Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 21.

Jodoh Rajawali Jilid 21. div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
Jodoh Rajawali Jilid - 21 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 21 Orang itu meringis kesakitan, muka¬nya pucat dan dia ketakutan, menggeleng¬gelengkan kepala. “Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!” Orang itu terbelalak. “Am.... ampun¬kan hamba.... hamba hanya utusan.... dari.... dari....!” Pada saat itu nampak sinar berkele¬bat menyambar. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali karena sinar itu datang¬nya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengke¬ram pundaknya itu, dipakai sebagai pe¬risai. “Crottt....auggghhhhh....!” Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk ja¬rum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya, tahulah dia bahwa penyerang¬nya adalah seorang yang mahir mengguna¬kan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang me¬nyuruh mereka. Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kira¬nya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawan¬annya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu me¬laporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu. Pangeran Yung Ceng menerima peng¬hormatan mereka yang berlutut dan de¬ngan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, ke¬mudian dia minta seekor kuda dan me¬lanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak di¬kawal. Pangeran mahkota ini marah se¬kali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pa¬ngeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang¬-orang yang diutus oleh Gubernur Ho¬-nan yang memperlihatkan sikap mem¬berontak itu. Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisair. Kaisar Kang Hsi adalah seorang kai¬sar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwi¬bawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Ceng¬tiauw. Akan tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran pu¬teranya yang telah dipilihnya untuk ke¬lak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, ke¬mudian dia menggerakkan tangan dan berkata, “Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk meng¬urus segala macam hal yang memusing¬kan belaka. Di dalam tahun-tahun ter¬akhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di da¬lam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, eng¬kau sudah benar-benar cakap.” “Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi lupa¬kah Paduka akan Sri Baginda Raja, Liang Hwi Ong?” Kaisar yang tua itu memandang pute¬ranya sambil tersenyum. “Hemmm, mak¬sudmu?” Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pe¬lajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang amat bijaksana dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pe¬lajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu. Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab. “Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apabila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluar¬ga mereka, dan rakyat pun akan ber¬tanya tentang keuntungan bagi diri sen¬diri. Apabila yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah hanya memperebut¬kan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta pe¬rang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apabila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang me¬miliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apabila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntung¬an, pasti dia tidak puas sebelum mem¬peroleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyat¬nya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?” Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi. Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang memberontak. “Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.” “Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih be¬lum tahu akan segala peristiwa di luar¬an? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak mem¬berontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hi¬tam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat karena bujukan para pembesar palsu yang men¬jilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?” “Sudahlah Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?” “Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan per¬tama-tama Paduka seyogianya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam....” Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata, “Pange¬ran, harap jangan terlalu mendesak ke¬pada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah....“ “Diam kau! Jangan mencampuri!” Yung Ceng membentak. “Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa....” Kaisar mencela. “Justeru dia inilah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan te¬tapi dia pandai menjilat!” “Pangeran, tidak boleh Paduka ber¬kata demikian....“ “Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!” Akan tetapi Yung Ceng sudah me¬loncat dan menyambar pundak thaikam itu, mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai. “Brukkk....!” Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal da¬lam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak, “Kalian mun¬dur! Berani melawan Pangeran Mahkota?” Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Ba¬ginda. Kalau Sri Baginda memberi aba¬-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak, “Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu ka¬mar!” Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar meng¬angguk dan menggerakkan tangan mem¬beri isyarat agar mereka keluar. Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya, “Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!” Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya men¬cengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, lalu menghardik., “Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kaudatangkan ke sini dan kauangkat menjadi orang-orang yang memiliki ke¬dudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu se¬karang juga?” Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pange¬ran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pange¬ran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh. “Be.... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba....” “Dan untuk itu kau memecat pejabat¬-pejabat lama? Dan engkau sudah me¬numpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pem¬besar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?” “Ini.... ini....“ “Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan se¬ribu tail emas dan dua buah kereta ber¬tabur emas kepadamu baru-baru ini?” Yung Ceng mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. “Dan dengan pe¬mecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperolah hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk mem¬basmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar ke¬palsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?” “Ti.... tidak.... tidak....“ Yung Ceng mencabut pedang pendek¬nya. “Crottt....!” Ujung pedang itu me¬nusuk paha sampai beberapa senti dalam¬nya, dan dia mencengkeram otot di pung¬gung sehingga thaikam itu memekik¬-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya. “Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?” “Ya.... ya.... benar....!” Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia bersumpah untuk mem¬balas pangeran ini. “Sekarang, katakan, bukankah engkau tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!” Tubuh thaikam itu menggigil. “Ham¬ba.... hamba tidak ikut-ikut....“ “Tapi engkau tahu?” “Ya.... ya....” Kaisar kini mengerutkan alisnya. “Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hen¬dak memberontak dan kau tidak melapor¬kan kepada kami?” “Hamba.... hamba tidak berani.... hamba....“ “Yung Ceng, kiranya benar pelaporan¬mu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!” Yung Ceng memanggil pengawal. “Se¬ret dia ke dalam tahanan!” Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Lalu dia mencabut pe¬dangnya, pedang kerajaan yang merupa¬kan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu. “Terimalah ini dan kauwakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kauselesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku.” Pangeran Yung Ceng menerima pe¬dang pusaka itu sambil berlutut, meng¬haturkan terima kasih dan meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mah¬kota ini melakukan pembersihan. Tindak¬annya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman. Kota raja geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan me¬numpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Me¬reka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat ca¬haya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kera¬jaan. Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tin¬dakannya dengan melakukan pembersihan-¬pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat meng¬hadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan mem¬bahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang berkuasa seolah-olah me¬lebihi kaisar. Ketika mendengar pelaporan Gubernur Ho-pei betapa fihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah ber¬sekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan propin¬si, di lembah Sungai Huang-ho, dia ter¬kejut dan marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandal¬kan untuk menanggulangi ancaman ba¬haya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun Beng, telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibu¬nya adalah Puteri Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Raja¬wali, Puteri Milana meninggalkan istana, minggat setelah suaminya, yaitu men¬diang Panglima Han Wi Kong, membunuh Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri kare¬na dia ingin memberi kebebasan kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isteri¬nya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama. Demikianlah, Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh dari dunia ramai. Mereka berdua meninggal¬kan segala kericuhan hidup di dunia ra¬mai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar. Suami isteri ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka ber¬tahun-tahun yang lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu seolah-¬olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi keharuman bunga-bunga mawar. Dalam waktu satu tahun saja, Puteri Milana yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu melahirkan dua orang anak kembar, dua orang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Tentu saja mereka merasa bahagia sekali, akan tetapi Puteri Milana menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia harus mengurus dua orang anak! Pa¬dahal dia adalah seorang puteri istana yang lebih biasa bermain pedang daripada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng yang menjadi suaminya itu penuh kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka kedua orang itu mengurus anak-anak mereka dengan baik, dengan cara gotong royong. Gak Bun Beng adalah seorang pende¬kar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia memiliki bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mujijat, te¬naga sakti Inti Bumi yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Bu¬tek Siauw-jin, dan dia bahkan pernah menerima ilmu mujijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian Kiam-sut yang sukar ditemukan tandingannya. Akan tetapi Puteri Milana juga bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super Sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayah¬nya dan ibunya, bahkan dia memiliki kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu perang. Dia mewarisi ilmu perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya ketika dia berada di ista¬na, dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang pamannya, yaitu kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin pasukan untuk mem¬basmi pemberontak-pemberontak di per¬batasan utara itu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Memiliki ayah dan ibu seperti ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu semenjak kecil menerima gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka dengan dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri Milana tidak lupa untuk memberi pelajaran “bun” (sastra) kepada dua orang anak itu agar mereka kelak tidak menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan mengandalkan kekuatan badan dan menjadi orang-orang kasar. Pondok mereka yang sederhana itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah menjadi kebun sayur dan bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung oleh jurang dan bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak mungkin didatangi orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Ha¬nya dengan menyeberangi telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang telaga dapat mengunjungi pon¬dok suami isteri pendekar ini. Oleh kare¬na itu, jarang sekali ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang anak kembar mereka mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang mengajak dua orang anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga agar mereka jangan sampai ter¬asing dari hubungan antara manusia. Para penghuni dusun-dusun di seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak kembarnya ini, yang mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang mengasingkan diri. Setelah Gak It Kong dan Gak Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun, mereka telah men¬jadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh melebihi anak-anak biasa. Orang tua mereka memberi mereka nama dengan mengambil huruf Jit (Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka. Akan tetapi dua orang anak itu pun mulai mengerti ke¬adaan dan mereka mulai merasa heran dan penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu, padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-¬orang jahat yang menjadi buronan. Pada¬hal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin. Rasa penasaran ini membuat mereka pada suatu malam, sehabis makan ma¬lam, mengajukan pertanyaan kepada ayah bunda mereka. “Ayah, mengapa kita hidup di tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal di tempat yang banyak di¬tinggali manusia lain seperti di dusun¬-dusun itu?” kata It Kong. “Kenapa kita tidak pernah pergi melakukan perjalanan mengunjungi kota¬-kota besar dan kota raja seperti yang sering Ibu ceritakan? Katanya Ibu adalah cucu kaisar, kenapa sekarang tinggal di tempat sunyi begini?” Goat Kong me¬nyambung. Karena It Kong lahir lebih dulu, maka Goat Kong ini terhitung adik, akan tetapi dia tidak pernah mau me¬nyebut kakak kepada It Kong. Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata ini Mi¬lana menyerahkan jawaban-jawaban itu kepada suaminya. Maka Gak Bun Beng lalu memegang tangan kedua orang pute¬ranya, menarik mereka dan merangkul mereka, lalu berkata, “Ketahuilah, anak-anakku. Kita memang sengaja tinggal di tempat sunyi, jauh dari keramaian. Bu¬kankah tempat ini indah sekali dan kita hidup bahagia? Di tempat-tempat ramai, terutama sekali di kota-kota besar, ter¬dapat banyak keributan, terdapat banyak orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lain.” “Akan tetapi kita tidak perlu takut!” Jit Kong berkata. “Benar, perlu apa kita belajar silat kalau takut orang jahat!” Goat Kong me¬nyambung. Gak Bun Beng tersenyum dan diam¬-diam dia bangga melihat sifat gagah itu ada pada diri dua orang puteranya. “Sa¬ma sekali kita tidak takut, anak-anakku. Akan tetapi perlu apakah kita mendekati tempat-tempat di mana orang-orang sa¬ling bermusuhan? Di sini kita hidup te¬nang dan damai.” “Akan tetapi aku ingin melihat ba¬nyak orang di kota besar!” kata Jit Kong. “Dan aku ingin melihat kaisar!” kata Goat Kong. Melihat suaminya kewalahan meng¬hadapi desakan dua orang anaknya, Mila¬na lalu turun tangan membantu dan berkata, “Jit Kong dan Goat Kong, kalian masih terlalu kecil untuk pergi ke tem¬pat ramai dan bertemu dengan orang¬-orang jahat. Belajarlah baik-baik dan kalau kalian kelak sudah dewasa, sudah memiliki kepandaian tinggi, baru tiba saatnya kalian boleh mengunjungi tempat-¬tempat ramai itu. Aku sendiri yang akan membawa kalian ke kota raja dan meng¬hadap kaisar.” “Benar, kata Ibumu,” Bun Beng me¬nyambung dengan hati lega. “Dan ingat¬lah, di dunia ini banyak berkeliaran ma¬nusia-manusia jahat. Oleh karena itu, kalian pun tidak boleh mengunjungi dusun¬-dusun di seberang tanpa ayah ibumu. Mengertikah kalian?” Dua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saling lirik karena hati mereka sesungguhnya tidak merasa puas. Betapa¬pun juga, janji ibu mereka itu amat me¬narik hati dan mereka makin rajin ber¬latih ilmu silat sehingga ayah bunda itu merasa girang sekali. Pada suatu pagi, seperti biasa, Jit Kong dan Goat Kong bermain-main di telaga, mendayung sebuah perahu kecil. Mereka harus mencari ikan, akan tetapi karena semenjak pagi tadi mereka memancing namun belum juga memperoleh hasil, mereka lalu bermain-main dan mandi di telaga. Mereka menanggalkan pakaian mereka di atas perahu dan dari perahu itu mereka terjun ke air yang jernih, berenang ke sana-sini sambil ter¬tawa-tawa, berkejaran, menyelam dan saling siram dengan air. “Hayo kita berlumba mengejar perahu!” Jit Kong berkata sambil tertawa-tawa dan mengusap air dari mukanya. “Baik, yang kalah nanti harus mendayung perahu sampai ke pinggir ketika pulang!” jawab Goat Kong. Mereka lalu berenang ke arah perahu mereka, lalu bersama-sama mereka mengerahkan tenaga menggunakan tangan mereka mendorong perahu yang meluncur cepat ke tengah telaga. Mereka lalu berenang secepatnya mengejar dan berlumba. Keduanya memang pandai renang, terlatih sejak masih kecil. Akan tetapi, sejak kecil Jit Kong memang memiliki dasar tenaga lebih besar, akan tetapi Goat Kong memiliki dasar gerakan yang lebih cepat, maka ketika berlumba mengejar perahu ini, gerakan Goat Kong lebih cepat dan kakaknya tertinggal setengah badan ketika dia lebih dulu memegang perahu dan meloncat ke dalamnya sambil berpegang kepada bibir perahu. “Aku menang....!” soraknya, mentertawai Jit Kong. “Kau berenang seperti ikan saja!” Jit Kong kini juga meloncat ke dalam perahu. Mereka tertawa-tawa. Akan tetapi, tiba-tiba Goat Kong memegang tangan kakaknya. “Jit Kong, lihat! Ada perahu....!” Jit Kong cepat memutar tubuh dan memandang. Benar saja. Ada sebuah perahu didayung cepat ke tengah telaga, datang dari seberang dan agaknya menuju ke tempat tinggal mereka. “Wah, lihat pakaian mereka!” Jit Kong berbisik. Dua orang anak ini mendekam di atas perahu mereka dan memandang. Perahu itu ditumpangi oleh dua orang yang berpakaian seperti tentara, bertubuh tinggi besar dan mereka mendayung perahu dengan kuat sehingga perahu itu meluncur cepat sekali. “Pakaian mereka seperti gambar tentara....“ bisik Goat Kong. “Celaka, agaknya Ayah benar-benar seorang buruan dan mereka tentu datang hendak menangkap Ayah,” kata Jit Kong. Dua orang anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. “Kita harus halangi mereka....“ bisik Goat Kong. Kakaknya mengangguk dan bagaikan dua ekor ikan saja, dua orang anak yang masih telanjang itu lalu meluncur ke dalam air dan berenang cepat menghadang perahu yang meluncur dari depan itu. Ketika perahu meluncur dekat, keduanya cepat menyelam. Dua orang yang berpakaian perwira itu mendayung perahu dan memandang ke arah perahu kecil itu dengan heran. Perahu kecil itu kosong, tidak ada orangnya dan di dalam perahu terdapat tumpukan pakaian! “Eh, tadi seperti kulihat ada dua orang bocah di perahu itu,” kata perwira yang tua, yang rambutnya sudah putih semua. “Benar, Souw-ciangkun, saya tadi pun melihatnya. Entah di mana mereka sekarang,” kata perwira yang lebih muda, yang bertubuh tinggi besar. “Ehhh....!” “Heiiiii....!” Mereka berdua berteriak dengan kaget karena tiba-tiba saja perahu mereka itu miring! Mereka berusaha untuk menekan perahu, akan tetapi percuma saja karena tiba-tiba perahu itu terbalik dan mereka ikut terjatuh ke dalam air. “Tolooooonggg....!” Perwira tua yang disebut Souw-ciangkun tadi berteriak. Dia adalah seorang perwira yang gagah perkasa, akan tetapi di darat. Kalau di air, dia sama sekali tidak bisa apa-apa, karena berenang pun dia tidak mampu, maka tentu saja dia menjadi ketakutan dan gelagapan, kedua tangannya meraih-raih udara kosong dan mulutnya berteriak minta tolong sebelum kepalanya tenggelam. Perwira tinggi besar itu dapat berenang, akan tetapi juga tidak ahli. Maka ketika dia berenang mendekati dan mencoba untuk menolong temannya, perwira tua itu menangkap lengannya dengan panik dan hal ini menghalangi temannya untuk berenang sehingga keduanya tenggelam! Jit Kong dan Goat Kong yang sudah kembali ke perahu mereka, memandang ke arah dua orang yang sedang bergumul itu dengan mata terbelalak. “Kita tidak boleh membunuh orang,” kata Jit Kong. “Ya, dan mereka itu tidak pandai renang,” sambung Goat Kong. “Kalau dibiarkan, tentu mereka akan mati.” “Karena itu, kita harus menolong mereka.” Kedua orang anak itu lalu terjun ke air, menyelam dan berenang ke arah dua orang perwira yang sudah mulai lemah gerakan-gerakan mereka itu, sebentar timbul sebentar tenggelam seperti dua ekor ayam terjatuh ke air. Ketika dua orang anak itu berhasil menjambak rambut mereka dan membawa mereka berenang ke perahu kecil itu , mereka berdua sudah tidak bergerak lagi, perut mereka agak kembung dan mereka tidak sadarkan diri. Melihat mereka pingsan, Jit Kong dan Goat Kong terkejut dan ketakutan. “Celaka, mereka sudah mati!” teriak Jit Kong. “Hayo cepat bawa pulang, biar diobati Ayah!” kata Goat Kong. “Tapi.... tapi kita tentu akan mendapat marah. Kita telah membunuh orang!” “Biarpun begitu , kita harus berikan tanggung jawab. Seorang gagah selalu akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.” Semua ucapan yang keluar dari mulut dua orang anak itu adalah hasil ajaran orang tua mereka. Maka, biarpun mereka merasa sangat takut dan mengira bahwa dua orang itu telah mati sehingga mereka akan menerima kemarahan ayah mereka, namun mereka tidak ragu-ragu lagi untuk cepat mendayung perahu pulang dan setibanya di tepi telaga, Jit Kong sudah meloncat dan lari secepatnya menuju ke pondok, sedangkan Goat Kong menjaga perahu di mana dua orang perwira itu masih menggeletak tak bergerak dengan wajah pucat. Tak lama kemudian Gak Bun Beng datang berlarian bersama Isterinya, mengikuti Jit Kong yang datang memberi tahu kepada mereka tentang dua orang perwira itu. Ketika melihat mereka menggeletak pingsan Bun Beng cepat menelungkupkan mereka dan memaksa air keluar dari dalam perut mereka, kemudian mengurut dada dan punggung sampai mereka siuman kembali. Begitu mereka siuman dan perwira yang sudah berusia lanjut dan rambutnya putih semua itu melihat Milana, dia segera mengenalnya dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu. “Ah, sungguh beruntung sekali hamba, akhirnya dapat bertemu dengan Paduka Puteri!” Kakek ini memang merasa terkejut, terheran-heran dan juga girang bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dapat bertemu dengan orang yang dicari-carinya itu! Mereka berdua adalah dua di antara para perwira yang diutus oleh Pangeran Yung Ceng untuk mencari Puteri Milana. Dari para penghuni dusun di seberang mereka mendengar bahwa di tempat itu tinggal dua orang suami isteri pertapa yang masih muda dan aneh, bersama dua orang anak mereka. Mendengar betapa suami isteri “pertapa” ini mengasingkan diri selama beberapa tahun, dua orang utusan itu merasa heran dan mereka lalu menggunakan sebuah perahu untuk pergi menyelidiki. Akan tetapi mereka bertemu dengan Jit Kong dan Goat Kong sehingga hampir saja mereka mati tenggelam di telaga. “Siapakah kalian?” Milana bertanya sambil mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang akan mengenalnya sebagai puteri istana. “Maaf, hamba telah berani datang mengganggu. Hamba adalah Souw Ciat, dan dia ini adalah Ciang Sim To,” kata perwira tua sambil menunjuk kepada temannya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut ketika mendengar ucapan Souw Ciat. Baru sekarang dia juga me¬ngenal Milana yang berpakaian sederhana seperti seorang wanita petani biasa itu. “Hamba berdua adalah perwira-perwira pengawal dari istana, hamba diutus oleh sri baginda kaisar mencari Paduka Puteri Milana yang mulia.” Mendengar ini, Gak Bun Beng lalu berkata, “Sebaiknya mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan baik.” Dua orang perwira itu kini pun ter¬ingat kepada pendekar ini yang pernah menjadi tokoh terkenal di kota raja, maka Souw-ciangkun lalu menjura, diikuti oleh temannya, kepada pendekar itu sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap.” Mereka berempat diikuti oleh dua orang anak kembar, segera menuju ke pondok di mana Jit Kong dan Goat Kong menyalakan perapian sehingga dua orang perwira itu dapat menghangatkan tubuh mereka dan mengeringkan pakaian mereka. Kemudian, dua orang anak kembar yang sudah biasa bekerja membantu ibu mereka itu menghidangkan arak kepada dua orang tamu itu yang memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata terheran-heran dan juga penuh curiga. “Kalau tidak berkat pertolongan dua orang Kongcu ini, tentu kami telah tewas,” kata Ciang Sim To kepada Bun Beng. Pendekar itu menarik napas panjang. “Kami telah mendengar penuturan dua orang putera kami, Ji-wi Ciangkun, dan harap Ji-wi suka memaafkan mereka yang masih anak-anak sehingga belum dapat membedakan orang. Mereka mengira bahwa Ji-wi datang dengan niat buruk, maka mereka telah lancang meng¬gulingkan perahu dan menangkap Ji-wi.” “Jit Kong, Goat Kong, hayo cepat minta maaf kepada kedua Ciangkun ini!” Milana berkata kepada kedua orang pu¬tera kembarnya. Jit Kong dan Goat Kong cepat me¬langkah maju menghadap dua orang per¬wira itu, menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi Ciangkun sudi memaafkan kami berdua.” Mereka me¬ngeluarkan kata-kata yang sama dan hampir berbareng, tanda bahwa ucapan itu keluar dari hati mereka sendiri bu¬kan saling mengikuti saja. Souw-ciangkun dan temannya cepat membalas dan perwira tua ini berkata kagum, “Ah, sungguh hebat sekali! Ji-wi Kongcu ini masih begini muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian hebat sehingga kami dua orang perwira bang¬kotan telah dibuat tidak berdaya! Ha¬ha-ha, betapa bahagianya hati hamba menyaksikan putera-putera Paduka yang begini tampan dan gagah perkasa!” “Ji-wi Ciangkun, sekarang ceritakan¬lah tentang tugas Ji-wi mencari aku, dan mengapa pula kaisar mengutus Ji-wi,” kata Milana. Pangeran Yung Ceng demikian berse¬mangat untuk menemukan dan memanggil Puteri Milana sehingga setiap rombongan tentu dibawai surat untuk Sang Puteri. Juga Souw-ciangkun tidak ketinggalan membawa sepucuk surat. Untung bahwa surat itu disimpannya di dalam kantung kulit sehingga tidak basah ketika dia ter¬jatuh ke air telaga tadi. Dengan sikap hormat dia menyerahkan surat itu kepada Milana yang segera, membuka dan mem¬bacanya. Tidak salah memang. Surat itu adalah surat dari pamannya, putera kaisar yang masih amat muda itu. Biarpun Yung Ceng dan Yung Hwa jauh lebih muda daripada Milana, namun dua orang pangeran muda ini termasuk pamannya, karena mereka adalah putera-putera kai¬sar, sedangkan dia sendiri adalah cucu kaisar. Di dalam surat itu, jelas Pange¬ran Yung Ceng mengharapkan kedatangan¬nya di istana karena di istana timbul hal-hal yang membutuhkan bantuan Puteri Milana untuk ditanggulangi. Milana mengerutkan alisnya. “Yang mengutus Ji-wi bukan sri baginda kaisar, melainkan putera mahkota,” tegurnya. “Harap Paduka maafkan hamba ber¬dua,” jawab Souw Ciat. “Oleh karena sri baginda kaisar telah menyerahkan pedang kekuasaan kepada pangeran mahkota, maka kekuasaan beliau tiada bedanya dengan kekuasaan sri baginda kaisar, maka hamba menganggap bahwa yang mengutus hamba juga dari baginda kaisar sendiri.” “Hemmm, apakah yang terjadi di istana maka kaisar menyerahkan pedang kekuasaan kepada Paman Pangeran Yung Ceng?” Souw-ciangkun lalu menceritakan ke¬adaan di kota raja dengan jelas. Sebagai seorang panglima pengawal yang setia dia ikut merasa lega dan gembira atas tindakan pangeran mahkota itu maka dia dapat bercerita dengan jelas tentang di¬berantasnya penyelewengan-penyeleweng¬an oleh Pangeran Yung Ceng, betapa para thaikam ditangkapi dan dihukum, dan banyak pula pembesar korup yang di¬hukum. “Ah, mengapa terjadi hal demikian? Apakah kesalahan para thaikam itu?” tanya Milana dengan heran. “Mereka telah menguasai istana dan membujuk sri baginda kaisar melakukan pemecatan-pemecatan terhadap pembesar¬-pembesar yang setia. Bahkan Jenderal Kao Liang yang telah menjadi panglima besar itu pun dipecat.” “Ehhh....?” berita ini amat mengejut¬kan hati Milana dan Bun Beng. Mereka berdua mengenal siapa, adanya Jenderal Kao Liang, seorang yang amat setia dan tangguh, yang amat besar jasanya ter¬hadap kerajaan yang telah berkali-kali menyelamatkan kerajaan dari ancaman pemberontakan-pemberontakan, bahkan yang terakhir, lima enam tahun yang lalu, juga menyelamatkan negara dari pemberontakan dua orang Pangeran Liong. “Dia dipecat?” Milana menegaskan dengan hati penasaran. “Bukan dipecat begitu saja, melainkan dipensiun dan diperkenankan mengundur¬kan diri dan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa hal itu merupakan pemecatan dan pengusiran secara halus.” Souw-ciangkun memberi penjelasan. “Kalau Paman Pangeran Mahkota sudah melakukan tindakan tegas itu dan para pembesar lalim telah dibasmi, perlu apalagi menyuruh Ji-wi mencari aku?” tanya Milana yang merasa enggan untuk pergi ke kota raja mencampuri urusan pemerintah. Souw-ciangkun lalu menceritakan ten¬tang ancaman pemberontakan yang agak¬nya akan dicetuskan oleh Gubernur Ho¬-nan. “Maafkan hamba, sesungguhnya ham¬ba tidak tahu jelas akan persoalannya, dan tentu saja pangeran mahkota tidak menceritakan kepada hamba. Akan tetapi karena hamba melaksanakan tugas men¬cari Paduka, maka hamba memperleng¬kapi diri dengan pengetahuan akan hal¬-hal itu sehingga kalau Paduka bertanya hamba sudah dapat memberi penjelasan. Mengenai pemberontakan yang agaknya akan dilakukan oleh Gubernur Ho-nan, dimulai ketika Pangeran Yung Hwa men¬jadi utusan kaisar mengunjungi Propinsi Ho-nan.” Souw-ciangkun lalu mencerita¬kan segala yang telah didengarnya ten¬tang peristiwa yang terjadi atas diri Pangeran Yung Hwa dan Gubernur Ho¬-pei. Milana dan Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. “Malah akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Gubernur Ho-nan agaknya hendak bersekutu dengan mata-mata dari Nepal, dan mengumpulkan banyak orang pandai di lembah Sungai Huang-ho. Oleh karena itulah agaknya maka pangeran mahkota hendak minta bantuan Paduka.” Milana saling pandang dengan suami¬nya. Mereka maklum bahwa keadaan tentu amat gawat, maka sampai Pange¬ran Yung Ceng mencari Milana. Biarpun mereka sekeluarga telah menjauhkan diri dan tidak mau berurusan dengan persoal¬an dunia, akan tetapi mendengar adanya ancaman terhadap kerajaan, tergerak juga hati Milana. “Baiklah, Souw-ciangkun. Kalian ber¬dua telah berhasil menemukan aku dan telah menyampaikan surat Paman Pange¬ran Yung Ceng. Sekarang kembalilah kalian ke kota raja, dan permintaan dari istana itu akan kami pertimbangkan. Souw-ciangkun memandang dengan wajah berseri, lalu bertanya, “Apakah Paduka tidak menitipkan surat jawaban kepada pangeran mahkota melalui hamba?” “Tidak usah. Sampaikan saja secara lisan bahwa aku telah menerima surat beliau dan bahwa permintaan itu akan kami pertimbangkan. Begitu saja. Sekarang, harap kalian suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan, memberitahukan kepada orang lain kecuali pangeran mahkota tentang kami dan tempat tinggal kami.” Dua orang perwira pengawal itu mem¬beri hormat, minta diri dan mereka di¬antar oleh Bun Beng sendiri yang meng¬gunakan perahunya karena perahu mereka tadi entah hanyut ke mana. Mereka di¬antar sampai ke seberang telaga, lalu pendekar itu kembali pulang dan segera dia memperbincangkan persoalan panggil¬an dari kota raja. Itu bersama isterinya. Akhirnya, karena Milana berkeras untuk membela kerajaan yang terancam bahaya sebagai puteri istana, diambiliah keputus¬an bahwa puteri itu akan berangkat sen¬diri ke kota raja melihat keadaan. Gak Bun Beng tinggal di rumah bersama pu¬tera mereka. Pada keesokan harinya, berangkatlah Milana yang berganti pakaian ringkas dan membawa pedangnya sehingga kini dia berubah dari seorang wanita petani menjadi seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah. “Ohhh.... hu-hu-huuuhhhhh....!” Dia menangis menutupi matanya de¬ngan kedua tangan, terisak-isak dan men¬jatuhkan dirinya di atas rumput tebal di bawah pohon dalam hutan sunyi itu. Dia masih mengenakan pakaian pria, pakaian seorang pemuda dan dengan pakaian itu dia telah menggunakan nama Kang Swi, memasuki sayembara dan berhasil men¬jadi perwira pengawal Gubernur Ho-nan. Akan tetapi, sungguh dia tidak sangka bahwa rahasianya terbuka secara demi¬kian memalukan! Dalam keadaan pingsan, pemuda yang bernama Siauw Hong itu telah meraba dadanya! Dia tahu bahwa Siauw Hong telah menolongnya, telah menyembuhkannya dari luka berat. Akan tetapi dia tidak peduli. Pemuda itu telah meraba dadanya! Dia harapkan pukulannya itu akan membunuh Siauw Hong! Kalau tidak, percuma saja dia menyamar setelah rahasianya kini terbuka. “Hu-hu-huuuhhhhh.... sialan....!” Pe¬muda yang ternyata adalah seorang dara itu kembali menangis. Akan tetapi, be¬tapapun keras dia menangis, di tempat sunyi itu siapa yang akan mendengarnya atau menghiburnya? Kita mengenal pemuda itu sebagai Kang Swi, pemuda royal yang melakukan perjalanan bersama Siluman Kecil atau Kian Bu dan Siauw Hong ke kota raja Ho-nan dan bersama Siauw Hong me¬masuki sayembara dan berhasil diangkat menjadi perwira pengawal Gubernur Ho¬-nan. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan Kim Cui Yan yang menangkap Jenderal Kao Liang dan dia menolong jenderal itu, dia berkelahi melawan Kim Cui Yan yang amat lihai dan terkena pukulan Swat-im Sin-ciang sehingga roboh pingsan. Kemudian, ketika Siauw Hong menolong bekas sahabatnya itu, Siauw Hong mendapatkan kenyataan bahwa “pemuda” royal itu adalah seorang wanita muda! Memang demikianlah sesungguhnya. Kang Swi hanyalah merupakan satu di antara penyamaran gadis yang selain pandai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal ilmu menyamar dan “ilmu” mencuri itu! Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia (Si Nona Merah), julukan yang didapatnya karena dia suka berpakaian merah muda. Seperti telah kita ketahui, Ang-siocia yang cantik ini adalah murid dari Hek-¬sin Touw-ong yang terkenal sebagai raja pencuri yang tinggal di pantai Po-hai. Dan seperti telah kita ketahui pula, ke¬tika Siluman Kecil atau Kian Bu ber¬tanding melawan Sin-siauw Seng-jin, untuk menebus kekalahannya lima tahun yang lalu dan akhirnya berhasil menga¬lahkan kakek itu, nona ini muncul dan mencuri barang-barang pusaka peninggal¬an Suling Emas yang ditinggalkan oleh Sin-siauw Seng-jin setelah dia mengakui kekalahannya terhadap Siluman Kecil. Gadis ini bukan hanya merupakan murid yang tersayang dari Hek-sin Touw-ong, akan tetapi juga anak angkatnya yang amat dicinta oleh kakek raja ma¬ling itu. Oleh karena itu, maka hampir seluruh ilmu kepandaian kakek itu diajar¬kan kepada Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. Karena terlalu di¬sayang ini agaknya, maka setelah di¬gembleng sejak kecil, Swi Hwa menjadi seorang gadis yang manja, keras, bicara¬nya tajam, dan menonjolkan sifat ke¬wanitaannya dengan berani sehingga ke¬lihatannya agak genit. Namun dia cantik sekali dan amat cerdas otaknya sehingga semua pelajaran yang diterimanya dapat dia kuasai, terutama sekali ilmu mencuri dan menyamar. Setelah menguasai ilmu penyamaran itu, di dalam saku-saku bajunya tidak pernah tertinggal alat-alat menyamar sehingga dia dapat menyulap dirinya dalam waktu singkat menjadi orang yang dikehendakinya, bahkan de¬ngan mudahnya dia dapat menyamar sebagai pria tanpa ada yang dapat men¬duganya. Ketika dia mewakili ayahnya meng¬hadiri pertemuan yang diadakan oleh Hek-hwa Lo-kwi di lembah Sungai Huang-ho, kita telah mengenal kelihaian Kang Swi Hwa atau Ang-siocia ini. Biarpun belum selihai gurunya atau ayah angkatnya, namun i1mu Kiam-to Sin-ciang yang dikuasainya amat dahsyatnya. Dalam keadaannya itu, sebagai seorang dara yang berkepandaian tinggi, mempunyai seorang ayah angkat atau guru yang amat sayang dan memanjakannya, mem¬berinya kebebasan seluasnya sehingga dia diperbolehkan pergi ke manapun, dan tidak pernah kekurangan karena sebagai raja maling tentu saja ayahnya mampu memberikan apa pun yang diinginkannya, dari perhiasan yang termahal sampai pakaian terindah atau barang apa pun yang ada di dunia ini. Apalagi setelah dia pandai, dia boleh mengandalkan ke¬pandaiannya sendiri untuk memiliki ba¬rang apa saja yang diinginkannya, dengan jalan mencurinya, tentu saja! Akan tetapi, betapapun juga Swi Hwa adalah seorang manusia biasa, seorang dara yang mulai dewasa. Maka pada suatu saat perasaan wanita dan kedewasaannya ini bergerak dan membuat dia bertekuk lutut! Saat itu adalah ketika dia melihat Kian Bu atau Siluman Kecil bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Melihat pemuda berambut putih itu, me¬lihat sepak terjangnya ketika mengalah¬kan Sin-siauw Seng-jin yang demikian lihai, Swi Hwa atau Ang-siocia menjadi tertarik sekali dan dia sendiri tidak tahu apakah itu yang dinamakan cinta, akan tetapi yang jelas, dia merasa kagum dan tertarik dan ingin sekali dia berkenalan dengan Siluman Kecil, mendekatinya dan mengenal pemuda luar biasa itu dari dekat! Inilah sesungguhnya yang menyebab¬kan gadis ini mendahului Siluman Kecil, mencuri barang-barang pusaka di dalam rumah Sin-siauw Seng-jin! Dan dia mak¬lum bahwa dia tidak akan mungkin me¬lawan Siluman Kecil, maka dia meng¬gunakan nikouw tua itu untuk membuat Siluman Kecil tidak berdaya dan tidak berani menyerangnya. Dia lalu menan¬tang agar Siluman Kecil datang ke tem¬patnya, yaitu tempat tinggal gurunya, di pantai Po-hai teluk sebelah utara. Mak¬sudnya memancing Siluman Kecil ke sana adalah selain hendak menguji kepandaian pernuda itu melawan gurunya, juga dia ingin berkenalan dengan pemuda itu ber¬dua saja, tanpa ada banyak orang. Akan tetapi, karena dia tidak melihat Siluman Kecil tergesa-gesa mengejarnya ke pantai Po-hai, hatinya kecewa dan dia menggunakan lain akal. Melihat Siluman Kecil atau Kian Bu melakukan perjalanan menuju ke Ho-nan dan membawa uang, hal yang tidak mungkin terlepas dari “mata malingnya” yang terlatih baik, dia lalu menyamar sebagai nenek penjual sepatu! Ang-siocia inilah sesungguhnya nenek penjual sepatu rumput dahulu itu! Penya¬marannya memang hebat sekali sehingga Kian Bu sama sekali tidak menyangka. Dan dengan ilmu mencurinya yang luar biasa, dia berhasil mencopet uang dari dalam bungkusan Kian Bu tanpa diketahui oleh pendekar yang memiliki kesaktian hebat dan berjuluk Siluman Kecil itu! Kemudian, Ang-siocia atau Swi Hwa cepat mengubah penyamarannya dan se¬kali ini dia menyamar sebagai seorang kongcu yang royal dan ramah. Tidak sukar penyamaran ini, karena sesuai de¬ngan sifatnya yang memang lincah dan ramah, pandai bicara dan jenaka. Dan giranglah hatinya bahwa dia berhasil menarik hati Siluman Kecil sehingga dapat melakukan perjalanan bersama dengan pendekar itu dan juga dengan Siauw Hong. Akan tetapi, hatinya me¬rasa amat kecewa ketika dia bertemu dengan Siluman Kecil sebagai musuh pada waktu dia membantu fihak Guber¬nur Ho-nan memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dia memasuki sayembara lalu menjadi pengawal bukan sekali-kali ka¬rena dia memihak Gubernur Ho-nan, melainkan karena pertama dia hendak mencari pengalaman dalam petualangan¬nya meninggalkan tempat tinggal guru¬nya, ke dua karena dia ingin menarik perhatian Siluman Kecil dengan memamerkan kepandaiannya. Setelah keributan itu di mana dia berada di fihak yang bermusuhan dengan Siluman Kecil, dengan hati kecewa sekali dia lalu meninggalkan gubernuran, meninggalkan jabatannya tanpa pamit se¬telah dia melihat Siauw Hong, Siluman Kecil, bahkan si Gagu yang aneh itu semua pergi. Dan ketika dia mencari Kian Bu, dia bertemu dengan wanita baju hijau yang menawan Jenderal Kao Liang, kemudian dia dipukul pingsan dan raha¬sianya bahwa dia wanita diketahui oleh Siauw Hong! Kini Ang-siocia atau Swi Hwa telah berhenti menangis dan duduk termenung di bawah pohon. Entah mengapa, semen¬jak dia ditolong oleh Siauw Hong dan “diraba” dadanya ketika pemuda itu me¬nolongnya menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan sinkang, terjadi keanehan di dalam hatinya terhadap Siauw Hong, pe¬muda yang tadinya selalu dia anggap sebagai seorang bocah yang masih hijau itu! Membayangkan wajah tampan penge¬mis muda itu, sikapnya yang sederhana dan pendiam, tubuhnya yang agak jang¬kung, dia kini merasa malu. Semenjak Siauw Hong meraba dadanya, seolah-olah pemuda itu telah berubah sama sekali dalam pandang matanya! Sebetulnya, dara inilah yang dulu mencuri harta pusaka keluarga Jenderal Kao ketika terjadi perebutan. Ketika itu, dia melihat betapa ada tiga rombongan atau golongan orang yang seolah-olah memperebutkan pusaka itu dan mengua¬sai keluarga Jenderal Kao, bahkan rombongan pertama yang terdiri dari pasu¬kan kota raja yang menyamar, berusaha keras untuk membasmi dan membunuhi keluarga Kao. Akan tetapi di situ masih ada dua rombongan lain yang berebutan, dan bahkan seolah-olah bermusuhan sen¬diri, yaitu golongan dari Hek-eng-pang perkumpulan wanita-wanita liar dan Kwi-¬liong-pang. Di dalam pertempuran-per¬tempuran hebat itu di mana terjatuh ba¬nyak korban di kedua fihak, dia melihat pula serombongan orang yang dipimpin oleh orang asing menculik dan melarikan semua keluarga Jenderal Kao. Dia me¬ngenal pemimpin rombongan itu sebagai orang Nepal kaki tangan Liong Bian Cu, Pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena dia tidak mempunyai hubungan dengan semua itu, dia tidak mempedulikannya, dan dia hanya mempergunakan kepandai¬annya untuk mencuri harta pusaka Jen¬deral Kao. Hal ini dilakukannya karena memang sebagai murid seorang “raja maling” tentu saja dia tidak mau men¬diamkan harta pusaka dijadikan perebutan tanpa bertindak apa-apa, dan selain itu juga dia bermaksud untuk mengangkat nama. Memang dalam perebutan di an¬tara gerombolan-gerombolan itu berarti mengangkat nama gurunya dan namanya sendiri. Makin dikenang, makin berduka, ke¬cewa dan penasaran rasa hati dara itu. Melihat Siluman Kecil yang telah me¬narik perhatiannya itu tidak mengejarnya langsung ke Po-hai, dia lalu berbalik membayangi pendekar aneh itu, berkali¬-kali menyamar dan berusaha menarik perhatiannya. Akan tetapi Siluman Kecil agaknya sama sekali tidak tertarik ke¬padanya, bahkan telah memukulnya dalam keributan itu sehingga dia terluka. Dan kemudian, bukan saja dia tidak menarik perhatian pendekar itu sama sekali, bahkan akhirnya “menarik” perhatian Siauw Hong yang mengetahui rahasianya! Yang menggemaskan, mengapa kini wajah Siauw Hong selalu terbayang di depan matanya? Setiap kali dia mencoba membayangkan wajah Siluman Kecil yang amat dipuja¬nya, wajah aneh tampan dengan rambut¬nya yang putih dan matanya yang tajam bersinar-sinar itu, selalu saja wajah pen¬dekar sakti ini berubah menjadi wajah Siauw Hong! Dengan hati penasaran Ang-siocia lalu mengambil keputusan untuk pulang ke Po-hai saja karena dia pun sudah terlalu lama meninggalkan gurunya. Dia pulang membawa banyak hasil curiannya, antara lain harta pusaka Jenderal Kao Liang, pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas, dan sekantung uang milik Siluman Kecil. Bukan barang-barang biasa, melainkan milik orang-orang ternama dan tentu suhunya akan merasa gembira dan kagum serta bangga akan hasil karyanya itu! *** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat sehingga tentu banyak yang bertanya-tanya apa jadinya dengan tokoh yang hidupnya diombang-ambingkan oleh keadaan yang selalu berubah-ubah itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang Tek Hoat yang patah hati dan dirundung kecewa, penasaran dan berduka itu seolah-olah menjadi tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli lagi apakah yang dia lakukan dalam hi¬dup selanjutnya ttu benar atau salah. Dia dipaksa berpisah dari kekasihnya di Bhu¬tan, kemudian kehancuran dan kepatahan hati ini ditambah lagi oleh pukulan amat hebat, yaitu kematian ibunya yang belum juga dapat dia ketahui siapa pembunuh¬nya. Rasa kecewa dan duka ini membuat dia mudah terseret ke dalam pergaulan yang tidak benar sehingga dia tidak ragu-¬ragu untuk membantu orang-orang dari golongan sesat, bahkan dia telah mem¬bantu Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio untuk menyerbu dan mencoba membasmi perkumpulan Kwi-Liong-pang yang men¬jadi musuh Hek-eng-pang. Dan dalam usaha inilah maka dia bertemu dan bekerja sama dengan guru ketua Hek-eng-¬pang ini, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang amat lihai namun jahat seperti iblis betina di balik wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang menggairahkan biarpun usianya su¬dah mendekati empat puluh tahun. Tek Hoat tidak peduli lagi apa yang diperbu¬atnya itu, karena dia pun tidak mengenal Kwi-Liong-pang dan tidak mau tahu akan permusuhan antara dua perkumpulan itu. Kalau dia membantu Hek-eng-pang ada¬lah karena dia mempunyai kepentingan¬nya sendiri, yaitu hendak minta bantuan Hek-eng-pang yang terdiri dari perkum¬pulan wanita untuk merampas kembali Syanti Dewi yang dia dengar terjatuh ke tangan Liong-sim-pang di puncak Naga Api. Seperti telah kita ketahui, usahanya yang dibantu oleh Hek-eng-pang itu gagal sama sekali. Syanti Dewi lenyap entah ke mana diculik oleh orang lain dari tangan Hwa-i-kongcu, ketua Liong-sim¬pang. Ketika dia hendak meninggalkan Hek-eng-pang, dia terbujuk oleh Mauw Siauw Mo-li untuk mengadakan perjalanan bersama mencari Syanti Dewi. Karena Siluman Kucing itu mengatakan bahwa dia mungkin mengetahui jejak Syanti Dewi yang lenyap, terpaksa Tek Hoat mau melakukan perjalanan bersama wa¬nita iblis yang cantik itu, tidak tahu bahwa wanita itu tentu saja bukan se¬kali-kali ingin membantunya mendapatkan kembali Syanti Dewi, melainkan karena merasa tertarik oleh ketampanannya, kemudaannya, dan kegagahannya! Memang Siluman Kucing itu tidak membohong ketika dia mengatakan bahwa dia melihat wanita yang bertanya-tanya tentang seorang dara cantik yang dibawa dengan paksa oleh seseorang. Wanita muda yang bertanya-tanya itu adalah Siang In. Maka dia pun mengajak Tek Hoat untuk mengikuti jejak Siang In. Namun, penyelidikannya tidak berhasil dan hanya karena kecerdikan dan kepandaian Mauw Siauw Mo-li dalam pembica¬an saja maka Tek Hoat masih percaya kepadanya dan melanjutkan perjalanannya bersama wanita cantik ini. Akan tetapi, akhirnya dia mulai merasa curiga karena sampai berhari-hari mereka berdua me¬lakukan perjalanan, belum juga mereka berdua berhasil menemukan jejak Syanti Dewi yang hilang. Yang jelas adalah sikap Mauw Siauw Mo-li yang selalu ingin menarik perhatiannya dan yang selalu membujuknya dengan sikap dan kata-katanya untuk bermain cinta! Pe¬ngalaman mereka dalam rumah makan melawan lima orang kasar itu pun jelas merupakan siasat Mauw Siauw Mo-li untuk menjebak Tek Hoat dalam umpan dan pancingannya agar pemuda itu bang¬kit berahinya dan mau melayani hasrat nafsunya untuk bermain cinta. Akan tetapi sekali ini, Mauw Siauw Mo-li kecewa. Dahulu, lima enam tahun yang lalu, dia pernah berhasil memikat dan menjatuhkan hati seorang pendekar muda putera majikan Pulau Es, yaitu Suma Kian Bu. Hal itu terjadi bukan hanya karena Mauw Siauw Mo-li ketika itu masih belum tua benar dan lebih cantik menarik, melainkan semata-mata karena Kian Bu merupakan seorang pe¬muda yang berwatak romantis dan masih hijau dan bodoh sehingga dia seperti seekor lebah, terpikat dan melekat dalam perangkap penuh madu. Akan tetapi Tek Hoat lain lagi. Dia memang masih muda, akan tetapi pemuda ini pernah terjerumus ke dalam dunia sesat, sudah banyak pengalaman dalam hal permainan cinta dan semenjak dia jatuh hati kepada Syan¬ti Dewi, pemuda ini tahu benar bahwa semua permainan cinta itu hanyalah pe¬muasan nafsu belaka yang makin dituruti makin haus dan menghendaki lebih. Dia dapat membedakan antara cinta kasihnya yang murni dan bersih terhadap Syanti Dewi dan “cinta” yang bergelimang nafsu berahi dengan wanita-wanita lain, maka dia pun segera mengenal cinta kasih macam itu yang terkandung dalam hati Mauw Siauw Mo-li terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia selalu menghindarkan diri dan setiap kali darah mudanya bergelora oleh rayuan yang lihai dari wanita ma¬tang itu, dia menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan nafsu berahinya. Telah diceritakan betapa semenjak peristiwa di rumah makan itu, sikap Tek Hoat lebih hati-hati lagi dan dia mulai menaruh kecurigaan, akan tetapi karena dia sudah mendengar berita tentang Syan¬ti Dewi, dia mempertahankan perasaan¬nya dan bersama Lauw Hong Kui, yaitu si Siluman Kucing, berangkatlah dia me¬nuju ke pantai Lautan Po-hai di timur. Setelah tiba di pantai lautan itu pada suatu pagi, mereka berdiri di pantai yang sunyi dan memandang ke teluk yang amat luas itu. “Pantai Teluk Po-hai be¬gini luas, ke mana kita harus mencari mereka?” kata Tek Hoat, nada suaranya penuh kegelisahan karena memang dia merasa gelisah sekali kalau memikirkan kekasihnya. Dia masih belum mengerti mengapa Syanti Dewi meninggalkan Bhu¬tan dan terjatuh ke tangan ketua Liong¬-sim-pang dan mengapa pula sekarang diculik dan dilarikan orang. Gelisah dia memikirkan kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kekasihnya itu melarikan diri dari Bhutan untuk men¬carinya. Kalau teringat akan dugaan ini, hatinya menjadi terharu sekali dan cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi makin mendalam, akan tetapi segera dia dihim¬pit oleh rasa gelisah yang hebat. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan menoleh kepadanya, menatap wajah yang tampan itu, lalu berkata, “Engkau tidak percuma melakukan perjalanan mencari puteri itu bersamaku, Tek Hoat.” Sudah lama dia memanggil pemuda itu dan bicara dengan sikap ramah dan akrab, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat karib. Dan Tek Hoat pun tidak peduli akan sikap ini. “Apa maksudmu? Tahukah engkau ke mana kita harus mencari?” Lauw Hong Kui memperlebar senyum¬nya dan mengangguk, lalu membereskan anak rambut di dahinya yang kusut dan melambai-lambai tertiup angin laut. Memang cantik sekali dia dan pandai dia menonjolkan kecantikannya di saat yang tepat. “Tentu saja aku tahu, atau se¬tidaknya dapat menduga dengan tepat. Aku tidak asing di daerah ini, Tek Hoat. Kalau dugaanku tidak meleset, dan biasa¬nya tidak, agaknya yang melakukan pen¬culikan itu tentulah si Raja Maling!” “Raja Maling?” Tek Hoat bertanya, memandang wajah yang cantik dan terias baik-baik itu penuh perhatian. “Lihat, angin begini besar membuat rambutku kusut. Rambutku awut-awutan, ya?” tanyanya sambil mengatur rambut dengan jari-jari tangannya yang kecil panjang. Terpaksa Tek Hoat memandang rambut itu dan memang indah sekali rambut yang panjang halus itu melambai—lambai tertiup angin. “Katakan, siapa dia dan di mana tem¬patnya?” Dia berkata setelah sejenak dia tertegun. Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui tersenyum manis sehingga deretan giginya yang putih dan kecil itu nampak berkilat. “Engkau sungguh tidak menghargai kecantikan orang!” Dia menartk napas panjang. “Dia itu adalah Hek-sin Touw-ong, si Raja Maling Sakti Hitam, seorang kakek yang amat sakti dan yang bertapa di pantai Po-hai sebelah utara.” Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa memang banyak terdapat manusia-manusia yang berilmu tinggi di dunia ini, maka biarpun dia sendiri belum pernah mendengar atau berjumpa dengan kakek raja maling itu, dia percaya bahwa tentu dia seorang yang amat lihai. Tidak sembarang orang akan dipuji kepandaian¬nya oleh Siluman Kucing ini, yang dia tahu juga lihai sekali. “Bagaimana engkau dapat menyangka bahwa dia yang menculik Syanti Dewi?” dia mendesak, tidak mau percaya begitu saja. Siluman Kucing itu bertolak pinggang dengan lagak dan gaya memikat sekali. Pinggangnya makin nampak ramping ka¬lau dia bertolak pinggang seperti itu, apalagi angin yang nakal membuat baju¬nya tersingkap-singkap terbuka. “Tentu saja aku menduga demikian, pemuda yang tampan! Menurut jejak yang kita ikuti, puteri Bhutan itu dibawa lari seorang kakek dan larinya menuju ke pantai Po¬-ha-, sampai di laut lenyaplah jejaknya dan tidak ada orang yang tahu biarpun kita sudah bertanya-tanya sampai mulut terasa lelah. Dan di pantai ini, hanya ada satu-satunya kakek yang berilmu tinggi, yaitu si Raja Maling. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan pen¬culikan itu? Melarikan seorang puteri dari dalam benteng Liong-sim-pang yang amat kuat itu bukanlah hal mudah, bah¬kan engkau yang dibantu oleh muridku dan anak buah Hek-eng-pang pun gagal. Akan tetapi kakek itu seorang diri saja mampu mencuri dan menculiknya. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si Raja Ma¬ling?” Tek Hoat mengangguk-angguk, harap¬annya timbul kembali. “Kalau begitu, mari kita cepat mengejarnya ke sana, Mo-li!” “Hi-hik, mengapa tergesa-gesa, Tek Hoat? Takkan lari gunung dikejar, perlu apa terburu-buru?” “Mo-li, Raja Maling itu tentu bukan gunung, melainkan seorang maling yang dapat bergerak dan lari, dan aku kha¬watir kalau-kalau dia akan mengganggu Syanti Dewi!” “Aihhh, Tek Hoat. Kau gelisah seolah¬-olah di dunia ini tidak ada wanita lain saja. Apakah aku bukan wanita pula dan apakah aku tidak cantik?” Mauw Siauw Mo-li sudah mendesak dan merangkulkan kedua lengannya yang panjang itu ke leher Tek Hoat. Kedua lengan itu melingkar-lingkar seperti seekor ular, me¬rayap ke atas dan membelai rambut di tengkuk Tek Hoat, lalu menjambaknya perlahan dengan gemas. “Mo-li, jangan begitu....!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut. Kalau dia tidak membutuhkan bantuan wanita ini untuk menemukan kembali kekasihnya, tentu dia sudah bersikap kasar dan men¬dorong wanita ini. Namun, Mauw Siauw Mo-li malah mendekapkan tubuhnya se¬hingga melekat ke tubuh Tek Hoat, meng¬goyang-goyang tubuhnya sehingga meng¬gesek tubuh pemuda itu dengan gaya memikat sekali, mukanya didekatkan ke mulut Tek Hoat. Harus diakui bahwa Lauw Hong Kui adalah seorang wanita cantik yang ber¬tubuh menggairahkan sekali. Dia sudah matang dan pandai merayu prla. Dan biarpun Tek Hoat bukan seorang pemuda hijau seperti Suma Kian Bu lima tahun yang lalu, namun tetap saja dia adalah seorang yang masih muda dan berdarah panas dan biarpun dia tidak sudi mem¬balas cinta seorang wanita seperti Silu¬man Kucing ini, namun dipeluk seperti itu dan merasakan gesekan dan geseran tubuh yang hangat dan padat itu jan¬tungnya berdebar juga. Sebagai seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, debar jantung di dalam dada pemuda itu diketahui dan terasa oleh Hong Kui. Memang dia se¬ngaja merapatkan dadanya ke dada pe¬muda itu untuk menangkap tanda ini. Begitu dadanya merasa denyut jantung yang mengencang itu, cepat dia meraih kepala pemuda itu, ditarik ke bawah karena Tek Hoat lebih tinggi daripada dia sehingga muka mereka bertemu dan Hong Kui lalu mencium mulut pemuda itu dengan bibirnya. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan gelora nafsu berahi dan sepenuh perasaannya, ciuman yang panas dengan napas yang mendengus-dengus. Tek Hoat terkejut sekali. Harus di¬akuinya bahwa wanita ini menyalakan sesuatu di dalam hatinya, akan tetapi dia teringat bahwa tidak semestinya dia melayani wanita ini dan tidak menuruti gelora berahinya yang dibangkitkan oleh Siluman Kucing yang amat pandai ini. Akan tetapi pada saat itu, mau tidak mau dia menikmati dan merasakan ciuman hangat itu, merasa betapa sepasang bibir yang lunak itu bergerak-gerak, kemudian dia mendengar suara merintih seperti suara seekor kucing, dan terasa betapa lidah yang lunak menjilat-jilat, seperti lidah seekor kucing yang manja! Sejenak Tek Hoat terlena, akan tetapi ketika bayangan wajah Syanti Dewi ber¬kelebat di depan matanya yang dipejam¬kan, tiba-tiba saja dia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan. Dengan muka pucat dan mata terbelalak, napas agak terengah dia memandang wanita itu. Hong Kui juga memandangnya de¬ngan mata setengah terpejam, mulut agak terbuka, mulut yang basah merah dengan gigi putih mengintai di antara ujung lidah meruncing, napasnya tersen¬dat-sendat, senyumnya memikat, kedua lengan dibuka menantang. “Tek Hoat.... Tek Hoat.... ke sini¬lah....“ Suaranya tergetar dan penuh de¬ngan daya tarik. “Mo-li! Aku tidak sudi memenuhi kehendakmu yang gila ini!” Tiba-tiba Tek Hoat yang sudah sadar itu membentak marah. Suara pemuda itu cukup untuk meng¬guncang Mauw Siauw Mo-li bahwa pe¬muda itu sudah tidak lagi dapat dikuasai¬nya pada saat itu, maka dia pun tersadar dan dia memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam. “Tek Hoat, engkau sungguh tidak mengenal budi!” celanya. “Aku sudah payah membantumu mencari puteri itu, bahkan sekarang pun aku yang mengetahui tempat kakek itu, akan te¬tapi engkau sedikit pun tidak mau me¬nyenangkan hatiku dan memberi air cinta untuk hatiku yang sedang dahaga. Engkau kejam! Dan kalau engkau menolak cinta¬ku, aku pun tidak sudi lagi menunjukkan tempat Raja Maling itu padamu!” Tiba-tiba sinar mata Tek Hoat men¬jadi keras dan mengancam sehingga Mauw Siauw Mo-li sendiri menjadi terkejut. “Mauw Siauw Mo-li! Enak saja kau bicara. Kalau sekarang engkau tidak mau menunjukkan tempat itu, aku akan me¬maksamu!” “Ehhh....?” Wanita itu membelalak¬kan mata. “Aku sudah membantumu dan kau sekarang hendak memaksa? Sungguh tidak tahu aturan engkau ini!” “Mo-li, ingat. Siapa yang dulu mem¬bujuk aku untuk melakukan perjalanan bersamamu? Siapa yang berjanji akan menemukan kembali Syanti Dewi? Eng¬kau sudah membawa aku sampai di sini, dan kalau engkau sekarang meninggalkan aku, berarti engkau telah menipuku! Dan aku bukan orang yang mudah saja ditipu tanpa membalas!” “Kaukira aku takut!” Tek Hoat tersenyum mengejek. “Tentu saja tidak. Aku tahu siapa adanya Mauw Siauw Mo-li. Akan tetapi, aku yakin akan dapat menghajarmu, Mo-li. Senjata rahasia peledakmu itu tidak menakutkan Si Jari Maut!” Sikap yang gagah, pandang mata yang tajam penuh ancaman, ditambah nama julukan Jari Maut itu mengingatkan ke¬pada Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, dan kalau sudah marah, kekejamannya amat menge¬rikan sehingga mendapat julukan Si Jari Maut. Memang dia tidak takut, akan tetapi dia melihat bahayanya kalau sam¬pai memusuhi pemuda ini. Dan pula, dia masih belum putus asa. Tadi, bukankah jantung pemuda perkasa ini berdebar dan bukankah ketika mulut mereka bertemu tadi, terasa olehnya betapa bibir pemuda itu membalas kecupannya? Akan tiba saatnya pemuda yang keras hati ini akan bertekuk lutut dan menyerahkan diri dalam pelukannya, dan betapa akan ma¬nis dan nikmatnya penyerahan itu setelah berkali-kali ditolaknya. Maka dia pun tersenyum kembali dan sepasang matanya kehilangan sinar kemarahannya. “Hemmm, kita sudah lama bersahabat, sudah jauh melakukan perjalanan ber¬sama. Akan luculah kalau tiba-tiba kita berhadapan sebagai musuh. Baik, Tek Hoat, aku akan terus membantumu, dan kalau sampai aku membantumu berhasil mendapatkan kembali puteri itu, bagai¬mana sikapmu kepadamu?” “Aku akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik dan aku akan ber¬terima kasih kepadamu, Mo-li.” “Hanya itu saja? Apa yang akan kau¬lakukan untuk membuktikan terima kasih¬mu?” “Heemmm.... aku tidak tahu. Mungkin aku akan membalasmu dan menolongmu kalau sewaktu-waktu kau membutuhkan bantuan.” “Aku hanya membutuhkan bantuanmu agar engkau suka bersikap manis kepada¬ku, Tek Hoat. Tak tahukah kau bahwa aku sangat suka kepadamu? Kalau sudah berhasil, kaubalas saja dengan sikap ma¬nis dan memenuhi hasrat cintaku, ya?” Tek Hoat tidak sudi menjanjikan itu, akan tetapi dia tidak ingin banyak bicara tentang itu lagi, maka dia menjawab, “Kita lihat saja nanti, Mo-li. Yang penting sekarang, hayo kautunjukkan tempat tinggal Raja Maling yang menculik Syan¬ti Dewi.” “Nanti dulu, Tek Hoat. Engkau masih muda dan engkau sembrono. Biarpun engkau memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal ini engkau sama sekali tidak boleh sembrono. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tua yang amat lihai. Aku sendiri sudah pernah menandinginya dan dalam hal kesaktian dia agaknya tidak kalah olehmu. Bahkan dulu suheng¬ku, Hek-tiauw Lo-mo, pernah bentrok dengan dia dan suheng selalu memperingatkan kepada anak buahnya agar ja¬ngan sampai bentrok dengan Raja Ma¬ling itu. Suheng sendiri merasa segan untuk bermusuhan dengan kakek sakti itu, maka dalam hal ini, kita tidak boleh sembrono menyerbu ke sana begitu saja karena hal itu mungkin sekali membuat kita celaka dan puteri itu tidak akan tertolong pula.” “Hemmm, aku tidak takut. Habis kalau kita tidak menyerbu ke sana, ba¬gaimana kita dapat menolong Syanti Dewi?” “Tentu kita tidak akan membiarkan saja, kita akan menyerbu ke sana. Akan tetapi tidak sekarang. Aku akan mencari kawan-kawanku di pantai ini. Mereka akan membantu kita dan dengan bantuan mereka, maka aku baru berani mengajak¬mu menyerbu. Bukankah ketika kau berusaha menolong puteri itu dari benteng Liong-sim-pang, engkau pun membutuhkan bantuan Hek-eng-pang?” “Ketika itu lain lagi keadaannya, Mo-¬li. Liong-sim-pang adalah benteng dan selain kuat, juga mempunyai banyak ang¬gauta, maka aku membutuhkan bantuan Hek-eng-pang. Akan tetapi sekarang, kita hanya menghadapi seorang kakek....“ “Hemmm, kau tidak tahu kakek ma¬cam apa yang kita hadapi. Kita harus menggunakan bantuan kawan-kawanku itu agar mereka memancingnya keluar dari sarangnya sehingga engkau akan mudah merampas kembali puteri itu.” Tek Hoat mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak menyukai cara yang curang ini, akan tetapi yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Syanti Dewi, maka dia tidak mau mengecewa¬kan wanita iblis yang hendak membantu¬nya ini, maka dia tidak membantah lagi. “Mari kita mencari kawan-kawanku itu!” “Siapakah mereka?” “Siapakah mereka? Ha-ha-ha, mereka pun amat terkenal di wilayah ini, Tek Hoat, sungguhpun sama sekali tidak bo¬leh dibandingkan dengan Raja Maling. Mereka adalah raja-raja di perairan Te¬luk Po-hai! Marilah!” Tek Hoat pergi mengikuti wanita itu menuju ke utara dan memasuki hutan di pantai Po-hai. Hutan itu sunyi sekali dan tidak nampak seorang pun manusia sehingga kelihatan menyeramkan sekali. Belum lama mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar suitan-suitan nyaring di sana-sini. Suara-suara suitan itu susul¬-menyusul dan agaknya saling menjawab, makin lama makin dekat sehingga akhir¬nya terdengar di sekeliling mereka, dari depan, belakang, kanan dan kiri. Mereka telah dikepung oleh suara-suara itu. Tek Hoat bersikap waspada, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tertawa-tawa saja. “Lihat, betapa cepat mereka itu tahu akan kedatangan kita dan telah berkumpul meng¬urung. Bukankah berguna sekali bantuan¬-bantuan seperti mereka itu?” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Berhenti kalian berdua yang berjalan dalam hutan! Kalian telah memasuki daerah kami tanpa ijin!” Mauw Siauw Mo-li dan Tek Hoat berhenti, dan wanita itu berseru nyaring, “Lo Kwa, bukankah engkau yang bicara itu? Keluarlah, jangan main kucing-¬kucingan!” Ucapan wanita ini diikuti suasana sunyi, agaknya semua orang yang me¬ngurung tempat itu menjadi terkejut dan heran. Lalu terdengar seruan yang me¬ngandung keheranan dan juga kegembira¬an, “Lauw-lihiap....!” Bermunculanlah kini belasan orang laki-laki dari empat penjuru, berloncatan keluar dari balik-balik pohon dan semak¬-semak. Mereka itu rata-rata adalah laki¬-laki kasar dan tinggi besar, nampaknya kuat dan keras. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan akan tetapi muka¬nya tertutup brewok. “Lihiap....!” Pemimpin gerombolan ini melangkah maju dan menjura kepada Lauw Hang Kui sambil tersenyum lebar. Diam-diam Tek Hoat terheran-heran melihat mereka itu menyebut lihiap (pen¬dekar wanita) kepada Siluman Kucing ini. Dia tidak tahu bahwa julukan itu hanyalah julukan yang diberikan oleh mereka yang menganggap wanita ini sebagai iblis, akan tetapi gerombolan bajak laut dari Po-hai yang bersarang di dalam hutan ini merupakan sahabat-sahabatnya yang tentu saja menganggapnya sebagai seorang wanita perkasa yang patut di¬sebut lihiap! Lauw Hong Kui menghampiri laki¬-laki tampan itu dan mengangkat tangan kirinya mengusap dagu yang penuh jeng¬got itu. “Aihhh, Lo Kwa, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi. Ihhh, aku baru mau bicara berdua denganmu kalau kau sudah membuang semua brewokmu yang menggelikan itu! katanya dengan sikap genit dan manja. Orang she Kwa yang disebut Lo Kwa (Kwa yang Tua) itu tertawa dan menangkap lengan Hong Kui, ditariknya dan hendak dipeluknya wanita itu. Akan tetapi sambil tersenyum manja Hong Kui melepaskan dirinya dan berkata, “Kaucukur dulu semua brewokmu!” Orang she Kwa itu tertawa dan se¬mua anak buahnya juga tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kedatanganmu mendatang¬kan cahaya kegembiraan di hutan yang gelap ini, Lauw-lihiap!” kata orang she Kwa itu. “Akan tetapi aku adalah Siluman Ku¬cing, apakah kalian tidak takut?” Lauw Hong Kui berkata sambil bertolak ping¬gang, senyumnya lebar dan dia kelihatan gembira sekali, merasa berada di antara teman-teman baiknya. “Hidup Lauw-lihiap!” “Selamat datang, Mauw Siauw Mo¬-li!” “Biar besok pagi aku mampus, aku rela asal semalam suntuk boleh membelai kucing!” “Aku pun bersedia!” Riuh-rendah suara mereka dan per¬nyataan kagum mereka dinyatakan se¬cara terang-terangan, bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan kasar dan tidak sopan, akan tetapi semua itu agaknya sudah biasa diantara mereka dan Lauw Hong Kui juga menyambutnya dengan tersenyum saja. “Akan kulihat nanti siapa di antara kalian yang patut untuk meng¬hiburku,” katanya. Tek Hoat merasa muak juga, dan diam-diam dia merasa malu juga, meng¬apa dia pernah merasa tertarik dan tim¬bul berahinya terhadap wanita ini. Pada¬hal, wanita ini benar-benar merupakan siluman yang tak tahu malu, seorang wanita yang biasa mempermainkan pria seperti kucing mempermainkan tikus lebih dulu sebelum diterkam dan dibunuh¬nya!. “Lo Kwan, di mana para Ong-ya?” Pertanyaan ini membuat Tek Hoat men¬jadi maklum bahwa orang she Kwa ini hanya seorang bawahan saja, dan kini iblis betina ini menanyakan para ong-¬ya, yaitu para raja bajak! “Semua berada di sarang, Lihiap. Tentu mereka akan menjadi gembira se¬kali mendengar akan kedatanganmu. Marilah kita ke sana, ataukah kita ber¬dua bersenang-senang dulu?” kata orang she Kwa itu sambil memandang dengan mata mengandung penuh gairah. “Hushhh, brewokmu itu menggelikan. Dan mungkin kelak kalau ada waktu bagiku, boleh kita bersenang-senang. Mari antar aku kepada para Ong-ya.” “Tapi, dia ini....?” Orang she Kwa itu menuding ke arah Tek Hoat dengan pan¬dang mata tidak senang dan penuh curi¬ga. Diam-diam Tek Hoat merasa men¬dongkol juga. Sejak tadi sama sekali tidak diacuhkan dan kini dicurigai. Kalau tidak ingat akan kepentingannya, tentu sekali pukul dia sudah membunuh bajak¬-bajak ini. Agaknya Hong Kui dapat mengerti akan kegemasan hati Tek Hoat dengan melihat wajah dan sinar matanya, maka dia lalu berkata, “Dia ini adalah sahabat¬ku yang akan menjadi tamu agung kalian. Jangan kau main-main, Lo Kwa, dialah yang berjuluk Si Jari Maut!” “Ahhhhh....?” Agaknya orang she Kwa ini pernah mendengar julukan ini, maka dia memandang dengan mata ter¬belalak dan mukanya berubah pucat. “Maaf, kami tidak tahu....“ katanya. “Sudahlah, mari kita jalan,” kata Tek Hoat tidak sabar. Di sepanjang perjalanan memasuki hutan itu, dengan ramahnya Hong Kui bercakap-cakap dengan orang she Kwa dan beberapa orang anak buah bajak yang muda-muda, beramah-tamah dan kadang-kadang mereka berkelakar dengan omongan-omongan yang kotor sehingga Tek Hoat merasa makin muak. Tibalah mereka kini di tengah hutan yang berada di tepi tebing yang agak tinggi. Dari sini nampak Teluk Po-hai terbuka luas di depan. Memang tempat ini merupakan tempat yang paling indah dan juga paling tepat untuk dijadikan sarang para bajak laut itu karena dari tepi tebing mereka dapat melihat keada¬an di seluruh Teluk Po-hai, melihat pera¬hu-perahu yang seperti semut-semut kecil hitam di teluk itu. Dari sini mereka dapat melihat dan mengenal kapal-kapal besar yang patut mereka hadang dan mereka bajak, juga mereka dapat mengadakan pengawasan terhadap anak buah mereka. Tempat yang amat cocok untuk menjadi sarang bajak laut! Bajak laut itu terdiri dari tiga puluh orang lebih, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang disebut twa-ong dan ji-ong sebagai ketua atau raja pertama dan ke dua. Mereka itu bernama Ma Khong dan Ma Ti Lok, dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar, ko¬koh kuat, dan memiliki ilmu golok yang cukup hebat sehingga mereka sejak be¬lasan tahun telah terkenal sebagai kepala-kepala bajak yang ditakuti dan di¬segani. Kini mereka hanya mau mem¬bajak kapal-kapal asing, tidak mau meng¬ganggu perahu-perahu nelayan dan pe¬dagang pedalaman karena mereka tidak berani menghadapi hukuman pemerintah. Akan tetapi, hal ini malah menguntung¬kan mereka karena para pedagang dan nelayan tidak segan-segan untuk “mem¬bagi hasil keuntungan” kepada mereka asal para bajak itu tidak mengganggu pekerjaan mereka itu. Ketika melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gem¬bira bukan main, demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mu¬dah saja menduga bahwa di antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu tentu ter¬dapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk orang she Kwa tadi. Dugaan itu memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang wanita yang di¬perhamba oleh nafsu berahinya sehingga menjadi tidak normal lagi. Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat ter¬siksa. Dan wanita yang seperti iblis be¬tina ini memiliki kebiasaan yang menge¬rikan pula, yaitu dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskan¬nya semalam suntuk, yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan semua pe¬ngalamannya dan membuat namanya se¬bagai seorang wanita tercemar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak akan mem¬bunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya, yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini. Ada pula yang dibunuhnya secara tidak sengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas! Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu mati. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar