Pendekar Sadis Jilid 033
LANJUT KE JILID 034--->
<---Kembali
"Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga
Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong,
bukan? Heh-heh-heh!"
Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. "Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan..."
Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. "Aku
sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian
Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!"
Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak
mampu mengeluarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu,
lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan
ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya.
Sin-ko Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin lah yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku
Ciu Lian Hong
Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya
berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah
baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin.
"Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi? Aku tidak pernah mengenal tulisannya."
"Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri
yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti
yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah
Naga itu datang ke sini."
"Apa? Tiong-ko sudah datang ke sini?"
"Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga
membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati!
Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!" Dan memang nenek itu masih
merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang
rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!
Thian Sin termenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang
menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan
suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong
walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan
menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya
duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali
menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri.
Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua
gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa
ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang
kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini
adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini
membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai
musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk
membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan
olehnya dan malah diambil sebagai murid!
"Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya
sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain
Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!"
Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. "Apa...? Apa maksudmu...?"
"Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong."
Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang
demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini
sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa
yang terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat menggeleng
kepala dan membantah.
"Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon
isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga
Cia."
"Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga
berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua
seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!"
"Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini."
Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia
kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya! Sejenak mereka diam. Kalau
Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun
tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus
dan ramah.
"Ceng Thian Sin, kita ini sama!"
Thian Sin memandang heran. "Sama? Sama bagaimana?"
"Sama sebatangkara, sama kesepian."
"Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua
dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak
buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?"
"Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu
sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan
mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang
sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya
dengan dirimu, Ceng Thian Sin."
Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian.
Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini,
yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan
kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!
"Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?"
Nenek itu menggeleng kepala.
"Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah menikah tidak mempunyai keluarga..."
Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah,
tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia
menggeleng kepala dan menarik napas.
"Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka."
Nenek itu terkekeh. "Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah
dapat mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi
permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah,
mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah
seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan."
Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk.
Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan
istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan
hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri
terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu
harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah
merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan diapun dikagumkan oleh
pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal
lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang
pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing
lukisan. Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali
Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan
ada sekumpulan alat-alat musik kuno.
"Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?"
Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul
seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang
berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis
sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi
alat-alat musik itu.
"Dan pandai bermain musik pula?"
"Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak."
"Meniup suling? Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain
yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar
Sadis!"
Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim
dan mulailah ia mainkan kawat-kawat yang-kim itu sehingga terdengar
suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas
kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara
merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim.
Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati
pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan
meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka
terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan
saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua
tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit
berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya
kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan
penuh perasaan!"
"Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang
ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya, ternyata pandai bermain
yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?" kata Thian Sin dan nenek
itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga
mengejutkan hati Thian Sin.
Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa. Kembali
Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke
kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam
kitab sastra dan sajak terdapat di situ!
Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno,
terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab
sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia
memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari
tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut.
"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka
membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang amat
menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!"
Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan
nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia telah bertemu dengan
Tung-hai-sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk
kaum sesat dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan
dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang
pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang
bernilai dan bahkan kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia
mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian seperti
ketiga orang datuk lainnya itu.
"Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah
engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?" tiba-tiba nenek
tua itu bertanya.
Thian Sin mengerutkan alisnya. "Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita
akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas? Apa
perlunya sajak dalam saat seperti ini?"
"Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus
menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam
pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup
baik."
Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi
hati dan merasa yakin bahwa ia akan menang nanti, hal ini sudah
berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata.
"Lam-sin, memang kau benar, akan tetapi kematian bisa menimpa siapa
saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu siapa
yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing
menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih
mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak."
"Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita
menulis sajak masing-masing!" Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat
tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu.
Merekapun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut
kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di
sudut kanan kamar. Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai
lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sin pun menyelesaikan
sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang
matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh
dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan
sajak tulisan Thian Sin.
Lam-sin datuk dunia selatan
mendatangkan kagum dan heran
aku melihat perpaduan
antara ketuaan dan kesegaran
keganasan dan kelembutan
Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus
indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya.
Pendekar Sadis yang tersohor
kiranya hanya seorang pemuda hijau
yang lemah lembut dan halus
pandai bersuling dan bersajak
betapa amat mengagumkan
Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi
sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan
masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama
lain!
"Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah," Thian Sin memuji.
"Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis," Nenek itu berkata.
Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam
hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus
bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk
membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga
dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan
cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata.
"Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki
banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak
patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi
datuk kaum sesat?"
"Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku
suka menjadi orang yang dianggap jahat? Huh, aku muak dengan sikap para
pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri
saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan
lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan engkaupun boleh saja memandang
aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar
Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu
ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu
tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka
mereka itu akan menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh
rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan
tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan
terhadap wanita. Kau tahu mengapa aku menolong Lian Hong dan
menganggapnya sebagai murid? Karena ia hendak diperkosa orang dan
tahukah engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri,
dan aku telah membunuhnya sendiri!"
"Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan
denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa berhadapan dengan
seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga
orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa
kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak pernah berkeluarga.
Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang
nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta."
Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya
memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar
ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut
sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak
menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanya, "Ceng Thian
Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan
tetapi juga mendengar nenek itu secara tiba-tiba saja menyebut namanya
selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama
julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama
sekali tak pernah disangkanya itu.
"Cinta? Jatuh cinta? Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita
cantik yang menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta...? Ah, aku
tidak mengerti..."
"Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?"
Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini.
"Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain
sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko,
seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku,
aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak
tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira saja pernah jatuh
cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku." Thian Sin berhenti
sebentar, lalu menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, "Engkau
sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu
berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?"
Nenek itu menggeleng kepalanya. "Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!"
Setelah menjawab demikian, iapun menyambung cepat, "Mari kita ke lian-bu-thia!"
Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu.
Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)
maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia
ragu-ragu! Bukan dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa
dia bertanding melawan nenek ini? Seorang nenek tua yang pandai
bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia
tahu bahwa kalau dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan
membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya.
Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta
seperti ini? Dan kalau dia kalah pun akan membuat namanya menjadi bahan
tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat
mundur lagi.
Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin
melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Ruangan lian-bu-thia ini
selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas
sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau
berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala
macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan
baja yang baik pula.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah
itu yang kaukehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang dan
mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?"
Thian Sin mengangguk. "Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang..."
"Sekarang bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!"
Merah muka Thian Sin. "Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu."
"Engkau membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan
apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu tidak cukup untuk
membuat aku membunuhmu?"
Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh.
"Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu
itu. Mari, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!" Dan pemuda
itu lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak
dengan sikap tenang.
Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor
burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun
dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan
tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang
hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri.
"Menurut penuturan Lian Hong, engkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar
Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah
menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai
ilmu mujijat itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih
lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, keluarkanlah semua
ilmumu itu, orang muda!" Lam-sin menantang.
Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi
sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia
dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan
tetapi pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya,
maka diapun bertanya, "Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong
ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?"
Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. "Apa sih bedanya dengan
pedang atau tidak? Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat
daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan,
perlu apa tanya pakai senjata atau tidak? Kalau engkau sendiri memiliki
seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak mundur
selangkahpun!"
"Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!" Thian Sin
lalu menampar dengan gerakan sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan
tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin
pukulan yang dahsyat.
Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut
dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan
sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian Sin
dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main,
seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin cepat mengelak karena dia
mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu
Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan
tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun. Akan tetapi jangan kira
pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan
itu mengandung tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali
sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya tidak lecet, akan
tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah.
Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya,
maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat sekali dan
setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga
dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga
puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat
kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang
tepat dan cepat.
Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah
Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan gin-kang, dia akan
menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih
kalah setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya,
menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda
dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya.
Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan
Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang
diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat
bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari
lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan
gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek
Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu.
Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan
seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga
diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat,
Lam-sin menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya
sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan tenaga yang dahsyat, bukan
dengan tenaga halus seperti tadi.
"Haiiittt...!" Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan.
"Hemmm...!" Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali
karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu
kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga
Thian-te Sin-ciang yang hebat itu.
"Dukkk...!" Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat
kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua
langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga
langkah!
Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan
lawan yang dapat menandinginya dalam hal gin-kang dan sin-kang.
Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu
masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang
agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan
sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan
seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun
kepala Thian Sin.
Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun
menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh
tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang
ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu
peninggalan ayahnya.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang,
akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu
terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi,
memandang dengan mata terbelalak.
Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin
menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari
San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari
tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan
tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan
merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini
mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia
mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar
hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin.
Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat
menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan ternyata sinar hitam
seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut
panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari
sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi
nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas
dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih
nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin
mencium keharuman kembang.
Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan
pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan
kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat.
Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu,
menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main.
Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya
hebat, kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata
yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu.
Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan
tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum
bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit
seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya.
Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu.
Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk
kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu
permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng.
Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut
itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan
rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran
sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau
kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim
pukulan.
Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin
mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga
sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk
dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan
gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak.
"Lihat jarumku!" tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat.
Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar
tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan. Kipasnya telah berlubang oleh
jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya
karena pemuda ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut
yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan
serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah
mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan,
menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam
menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang
pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang
itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang.
Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia
bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak
tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang
Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang
yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang.
Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah
berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, namun dia tetap terdesak,
bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat
putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya
menjadi semakin hebat. Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan
mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat.
"Trang! Cringgg...!"
Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin
menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar
hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka iapun cepat
menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar
pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang
dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali.
Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang
membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak
kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main
lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek
inilah yang paling berbahaya dan lihai!
Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus
tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin
lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan
kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan
dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat, dan dia membarengi
dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu
karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong
Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan
bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab
peninggalan mendiang ayah kandungnya.
Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri
terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan
desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan
memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu
Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu
bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat
menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat
ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia
mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras!
Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh
wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting.
Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua
renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga
beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih
ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan
kasihan.
Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah? Ketika nenek itu
menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang
memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu
menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur
sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang
amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi
Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar
dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua
mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus
melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja
tidak dapat dilindungi dengan kekebalan.
Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa
membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah
menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu
mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh
terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh
jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang
itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh
Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada
nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, "Lam-sin apakah
engkau belum juga mengaku kalah?"
Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga
kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat
berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak
pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini,
menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak!
"Kau... kau kenapakah, nek?" Thian Sin bertanya sambil mendekati.
"Aku sudah kalah... lebih baik mati...!" Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri.
"Jangan...!" Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu.
Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya,
memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak
dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya
tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta
lagi, melainkan menangis.
Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya,
secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh
nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu
padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek
tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara!
"Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?" Thian
Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun
pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.
"Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?" Akhirnya
Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak
tahu, nenek itu melanjutkan, "Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan
menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan
sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu
menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih
perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku...
hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka
daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!"
Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke
dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang
muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia
melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli
dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir
mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin
melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi
hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama
sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak
ketika mulut bicara? Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening,
juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang
muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek
itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan
nampak.
"Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!" Thian Sin berkata. "Biarpun
engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah
pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu,
aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu."
"Kau... kau mau...?" Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian
Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu
dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya.
"Benarkah kau... kau mau...?" Nenek itu seolah-olah tidak percaya.
Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di
balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih
kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah
diduganya,dan dia mencium bau harum minyak wangi.
"Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang
tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku
akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin."
Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan
kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya
terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, "Ke
kiri... melalui pintu kiri itu..."
Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri
dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya,
Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah
diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak
karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani
keluar!
Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia
tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya!
Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya. Kamar itu lengkap
dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya,
tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar
seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari
tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan
perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang
berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu
yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan,
tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak
romantis dan indah sejuk.
"Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?" tanya nenek itu.
"Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan." Dengan halus Thian Sin
meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan
mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah.
Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu. Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba.
"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.
Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu.
"Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor..."
"Nanti..." kembali Lam-sin menarik kakinya. "Kau... kaupadamkan dulu
lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian
Sin..."
Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua
keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba,
melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu.
Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia
tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya
adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan
yang benar-benar selamanya belum pernah berdekatan dengan seorang pria!
Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan
menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu
seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin
adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu
menolak kalau dia hendak menyalakan lampu.
"Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja
sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan
kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang
akan tahu segala-galanya... maafkan aku."
Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin
balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin
tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek,
entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun
sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat
menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal
itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun
tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh
kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih
gadis.
Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan,
dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya,
merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan
luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta
dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan.
Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai
menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari
pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun
disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut!
Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. "Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!"
Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, "Aku... aku malu..."
"Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami
isteri, walaupun tidak sah? Bukalah, aku ingin melihat bagaimana
cantiknya wajah dewi pujaanku..."
"Thian Sin, jangan merayu engkau!"
"Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku..."
"Kepada Lam-sin nenek tua renta?"
"Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan
indah." Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan...
dia terpesona!
Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang
cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis
yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya
dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu,
yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu
tersenyum malu-malu.
"Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!" katanya lirih dan Thian Sin
lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lalu menciumnya dengan sepenuh
kemesraan hatinya.
Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut.
"Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"
"Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!"
"Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku telah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi sumpahku."
Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. "Dan
aku merasa terharu, merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya
kepadaku."
"Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu."
Terkejut juga Thian Sin mendengar ini. Sungguh aneh sekali, dia
melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis
sekali wanita ini, dan memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan.
Dia merasa beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini
dan diapun agaknya tidak keberatan untuk mendampingi gadis ini
selamanya! Akan tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat
menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang
aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang
disangkanya.
Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan,
tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka dapat
menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi mengapa gadis ini malah
menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?
"Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?" kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium.
Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua
kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biarpun orang dapat
melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa
cintanya tanpa malu-malu.
Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. "Kalau begini
terus, kita tidak mungkin dapat bicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak
ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?"
"Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!"
kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita
itu turun dari pembaringan.
"Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari,
berpakaianlah dan kila bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus
bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan
melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang
terjadi semalam adalah pemenuhan daripada sumpahku. Kita belum saling
terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian."
Sikap wanita yang semalam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan
diri, juga panas dengan api berahi yang bernyala-nyala, kini berubah.
Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh
dibantah!
Thian Sin tersenyum. "Memang bijaksana sekali keputusan itu. Kita tidak
sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah
kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab."
Setelah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka
mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin
yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah
dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Kiranya nenek itu memakai sebuah topeng
yang luar biasa, topeng kulit tipis sekali dan ada rambut putih di
bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali
dari dekat sekali kalau meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis
manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.
"Ah, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?" kata Thian Sin.
"Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu."
Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang
tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu dan
lapat-lapat terdengar suara berkeliling di luar kamar. Tak lama
kemudian, pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang
pelayan cantik yang kemarin itu.
Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapapun
cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang
menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau
menjadi pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang
heran melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih
heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi
mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya berdiri dengan muka tunduk
menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur
sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja
dalam kamar.
"Cepat, ambilkan tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!" perintah Nenek
Lam-sin. "Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku
menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota."
Setelah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu
segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka
meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak
berani mengeluarkan sebuahpun kata. Setelah mereka pergi, Lam-sin lalu
mengajak Thian Sin makan pagi. Setelah selesai makan pagi, mereka keluar
dari kamar dan Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke sebelah belakang
rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan
rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggauta Bu-tek Kai-pang
berkumpul.
Melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek
Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran
sekali. Mengapa pemuda itu masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin?
Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang.
Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya
sedikitnya ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang
tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena
pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan diapun melihat
tiga orang ketua kai-pang itu dengan rebah di atas usungan, hadir pula.
Wajah mereka masih pucat dan mereka memandang kepada Thian Sin dengan
mata mendelik dan muka marah. Merekapun merasa yang paling penasaran
melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin,
seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.
"Para anggota kai-pang sekalian." terdengar "nenek" itu berkata,
suaranya lantang berwibawa dan semua orang yang hadir di situ
mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas
memperlihatkan rasa takut yang mendalam, "dengarkan baik-baik segala
perintahku pagi hari ini yang merupakan perintah terakhir dariku untuk
kalian!"
Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu?
"Aku perintahkan semua anggauta, baik yang kini hadir maupun yang tidak
hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih
menderita luka, untuk mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini
dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak memimpin kalian lagi, dan
kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau
tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa
Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan
tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan golongan lain. Kalian
boleh memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian boleh memilih
ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian,
terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku
yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual
dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang main
curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk
mengurusnya. Setelah aku pergi, tidak ada seorangpun yang boleh
menggunakan namaku lagi, dan semua urusan kalian tidak ada
sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara
perintah terakhirku ini tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di
manapun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang
untuk menghukum sendiri si pelanggar!"
"Pangcu...!" Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan
merekapun menangis! Dan hal ini menular kepada beberapa orang anggota
kai-pang dan sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!
Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Ia sendiri menarik napas
panjang beberapa kali dan nampaknya juga berduka, akan tetapi ia lalu
mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak
"Cukup...! Bukan sikap orang-orang gagah kalau membiarkan kedukaan
menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima
orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta
peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua
kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan
kai-pang ini dengan lain nama. Yang hendak mengundurkan diri dan membawa
bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah
pesanku, tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah
ada yang berani melanggar perintahku hari ini."
"Tapi... tapi, locianpwe..." kata Ang-i Kai-ong. "Bukan saya hendak
membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan
Pendekar Sadis yang telah membunuh begitu banyak anggauta kami?"
Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang,
lalu berkata lantang, "Dia datang untuk membalas kematian keluarga Ciu
di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab mengirim anak
buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang
kalian menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis sudah
memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera
tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di
dunia itu!"
"Ahhh...!" Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan
juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang
pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.
"Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat
masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di
luar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan
semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan
pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama,
baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada
sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?"
Tiga orang ketua itu berkata.
"Kami mengerti!" dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.
Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya
untuk masuk lagi ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan
beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang
diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan
perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.
Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, "Kalian laksanakan
pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang
kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun
rumah tangga. Nah, selamat tinggal."
Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi
Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya
dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu
samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan
tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan setelah
keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat
meninggalkan kota Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan
tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat
sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi
sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan
bertanya, "Ke manakah kita pergi?"
"Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah
kita bicara tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu kita," jawab
Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung.
Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai
Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara.
Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat
dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir dan
akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan
pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan
agaknya tidak pernah didatangi manusia.
Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang
doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat yang penuh dengan rumpun
alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena
berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak
nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan
pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit
kemudian mereka tiba di tempat terbuka.
Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di
depan di antara pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan
tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka
disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar
matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat
tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di
antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan
rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat,
terbuat dari kayu secara nyeni sekali.
Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai
sebuah kamar itu dan membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki
pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya
lengkap. Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di
istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan
perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari.
Dan biarpun agaknya sudah lama tempat itu tidak ditempati orang, namun
tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada
debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.
Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira sekali.
"Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada jika hatiku
sedang risau. Kini aku bebas...! Bebas...!" Dan iapun mengembangkan
kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali.
"Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan
seorang dewi kahyangan seperti engkau!" Thian Sin juga melempar buntalan
pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.
LANJUT KE JILID 034--->
<---Kembali