Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 27.

Jodoh Rajawali Jilid 27.,
Jodoh Rajawali Jilid - 27 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 27 Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biarpun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagai¬mana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut de¬ngan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mung¬kin mempunyai anak! Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak ang¬kat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesan¬nya telah datang, dia segera mulai ma¬kan. Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan ke¬betulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya! “Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!” demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih. Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawa¬nya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan min¬ta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar. Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bu¬kan anak mereka dan jelas pula bah¬wa mereka berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah? Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan me¬ninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bu¬kanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus. Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedang¬kan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki-laki itu ter¬nyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu mennbalik berseru dengan nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!” Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik po¬hon dan dengan langkah gontai dan te¬nang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman, juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya! Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sem¬barangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona meng¬ikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicara¬kan dengan kami?” Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum mem¬peroleh keterangan dari kalian berdua.” “Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata, suara¬nya jelas mengandung kemarahan. Akan tetapi Siang In tetap saja ter¬senyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang dan di¬tutup oleh senyumnya yang khas. “Aku hanya ingin bertanya, mengapa ada se¬orang gadis mempunyai anak dan meng¬apa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepadanya!” Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang lain!” Siang In tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri se¬gala macam urusan yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?” Mendengar ini, wanita baju hijau itu se¬gera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya. Menghadapi pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi dua orang yang ternyata amat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan selagi dia ter¬desak itulah muncul Kian Lee yang meng¬intai dan menonton pertempuran itu. Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan be¬tapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya. Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara can¬tik jelita itu, kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoinya mempergunakan ilmu pukulan mujijat tadi. Me¬reka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan sumoi¬nya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang Pang¬lima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak. Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah! Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati me¬reka atas kemktian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika mem¬berontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nio-nio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepan¬daian hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal me¬reka untuk menyiksa batin mereka se¬bagai pembalasan dendam mereka. Se¬menjak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apalagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gu¬bernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk me¬ngunjungi pangeran itu yang masih me¬rupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu. Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawa¬tir. Dua orang lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu. “Mampuslah kau siluman jahat!” ben¬tak Kim Cui Yan sambil menyerang de¬ngan pukulannya yang mujijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu. Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir roboh. Kini, wanita baju hijau itu menerjangnya sedemikian dah¬syatnya sehingga tidak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya itu. “Desss....!” tubuh Kim Cui Yan ter¬dorong ke belakang dan wanita baju hi¬jau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya meng¬gigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pe¬ngaruh sihir dari dara berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang lebih kuat dan lebih dingin daripada Swat-lian Sin-ciang! Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang diculiknya diketahui orang, maka dia berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suhengnya yang memang segan untukk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan ce¬pat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi! “Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan kero¬yok sekali, kau manusia tak tahu malu!” Kian Lee hanya berdiri melongo meng¬hadapi dara yang sudah berdiri di depan¬nya sambil menodongkan payungnya ke arah dadanya itu. “Eh, Nona aku tidak berniat bu¬ruk....“ “Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyi¬sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang men¬jadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kaulawan aku!” Siang In sudah menyerang dengan payungnya, me¬nusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan darahnya. “Eihhh....!” Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan ber¬balik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk....“ “Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kaukira aku takut padamu, ya? Ka¬lau memang berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!” Sejak tadi Kian Lee memandang wa¬jah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mem¬punyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ah, kalau saja ada Kian Bu di situ, ten¬tu ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini. Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar-sinar seper¬ti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya. Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Ma¬kin besar makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pe¬muda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menan¬tang-nantang dengan sikapnya yang di¬buat-buat agar kelihatan galak dan me¬nakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In. “Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kaulihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di anta¬ra kedua matanya. Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuh¬nya tergetar dan dia tidak mampu meng¬alihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan te¬tapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor monyet!” Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih tersenyum itu , berkata, “Aku adalah seekor mo¬nyet....“ agak meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir. “Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee. “Tidak.... tidak....!” Kian Lee ber¬usaha melawan, akan tetapi kaki tangan¬nya sudah bergerak sendiri dan dia me¬nari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari! “Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!” Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya ter¬senyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin ke¬hilangan kekuatannya karena mata itu kini mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingat¬kan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya se¬lama ini, pemuda yang.... dibencinya akan tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Se¬telah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan kare¬na Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, muka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri. Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh.... Suma Kian Lee.... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak....” Mendengar ini, Siang In terkejut bu¬kan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pe¬muda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi ter¬buru nafsu mempermainkan pemuda ini engan sihirnya. “Ah.... kau.... kau bernama Suma Kian Lee....?” katanya agak gagap. Kian Lee menggoyang-goyang kepala¬nya mengusir kepeningan, kemudian me¬mejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat be¬tapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuat¬an sihir yang hebat. “Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tidak pernah saling ber¬musuhan, akan tetapi engkau tega mem¬permainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?” “Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?” Wajah Kian Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?” Siang In kecewa. Tadinya dia meng¬harapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku.... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan ka¬barnya dibawa ke sekitar daerah ini.” Kian Lee makin tertarik dan meman¬dang lebih tajam penuh selidik. Dipan¬dang seperti itu oleh pemuda yang ber¬sikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. “Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?” “Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!” “Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?” “Aku Teng Siang In.” Kian Lee mengerutkan alisnya, meng¬ingat-ingat. “Teng Siang In....? Siang In....?” Tiba-tiba wajahnya berseru ke¬tika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ah, tahu aku sekarang! Bukankah engkau murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!” Wajah itu menjadi makin merah dan makin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya men¬desak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?” Kian Lee menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan encimu yang bernama.... ah, lupa lagi aku....” “Mendiang Enci Siang Hwa?” “Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa eng¬kau dan encimu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lem¬bah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoat¬su. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee memandang penuh ka¬gum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.” Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup men¬dung. Luar biasa sekali cepatnya per¬ubahan pada wajah dara ini, menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mu¬dah bersuka, akan tetapi biarpun ber¬sungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisannya wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehing¬ga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu. “Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kaupuji-puji pandai ini sudah men¬jadi mayat!” Dia termenung lalu melan¬jutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!” Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ah, siapakah mereka, Nona? Dan meng¬apa pula kau berkelahi dengan mereka?” Kembali terjadi perubahan pada wajah cantik itu. Kalau tadi bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini ber¬ubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan ma¬rah, “Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, ten¬tu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamat¬kan nyawaku, tentu kau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan ter¬hadap dirimu!” Kian Lee adalah seorang pemuda pen¬diam yang biasanya tidak suka banyak bicara, akan tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadi¬an amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir berhasil menangkap dua orang penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, akan tetapi mengingat kau te¬lah menyelamatkan nyawaku, tidak mung¬kin aku memusuhimu.” Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In....“ “Sudahlah, kalau kau tidak mengang¬gap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja....“ dan tiba-tiba Siang In membalik¬kan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan kein¬dahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya! Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat me¬lompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan. “Nona Siang In.... mengapa kau...., apa salahku?” “Kau tadi berkata bahwa karena me¬ngenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku me¬rasa berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja. Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa kewalah¬an menghadapi dara ini. “Habis, aku harus menyebutmu apakah?” “Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus me¬nyebut enci.” “Ah, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.” Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tidak jauh dari situ. “Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?” “Bicara apa....?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak di¬katakannya tadi. “Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati ka¬rena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kaukatakan tadi!” Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat-ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin di¬ingat akan makin sulit untuk dapat ter¬ingat. Melihat pemuda itu demikian ter¬siksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega. “Eh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya. Kian Lee terkejut, memandang bengong. “Makan....?” tanya bingung. Siang In tersenyum, manis sekali, dan mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“ “Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mung¬kin engkau bisa membeli.... ah, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rum¬put dan batu menjadi nasi dan masakan?” Siang In mengangguk, masih terse¬nyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu men¬jadi nasi dan masakan lezat?” “Hemmm, jangan coba mengelabuhi aku, In-moi (Adik In). Biarpun mungkin bisa, akan tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.” “Akan tetapi aku bisa! Dan aku tang¬gung kau akan menikmatinya dan perut¬mu akan kenyang, Lee-koko!” “Aku tidak percaya,” “Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!” Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerak¬an-gerakan lalu terdengar dara itu ber¬kata, “Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!” Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan be¬berapa macam masakan sedap yang di¬letakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat! “Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan ke¬nyang tadi.” Kian Lee mengerahkan sinkangnya, mengerahkan kekuatan batin untuk mem¬buyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Pe¬rut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, meman¬dang dara itu dan tersenyum. “Hebat.... engkau memang hebat. Kiranya kau be¬nar-benar telah menyediakan makanan ini.... ah, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!” Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Ka¬lau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk-tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kaubicarakan tadi?” “Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?” Siang In meloncat bangun dan wajah¬nya berseri. “Engkau tahu? Di mana dia sekarang?” “Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su....“ “Eh, guruku?” Dara itu berteriak. “Benar, akan tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai....“ “Di Gua Tengkorak?” “Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu....“ “Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?” “Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.” “Ah, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut-sebut dan diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?” Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertem¬pur melawan See-thian Hoat-su di Gua Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain. Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah terdapat, lepas lagi! Dia belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikir¬an!” “Apa maksudmu? Siapa dia yang be¬lum bertemu itu?” Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah.... menciumnya. Bicara ten¬tang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia ce¬pat menjawab, “Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau mengingat akan nasib anak Laki-laki yang mereka culik.” “Laki-laki dan wanita tadi, yang me¬ngeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali. Siang In mengangguk. Setelah ber¬cakap-cakap agak lama, nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biarpun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pe¬muda itu. Kian Bu yang tampan itu wa¬jahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata-kata yang me¬nyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira. Sebaliknya, Kian Lee ini biarpun juga memiliki wajah yang amat tampan, na¬mun bentuk mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejan¬tanan itulah terletak persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan per¬tama nampak benar persamaan di antara mereka. “Kakak Suma Kian Lee, apakah eng¬kau tidak suka bersendau-gurau?” “Hahhh?” Tentu saja Kian Lee ter¬kejut, heran dan bengong. Dengan sung¬guh-sungguh dia amat tertarik dan ber¬tanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik, jawabannya malah pertanya¬an seperti itu yang sama sekali tak per¬nah diduga-duganya! “Bersendau-gurau....?” “Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?” Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak me¬nimbulkan kecewa orang, dia mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanh bagai¬mana kau tahu bahwa dua orang lawan¬mu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.” Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jerih! Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, akan tetapi entah mengapa, wi¬bawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati. “Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih pe¬rawan....“ “Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?” “Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!” Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakap¬an tentang perawan atau bukan itu. “La¬lu bagaimana, selanjutnya?” “Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi mem¬bawa anak itu dan meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi, setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya....“ “Hemmm, jadi masakan yang kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?” Siang In terkekeh. Suara kekeh “hi¬hi-hik” yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. “Akan tetapi lezat, kan?” Kian Lee terpaksa tersenyum, meng¬angguk dan berkata, “Lanjutkanlah cerita¬mu.” “Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana. Me¬lihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.” “Anak laki-laki....? Berusia lima enam tahun....? Ah, jangan-jangan anaknya!” Kian Lee teringat dan mengerutkan alis¬nya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi. “Anaknya? Anak siapa, Koko?” “Anak Ceng Ceng! Anaknya pun di¬culik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!” “Ahhh....! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak sembarangan, biar¬pun baru berusia lima tahun akan tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.” “Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mere¬ka itulah yang menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee. “Lee-ko, aku ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat. Biarpun Siang In telah mengerahkan ginkangnya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia ber¬teriak-teriak mernanggil pemuda itu, re¬pot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In dapat menyusulnya. Dara itu memandang kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bang¬ga. “Larimu seperti kijang saja cepatnya....!” katanya terengah-engah. Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang di¬culik orang itu benar anak Ceng Ceng, tidak melayani sendau-gurau itu dan berkata, “Mari kita cepat mengejar me¬reka.” Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka men¬dapatkan keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa Laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak Laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sa¬rang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan! Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang diper¬sembahkan kepada Pangeran. Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Pu¬teri Milana yang merasa penasaran kare¬na pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong tewas dalam perang oleh Ang Tek Hoat. Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian kareha pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang amat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nio-nio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nio-nio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah be¬lasan tahun dia tidak mau keluar dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan dari¬pada kebahagiaan. Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nio-nio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai se¬orang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sem¬barangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena pemberontakannya. Seluruh ke¬luarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah. Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nio¬-nio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan ne¬nek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaan¬nya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat la¬wan! Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nio-nio juga terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang elang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang la¬wan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya dan hebatnya gelang-gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, ke¬pandaian istimewa ini amat sukar di¬pelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya. Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbul¬nya cinta di antara pria dan wanita ada¬lah karena pergaulan dan kebiasaan, ka¬rena hubungan yang akrab. Hal ini tidak¬lah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk sa¬ling memiliki. Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nio-nio, setiap hari bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nio-nio yang me¬lihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu. Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan kepada Jenderal Kao Liang sekeluarga! “Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus memenuhi per¬mintaanku agar aku tidak sampai me¬langgar sumpahku. Kita tidak bisa me¬nikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan me¬nyampaikan isi hatinya kepada suhengnya. Berbeda dengan Kim Cui Yan, ter¬nyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini mempunyai watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan menentang adanys kekerassn dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam. “Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendak¬nya engkau suka menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit me¬nurutkan kata hati yang diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kauanggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu ha¬nyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh pri¬badi ayahmu hanyalah jenderal itu. Ja¬ngan kau mengikutsertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mung¬kin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku ha¬nya menurut apa yang kaukehendaki ka¬rena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari fihak manapun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi na¬sihat kepada sumoinya. Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyata¬kan niat hati mereka kepada guru mere¬ka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran ke¬luarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nio-nio menarik napas panjang. “Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua ini¬lah yang kelak akan menghancurkan se¬luruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jen¬deral Kao saja kalian tidak akan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai anak-anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?” Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, seorang di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir....“ Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, ke¬lihatan biru sekali. “Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?” “Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir.... be¬gitulah kata orang....“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya. “Celaka! Kalau begitu dia tentu mu¬rid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu! Ka¬lau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekalipun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!” Setelah mendapatkan nasihat-nasihat dan peringatan dari guru mereka, berang¬katlah Liong Tek Hwi dan sumoinya, Kim Cui Yang, meninggalkan tempat pertapa¬an subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke se¬latan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoinya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatang¬kan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan! “Suheng, penuturan Subo tadi men¬datangkan rasa penasaran di dalam hati¬ku. Mari kita mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!” “Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sen¬diri jerih terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.” “Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang di¬sebut dalam dongeng itu.” Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoinya atau kekasihnya yang amat keras ini. “Subo sendiri mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak se¬orang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?” “Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas mar¬kas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.” Liong Tek Hwi yang mencinta sumoi¬nya terpaksa menuruti permintaan sumoi¬nya dan demikianlah, mereka tidak lang¬sung mencari Jenderal Kao Liang melain¬kan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan pena¬saran, mereka tentu turun tangan me¬nentang setiap kejahatan. Semua ini me¬mang sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tidak ingin melihat sumoinya atau kekasihnya tersesat, maka dia men¬coba untuk menarik perhatian sumoinya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka. Karena inilah, biar¬pun mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam sepak terjang mereka, me¬reka tiada bedanya dengan pendekar-pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang me¬reka, Kim Cui Yan amat menonjol de¬ngan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama ke¬mudian, orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau! Akhirnya, pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik se¬perguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat berbahaya itu. Mereka sudah mendapat peringatan dari kakek itu bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa per¬bekalan secukupnya dan pada hari itu be¬rangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu! Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang amat aneh dan sengsara. Bahkan bebera¬pa hari kemudian, ketika mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir yang ter¬amat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak be¬sar dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, mem¬bentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya. Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah ter¬uruk pasir dan kalau mereka tidak me¬miliki ilmu kepandaian tinggi, tentu me¬reka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu! Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka me¬mandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka meninggal¬kan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat. Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain la¬yang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, se¬belum layang-layang itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang-layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali. “Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan. Karena orang itu telah mengembali¬kan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.” “Ah, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?” Anak itu memandang tajam, lalu ba¬las bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?” Cui Yan tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bu¬kan?” Anak itu mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada ban¬dingnya!” Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya? Kim Cui Yan berkedip kepada su¬hengnya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang? Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami ber¬sembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.” “Ah, tidak mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya. “Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka. “Heh-heh, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka. Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin pukulannya! Melihat ini, Cin Liong terta¬wa, “Heh-heh, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka. Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu mengguna¬kan hawa pukulannya untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat mana arah selatan, me¬reka kalau malam melihat letaknya bin¬tang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari. Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu dihapus oleh pukulan-pukul¬an Tek Hwi dan Cui Yan yang men¬datangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir. Akhirnya mereka dapat meninggal¬kan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mere¬ka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan per¬jalanan sambil sembunyi-sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang. Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan den¬damnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat. “Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat memper¬gunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau sudah berjanji untuk tidak mengikutsertakan keluarga Kao, Sumoi.” Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ke¬tika muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu. Maka, setelah kini banyak orang men¬curigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pe¬muda tampan sekali yang memiliki ke¬saktian luar biasa, mereka menjadi jerih dan menurut usul Liong Tek Hwi, me¬reka lalu menuju ke lembah yang dijadi¬kan benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi. Ketika mereka tiba di benteng lem¬bah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Su¬dah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini de¬ngan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-lakl yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri! Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wa¬jah di antara kedua orang ini. Yang se¬orang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang ke dua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah cam¬puran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang ke dua beribu Nepal. “Ahhh, Adik Tek Hwi.... betapa ke¬luarga kita telah berantakan....“ ter¬dengar Pangeran Nepal itu berkata de¬ngan hati terharu. Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik keadaan¬nya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi ke¬luarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya se¬hingga dia sudah tidak mempunyai ke¬luarga lagi, kalau pun ada maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia se¬batangkara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran! Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu me¬nepuk-nepuk pundak adiknya dan ber¬kata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Eh, siapakah Nona ini, adikku?” “Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.” Wajah Pangeran Nepal itu berseri. “Ah! Sungguh kebetulan sekali!” Dia me¬ngatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan ca1on isterinya, dengan Hwee Li, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan. “Dan anak ini?” Tek Hwi hendak menjawab, akan te¬tapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon murid kami.” “Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nio-nio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?” Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran. Tem¬pat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayang¬kan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang! “Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui. “Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Mari kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!” Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wa¬jahnya ketika mereka dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat ka¬kek ini, Cin Liong lalu melepaskan ta¬ngan Cui Yan dan lari menubruk kakek¬nya. “Kong-kong....!” teriaknya. Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga me¬meluk dan mengangkat cucunya itu. Dia segera, mengenal Cin Liong. “Ah, Cin Liong.... kau.... kau!” Dia tidak me¬lanjutkan kata-katanya melainkan me¬natap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan. “Ha-ha-ha, engkau pandai sekali me¬nyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kira¬nya kalian telah berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu ter¬tawa. Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan pe¬rasaannya dan sambil memandang kepada dua orang pendatang baru itu, dia ber¬tanya tenang, “Siapakah kalian dan meng¬apa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?” Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?” tanya¬nya. Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Ista¬na Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut di¬banggakan bahwa dia dan sumoinya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! “Hebat....! Bukan main kalian ini....!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari pa¬man Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.” “Ahhh....!” Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang men¬culik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya. “Kao-goanswe, sekarang engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu de¬ngan keluargamu.” Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia mengelus kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.” “Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jen¬deral Kao Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu de¬ngan keluarga ayahnya. Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak misan¬nya. Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayah¬nya yang memberontak, dia merasa me¬nyesal sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoinya yang perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pem¬berontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, akan tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalah¬an ayah mereka yang lalu, yaitu mem¬berontak! Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan me¬lihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apalagi karena dia dan sumoinya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam. Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik mi¬sannya yang baru datang bersama sumoi¬nya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jende¬ral itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih me¬nanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid dari Kim-mouw Nio-nio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan para pem¬bantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya. Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar-benar kuat dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat daripada keduduk¬an pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, kini kakak misan¬nya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin di utara. *** Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja ke¬palang tanggung. Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayah¬nya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bah¬kan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesem¬patan itu untuk bersekutu dengan guber¬nur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar! Karena itu, dia membuat persiapan se¬baiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang berkedudukan tinggi. Se¬lain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhi¬rat)! Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan te¬tapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat di juluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk da¬pat memanggil empat tokoh yang lain agar dapat membantu pergerakannya. Koksu Nepal juga haus akan keduduk¬an. Kalau sampai pemuda yang bersema¬ngat besar itu berhasil dan menjadi kai¬sar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun lalu mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang membantunya, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari itu dan tem¬patnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu. Hari itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu, muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari totokan dan agaknya se¬bentar lagi mereka baru akan bebas ka¬rena waktu mereka tertotok sampai se¬karang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya. Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga untuk mem¬buat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, kuperkosa sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li. “Huh, kau takkan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hi¬dung, di telinga, di bibir sehingga rasa¬nya geli dan tidak enak sekali. Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan se¬perti yang dikhawatirkan, kembali hing¬gap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba-tiba.... “happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi. “Aku? Tidak berani? Kau gila!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak perempuan yang ku¬besarkan sendiri itu?” “Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?” Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas kekurang¬ajaran dan penghinaannya hari ini!” Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi ha¬rapan pangkat dan kemuliaan besar, ten¬tu dia akan melupakan lagi ancamannya, terhadap Hwee Li. “Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.” “Mereka juga, akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata ter¬belalak. Kini pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun ter¬belalak sambil mengeluarkan suara ter¬tahan. Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sam¬pai jauh ke sebelah depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak peman¬dangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat aneh dan bukan main cepatnya. Yang seorang ber¬tubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang ke dua amat pendek, seperti anak-anak pen¬deknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini menggelun¬dung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula. Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini. Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tu¬buhnya seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tu¬lang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya malah hanya se¬dikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya. Orang ke dua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang ke dua ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuh¬nya merupakan kebalikan dari tubuh ka¬wannya. Dia bertubuh gendut besar se¬kali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti seorang bocah ber¬usia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat! Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang. Apalagi muka si gen¬dut pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah me¬nimbulkan rasa geli dalam hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih! Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi ter¬kejut sekali dan memandang dengan mu¬ka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah lama menyem¬bunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Sian-su (Manusia Dewa Pen¬cabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat kepandaian mereka! Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, semenjak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan mem¬bentuk Im-kan Ngo-ok, mereka bertan¬ding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan ting¬kat baru mereka. Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara-saudara angkat sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama se¬puluhan tahun. Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan masing-masing lebih suka bersembu¬nyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Sian-su menduduki ting¬kat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima). Adapun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toat-beng Sian-su dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat ke empat, yaitu disebut Su-ok (Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bah¬wa Koksu, Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ke tiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal, juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai. Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Sian-su terkenal dengan ginkangnya yang tidak lumrah manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangan¬nya yang amat panjang, maka dalam per¬kelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai de¬ngan julukannya sebagai seorang di an¬tara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai kekejaman yang ti¬dak lumrah manusia. Dahulu, di waktu dia masih aktip dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekalipun. Melakukan kejahatan merupakan sesuatu “keharusan” untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasihat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma. Tentu saja orang ke empat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jang¬kung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mung¬kin selama hidupnya dia tidak akan mam¬pu melupakan peristiwa mengerikan itu! Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mujijat saja, Su-ok ini dengan muka ma¬sih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita-wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk cam¬puran “obat” yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini berkali-kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya! Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia suka menangkapi wanita-wanita, tidak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosa¬nya sambil membunuhnya! Semua ini di¬lakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya se¬suai dengan julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai “tasbih” yang terbuat dari kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya! “Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa-tawa ketika mereka tiba di tem¬pat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam gua siluman¬mu itu tidak tinggal diam dan tidak melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu tertawa-tawa. Wajah yang muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya. “Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh bukan licik nama¬nya, akan tetapi cerdik! Biarpun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang ke lima!” Toat-beng Sian-su tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja ta¬ngannya yang amat panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar. Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa. “Dukkk!” Tubuhnya sudah ter¬lempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu-tahu tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya daripada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi la¬wan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat! Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tu¬buh belut saja dia sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang yang siap untuk bertanding! “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balik¬mu sudah kausempurnakan, ya?” Bagus, coba kauhadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, la¬gaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap untuk melompat! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka ber¬dua maklum bahwa mereka akan menyak¬sikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu mujijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah me¬rasa betapa hawa tiba-tiba menjadi ber¬ubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap untuk saling gempur. Tiba-tiba bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu mengandung getaran sedemikian rupa sehingga me¬nyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika me¬reka membarengi dengan pengerahan tenaga maka mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri. “Blarrr! Blarrr!” Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ. Dua orang kakek yang sedang ber¬hadapan untuk saling gempur tadi, men¬dengar suara melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin ka¬get dan cepat mereka bergerak ke arah dua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan yang panjang menekan pundaknya dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dah¬syat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun kepalanya se¬hingga dia bergidik karena maklum bah¬wa sedikit saja jari-jari tangan itu ber¬gerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melain¬kan ditekan oleh kakek jangkung! Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak ber¬gerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang. “Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Ha¬ha-ha, di jaman ini masih ada orang ber¬tapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan ke Dua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal me¬reka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya melarikan kitab itu. Ha-ha¬ha, dan yang itu tentu adalah sekongkol¬nya, si Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Ne¬raka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil ter¬tawa-tawa. Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Sian-su tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari ta¬ngannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar