Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 23.

Jodoh Rajawali jIlid 23.
Jodoh Rajawali Jilid - 23 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 23 “Engkau sudah melihatnya namun masih belum percaya. Kaukira siapakah panglima yang menjebak dan mengurungmu tadi? Marilah, mari kita bicara di ruangan tamu, dan kami akan memberi penjelasan agar engkau tahu bahwa bersahabat dengan kami akan menguntungkan fihakmu.” Lalu dia memandang. “Suruh pasukanmu beristirahat dan bermalam di dalam rumah ini. Mereka akan menerima hidangan sekedarnya.” Dengan perasaan yang makin terheran-heran Hwa-i-kongcu mendapatkan kenyataan bahwa rumah besar yang di kurungnya itu adalah rumah kosong! Sama sekali bukanlah bangunan induk, tempat tinggal para pimpinan tempat itu! Melainkan rumah besar yang berada di depan. Dengan mengiringkan rombongan tuan rumah, diterangi oleh obor-obor besar yang dipegang oleh barisan selosin orang, Hwa-i-kongcu dan tiga orang kakek pembantunya lalu meninggalkan pe¬karangan rumah besar itu setelah menyuruh semua anak buahnya menanti di situ. Dan mereka kini masuk ke dalam lembah, melalui tembok yang tebal dan terjaga kuat, kemudian melewati pagar-¬pagar tembok lain dan baru setelah me¬lewati tujuh lapis pagar tembok yang semua terjaga dan memiliki liku-liku yang aneh dan tidak mudah dilalui orang luar yang belum mengenal rahasia tem¬pat itu, mereka tiba di pusat lembah itu. Dan Tang Hun mengeluarkan seruan ter¬tahan saking kagumnya. Di tengah-¬tengah itu, barulah terdapat bangunan¬-bangunan seperti istana dan keadaan di situ terang benderang karena banyaknya lampu penerangan yang dipasang di se¬luruh tempat. Melalui barisan penjaga yang kelihat¬an gagah dan bertubuh tegap, mereka memasuki ruangan depan sebuah rumah besar. Seorang yang berpakaian perwira menyambut rombongan ini dan setelah memberi hormat kepada Ban-hwa Seng¬jin, dia berkata, “Pangeran menanti rom¬bongan di ruangan tamu!” Ban-hwa Seng-jin menoleh kepada Tang Hun. “Hemmm, pangeran berkenan menerima Kongcu, hal ini baik sekali! Silakan.” Makin terbelalak mata Hwa-i-kongcu Tang Hun ketika dia memasuki ruangan tamu. Dia sendiri adalah seorang kaya raya dan rumahnya seperti istana. Akan tetapi dibandingkan dengan keadaan ru¬mah besar ini, dia merasa iri. Mewah sekali keadaan di rumah ini dan ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang besar, dia melihat seorang pemuda yang berpakaian indah telah duduk seorang diri di situ, di kepala sebuah meja besar. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat kulitnya dan wajahnya, dia men¬duga bahwa pemuda itu tentu seorang peranakan Nepal. Ketika dia melihat Ban-hwa Seng-jin memberi hormat de¬ngan membungkuk, sedangkan Gitananda yang sejak tadi diam saja memberi hor¬mat sambil berlutut, juga Hek-hwa Lo-¬kwi dan kakek raksasa yang lain itu semua memberi hormat, sedangkan para pengawal juga memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki kemudian mundur dengan tertib, dia menduga bahwa tentu pemuda ini bukan orang sembarangan dan agaknya dialah yang disebut pangeran oleh perwira tadi. Hak Im Cu, tosu tinggi kurus, seorang di antara tiga pembantunya yang menjadi penunjuk jalan ke lembah itu karena dia pernah mengunjungi lembah ini ketika di situ diadakan pertemuan, berbisik di belakangnya, “Kongcu, beliau adalah Pa¬ngeran Liong Bian Cu, cucu Raja Nepal.” Ban-hwa Seng-jin mendengar bisikan itu, tersenyum dan berkata, “Benar, hen¬daknya Cu-wi ketahui bahwa beliau ada¬lah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Sri Baginda Raja Nepal.” Mendengar ini, Hwa-i-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya cepat maju memberi hormat dengan menjura sampai dalam. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum ramah dan mengangguk lalu menggerakkan lengan kanannya memper¬silakan. “Duduklah, Tang-kongcu dan Sam-wi Lo-enghiong. Duduklah sebagai tamu terhormat dan mari kita bicara sebagai sahabat-sahabat!” Tang Hun dan tiga orang pembantu¬nya segera duduk. Tiga orang pembantu Tang Hun itu bukanlah sembarang orang. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan sudah mengalami banyak hal yang hebat. Namun keadaan di ruangan itu membuat mereka kagum dan juga berhati-hati, karena belum per¬nah mereka menjadi tamu pangeran dan koksu dari negara Nepal yang serba asing. Mereka memandang ke arah pangeran yang tampan namun aneh itu, dan kepada Ban-hwa Seng-jin yang duduk di sebelah kanan pangeran. Gitananda yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu, dan amat cekung, berdiri di belakang Ban-hwa Seng-jin seperti pengawal dan memang sesungguhnya, Gitananda ber¬tugas sebagai pembantu dan pengawal koksu itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-¬hwa Lo-kwi duduk di sebelah kiri Pa¬ngeran Liong Bian Cu, dan pada saat itu, dari luar datang seorang laki-laki tua yang melangkah lebar dengan gagah, setelah tiba di dekat meja, dia memberi hormat kepada Pangeran Liong dengan menjura dan menganggukkan kepala, pem¬berian hormat yang singkat dan tidak terlalu merendah, kemudian dia meng¬ambil tempat duduk di kursi paling kiri, duduk diam seperti patung. Itulah len¬deral Kao Liang dan Hwa-i-kongcu me¬lihat dengan pandang mata kagum akan tetapi juga terheran-heran. Dia tentu saja sudah mendengar akan nama besar jenderal ini. Seorang panglima sejati yang sejak turun-temurun amat setia kepada kerajaan, gagah perkasa dan pan¬dai, telah menghancurkan entah berapa banyak pemberontakan. Akan tetapi kini jenderal itu duduk semeja dengan seorang Pangeran Nepal dan agaknya bekerja kepada pangeran ini! Sementara itu, Pangeran Liong Bian Cu yang sudah mendengar semua laporan tentang penyerbuan Tang Hun, kini sam¬bil tersenyum memandangi empat orang tamunya satu demi satu. Dia melihat Tang Hun sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, pesolek dan cerdik. Pemuda ini usianya sudah tiga puluh tahun namun masih kelihatan amat muda, bajunya kembang-kembang indah, se¬pasang matanya tajam berpengaruh. Ram¬but kepalanya terhias sebuah hiasan ram¬but seekor naga kecil dengan sepasang mata mutiara mencorong, juga di bajunya yang berkembang terhias mainan emas terukir berbentuk naga yang sama. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah, terhias emas dan permata, sarungnya ukir-ukiran burung hong dan liong, ronce-roncenya merah dari bulu halus. Seorang kongcu yang hebat, pikir pangeran ini. Kalau saja kepandaiannya sehebat keadaan la¬hiriahnya, dia dapat menjadi pembantu yang baik, pikirnya pula. Lalu dia melayangkan pandang matanya kepada tiga orang pembantu kongcu itu. Tosu itu usianya kurang lebih enam puluh tahun. Wajahnya bengis tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan pedangnya tergantung di punggung, gagangnya menonjol di belakang pundak kanan. Kelihatannya sederhana saja, akan tetapi melihat sinar matanya dan gerak-¬gerik tubuhnya yang amat ringan, dapat diduga bahwa tosu ini tentu pandai se¬kali ilmu silatnya. Dugaan itu memang benar karena Hak Im Cu, tosu itu, me¬miliki kepandaian tinggi, terutama sekali ginkangnya yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang saking ringan dan cepatnya. Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya juga sudah enam puluhan tahun, tinggi besar dengan muka kehitam¬an. Gerak-geriknya kasar namun tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat, dan memang Ban-kin-kwi Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Setan Bertenaga Selaksa Kati, adalah seorang yang amat kuat dan mempunyai tenaga gajah. Dia pun seperti Hak Im Cu, men¬jadi pembantu Hwa-i-kongcu karena dia dapat bergelimang dalam kemewahaan dan kekayaan. Adapun pembantu ke tiga adalah seorang kakek gundul pendek gemuk akan tetapi melihat pakaiannya, biarpun ke¬palanya gundul, dia bukanlah seorang hwesio. Kepalanya itu gundul karena penyakit kulit kepala, bukan digundul. Kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun lebih ini juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang ahli dalam ilmu bermain di air, dan se¬lain itu, juga dia memiliki sinkang yang kuat, seorang ahli lweekeh yang tangguh. Setelah puas memandangi empat orang tamunya, sementara itu pelayan datang menyuguhkan arak dan kue-kue. Atas isyarat Pangeran Nepal itu, seorang pe¬layan segera maju dan dengan sikap menghormat pelayan ini lalu menuangkan arak di dalam cawan-cawan di depan rombongan tuan rumah dan empat orang tamu itu. “Silakan minum Tang-kongcu dan para Lo-enghiong!” kata Liong Bian Cu sambil mengangkat cawannya, diikuti oleh Koksu Nepal, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo¬-kwi dan Jenderal Kao Liang. Gitananda tidak pernah minum arak, pula dia adalah seorang pengawal pribadi koksu, ma¬ka dia tentu saja tidak ikut berpesta melainkan berdiri di belakang koksu itu dengan tenang dan sikap penuh kewaspadaan. Setelah para tamunya minum arak, Pangeran Nepal itu lalu memandang ke¬pada Hwa-i-kongcu dan bertanya, “Se¬karang, harap Tang-kongcu suka menga¬takan kepada kami dengan terus terang akan maksud kunjungan Kongcu yang amat mendadak ini.” Hwa-i-kongcu Tang Hun memandang kepada pangeran itu. Pangeran Nepal itu demikian ramah sikapnya, maka timbul kembali harapannya. Siapa tahu, pangeran yang ramah ini akan dapat memaklumi keadaannya, maka cepat dia menjawab dengan sikap amat menghormat, “Harap Paduka suka memberi maaf kepada kami bahwa kami berani datang berkunjung tanpa lebih dulu minta ijin Paduka. Se¬sungguhnya, telah beberapa lama saya kehilangan calon isteri saya, yang lenyap ketika sedang diadakan pesta pernikahan kami di tempat kediaman kami, yaitu di Naga Api. Kemudian kami mendengar bahwa isteri saya itu berada di sini, oleh karena itu saya datang dengan rombong¬an, bermaksud untuk menjemput pengan¬tin saya.” Setelah berkata demikian, wajah pemuda yang tampan pesolek itu memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan penuh harapan. Pangeran itu tersenyum dan bertanya, “Tang-kongcu, siapakah nama pengantin¬mu itu?” “Namanya.... Syanti Dewi....” Tiba-tiba pandang mata pangeran itu menjadi tajam sekali dan jantung Tang Hun berdebar. Pangeran ini memiliki sepasang mata yang aneh, tajam dan menyeramkan. Sorbannya yang besar itu tengahnya, di atas dahi, dihias dengan sebuah mutiara yang besar dan bercahaya, berkilau-kilauan agak kebiruan. Mutiara yang amat besar dan amat jarang ter¬dapat. Akan tetapi agaknya, dari dua buah mata yang kehitaman itu mencorong sinar yang lebih menyilaukan daripada mutiara itu. “Tang-kongcu,” kini suara pangeran itu berbeda dengan tadi, tidak lagi ra¬mah dan halus melainkan kaku dan dingin, “Tahukah engkau siapa adanya Syanti Dewi?” Mendengar pertanyaan itu Tang Hun terkejut dan kini dia melihat betapa ada tiga pasang mata yang memandang de¬ngan sinar mata tajam dan penuh ancam¬an, yaitu tiga pasang mata dari pangeran itu sendiri, Koksu Nepal dan kakek Gita¬nanda! Dengan gugup dia menjawab, “Sa¬ya.... saya hanya mendengar dia dari Bhutan dan....“ “Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal dari Raja Bhutan! Tahukah kau apa artinya ini? Berarti engkau hendak menghina Bhutan dan karena Bhutan serumpun dengan Nepal, maka engkau seolah-olah hendak menghina Nepal!” “Tidak.... bukan begitu maksud saya,” Tang Hun berkata cepat. “Sebetulnya saya tidak tertarik oleh kebangsaannya, melainkan oleh pribadinya, maka....“ “Cukup, Tang-kongcu!” Tiba-tiba ter¬dengar suara Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal itu. “Hendaknya Tang-kongcu mem¬buang jauh-jauh pikiran itu kalau Kongcu ingin selamat. Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan adalah menjadi tamu agung kami di sini, apakah Kongcu be¬rani hendak menghina dan mengganggu beliau?” Tang Hun terkejut bukan main. Tidak pernah terpikir olehnya sedemikian jauh¬nya. Dia memang mendengar bahwa Syan¬ti Dewi berasal dari Bhutan dan kabar¬nya seorang puteri, akan tetapi hal itu tidak begitu penting baginya, apalagi karena bagi dia dan sebagian besar di antara bangsanya, bangsa-bangsa asing di barat hanyalah bangsa-bangsa yang dera¬jatnya rendah! Baginya yang terpenting adalah kecantikan Syanti Dewi yang mem¬buatnya tergila-gila. Dia tidak peduli apakah dara itu puteri raja ataukah pu¬teri pengemis! Akan tetapi, ternyata persoalannya tidaklah sesederhana yang disangkanya dan dia kini dianggap me¬lakukan penghinaan, terhadap bangsa Bhu¬tan dan Nepal! “Ah, maafkan saya...., saya tidak tahu sama sekali akan hal itu.... dan setelah mendengar penjelasan Paduka Pangeran dan Koksu, tentu saja saya tahu diri dan tidak akan melanjutkan keinginan saya.” “Bagus! Ternyata Tang-kongcu adalah seorang yang bijaksana dan dapat diajak bersahabat!” Pangeran Liong Bian Cu berseru girang. “Kami pun jauh-jauh da¬tang dari barat sekali-kali bukan men¬cari kawan, melainkan mencari kawan untuk bersama-sama menghadapi Keraja¬an Ceng. Bagaimana Tang-kongcu, dapat¬kah kami mengharapkan bantuan Kongcu dan Liong-sim-pang?” Wajah Tang Hun yang tadinya agak muram karena lenyapnya harapan hatinya untuk dapat memperisteri Syanti Dewi, kini berseri. Dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk mencari keduduk¬an dan tentu saja menambah besarnya kekayaannya. Sekarang, biarpun dia kaya raya namun dia tidak memiliki kedudukan, bukan bangsawan melainkan orang biasa. Agaknya hal inilah yang tidak memung¬kinkan dia menikah dengan seorang puteri! Berbeda tentu kalau dia memiliki kedudukan tinggi di samping harta ke¬kayaan, kekuasaan dan kepandaiannya. “Tentu saja saya merasa terhormat sekali dan suka membantu perjuangan Paduka Pangeran. Memang telah lama saya mendengar betapa kaisar yang tua amat lemah, kekacauan terjadi di mana-¬mana dan bahkan kabarnya Gubernur Ho¬-nan....“ Tiba-tiba dia berhenti dan memandang kepada Jenderal Kao Liang yang duduk sambil menundukkan mukanya seolah-olah sama sekali tidak ingin men¬campuri percakapan itu dan tidak ingin mendengarkan pula. Melihat ini, Pangeran Nepal itu ter¬tawa. “Lanjutkan, Tang-kongcu, dan ja¬ngan khawatir terhadap Jenderal Kao karena dia pun menjadi korban kelaliman kaisar yang menjadi boneka di bawah pengaruh pembesar-pembesar jahat.” Tang Hun menarik napas panjang. “Saya hanya mendengar desas-desus saja bahwa Gubernur Ho-nan juga memperli¬hatkan sikap menentang kaisar dan ba¬nyak komandan di perbatasan yang tidak merasa puas....” “Berita itu memang benar, Kongcu. Bahkan kami telah mengadakan perse¬kutuan dengan Gubernur Ho-nan.”. “Ah, bagus sekali....!” “Kami hanya menanti saat yang tepat saja untuk mulai dengan gerakan kami, gerakan serentak dari segenap penjuru untuk menyerbu kota raja. Maka kalau engkau suka membantu, Tang-kongcu, kami akan menerima dengan kedua ta¬ngan terbuka.” “Tentu saja saya akan membantu, akan tetapi imbalannya kelak?” Tang Hun adalah seorang yang cerdik, maka me¬lihat betapa pangeran ini sudah bersikap terbuka kepadanya, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat melepaskan diri dari pengaruh pangeran ini. Setelah dipercaya mendengarkan pengakuan itu semua, tentu Pangeran Nepal itu tidak akan mau melepaskan dia begitu saja dalam keadaan hidup, kecuali kalau dia menyatakan kesanggupannya untuk mem¬bantu, akan tetapi dia pun bersikap ter¬buka dan lebih dulu menanyakan imbalan atau ganjarannya kelak! Koksu Nepal mengangguk-angguk dan melirik ke arah Tang Hun. “Hemmm, Tang-kongcu memang seorang yang cerdik. Akan tetapi sekali lagi, jangan Kongcu mengharapkan diri Puteri Bhutan, karena ketahuilah bahwa di samping beli¬au menjadi tamu agung kami, juga Puteri Bhutan adalah seorang sandera yang ti¬dak ternilai harganya. Melalui Sang Puteri itu kami bermaksud menundukkan Bhutan. Maka, siapapun yang mengganggu sandera kami itu, berarti menghalangi perjuangan kami.” “Ah, Koksu. Setelah mendengar pen¬jelasan tadi, saya sudah membuang pikir¬an untuk mendapatkan Sang Puteri itu.” “Bagus, kalau begitu Tang-kongcu boleh melegakan hati. Kalau perjuangan kita bersama ini berhasil baik kelak, tentu kami tidak akan melupakan Kongcu dan andaikata Kongcu menghendaki ke¬dudukan, Kongcu tinggal memilih saja!” kata Pangeran Liong Bian Cu dengan suara dan wajah serius. Tang Hun menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih. Kemudian dia berkata, “Setelah saya menjadi pem¬bantu pergerakan Pangeran, tentu semua anak buah Liong-sim-pang juga ikut pula membantu. Pangeran boleh mengandalkan ¬mereka, karena mereka adalah orang¬orang yang telah dilatih dan masing-¬masing perajurit mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Akan tetapi tiga orang pembantu saya ini harap diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian me¬reka.” Pangeran Nepal itu kini memandang kepada tiga orang kakek itu penuh se¬lidik, lalu dia berkata dengan suara di¬ngin, “Sebagai pembantu-pembantu pri¬badi, kami harus memilih orang yang benar-benar lihai seperti Tang-kongcu sendiri. Segala orang yang hanya berkepandaian biasa saja cukup bergabung dalam pasukan Liong-sim-pang sebagai komandan-komandan pasukan. Kami kha¬watir gagal kalau dibantu oleh sem¬barangan orang saja.” “Eh, harap Paduka jangan memandang rendah kepada mereka bertiga ini, Pa¬ngeran! Tingkat kepandaian mereka tidak lebih rendah daripada tingkat kemampuan saya sendiri!” Tang Hun berseru dengan khawatir karena dia mengenal tiga orang pembantunya itu orang-orang kang¬-ouw yang mempunyai keangkuhan se¬hingga ucapan Pangeran Nepal itu ten¬tu saja amat merendahkan dan meng¬hina. Akan tetapi, tiga orang pembantunya itu juga bukan orang-orang bodoh. Mere¬ka adalah orang-orang pengelana di dunia kang-ouw yang sudah makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak pengala¬man dan dapat menilai orang-orang pan¬dai. Melihat keadaan Pangeran Nepal itu dan para pembantunya, mereka maklum bahwa mereka berada di gua naga dan biarpun mereka merasa dipandang ren¬dah, namun mereka tidak menjadi marah karena mereka tahu bahwa sang pangeran ini belum mengenal mereka! “Apa yang dikatakan oleh Pangeran sungguh tepat. Pinto hanyalah seorang tosu miskin yang tidak bisa apa-apa, hanya mengandalkan sebatang pedang untuk hidup, mana bisa diandalkan?” Se¬telah berkata demikian, Hak Im Cu, tosu berwatak bengis bertubuh tinggi kurus itu mencabut pedangnya. Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin dan Gitananda meman¬dang dengan mata memancarkan sinar aneh, akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo, dua orang kakek iblis dari dunia hitam itu, hanya memandang tak acuh. “Yaaah, pinto hanya dapat mengandal¬kan pedang untuk mencari sesuap nasi beserta lauk-pauknya!” Pada saat itu, baru saja pelayan-pelayan datang menghidangkan nasi dan sayur mayur memenuhi meja itu. Kini, begitu Hak Im Cu bang¬kit dan menggerakkan pedangnya, nampak sinar berkelebatan dan seolah-olah ada bayangan puluhan batang pedang me¬nyambar-nyambar dan disusul dengan mulut tosu itu mengganyang semua masakan yang di “dipungut” oleh ujung pe¬dangnya! Pedang-pedang itu dipergunakan seperti sebatang sumpit, ditusukkan ke dalam mangkok-mangkok dan piring-piring yang ada masakannya, demikian cepatnya se¬hingga pedang berubah menjadi bayangan puluhan batang dan biarpun mangkok yang berdiri di ujung, yang agaknya me¬nurut ukuran tidak mungkin dapat di¬capai pedang, dapat juga dijumput! Tiba-tiba tosu itu menghentikan gerakannya dan sudah duduk kembali, mulutnya ma¬sih mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya. Ban-hwa Seng-jin mengangguk-angguk dan Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. “Bagus, kepandaian To¬tiang hebat dan patutlah menjadi pem¬bantu kami!” Memang demonstrasi tadi biarpun kelihatan sederhana namun sudah membuktikan bahwa tosu ini memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang luar biasa. Hanya dengan ginkang luar biasa saja dia mampu bergerak se¬demikian cepatnya sehingga seolah-olah dia tidak meninggalkan tempatnya ketika dia bangkit berdiri, padahal tanpa ber¬gerak dari situ tidak akan mungkin dia dapat mengambil makanan di ujung meja yang agak jauh. Cara dia menusuk setiap makanan dengan ujung pedang, mem¬bawanya ke mulut, demikian cepat, dan tidak ada sedikit pun kuah yang tercecer! “Pinto Hak Im Cu hanya seorang biasa dan terima kasih atas kepercayaan Paduka,” Hak Im Cu berkata sambil mengangguk. Pangeran Liong Bian Cu tentu saja girang sekali melihat bahwa para pem¬bantu Tang Hun itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka dia menoleh kepada dua orang kakek lain yang duduk di jajaran tamu itu. “Hak Im Cu totiang telah memperlihatkan kepandaian dan mengagumkan sekali, harap Ji-wi Locianpwe jangan sungkan dan suka pula memperlihatkan kepandaian untuk menggembirakan pertemuan ini.” Ban-kin-kwi Kwan Ok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah Pangeran Nepal itu. “Saya Kwan Ok hanyalah seorang kasar dan bodoh, hanya mengandalkan tenaga sehingga dijuluki orang Ban-kin-swi. Kalau Paduka memperkenankan, saya akan coba mengangkat arca singa di sudut itu.” Pangeran Liong Bian Cu memandang dengan mata terbelalak. Arca singa di sudut itu adalah arca yang sangat berat, dan untuk mengangkatnya dibutuhkan te¬naga gabungan sedikitnya enam orang laki-laki dewasa yang kuat. Maka dia tersenyum sambil mengangguk dan kakek raksasa itu lalu menghampiri arca singa, diikuti pandang mata semua orang. Hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-¬mo yang cuma melirik dan bersikap tidak peduli. Setelah menghampiri arca, Ban-kin-swi Kwan Ok menyingsingkan dengan bajunya, kemudian membungkuk dan kedua tangannya memegang arca itu, digoyang-goyang seperti hendak menaksir beratnya. Kemudian tiba-tiba dia membentak keras dan hanya dengan tangan kanan memegang kaki belakang arca itu, dia mengangkat, arca itu naik ke atas kepalanya! Melihat ini, Pangeran Liong Bian Cu kagum dan tahulah dia bahwa Ban-kin-swi benar-benar seorang yang memiliki tenaga gajah! Kakek itu kini melempar-lemparkan arca itu ke atas, dilempar, disambut lagi dan mempermainkan benda berat itu seolah-olah baginya hanya merupakan sebuah bola yang ringan saja. Kemudian dia menurunkan arca itu di tempatnya dan menghampiri meja dengan napas dan muka biasa, hanya di dahinya terdapat sedikit peluh. “Bagus....! Kini Pangeran Liong Bian Cu berseru memuji dan merasa gembira. Senang juga hatinya memperoleh pem¬bantu-pembantu yang sehebat ini. “Kwan¬-lo enghiong patut pula menjadi pembantu kami.” Pangeran ini lalu menoleh kepada kakek ke tiga, yaitu Hai-Liong-ong Ciok Gu To, kakek berkepala gundul botak, bertubuh gemuk pendek itu. Kakek gundul yang suka tertawa ini tersenyum lebar, lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun. “Heh-heh-heh, saya hanya seorang tua bangka nelayan yang hanya pandai berenang. Karena tidak memiliki kepandaian apa-apa, saya mengandalkan nasib ke tangan Tang-¬kongcu. Oleh karena itu sekarang pun saya hanya turut kepada Tang-kongcu saja yang sudah menanam banyak budi kebaikan terhadap saya. Tang-kongcu, saya menyerahkan urusan dengan Pange¬ran Liong ini kepada Kongcu dan untuk itu, saya menghaturkan terima kasih dengan secawan arak!” Sambil berkata demikian, kakek gundul gemuk ini lalu bangkit berdiri, menyambar guci arak di atas meja dengan tangan kanan, me¬nyambar cawan arak di depan Tang Hun dengan tangan kiri, kemudian dia me¬nuangkan arak dari guci ke dalam cawan. Semua orang memandang dan Pange¬ran Liong terkejut melihat betapa arak di cawan sudah penuh, namun masih terus dituang sehingga arak itu menaik melebihi bibir cawan. Hebatnya, arak itu tidak sampai meluber tumpah! Kelebihan arak di atas bibir cawan itu membulat seperti telur, bergoyang-goyang namun tidak tumpah. Kini kakek itu menyerah¬kan cawan yang araknya terlalu penuh itu kepada Tang Hun. “Ha-ha-ha, Hai-liong-ong Ciok Gu To lo-enghiong sungguh membikin saya merasa sungkan dan malu!” Tang Hun juga bangkit berdiri dan menerima cawan itu dengan tangan kanan. Semua orang memandang dengan tegang karena maklum bahwa Ciok Gu To telah mempergunakan sinkang yang amat kuat untuk “menahan” sehingga arak yang terlalu penuh itu tidak sampai meluber, maka kalau sampai cawan itu berganti tangan, tentu araknya akan meluber tumpah dan mengotori lengan baju Tang Hun. Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu. Kalau Tang Hun menerima cawan itu dan Ciok Gu To melepaskan tangannya, cawan itu berada tangan kanan Tang Hun dan araknya sama sekali tidak tumpah bahkan kini Tang Hun sengaja memiringkan cawan itu dan arak di dalam cawan tetap saja tidak tumpah! Padahal, arak itu sudah hampir keluar dari dalam cawan, seperti telur direbus lunak akan tetapi tertahan oleh sesuatu. Pertunjukan ini saja sudah membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, pemuda pesolek ini bahkan lebih kuat daripada Hai-liong-ong Ciok Gu To! “Biarlah arak ini saya minum demi keselamatan Pangeran!” kata Tang Hun sambil mengacungkan cawan, kemudian sekali tenggak arak itu lenyap ke dalam perutnya. Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. Hatinya girang bukan main dan dia merasa sudah puas dengan semua demonstrasi ringan itu, karena sebagai seorang ahli dia pun sudah dapat menilai bahwa empat orang itu benar-benar bukan orang-orang sembarangan dan akan merupakan pembantu-pembantu yang amat baik. Maka dia lalu mempersilakan mereka semua makan minum dalam suasana yang amat gembira. Selagi mereka berpesta gembira, dan hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo saja yang bersikap biasa dan sama sekali tidak menghormati tamu, juga Jenderal Kao Liang yang makan minum dengan sikap tidak peduli, munculiah kepala pengawal yang berlutut dan me¬lapor kepada Pangeran Liong bahwa rom¬bongan orang Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Mohinta mohon menghadap. Pangeran Liong Bian Cu mengerutkan alisnya, saling pandang dengan Ban-hwa Seng-jin, kemudian dia berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. “Harap Ji-wi Locianpwe suka menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama Koksu ada kepentingan lain untuk menerima tamu.” Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo¬mo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong Bian Cu lalu bang¬kit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu yang dikawal oleh Gi¬tananda yang setia. Panglima muda dari Bhutan, Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu ber¬sama tujuh orang pengikutnya yang ke¬semuanya adalah tokoh-tokoh yang ber¬kepandaian tinggi dari Bhutan. Bagaimana tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini? Seperti kita ketahui, setelah Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang In, panglima muda yang mencinta Syanti Dewi dan meng¬harapkan puteri itu menjadi isterinya ini segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali penyelidik. Dia melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur dan dia selalu didampingi oleh tujuh orang pembantunya yang semuanya memiliki kepandaian cukup tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti yang dituturkan oleh Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada Kian Bu dan Hwee Li, pelayan yang menjadi gila karena ke¬takutan dan karena duka itu, dalam pe¬ngejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah menemukan tem¬pat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu Ang Tek Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita yang malang itu. Dia terus melakukan penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke sana, akan tetapi terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu telah diculik orang lagi dari tempat itu. Mohinta mencari terus, tanpa mengenal lelah. Dia bukan hanya men¬cinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan tetapi di samping cinta¬nya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia berusaha memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat men¬jadi mantu raja, tentu kelak dia mem¬punyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi inilah yang membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan berhenti sebelum puteri itu terdapat olehnya. Setelah mencari-cari siang malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak tersebar di daerah Ho-pei dan Ho-nan di mana untuk terakhir kalinya dia mendengar akan jejak Syanti Dewi, akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah tertawan oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati Mohinta! Tertawannya Puteri Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu benar-¬benar amat mengejutkan dan mengkhawa¬tirkan hatinya. Dia maklum siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga bernama Liong Bian Cu itu, seorang Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan berkuasa besar. Bahkan dia mendengar bahwa pa¬ngeran itu ditemani oleh guru negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang juga disebut Ban-hwa Seng-jin, bahkan kabar¬nya Gitananda, pendeta yang amat lihai itu pun menemani Sang Pangeran Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas Syanti Dewi dengan menggunakan ke¬kerasan. Akan tetapi Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera memperoleh akal yang amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri cantik yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan untuk menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh Bhutan! Ketika Pangeran Bharuhendra yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama pendeta Lakshapadma yaitu Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal dan diikuti oleh Gitananda, Mohinta dan tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan berkata, “Harap Paduka sudi me¬maafkan kalau hamba dan para peng¬ikut berani mengganggu Paduka di tengah malam begini.” Pangeran Lian Bian Cu memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Duduklah dan ceritakan siapa engkau, apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku. Harap bicara secara jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini juga kami akan menyuruh pengawal membunuh kalian.” Mohinta lalu menceritakan niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhu¬tan untuk mencari Syanti Dewi dan bah¬wa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap untuk membantu Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. “Dengan adanya puteri itu di tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara untuk menyerbu Bhutan. Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan Paduka dan se¬lanjutnya, hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap Nepal dan memenuhi segala tuntutan dan perintah dari Nepal.” Demikian antara lain Mo¬hinta berkata. Semua penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Seng-jin. Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka. “Mohinta, engkau sudah bersiap untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat hendak membantu kami yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu ada pamrih ter¬tentu tersembunyi di dalam pengkhianat¬anmu ini. Apakah pamrih itu? Apakah yang kauinginkan dalam persekutuan an¬tara engkau dan kami?” Wajah Mohinta menjadi merah, jan¬tungnya berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian dan kecerdikan Koksu Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi terhadap mereka amatlah berbahaya. Menghadapi orang-¬orang Nepal yang amat kuat ini, jalan satu-satunya hanyalah mendekati, bukan memusuhi. “Maaf, Koksu. Sudah tentu dalam se¬tiap tindakan terdapat pamrih yang men¬dorongnya, dan benarlah wawasan Koksu bahwa ada pamrih dalam hati saya kalau saya menawarkan diri untuk membantu Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Per¬tama, saya ingin memperoleh Puteri Syanti Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Ke dua, saya mengharapkan kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat menggantikan kedudukan raja di Bhutan.” Pangeran Liong Bian Cu tersenyum. “Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk semua anugerah yang kauharapkan itu, apa saja yang dapat kauberikan kepada kami?” “Ayah hamba adalah kepala panglima di Bhutan. Biarpun ayah hamba tidak akan mencampuri urusan pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat menguasai sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba adalah seorang keper¬cayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan, tentu hamba dapat membantu Paduka untuk meng¬hadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain-lain.” Tiba-tiba Ban-hwa Seng-jin meng¬angkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk diam, lalu sekali berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela. Akan tetapi tidak ada siapapun di balik jen¬dela itu, maka dia lalu menutupkan lagi daun jendela dan kembali ke ruangan. “Aman,” katanya, “Tadinya saya kira mendengar suara sesuatu yang mencuri¬gakan.” Mereka lalu melanjutkan perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li berbisik-bisik di dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar pu¬teri itu dan Syanti Dewi mendengarkan dengan wajah pucat. Tadi memang Hwee Li yang mencuri dengar ketika Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan karena dara ini mengerti bahasa mereka, maka dia dapat men¬dengar kesanggupan Mohinta untuk meng¬gulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu. Mendengar penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya terhadap Mohinta? Dia sendiri berada di situ sebagai seorang tawanan! “Bibi Syanti Dewi, apakah kau ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?” tanya Hwee Li ketika dia melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil. “Jangan, Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan.” “Aku yakin mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!” Syanti Dewi merangkulnya., “Tenang¬lah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini semua. Lihat betapa benteng ini di¬buat amat kuatnya dan Liong Bian Cu mengumpulkan banyak orang pandai. Bah¬kan orang-orang Liong-sim-pang itu pun menjadi sahabat mereka! Akan ada peris¬tiwa besar, kegegeran besar dan ancam¬an berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja. Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi pe¬rut pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu.” Hwee Li mengangguk dan berbisik, “Ah, kalau tidak terjadi sesuatu yang mujijat, bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang¬-orang sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam benteng.” “Kita tidak boleh putus harapan. Ba¬nyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku yakin bah¬wa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang sudah-¬sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka.” “Hemmm, mereka siapa?”. tanya Hwee Li. “Pertama-tama tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan.... Tek Hoat....“ “Dan Siluman Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?” “Dan di sana masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suami¬nya yang amat sakti....” “Ah, kenapa aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!” “Dan masih ada lagi Bibi Puteri Mila¬na! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es....“ “Wah-wah, kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?” “Mustahil.... akan tetapi.... setidak¬nya harapan itu menghibur hati kita....“ jawab Syanti Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di tempat itu men¬jadi temannya yang paling baik, paling akrab dan dapat saling menghibur. Dan memang benar seperti yang di¬katakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan Pange¬ran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena anak buah Liong-sim-pang dikerahkan untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan¬-segan untuk membantu dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal. Mohinta dan para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan te¬tapi dia selalu bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk bicara. dengan puteri itu, sungguhpun hatinya merasa amat rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu. Rencananya bersama Pa¬ngeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan pu¬teri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang ga¬gal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak men¬dendam dan tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia me¬nimbulkan rasa benci dalam hati pange¬ran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-¬apa baginya, akan tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya. Dia kini mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan memaksanya nenyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai se¬orang pangeran negara besar, tentu pa¬ngeran itu akan melaksanakan pernikahan¬nya di negerinya, di Nepal. Maka, masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak meman¬cing kebencian pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap ter¬lalu manis karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan berahinya ter¬hadap dia, bisa berabe dan berbahaya! Karena sikap Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua fihak. Kao Kok Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam amat mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jen¬deral ini tidak boleh menemui keluarga¬nya, hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat. Ayahnya terpaksa membantu pem¬berontak! Demi keselamatan keluarganya! Dia tahu bahwa andaikata ayahnya belum dipecat dan masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai mati pun ayahnya tidak akan tunduk kepada pem¬berontak. Biar andaikata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hi¬dungnya, ayahnya pasti tidak akan sudi untuk membantu pemberontak. Dan se¬karang, karena dia bukan Panglima Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri amat dicurigai oleh Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya. Keadaan seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya. Hati para tawanan itu makin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh pertolongan dari luar makin menipis, sungguhpun belum habis sama sekali. Selama waktu¬-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempela¬jari banyak hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi. Pelayan rumah penginapan itu buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran dan kasihan mengapa ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh penyakit cacar. Selain muka itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti kulit pohon dimakan rayap, juga matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk besar dan melengkung, bibirnya tebal sekali dan basah, dahinya sempit seperti dahi monyet. Pendeknya, muka yang sama sekali tidak ada manisnya, biarpun tidak menakutkan, namun sukar menimbulkan rasa suka di hati, apalagi karena sepasang mata itu mempunyai sinar yang liar seperti mata seekor anjing kelaparan. Akan tetapi pelayan itu ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di meja pengurus, peraturan yang harus ditaati semua ta¬mu, yaitu pembayaran di muka, pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang disewanya dan melayaninya. Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan membungkuk-bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia mem¬perhatikan, ternyata kaki kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang. “Heh-heh, di sinilah kamar Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu. Lihat, kamar di kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi.... heh¬heh, aman deh!” Tek Hoat yang memasuki kamar itu, sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan cukup besar untuk seorang saja, sebuah meja dan tempat air cuci muka, cepat menengok dan memandang muka buruk itu ketika mendengar ucapan itu. “Cukup aman? Apa maksudmu?” ta¬nyanya sambil menaksir usia orang. Su¬kar, menaksir usia wajah yang buruk itu. Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun lebih. “Heh-heh-heh, aman, tidak akan ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar ini.” “Suara? Suara apa yang kaumaksud¬kan?” Tek Hoat bertanya lagi sambil mengeratkan alisnya. Kembali orang itu menyeringai lalu mengambil baskom tempat air yang ber¬warna biru itu. Dia berjalan ke pintu membawa baskom itu, menoleh dan me¬nyeringai sambil tertawa. “Tentu saja orang yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan merasa sungkan kalau di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan.” Tek Hoat hendak membantah akan tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata, “Saya akan mengambilkan air. hangat untuk Kongcu.” Tek Hoat menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan dan termenung. Hati¬nya masih terasa kesal dan mengkal karena sampai saat itu dia belum ber¬hasil menemukan jejak kekasihnya, yaitu Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta Syanti Dewi, betapa sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri itulah. “Heh-heh-heh....!” Suara ketawa yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah masuk lagi ke kamar¬nya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap. Melihat air ini, Tek Hoat segera menghampiri baskom yang telah diletakkan di atas bangku, menge¬luarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci mukanya. Te¬rasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air di muka dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi. “Heh-heh-heh, Kongcu tampan sekali, sungguh cocok kalau berpacaran....“ Tek Hoat mengusap mukanya dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna merah sekali. Setelah pikirannya kosong, setelah semua ke¬nangan tentang Syanti Dewi lenyap oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa betapa segala se¬suatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya tidak pedulian, tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru dia merasa betapa pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin tahunya. “Paman pelayan, jangan kau bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain-lain itu. Aku berada di dalam kamar ini sendirian tanpa kawan.” “Heh-heh, karena itulah Kongcu, maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda tampan seperti Kongcu sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang dingin.” “Hemmm, aku memang sendirian. Habis bagaimana?” “Ah, si Teratai Emas itu tentu me¬rupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu! Cantik jelita dan harum dia! Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan tetapi kalau Kongcu yang mengajaknya.... hemmm, tanggung puas!” Sepasang mata Tek Hoat terbelalak. “Apa maksudmu?” Dia amat rindu kepada Syanti Dewi dan kini ditawari wanita untuk menemaninya! Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik seperti Mauw Siauw Mo-li itu pun ditolaknya mentah-mentah! “Maksud saya? Heh-heh, maksud saya.... Kongcu Muda dan tampan, ma¬lam ini di kamar sendiri, dan kamar-¬kamar di sekitar kamar ini kosong.... heh-heh, dan Teratai Emas itu sungguh cantik.... tentu akan mesra sekali....“ Tek Hoat kini mengerti dan dia cepat memberikan beberapa potong uang ke¬pada pelayan itu. “Pergilah!” katanya singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi. Dia tidak melihat betapa pelayan buruk rupa itu memandang ke arah ta¬ngan yang menerima uang itu dengan girang sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat lalu menutup¬kan daun pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka, leher, kedua lengan dengan dengan air hangat. Dia sudah ma¬kan tadi, dan tubuhnya lelah. Kini terasa segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk sekali. Direbahkannya tubuh¬nya di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu yang berwarna putih. Wajah Syanti Dewi mem¬bayang! Makin dipandang, makin rindulah hatinya. Cuaca mulai gelap karena mata¬hari mulai tenggelam sehingga sinarnya tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia merasa malas untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu menjadi makin remang-remang gelap. “Tok! Tok! Tok!” Tek Hoat tergugah lagi dari keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang mengganggu? “Siapa?” tanyanya, memandang ke arah daun pintu yang hampir tidak ke¬lihatan karena kamar itu sudah mulai gelap. “Saya, Kongcu....“ Si pelayan buruk rupa sialan lagi! “Ada apa lagi?” “Ssssst, penting Kongcu. Sudah da¬tang....!” Tek Hoat yang masih setengah sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa¬-apa lagi tentang sore tadi. Dia merasa heran dan ingin tahu. “Masuklah, daun pintunya tidak terpalang, katanya. Bunyi daun pintu berderit ketika di¬buka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan memasuki kamar itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan yang satu lagi bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan biarpun dia masih rebah terlentang, namun dia siap siaga. “Aih, begini gelapnya, Kongcu. Ke¬napa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan? Biar saya nyalakan!” Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca remang-remang mulai terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan melihat bahwa orang yang ke dua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik! Pantas saja ada bau harum ketika pintu kamar¬nya tadi dibuka. “Kongcu, inilah dia, Kim Lian (Teratai Emas).... heh-heh!” Pelayan itu ber¬gegas keluar dan menutupkan daun pintu dari luar. Wanita itu mengambil tempat lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pemba¬ringan, lalu memutar tubuh menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri. “Aihhhhh.... kiranya Kongcu benar-benar tampan sekali....! Girang hatiku mempercayai omongan A-khiu bahwa Kongcu amat tampan!” Wanita itu lalu duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu telanjang, kemudian sambil terse¬nyum wanita itu menjatuhkan dirinya di atas dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya hendak mencium bibir pemuda itu. Bau harum mendesak hidung pemuda itu. Tek Hoat miringkan mukanya dan mendorong kedua pundak wanita itu se¬hingga hampir saja gadis itu terjengkang. “Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal susila!” bentaknya marah sambil menyambar bajunya, terus dipakai¬nya baju itu dan dia meloncat turun ke atas lantai, pandang matanya keras dan muak. Gadis itu menundukkan mukanya. Se¬orang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, rambut¬nya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari emas, tubuhnya ram¬ping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang terpelihara baik¬baik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang berkembang, menam¬bah kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang menjadi merah. “Kongcu, perlukah seorang wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita seperti saya untuk me¬ngenal susila?” tanyanya dengan suara halus bernada menegur sehingga Tek Hoat tertegun. Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga ke adaan wanita itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil bersungut-sunsgut. “Huh, kiranya seorang pelacur! Sam¬pah masyarakat!” Sepasang mata yang bening indah itu mengeluarkan sinar dan tarikan muka yang manis itu membayangkan rasa pe¬nasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan mulut yang bibirnya berbentuk indah itu berkata, suaranya halus namun dingin, “Kongcu, saya me¬mang seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah masyarakat.” Hati Tek Hoat mulai diserang ke¬murungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia menoleh dan memandang wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah karena wajah cantik itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar! “Bukan sampah masyarakat? Huh, perbuatanmu sungguh kotor dan hina! Engkau perem¬puan perusak rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau perempuan terkutuk, lebih kotor daripada sampah!” Sepasang mata itu masih terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa ber¬kedip, dari bawah mata itu menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan tertimpa cahaya api lilin, menimpa sepasang pipi yang halus ke¬merahan dan mengalir ke bawah. Mata itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat. “Kongcu.... engkau boleh tidak senang kepada saya.... akan tetapi.... mengapa engkau menghina saya? Apakah dosaku kepadamu? Apakah salahku ke¬pada kaum pria? Hak apakah yang ada pada Kongcu untuk menghina saya se¬perti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan hati saya dengan kata-kata keji itu?” Tek Hoat menjadi bengong. Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingat¬kan dia akan wajah lembut Syanti Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda, sama cantik, dan apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah puteri raja dan se¬orang wanita bangsawan, apalagi wanita yang dicintanya. Sedangkan wanita ini adalah seorang yang pekerjaannya se¬bagai pelacur. Namun keduanya juga wanita, juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa dia tadi bersikap demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa dibuat-buat, sepasang mata yang terbelalak seperti mata seekor kelinci yang tak berdaya itu, tiba-tiba saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini adalah seorang wanita! Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya, seorang manusia! “Ehhh.... hemmm.... maafkan aku....“ Pelacur itu mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan, lalu dia berkata, “Tidak apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan agaknya aku dapat mengerti bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh wanita, oleh pe¬lacur, maka sekarang menumpahkan kema¬rahan dan dendam Kongcu kepada diriku.” Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang, menunduk seben¬tar lalu mengangkat kembali mukanya, akan tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia teringat akan Siluman Kucing dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia tadi marah dan meng¬hina wanita ini. Iblis betina itu lebih ja¬hat lagi daripada pelacur ini! Lalu dia memandang wanita itu yang juga me¬mandangnya. Harus diakuinya bahwa wa¬nita muda ini amat cantik, tidak kalah cantiknya kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing. “Namamu Kim Lian” akhirnya dia bertanya. Wanita itu mengangguk. “Nama aseli¬ku telah kupendam di antara kehinaan yang menguruk diriku, Kongcu. Karena aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku dipanggil Kim Lian oleh mereka.” Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing halus kalau dia menunduk, manis sekali. “Kim Lian, engkau menjadi pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?” “Satu di antaranya alasan itulah.” Tek Hoat mengeluarkan beberapa ke¬ping uang perak dari buntalannya, lalu melemparkan perak itu di atas pem¬baringan dekat pelacur itu. “Nah, ambiliah uang ini sebagai pembayaran biarpun aku tidak akan menyentuhmu.” Kim Lian kelihatan terkejut, menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu kepada uang itu lagi dan ke¬pada Tek Hoat. Air matanya makin ba¬nyak bercucuran, akhirnya dia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri. ber¬lutut di depan kaki pemuda itu sambil menangis! “Kongcu.... engkau menghancurkan hatiku dengan sikap ini.... lebih baik kaumaki saja aku...., Kongcu.... kaumaki dan pukul aku saja....“ Tek Hoat makin bengong. Dia merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap wanita ini. Seorang pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang satu ini tidak berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya tadi, ketika marah dan ketika berduka sekarang ini, semua ada¬lah wajar dan tidak dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya se¬hingga dia merasa kasihan sekali. “Bangkitlah!” katanya sambil meme¬gang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri. Pelacur itu bangkit berdiri dan Tek Hoat juga berdiri. Pelacur itu hanya setinggi dagunya. Mereka saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya. “Sudah, jangan menangis, aku hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka menjawabnya. Uang itu sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu.” “Kongcu.... Kongcu tidak memandang¬ku dengan hina lagi?” Wanita itu terisak. Tek Hoat merasa makin tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, ber¬diri sendiri di dunia yang kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang! Hatinya merasa terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu, ciuman karena iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman berahi, lalu dia perlahan-lahan mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas pembaringan. Dia sendiri lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan. “Nah, Kim Lian, kita bicara sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepada¬mu dan harap kau suka menjawab se¬jujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu menjadi seorang pelacur, melakukan pekerjaan yang ren¬dah dan hina ini?” Agaknya Kim Lian sudah dapat me¬nguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi menyentuh hatinya, mem¬buat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya amat luar biasa terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat diantara para langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya terhadap dirinya, dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk menumpahkan seluruh isi hatinya kepada pemuda ini. “Kongcu, pertanyaan Kongcu itu ba¬nyak sekali jawabannya. Kenapa aku mehjadi pelacur? Mungkin karena keada¬an karena terpaksa atau juga karena ku¬sengaja! Yang memaksaku adalah kaum pria dan mungkin juga diriku sendiri.” “Hemmm, jawabanmu merupakan teka¬-teki, Kim Lian.” “Bukan, Kongcu, melainkan jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang men¬dorongku untuk menjadi pelacur ini dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara singkat. Aku adalah anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih kecil. Ayah kawin lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku untuk menyelamatkan mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual kepada seorang kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya itu sampai aku mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam memaksa aku, memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak berdaya. Sampai aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu menghadiah¬kan aku kepada seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri pegawai itu, akan tetapi sering kali majikan laki¬-laki tua itu masih datang untuk me¬nikmati tubuhku setahu suamiku! Setelah aku melahirkan seorang anak yang mati ketika lahir, majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku mulai ber¬sikap kasar kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk melacurkan diri. Aku lari minggat meninggalkan dia. Ke¬mudian aku terjatuh ke tangan beberapa orang pria yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta, akan tetapi setelah mereka puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku dicampakkan begitu saja! Entah berapa kali aku me¬rasa sakit hati kepada pria, Kongcu. Akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku mendapat nasihat dari padanya untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan bukan hati dan untuk menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah, mulai hari itu aku menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim Lian.” Tek Hoat berdiam diri saja mendengar¬kan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan setelah gadis pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang dan berkata, “Kim Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu banyak, mengapa engkau memilih pekerjaan pelacur?” “Kongcu, pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak terpelajar seperti aku ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaan¬ku, kecantikan dan kemudaanku! Menjadi pelayan rumah tangga orang? Sudah ku¬lakukan beberapa kali, akan tetapi hasil¬nya hanyalah gangguan dari majikan laki-¬laki, tua maupun muda! Dan dalam pe¬kerjaan sebagai pelacur ini, aku mem¬peroleh dua hal, pertama, uang yang banyak dan mudah. Ke dua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal.” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan untuk kebutuhan ke dua, mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan seorang pria dan hidup sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?” Sepasang, mata itu memandang dengan penasaran. “Kongcu, bagaimana mungkin seorang wanita berumah tangga dan me¬nikah kalau tidak ada pria yang menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi menikah dengan aku? Tidak mungkin wanita memilih pria lalu melamar se¬bagai suaminya, seperti yang mudah saja dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat sebelah dan tidak adil, Kongcu, engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!” Makin lama dia bicara dengan pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak kenyataan terbuka di depan matanya. “Akan tetapi, pekerjaanmu ini me¬rupakan dosa besar. Engkau berdosa ka¬rena engkau menggoda kaum pria, me¬nyeret mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap yang membuat mereka mengkhianati kesetiaan suami isteri, dan engkau juga merusak orang muda yang belum beristeri. Tiba-tiba gadis itu tertawa dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk jantungnya, karena sukar dibeda¬kan apakah suara itu merupakan tawa ataukah tangis! Kemudian gadis itu ber¬kata, suaranya lantang, “Kongcu yang baik, bicara tentang godaan, siapakah yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam kami? Siapakah yang menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang khianat-mengkhianati da¬lam hubungan antara kami dengan pria-¬pria itu? Kongcu, kami dan kaum pria sama-sama membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami lebih suci daripada ke¬butuhan mereka! Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan kepuasan berahi sebagaimana patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan uang untuk hidup, tidak akan ada seorang wanita pun yang menjadi pelacur, kecuali kalau dia gila! Akan tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri, bahkkan su¬dah mempunyai selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina? Siapakah yang rendah? Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada pada diri kami, sedangkan kami mem¬butuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli dan kami menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan mencari-cari kami untuk membeli, mana mungkin kami menjual diri?” “Tapi, Kim Lian, kenyataan dalam hidup adalah bahwa semua orang pria maupun wanita, memandang rendah dan hina kepada pekerjaanmu ini.” “Biarlah! Akan tetapi buktinya, kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa-siapa, kami bebas bermain cinta dengan laki-laki manapun juga meng¬hendaki kami tanpa paksaan, tanpa sem¬bunyi-sembunyi karena kami tidak meng¬khianati siapa-siapa. Merekalah kaum prialah, yang mengkhianati isteri-isteri mereka, yang mencari kami dengan sem¬bunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja kalau sudah tergila-gila ke¬pada kami.” Gadis pelacur itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, “Seluruh pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia ini, kecuali ibunya, isterinya, anak perempuannya dan keluarga perempuan¬nya, menjadi pelacur semua! Agar semua wanita suka melayaninya di atas pem¬baringan, agar semua wanita bersedia memuaskan nafsu berahi mereka. Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum pria!” Tek Hoat melongo. Benarkah ini? Diapun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh pelacur ini? Bahwa semua pria menghendaki bahwa semua wanita, kecuali orang-orang tertentu, yaitu ke¬luarganya, bersikap seperti pelacur? Nati¬nya condong mengatakan “ya” kalau dia berani memandang diri sendiri, meman¬dang sampai ke sudut tergelap dari ba¬tinnya. Akan tetapi dia merasa “ngeri” untuk mengaku ini. “Kim Lian, kata-katamu terlalu keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria. Akan tetapi, bukankah peker¬jaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah pekerjaanmu ini di¬kutuk oleh kaum wanita?” Kembali Kim Lian tertawa, suara ketawa yang aneh, setengah menangis setengah ketawa, lalu dia berkata lagi, lebih halus suaranya penuh kepahitan, “Mungkin sekali, Kongcu. Dan biarlah mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur. Kami tahu mengapa mereka mengutuk kami, dan kami kasih¬an kepada mereka.” “Eh, apa pula ini? Engkau kasihan ke¬pada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?” “Memang ruwet lika-likunya, Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah digembleng oleh hidup, yang telah direbus oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya. Wanita¬-wanita itu mengutuk kami karena mereka merasa dirugikan....“ “Dirugikan?” “Ya, dirugikan karena suami, anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami dan menjauhi mereka. Ka¬rena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka. Kemudian karena mereka merasa iri kepada kami” “Iri?” Tek Hoat berseru kaget. “Ka¬um wanita baik-baik iri kepada pelacur? Apa maksudmu?” “Benar, iri hati! Mungkin di bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada pe¬rasaan iri hati yang tidak mereka sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka bersolek, yang tidak suka mempercantik diri? Mereka mempercan¬tik diri karena dua sebab, pertama agar dipuji oleh umum terutama sekali oleh kaum pria dan diirihatikan kaum wanita lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk menarik hati kaum pria sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan tergila-gila kepadanya, makin senanglah hatinya.” “Ah, masa....?” “Keadaan membuktikan demikian dan mungkin itu sudah merupakan naluri wa¬nita, Kongcu. Setiap mahluk betina selalu akan berlagak di depan jantan, tentu naluri untuk menarik perhatian. Karena itu, melihat betapa kami, kamu pelacur dapat menarik perhatian banyak pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan cinta, bahkan menerima per¬hatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di samping perlakuan cinta, tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan karena iri ini tidak dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasa¬an iri itu berubah menjadi benci! Dan munculiah penghinaan mereka terhadap kami! Tentu saja selain itu, juga mereka mendendam karena kami dianggap me¬rusak nama baik kaum wanita pada umumnya” Tek Hoat memandang penuh perhatian dan makin terheran-heran. “Kim Lian, engkau seorang pelacur, engkau seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa jarang ada orang pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang kaunyatakan itu. Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau dan kaummu dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau harus kauakui dan tidak dapat kausangkal lagi!” Gadis pelacur yang cantik itu me¬narik napas panjang. “Memang, hukum rimba mengatakan bahwa segala macam sebab kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka yang lemah dan yang kalah! Ka¬um pria mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya sendiri saja! Penyakit itu hanya merupakan akibat, Kongcu. Sebab¬nya adalah hubungan-hubungan gelap itu. Dan siapakah yang mulai dengan pelacur¬an? Sudah kukatakan tadi, kalau tidak ada pria yang hendak nielacur, apakah di dunia ini ada pelacur? Dan tentang pe¬nyakit, siapakah yang menularkan dan siapa yang ditularkan? Dari siapakah pelacur terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh seorang langganannya, yaitu seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini sama saja dengan per¬soalan siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah ayamnya!” Tek Hoat bungkam. Beberapa kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan akhirnya dia hanya dapat me¬nelan ludah. Baru sekarang ini dia men¬dengar hal-hal seperti itu. Sungguh ber¬lainan dengan segala macam filsafat yang pernah dibacanya tentang susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain¬-lain. Kini dia dihadapkan dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa pulasan dan dia melihat ketelan¬jangan yang murni, melihat baik buruk¬nya. Dan dia terpesona, juga.... bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya be¬berapa keping uang lagi dan ditambahkan pada uang di atas pembaringan. “Ambiliah semua uang itu, Kim Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala keteranganmu. Percakapan kita membuka mataku dan aku tidak berani lagi memandang rendah kepada kaum pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak lebih rendah daripada engkau, Kim Lian” Kim Lian turun dari pembaringan, mengambil semua uang dari atas pem¬baringan, menghampiri Tek Hoat yang sudah berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja. “Aku tidak bisa menerima uangmu, Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu seperti mestinya di atas pembaringan. Biarpun tidak melayanimu, kalau engkau menghinaku, memandang rendah kepadaku, tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu dengan Akal bagaimanapun juga. Akan tetapi, engkau be¬gitu jujur, dan percakapan ini telah me¬legakan dadaku, aku telah menumpahkan segala beban hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang ini ditam¬bah sepuluh kali lipat, Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu, hanya.... kalau boleh...., aku ingin menyatakan terima kasihku kepadamu dengan caraku sendiri.” Tek Hoat makin terharu. Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikir¬nya, “Silakan, Kim Lian, sungguhpun yang patut berterima kasih adalah aku kepada¬mu.” Kim Lian menghampiri makin dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu sehingga kepala Tek Hoat me¬nunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari kakinya dengan mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu de¬ngan bibir Tek Hoat ketika dia mencium mulut pemuda itu. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan sepenuh perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan diri sebulatnya kepada seorang pria, ciuman yang selama hidup¬nya baru satu kali itu dilakukan oleh Kim Lian terhadap seorang pria! Ter¬dengar suara isak naik dari dada Kim Lian, dia melepaskan ciumannya lalu berlari ke pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti, menoleh dengan air mata membasahi pipi sambil berkata, “Pria seperti engkau inilah yang menjunjung tinggi martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh ibumu, oleh semua wanita, patut menerima cinta kasih wa¬nita. Aku selamanya tidak akan dapat melupakan wajahmu, Kongcu. Selamat tinggal.” Dan daun pintu itu ditutup kem¬bali, lalu terdengar langkah-langkah kaki yang diseret dan ringan dari pelacur itu yang pergi setengah berlari. Tek Hoat menjatuhkan diri di atas bangku, duduk termenung. Dia pria se¬perti itu? Menjunjung tinggi martabat wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua wanita? Dia? Terbayang kem¬bali segala perbuatannya di waktu dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), penyele¬wengannya, perjinaannya dengan isteri orang. “Ahhh....!” Dia menutupi kedua ma¬tanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya terus-menerus, men¬dengar pujian Kim Lian. “Tidak....!” Kini kedua tangan itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan kalau saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat akan menangis menggerung-gerung di saat itu. Dia me¬rasa dirinya kotor sekali, hina dan jauh lebih rendah daripada Kim Lian si pela¬cur! “Kongcu.... heh-heh-heh....” Tek Hoat tergugah dan dia menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai. “Kongcu, saya bertemu dengan Kim Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ah, dan Kongcu duduk sendiri dengan pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka de¬ngan dia? Begitu cantik manis, begitu menggairahkan, seperti buah apel yang sudah masak.... hemmmmm....“ Dan si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya seperti orang yang mengilar! “Kalau saya semuda dan setampan Kongcu, dan ber¬uang, hemmm, kalau saya diberi kesem¬patan.... heh-heh....“ Tek Hoat melemparkan beberapa po¬tong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas lantai dan dipunguti oleh si pelayan. “Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak, kubunuh kau!” Pelayan itu terkejut, memandang dengan muka ketakutan, lalu dia meng¬angguk dan lari keluar, lupa menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takut¬nya. Tek Hoat tidak peduli dan kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri, matanya dipejamkan. “Tek Hoat....!” Pada saat itu, Tek Hoat sedang mem¬bayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di dalam hatinya apakah orang macam dia itu patut menjadi suami Pu¬teri Bhutan itu. Maka begitu mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti ber¬henti berdetak. “Syanti....!” Dia berbisik dan mutar tubuhnya. Seorang wanita berdiri di pintu kamar¬nya, wanita cantik yang bertubuh ram¬ping. Akan tetapi bukan Syanti Dewi, melainkan.... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing! Dan aneh¬nya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh air mata! “Mo-li....!” Tek Hoat berkata lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina ini dalam saat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Siluman Kucing menutupkan daun pintu lalu dia melangkah maju dan tiba¬-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini ter¬belalak dan siap siaga karena dia mak¬lum akan kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan tetapi dia terheran-heran kare¬na Lauw Hong Kui kini benar-benar me¬nangis di depan kakinya! “Tek Hoat.... maafkan aku.... ah, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian cantik, akan tetapi engkau tidak mengganggunya dan mem¬beri uang. Engkau benar-benar seorang pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu. Setelah kau pergi meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong, sunyi.... ah, engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau benci padaku, jangan kau¬ tinggalkan aku.... aku haus akan cinta¬mu, Tek Hoat, kau kasihanlah kepada¬ku....“ Tek Hoat menahan senyumnya. Perem¬puan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat akan semua percakapan¬nya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus akan cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya cinta? Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa, mentertawakan Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-¬kata Kim Lian, dia merasa tidak tega. Biarpun iblis Mauw Siauw Mo-1i ini juga seorang wanita! Sama dengan Kim Lian! Seorang manusia yang berperasaan! Mung¬kin karena biasanya dapat menundukkan pria dengan mudah, maka setelah ber¬temu dengan dia dan justeru karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw Mo-li menjadi tergila-gila dan jatuh cinta! Mungkin tersinggung perasa¬annya karena ucapan Kim Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sung¬guhpun hal ini bukan berarti bahwa wa¬nita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin digilai, ingin dipuji, ingin dikagumi laki-¬laki manapun juga. Dan karena dia tidak tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat wanita ini tersinggung perasaannya dan merasa ti¬dak puas, dan baru akan merasa senang kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut. Demikiankah? “Mo-li, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku maafkan segala kesalahfahaman antara kita. Betapapun juga, engkau sudah banyak membantuku dan kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama sehingga boleh dibilang kita adalah sahabat.” “Ah, terima kasih, Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ hanya terdapat sebuah saja bangku yang di¬duduki Tek Hoat. Sejenak mereka ber¬pandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li me¬mang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang! “Mo-li, kenapa engkau menyusulku sampai di sini?” Akhirnya Tek Hoat ber¬tanya karena tidak tahan melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya dengan nafsu membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. “Kenapa? Ahhh, engkau tidak tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau pergi. Aku merasa kesepi¬an dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek Hoat. Tidak pernah aku menyangka bahwa aku akan tergila¬-gila kepadamu. Tidak pernah aku membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apalagi ketika aku teringat betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan maka aku menyusulmu.” “Hemmm, Mo-li, siapa bisa percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita yang bisa mendapatkan pria manapun yang kauinginkan. Seorang wanita seperti engkau ini, mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau hanyalah menjadi hamba nafsu berahimu sendiri....“ “Cukup, harap jangan lanjutkan, Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hi¬dupku yang lalu penuh dengan petualang¬an dan aku sudah biasa memandang ren¬dah kaum pria yang kuanggap sebagai permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku sesungguhnya seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan perasaan. Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa ketika kita saling berpisah.” Tek Hoat tidak tahu apakah dia me¬rasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita ini. Siluman Kucing yang biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah sudah berapa ba¬nyaknya pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan sekaligus dibunuhnya, wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta kepadanya? Sungguh menggelikan dan sukar untuk dipercaya. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang telah merupakan seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan be¬sar, maka kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta dan kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apalagi bahwa wanita ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria sebagai permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia jatuh cinta! “Mo-li, kita hanya sahabat biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu di tempat Yang-¬liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada waktunya bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya bersim¬pang jalan dan jalan hidup kita tidak sama.” Mauw Siauw Mo-li mengangguk, akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda itu seolah-olah dia hendak menyihirnya. “Aku pun me¬ngerti bahwa ada waktunya bertemu ada pula waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus menderita kalau harus berpisah denganmu seperti itu, se¬bagai musuh!” “Aku sudah memaafkan segala ke¬salahfahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh....“ “Akan tetapi aku ingin berpisah de¬nganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat.” Dan wanita itu kembali menjatuh¬kan diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda itu dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis! “Tek Hoat, kasihanilah aku.... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk kujadikan kenangan selama hidupku....“ Sikap dan kata-kata wanita itu me¬nyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua le¬ngan yang merangkul pinggangnya itu begitu mesra, mengusap punggungnya, dan wajah yang cantik yang tadi ber¬sembunyi di atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari bawah, dengan sepasang mata agak ber¬air dan sayu mesra, cuping hidungnya agak kembang-kempis, bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut¬-awutan, sebagian anak rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas wanita, bau betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh tubuh wanita itu terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan masak. Tek Hoat menunduk, memandang wa¬jah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan indahnya, seperti rumput yang teratur sekali, seperti lukis¬an yang amat tepat dan bagus. Mata itu, hidung itu, mulut itu! “Engkau memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li....“ akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian ko¬song belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya. Sepasang mata itu tecbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri. “Aihhh.... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini.... aku bersungguh-sung¬guh, jangan kaugoda aku, jangan kau¬permainkan aku, benarkah kata-katamu itu?” “Kau memang cantik sekali.” “Akan tetapi, orang menyebutku iblis betina....! “Mungkin kau iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik,” Tek Hoat mem¬belai rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu, “Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang.” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar