil. Kabarnya engkau mem¬punyai seorang murid yang hebat.... ah, diakah orangnya?” Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal. “Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!” Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan me¬rangkul pundak sahabat ini, diajak men¬dekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, “Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!” “Ahhh....!” Kini Syanti Dewi me¬longo memandang kepada wanita itu. “Tidak mungkin!” Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun? “Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.” Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan me¬reka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demi¬kianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam. “Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepada¬mu dulu. Dia hebat sekali, bukan? Usia¬nya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas mem¬beri hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti.” Syanti Dewi cepat menjura dan mem¬beri hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke de¬pan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. “Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan.” Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras. Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari ta¬ngan wanita itu mengelus dadanya! Ham¬pir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak. Ouw Yan Hui segera memegang le¬ngannya. “Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya.” Wanita itu memejamkan matanya. “Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh se¬orang anak yang manis sekali, dan be¬tapa akan hebatnya kaleu kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!” Rasa kaget sudah mereda, dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, “Apa.... apa maksudmu....?” Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa be¬tapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin. “Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihaa kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga em¬pat puluh tahun lagi.” “Ahhh....! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih....” “Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda?” Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. “Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun ram¬but uban!” “Tapi.... tapi....” “Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?” tanya Ouw Yan Hui. “Tentu.... tentu saja....” Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan te¬tap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda? “Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidup¬mu, Dewi. Sayang kalau kecantikan se¬perti yang kaumiliki itu kelak habis di¬makan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orang¬mu mempersiapkan semua keperluan me¬rendam Dewi dalam air ramuan!” Tak lama kemudian sibuklah para pe¬layan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena ben¬tuknya seperti gentong besar dan dicat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulai¬lah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu ber¬ubah menjadi agak kemerahan. Sambil memejamkan mata membaca mantera¬mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang de¬ngan mata terbelalak dan penuh keheran¬an, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak men¬dengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorag nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu. “Sekarang tanggalkanlah semua pakai¬anmu, Dewi” kata nenek itu dengan suara halus dan mesra. “Menanggalkan pakaian....?” Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi. “Aihhh, Adik Syanti, mengapa me¬ragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau....” Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelan¬jangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub. “Bukan main....” Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan lu¬dah. “Adikku yang manis, engkau hebat....” Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begit¬u terharu wanita ini menyaksikan ke¬jelitaan yang seolah-olah tanpa cacat di depannya itu. “Apa.... apa yang harus kulakukan, Enci....?” Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan. “Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang....“ Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. “Aku akan memijati tubuhmu dan engkau se¬lamanya takkan pernah menjadi tua.” Karena sudah terlanjur dan juga me¬mang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu de¬ngan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata di¬ngin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, meng¬angkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya. “Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,” kata nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jari¬jari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke ba¬wah. Mula-mula terasa geli seperti di¬gelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, me¬meluk pundak menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui. “Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan....!” Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, “Pejamkan ma¬tamu, Dewi, dan aku akan memandikan¬mu dengan air keramat Sungai Gangga!” Syanti Dewi menurut saja. Dia me¬mejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia me¬ngenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucap¬kan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya. Setelah menuangkan air suci itu, kem¬bali nenek Maya Dewi mengurut pung¬gung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah “pengobatan” dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakai¬annya. Rambutnya yang masih basah di¬biarkan terurai. “Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!” kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. “Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!” “Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan,” kata Ouw Yan Hui. Maya Dewi mengangguk-angguk. “Be¬nar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia.” “Apakah.... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi....!” tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi. “Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan un¬tuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi eng¬kau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya.” Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerak¬kan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum. Nenek Maya Dewi menyerahkan se¬butir pil merah kepada Syanti Dewi. “Kautelanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku.” Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. “Apakah saya harus pantang makan sesuatu?” “Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya....“ “Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu.” Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masak¬an-masakan lezat. Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah de¬ngan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai, membuat Syanti Dewi meng¬gigil dan semua bulu di tubuhnya me¬remang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya. “Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah.” Dengan alas¬an seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga, gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya. Tiga hari kemudian, kapal itu melaku¬kan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara ke¬betulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan te¬tapi tiba-tiba dibatalkannya niat menge¬tuk pintu itu karena dia mendengar bah¬wa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya men¬dorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu de¬ngan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan! Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih men¬dekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaan¬nya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja. Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. “Dia sungguh bodoh dan hatinya keras....“ terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi. “Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya me¬nanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh....“ Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi la1u sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri. Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah. “Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Ma¬lam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semua telah berhasil baik,” kata Maya Dewi, Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan! *** “Kauminumlah secawan arak ini. Ini¬lah pengobatan minumlah terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalam, maka selesailah sudah peng¬obatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling can¬tik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah.” Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sam¬pai habis arak itu. “Ke manakah Bibi akan pergi?” tanya¬nya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja. “Aku?” Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rari itu, seperti gigi orang muda saja. “Ah, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat ber¬jumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku takkan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi.” “Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya.” Malam itu, seperti biasa, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan meng¬urut-urut punggungnya. Syanti Dewi me¬rasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pu¬las selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu. Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia ber¬muka iblis mengerikan. Dia sudah mem¬pergunakan ginkangnya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya. Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, “Tek Hoattt....!” karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya. Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dada¬nya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengus¬an nafsu berahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas cluman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diper¬lakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil menge¬luh. “Syanti...., Dewiku.... kau sungguh cantik, hemmm....!” Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggnakan ta¬ngan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan! “Aduhhh.... ah, apa yang kaulakukan ini, Dewi....?” Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi. Dara ini memandang dengan mata ter¬belalak. Biarpun dari dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, namun melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, ma¬ta setengah terpejam, kedua tangan di¬kembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main! “Bibi.... jangan begitu....!” Dia ter¬engah, menyambar pakaiannya dan ber¬gegas mengenakan pakaiannya. “Dewiku.... ke sinilah.... aih, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kaulayanilah aku, Dewi....!” Ra¬yuan ini membuat Syanti Dewi menjadi makin ngeri dan dia meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam ka¬mar. “Dewiku.... kembalilah.... kembalilah kau....!” Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat apalagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ. Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan per¬tanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah da¬ratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu. Angin yang bertiup kuat itu membuat rambut¬nya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya! Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul berahinya melihat wanita lain? Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang di¬lihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui ya¬itu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui ada¬lah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung. *** Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan meng¬gunakan perahu layar itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar lari¬nya pangeran dari Nepal itu. Setelah berhasil lari keluar dari da¬lam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotok¬nya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bha¬ruhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap me¬nanti beberapa orang pengawal pribadi¬nya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda dan meloncat ke atas pung¬gung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat. Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang perajurit, akan tetapi agaknya para perajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng se¬hingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga. “Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan” Pa¬ngeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu sudah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biarpun kecil itu. “Pangeran, kaulepaskan aku....!” Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati mu¬rung. Gerakannya telah gagal sama sekali. “Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal.” Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, men¬cari akal. Namun agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pa¬ngeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akal¬nya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati. “Lalu apa yang akan kaulakukan ter¬hadap diriku, Pangeran?” tanyanya, suara¬nya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk me¬runtuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu. “Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi. “Tddak, aku tidak mau!” Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak. Pangeran itu menghela napas panjang. “Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunang¬an engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku eng¬kau belajar membalas cinta kaslhku. Eng¬kau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li.” “Tidak.... ah, aku tidak mau.... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran kaukasihanilah aku, kaubebaskan aku, Pangeran....“ Hwee Li yang tidak melihat jalan keluar itu kini menangis! Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan. “Jangan dekati aku, jangan sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kaujamah tubuhku....” Pangeran itu nampak berduka sekali, “Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedih¬kan hatiku? Aku tidak akan mengganggu¬mu, aku aungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang se¬kutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayah¬mu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagl?” “Tidak.... hu-hu-hu.... tidak, aku tidak cinta padamu....“ “Hemmm, aku adalah seorang pange¬ran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!” Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas. “Kau.... kau pengecut sungguh! Meng¬apa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?” Hwee Li berkata sambil terisak. “Hemmm, seorang pria berhak me¬milih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan ham¬pa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!” “Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kaulawan aku!” Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pe¬muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In dan mulutnya cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya berapi-api. Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki ruangan. “Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami telah menerima janji untuk diperbolehkan pergi dengan aman....“ “Aku datang menyusulmu bukan kare¬na urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, oleh karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman.” Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini. “Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk men¬campuri?” bentaknya. “Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan di¬perkosa! Aku sudah pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka men¬jadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya.” “Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?” Kian Lee tersenyum. “Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya? Biar dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi.” “Habis kau mau apa?” “Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka men¬junjung kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia.“ “Keparat....!” Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah meng¬gerak-gerakkan kedua tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang amat di¬ andalkan dan memang ampuh sekali itu. Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia me¬ngenal Im-yang Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Akan tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan, mata terbelalak. Hampir dia ber¬teriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar